Jumat, 09 September 2011

HUKUM SEPUTAR LEMBAGA ZAKAT, HAKIKAT ‘AMIL , DAN HUKUM MENYERAHKAN ZAKAT PADA PENGUASA SAAT INI


Siapakah yang berhak mengumpulkan dan membagikan zakat? Bolehkah lembaga-lembaga yang bergerak di bidang sosial, pendidikan,yayasan milik perorangan atau kelompok memungut dan membagikan zakat?

Jawaban
Zakat merupakan salah satu dari kewajiban-kewajiban Islam, sepertinya halnya shalat, shaum, jihad, dll. Di dalam al quran terdapat puluhan ayat mengenai zakat. Salah satunya adalah:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka untuk mensucikan dan membersihkan mereka (QS. At-Taubah [9]: 103)
Dalam menafsirkan ayat ini, Kamaluddin bin Human, seorang Muhaqqiq Madzhab Hanafi berkata :
“Bahwa dhahir dari firman Allah SWT: ambillah zakat dari sebagian harta mereka…, mewajibkan hak mengambil zakat itu secara mutlak oleh penguasa (Imam/khalifah),baik harta dzahir dan batin”
Imam ar-Razi dalam menafsirkan surah at-taubah ayat 60, beliau menghubungkannya dengan sura at-taubah ayat 103. Ar-Razi berkata :
“Ayat ini menunjukkan bahwa zakat inim yang mengurus pengambilan dan pembagiannya adalah penguasa (Imam/Khalifah) dan orang-orang yang ditunjuknya”.
Sedang al-Jashahsh berpendapat bahwa pengambilan zakat adalah semata-mata kewajiban (hak) seorang imam. Apabila dikeluarkan oleh muzakki kepada orang miskin, maka hal itu tidak dibolehkan. Sebab, hak seorang imam/khalifah untuk seterusnya tetap ada dalam kewajibannya mengumpulkan dan membagikan zakat. Hal tersebut tidak boleh dialihkan kepada orang lain .
Hal ini semakin diperkuat dengan banyak hadist yang menegaskan bahwa penguasa (Imam/khliafah)lah yang mengangkat orang yang berhak memungut zakat. Dari Ibnu ‘Abbas, ketika itu Rasulullah mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Beliau bersabda:
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
Beritahukanlah kepada mereka (Penduduk Yaman), bahwa Allah SWT telah mewajibkan atas sebagain harta mereka untuk dikeluarkan sedekah (zakat)nya. Ambilllah ia dari orang-orang kaya dari mereka dan bagikan pada orang miskin dari mereka (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam menjelaskan hadist ini, Imam Ibnu Hajar al Atsqalani berkata :
“Hadist ini dapat dijadikan alas an bahwa penguasa adalah orang yang bertugas mengumpulkan dan membagikan zakat, baik dilakukannya sendiri secara langsung laupun melalui wakilnya. Siapa saja di antara mereka ada yang menolak mengeluarkan zakat, maka hendaklah zakat itu diambil dari orang tersebut secara paksa”.
Demikian juga, bila kita tinjau dari aspek siapakah sejatinya yang disebut ‘amil zakat, maka ha ini semakin menegaskan bahwa yang berhak memungut dan mendistribusikan zakat hanyalah Imam. Pada saat menafsirkan surah at-taubah ayat 60 Imam Qurthubi menjelaskanpengertian ‘amil, yaitu orang-orang yang ditugaskan oleh imam/khalifah untuk mengumpulkan zakat zakat seiizin dari Imam tersebut . Demikian pula saat membahas masalah ini, Imam Nawawi mengatakan :
“Wajib bagi Imam menugaskan seseorang sebagai petugas yang mengambil sedekah (zakat). Sebab Nabi saw dan khalifah sesudah beliaupun selalu mengutus petugas zakat ini. Hal ini dilakukan karena di antara manusia ada orang yang memiliki harta tetapi tidak tahu yang wajib baginya. Selain itu, adapula orang yang kikir sehingga wajib bagi penguasa mengutus seseorang untuk mengambilnya”.
Demikian pula syaikh Abdul Qadim Zallum menyatakan :
“Zakat, baik berupa ternak, buah-buahan/biji-bijian,uang atau harta perdagangan, semua itu harus diserahkan kepada khalifah atau orang-orang yang mewakilinya , yang dalam hal ini bisa para wali (semacam gurbernur) atau para amil (semacam bupati) yang ditunjuk oleh khalifah. Atau tugas ini diserahkan pada amil-amil zakat”.
Syiakh Mahmud ‘Abdul Latif ‘Uwaidhah menyatakan :
وحتى العاملين عليها لا وجود لهم الآن بعد أن توقف الحكم بالإسلام في بلاد المسلمين ، ولم تبق دولة واحدة فيها تطبِّق شرع الله كما أمر الله سبحانه .
“Demikian pula ‘amil zakat pada saat ini realitasnya tidak ada lagi, setelah berakhirnya pemerintahan Islam di negeri-negeri kaum muslimin dan tidak ada satu negara yang menerapkan syariat Allah sebagaimana yang telah Allah perintahkan”.
Dari uraian di atas jelas bahwa penerimaan dan penyaluran zakat merupakan kewajiban penguasa, yaitu imam atau khalifah atau orang yang ditunjuknya. Tidak diperbolehkan lembaga-lembaga sosial, pendidikan, yayasan atau apapun yang serupa dengannya memungut dan menyalurkan zakat.
Zakat Versus Penguasa Zhalim
Apabila penguasa atau imam melakukan kedhaliman apakah zakat tetap perlu diserahkan kepadanya?
Mengenai masalah ini terdapat beberapa hadist yang menjawab pertanyaan ini,di antaranya adalah hadist riwayat Imam Ahmad dari Anas, ia berkata bahwa ada seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah saw:
إِذَا أَدَّيْتُ الزَّكَاةَ إِلَى رَسُولِكَ فَقَدْ بَرِئْتُ مِنْهَا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ إِذَا أَدَّيْتَهَا إِلَى رَسُولِى فَقَدْ بَرِئْتَ مِنْهَا فَلَكَ أَجْرُهَا وَإِثْمُهَا عَلَى مَنْ بَدَّلَهَا
Jika aku telah menyerahkan zakat kepada utusanmu (Rasul), apakah aku terlah terbebas dari kewajiban kepada Allah dan Rasul-Nya? Rasul menjawab: tentu. Jika engkau telah menyerahkan zakat itu kepada utusanku, maka engkau telah terbebas dari kewajiban kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagimu ada ganjaran pahala dan berdosalah bagi orang yang mengubah (ketentuan zakat itu) (HR. Ahmad no. 12729)
Dalam memahami permasalahan tersebut, perlu kita memahami hadist-hadist yang membahas tentang ketaatan kepada imam. Dari Wail bin Hijr ia berkata:
أرأيت إن كان علينا أمراء يمنعونا حقنا ويسألونا حقهم فقال : اسمعوا وأطيعوا فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم
Aku mendengar seseorang bertanya kepada Rasulullah saw: Bagaimana pendapat anda jika kami memiliki para penguasa yang tidak mau memberikan hak kepada kami, tetapi ia meminta haknya kepada kami? Rasul menjawab: Dengar dan taatilah mereka. Sesungguhnya bagi mereka apa yang mereka perbuat dan bagi kalian apa yang kalian kerjakan (HR. Muslim dan Tirmidzi dalam Nailul authar 4/220)
Mengenai hal ini IBnu Qudamah berpendapat :
“Apabila kaum Khawarij dan penguasa dzalim mengambil zakat, maka dianggap sah pengambilan zakat tersebut atas pemilik harta. Sama saja apakah penguasa tersebut taat (tunduk pada syari’at) dalam hal zakat, atau zhalim. Juga apakah mereka mengambilnya dengan paksaan atau pemilik menyerahkannya dengan sukarela”.
Berdasarkan penjelasan di atas jelaslah bahwa zakat boleh diserahkan kepada imam yang dhalim. Sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah Islam, yaitu beberapa khalifah yang bertindak zhalim. Walaupun demikian mereka masih menerapkan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat dan kenegaraan.

Hukum Menyerahkan Zakat Bagi Penguasa saat ini
Realitas penguasa saat ini adalah penguasa yang memisahkan urusan agama dengan urusan negera, penguasa yang mencampakkan aturan al-qur’an dan as-sunnah, sebaliknya mereka malah memungut ide sampah dari peradaban barat seperti demokrasi dsb. Demikian pula penguasa yang ada sekarang adalah penguasa yang memerangi Islam dan pengembannya. Apakah penguasa seperti ini memiliki hak untuk memungut dan mendistrbusikan zakat kaum muslimin?.
Mengenai hal ini Syaikh Rasyid Ridho telah menjelaskan dengan panjang lebar dalam kitab tafsirnya :
“… Kini kaum muslimin berada di bawah cengkeraman kekuasaan (Barat) Eropa. Sebagian lagi berada di bawah kekuasaan pemerintahan yang murtad terhadap Islam atau mengingkari Islam…Terhadap pemerintahan seperti ini zakat tidak boleh diserahkan kepada mereka, apapun nama panggilan kepala negaranya (raja, presiden, dll) dan agama resmi mereka”.
Jelaslah bahwa zakat tidak boleh diserahkan kepada penguasa semacam ini. Meski demikian kewajiban zakat tetap harus ditunaikan. Caranya dengan menyerahkannya langsung kepada pihak yang berhak menerima zakat (mustahiq). Inilah pendapat Imam asy-Syafi’I dalam qaul jadidnya atau pendapat beliu yang terakhir. Beliau berpendapat bahwa zakat tidak harus diserahkan kepada penguasa . Senada dengan Imam Syafi’I adalah Imam al Mawardi dan mayoritas pendapat madzhab Maliki .
Wallahu ‘alam bi shawab
Sumber: diringkas dari buku Tafaqquh fiddin wa siyasah dan sedikit penambahan
Banjarmasin, 10Ramadhan 1432 H/8 September 2011 pukul 20.10 Wita
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan


Rabu, 07 September 2011

AL FARQU BAINA AL 'ILLAH WA AS SABAB

PERBEDAAN ANTARA ‘ILLAT DENGAN SEBAB (AS-SABAB)
1. Ditinjau dari segi pengertian, ‘illat adalah sesuatu yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum, dengan kata lain ‘illat merupakan pemicu/dasar/latar belakang disyari’atkannya hukum. Sebagai contoh terlalaikannya shalat jum’at (ilhaau as-shalah al-jumu’ah) menjadi ‘illat diharamkannya berjual-beli saat adzan berkumandang. ‘illat ini digali dari firman Allah SWT.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli (QS. Al-Jumu’ah [62]: 9)

Sedangkan as-sabab (sebab) tanda/indikator mengenai kapan hukum harus dilaksanakan. Sebagai contoh tergelincirnya matahari menjadi tanda atau indikator masuknya pelaksanaan waktu shalat jum’at. Sebagaimana hadist dari Salamah bin akwa’, dia berkata:
كُنَّا نُجَمِّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ
"Kami shalat Jum'at bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika matahari tergelincir. Setelah itu kami pulang dalam keadaan masih perlu mencari-cari naungan untuk tempat berlindung."(HR. Muslim no. 1423)

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa ‘illat adalah dasar/alasan pensyaraiatan hukum sedangkan as-sabab bukan alasan/dasar pensyaraiatan hukum melainkan hanya tanda kapan pelaksanaan hukum yang telah disyaraiatkan oleh dalil yang lain. Tergelincirnya waktu bukan menjadi pemicu/dasar mengenai wajibnya shalat jum’at. Akan tetapi kewajiban shalat jumat ditetapkan berdasarkan mantuq dari ayat 9 surah al-jumu’ah di atas.

Demikian pula tergelincirnya matahari merupakan sebab (waktu) pelaksanaan shalat dzuhur. Sebagaimana firman Allah SWT:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir (QS. Al-Isro’[17]:78).
Akan tetapi wajibnya shalat lima waktu (termasuk dzuhur) tidak didasarkan pada tergelincirnya matahari akan tetapi berdasarkan dalil yang lain.

Contoh yang lain adalah terlihatnya hilal (bulan baru) merupan sebab kapan shaum ramadhan mesti dilaksanakan, berdasarkan hadist nabi:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
Berpuasalah kalian karena melihat hilal (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan hukum tentang wajibnya shaum tidak ditetapkan berdasarkan dalil ini, tetapi dengan dalil lain, diantaranya perintah Allah dalam surah al-Baqarah ayat 183.

2. Ditinjau dari segi hubungannya dengan hukum syariat dan konsekuensinya. ‘illat menempel pada hukum dengan konsekuensi jika ‘illatnya ada maka hukum berlaku, sedang jika ‘illatnya tidak ada maka hukum yang berkaitan dengan ‘illat tidak berlaku. Sedangkan as-sabab berada sebelum terwujudnya hukum. Jika sebab ada/terpenuhi maka hukum wajib dilaksanakan (jika status hukumnya wajib, seperti shalat dan shaum ramadhan). Akan tetapi jika sebab tidak ada maka pelaksanaan hukum saat itu tidak wajib, meski kewajiban tidak gugur (dalam arti jika sebab terpenuhi maka kewajiban tersebut tetap harus dilaksanakan). Sebagai contoh hukum shalat jum’at adalah wajib, hukum wajibnya shalat jumat senantiasa tetap mengikuti dalil yang menegaskan kewajibannya. Hanya saja kapan waktu wajib pelaksanaannya bergantung pada datangnya sebab yakni tergelincirnya matahari. Jika matahari telah tergelincir maka wajib pelaksanaanya telah jatuh, tetap jika matahari masih ditengah langit (belum tergelincir) maka waktu pelaksanaannya belum jatuh.
3. Ditinjau dari sisi cakupan pemberlakuannya. Cakupan pemberlakuan ‘illat tidak hanya terbatas pada hukum yang disebutkan dalam nash, akan tetapi dapat diterapkan pada kasus-kasus lain yang berkesesuaian ‘illatnya. Sebagai contoh ‘illat telalaikannya shalat jum’at tidak hanya berlaku untuk larangan jual-beli, akan tetapi juga kasus-kasus lain yang dapat menghalangi orang untuk melaksanakan shalat jumat seperti proses belajar mengajar, jasa taksi angkot, dsb. Sedangkan sebab hanya berlaku untuk kasus khusus yang tercantum dalam nash. Tergelincirnya matahari hanya menjadi sebab untuk jatuhnya pelaksanaan shalat dzuhur atau jum’at dan tidak bisa dijadikan sebab untuk waktu shalat yang lain.
Daftar Rujukan:
Ahmad Labib. tt. Al-Muhktar fi ushuli al-fiqh hal 43-44. Surabaya: Ma’had ‘Umdatul Ummah
‘Atha Ibnu Khalil. 2000.Taisiru al-wushul ilal ushul hal. 104-105. Beirut: Darul Ummah
Muhammad Husain Abdullah. Al-Wadhih fi ushuli al fiqh hal. 129. Beirut: Darul Bayariq

Banjarmasin, 9 Syawal 1432 H/ 7 September 2011, pukul 23.53 Wita
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan