Minggu, 27 Desember 2009

Soal-Jawab

Apa hukum berobat dengan obat-obatan kimia sentetis yang tidak dicontohkan Nabi saw? (Abu Nasywa, Banjarbaru)

Mengenai praktik pengobatan (medis) maka menurut kami ada dua hal yang perlu ditinjau. Pertama, praktik pengobatan dengan menggunakan obat-obatan tertentu kedua praktik pengobatan dengan menggunakan teknik tertentu. Biasa teknik tertentu ini terkait juga dengan penggunaan alat yang digunakan.

Untuk persoalan pertama yaitu praktik pengobatan dengan menggunakan obat-obatan tertentu maka yang harus diperhatikan adalah status hukum obat yang digunakan. Obat terkategori benda. Sedangkan hukum asal benda hanya dua yaitu halal atau haram.

Mengenai hukum berobat dengan yang mubah (halal) maka maka hukum yang perlu diterapkan pada fakta ini adalah hukum berobat (al-tadawi / al-mudaawah) itu sendiri. Sebab tujuan vaksinasi ini adalah dalam rangka pengobatan yang bersifat pencegahan (wiqayah, preventif).

Para ulama berbeda pendapat dalam hal hukum berobat. Sebagian ulama berpendapat hukum berobat adalah boleh (mubah) seperti Imam Syaukani (Lihat Nailul Authar, Bab Ath-Thib) dan Imam Taqiyuddin An-Nabhani (Lihat Muqaddimah Ad-Dustur). Namun sebagian ulama lainnya, seperti Syaikh Abdul Qadim Zalum, menyatakan hukum berobat adalah mustahab (sunnah). (Lihat kitabnya Hukmu Asy-Syar'i fi Al-Istinsakh, hal. 30).

Menurut kami, pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam masalah ini adalah pendapat terakhir, yang mensunnahkan berobat, karena dalilnya lebih kuat.

Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Hukmu Asy-Syar'i fi Al-Istinsakh, hal. 30-33 menerangkan sunnahnya berobat. Menurut beliau, memang terdapat hadis-hadis yang mengandung perintah (amr) untuk berobat. Namun perintah dalam hadis-hadis tersebut tidaklah menunjukkan hukum wajib (li al-wujub), melainkan menunjukkan hukum mandub (sunnah) (li an-nadb), dikarenakan terdapat hadis-hadis yang menjadi qarinah (indikasi) bahwa perintah yang ada sekedar anjuran, bukan keharusan.

Hadis yang mengandung amr (perintah) berobat antara lain sabda Nabi SAW : : "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Allah juga menciptakan obatnya, maka berobatlah kamu." (HR Ahmad). Hadis ini mengandung perintah (amr) untuk berobat (maka berobatlah kamu) (Arab : fa-tadaawaw).

Namun perintah ini disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan hukum sunnah, bukan hukum wajib. Misalkan sabda Nabi SAW,"Akan masuk surga dari umatku 70.000 orang tanpa hisab." Para sahabat bertanya,"Siapa mereka itu wahai Rasulullah?" Nabi SAW menjawab,"Mereka itu adalah orang-orang yang tidak melakukan ruqyah (berobat dengan doa), tidak melakukan tathayyur (menimpakan kesialan pada pihak tertentu), dan tidak melakukan kay (berobat dengan cara mencos tubuh dengan besi panas). Dan mereka bertawakkal hanya kepada Tuhan mereka." (HR Muslim). Hadis ini membolehkan kita untuk tidak berobat. Jadi ini merupakan qarinah (indikasi) bahwa perintah berobat pada hadis sebelumnya adalah perintah yang tidak tegas (ghairu jazim), yaitu hukumnya sunnah/mandub, bukan perintah yang tegas (jazim), yang hukumnya wajib. Jadi, hukum berobat adalah sunnah (mandub). Tidak wajib. (Abdul Qadim Zallum, Hukmu Asy- Syar'i fi Al-Istinsakh, hal. 33).

Kesimpulannya berobat dengan suatu yang mubah hukumnya sunnah. Jika obat-obatan kimia sistetis yang dimaksud tidak terdapat untuk yang haram maka berobat dengannya hukumnya sunnah. Wallahu ‘alam

Sedangkan hokum berobat dengan yang haram. Maka para ulama berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya berobat dengan suatu zat yang najis atau yang haram. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Beirut : Darul Fikr], 1990, Juz I hal. 384). Dalam masalah ini paling tidak ada 3 (tiga) pendapat :

1. Jumhur ulama mengharamkan berobat dengan zat yang najis atau yang haram, kecuali dalam keadaan darurat. (Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz I hal. 492; Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus : Darul Fikr], 1996, Juz IX hal. 662; Imam Syaukani, Nailul Authar, Juz XIII hal. 166).

2. Sebagian ulama, seperti Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama Syafiiyah (bermazhab Syafii) menghukumi boleh (jawaz) berobat dengan zat-zat yang najis. (Izzuddin bin Abdis Salam, Qawa'idul Ahkam fi Mashalih Al-Ahkam, [Beirut : Darul Kutub al-Ilmiyah], 1999, Juz II hal. 6; Imam Ash-Shan'ani, Subulus Salam, Juz VI hal. 100).

3. Sebagian ulama lainnya, seperti Taqiyuddin an-Nabhani, menyatakan makruh hukumnya berobat dengan zat yang najis atau yang haram.( Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III hal. 116).

Menurut kami, pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam masalah ini adalah pendapat ketiga, yang memakruhkan berobat dengan zat yang najis atau yang haram, karena dalilnya lebih kuat.

Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, dalam Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah (3/116), berobat dengan benda yang najis/haram hukumnya makruh, bukan haram. Dalil kemakruhannya dapat dipahami dari dua kelompok hadis : Pertama, hadis-hadis yang mengandung larangan (nahi) untuk berobat dengan sesuatu yang haram/najis. Kedua, hadis-hadis yang yang membolehkan berobat dengan sesuatu yang haram/najis. Hadis kelompok kedua ini menjadi indikasi (qarinah) bahwa larangan yang ada pada kelompok hadis pertama bukanlah larangan tegas (haram), namun larangan tidak tegas (makruh).

Hadis yang melarang berobat dengan sesuatu yang haram/najis, misalnya sabda Nabi SAW,"Sesungguhnya Allah-lah yang menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia menjadikan obat bagi setiap-tiap penyakit. Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram." (HR Abu Dawud, no 3376). Sabda Nabi SAW "janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram" (wa laa tadawau bi-haram) menunjukkan larangan (nahi) berobat dengan sesuatu yang haram/najis.

Namun menurut Imam An-Nabhani, hadis ini tidak otomatis mengandung hukum haram (tahrim), melainkan sekedar larangan (nahi). Maka, diperlukan dalil lain sebagai indikasi/petunjuk (qarinah) apakah larangan ini bersifat jazim/tegas (haram), ataukah tidak jazim (makruh).

Di sinilah Imam An-Nabhani berpendapat, ada hadis yang menunjukkan larangan itu tidaklah bersifat jazim (tegas). Dalam Sahih Bukhari terdapat hadis, orang-orang suku 'Ukl dan Urainah datang ke kota Madinah menemui Nabi SAW lalu masuk Islam. Namun mereka kemudian sakit karena tidak cocok dengan makanan Madinah. Nabi SAW lalu memerintahkan mereka untuk meminum air susu unta dan air kencing unta... (Sahih Bukhari, no 226; Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, 1/367). Dalam Musnad Imam Ahmad, Nabi SAW pernah memberi rukhshash (keringanan) kepada Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam untuk mengenakan sutera karena keduanya menderita penyakit kulit. (HR Ahmad, no. 13178).

Kedua hadis ini menunjukkan bolehnya berobat dengan sesuatu yang najis (air kencing unta), dan sesuatu yang haram (sutera). (Fahad bin Abdullah Al-Hazmi, Taqrib Fiqh Ath-Thabib, hal. 74-75).

Kedua hadis inilah yang dijadikan qarinah (indikasi) oleh Imam An-Nabhani bahwa larangan berobat dengan sesuatu yang najis/haram hukumnya bukanlah haram, melainkan makruh. Dari sini dapat difahami dalam pengobatan medis konvensional kadang kita tidak bisa menghindarkan dari alkohol misalnya maka hukum pemanfaatan alkohol tersebut hukumnya makruh. Wallahu ’alam

Tinggal satu persoalan lagi. Yaitu teknik pengobatan modern seperti bedah, kemoteraphy dsb. Maka teknik-teknik pengobatan seperti ini tidaklah haram karena bagian dalam sains yang netral. Berdasarkan hadist nabi: Kalian lebih mengetahui tentang perkara (dunia) kalian “antum adraa bi umuri dunyakum” (HR.Muslim). Sedangkan penggunaan alat-alat kedokteran maka ini semua terkategori benda-benda yang hukumnya mubah berdasarkan kaidah al ashlu fil asy-ya al ibahah maa lam yarid dalil at-tahriim (Hukum asal suatu benda adalah mubah sebelum ada dalil yang mengharamkannya). Sedangkan hukum pengobatan dengan benda-benda tersebut hukumnya sunnah. Karena hukum berobat adalah sunnah. Wallahu ’alam

Wahyudi Abu Syamil Ramadhan

Yogyakarta, 27 Desember 2009

Daftar bacaan:

1. Hukum Vaksin Meninggitis untuk Jama’ah Haji, http://www.khilafah1924.org. KH. Siddiq al Jawi. 31 Oktober 2009

2. An Nabhani, Taqiyuddin. Syakhshiyyah Islamiyyah juz 3. Darul ummah. Libanon

3. An Nabhani, Taqiyuddin. Syakhshiyyah Islamiyyah juz 1. Darul ummah. Libanon

4. Haula qaaidati al ashlu fil asy-ya al ibahah maa lam yarid dalil at-tahriim, http://www.khilafah1924.org. KH. Siddiq al Jawi.

Tidak ada komentar: