Minggu, 29 Mei 2011

RUU INTELIJEN : WASPADAI LAHIRNYA REZIM REPRESIF

Pemerintah bersama DPR saat ini sedang membahas RUU intelijen yang di ajukan pada bulan Desember 2010 lalu, ada satu hal yang menarik untuk kita kaji bersama mengenai faktor pendorong munculnya RUU intelijen tersebut yaitu pembahasan RUU tersebut didesak oleh pemerintah dalam rangka merespons berbagai persoalan tindak kekerasan yang sering dituduhkan bermotif agama, menyusul bom buku hingga mencuatnya isu kudeta dan bahkan yang terbaru adalah kasus NII KW IX. Dari sekian kasus tindak kekerasaan tersebut diantara yang mencuat adalah opini bahwa semua itu terjadi karena lemahnya pengawasan intelijen, karenanya intelijen harus diperkuat. Atas dasar itulah pemerintah bersama DPR mengajukan RUU intelenjen tersebut sebagai upaya memperkuat posisi intelijen itu sendiri, namun yang juga perlu diingat dan dicermati adalah bahwa mekanisme penyusunan perundang-undangan jelas akan berdampak pada kehidupan masyarakat, dan bahwa proses legislasi dari sebuah perundang-undangan di alam demokrasi tidak steril dari berbagai kepentingan politik berbagai pihak, bahkan asing. Sebab proses legislasi merupakan proses politik dan UU adalah produk politik. Berapa banyak produk perundang-undangan di negeri kita yang berpihak kepada kepentingan asing semisal UU Migas, UU PMA, UU Minerba, dan lain sebagainya. Di samping itu pada level implementasi perundang-undangan atau penegakan hukum dan bahkan sampai pada vonis hukum sering sekali tidak steril dari pengaruh dan kepentingan politik tertentu. Oleh karenanya, sejak bergulirnya isu pengajuan RUU intelijen ini oleh DPR pada dasarnya telah menuai kritik. Sebab di dalamnya dianggap belum mampu mengakomodir prinsip-prinsip kinerja intelijen yang profesional tanpa mengabaikan hak-hak kemanusiaan, juga dianggap tidak steril dari kepentingan politik, tidak bisa mencegah penyalahgunaan kekuasaan, berpotensi dimanfaatkan oleh kepentingan politik dan ekonomi penguasa, melanggar hak-hak privasi warga negara, dan bahkan dianggap akan bisa melahirkan kembali rezim represif seperti orde baru. Beberapa polemik tersebut menyorot ke persoalan substansi draft RUU intelijen yang dinilai banyak mengandung multitafsir. Polemik tersebut menyorot ke persoalan substansi draft RUU intelijen dimana ada 46 pasal yang terbagi ke dalam 10 bab. Di antara beberapa point kandungan yang multitafsir adalah pertama, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa intelijen negara merupakan lembaga pemerintah, bukan sebagai lembaga negara. Dengan definisi tersebut, intelijen berpeluang di jadikan alat penguasa untuk memata-matai rakyat dan musuh politik. Kedua, Pasal 31 RUU intelijen menyebutkan bahwa LKIN (Lembaga Kordinasi Intelijen Nasional) memiliki kewenangan untuk melakukan intersepsi (penyadapan) terhadap komunikasi dan atau dokumen elektronik, serta pemeriksanaan aliran dana yang diduga kuat terkait dengan kegiatan terorisme, spionase, subversi, sabotase, dan kegiatan atau mengancam keamanan nasional. Di dalam penjelasan dikatakan bahwa intersepsi itu dilakukan tanpa ketetapan ketua pengadilan. Bahkan di Ayat 4 Pasal 31 RUU tersebut menyebutkan bahwa Bank Indonesia, bank, PPATK, lembaga keuangan bukan bank, dan lembaga jasa pengiriman uang wajib memberikan informasi kepada LKIN atau BIN itu sendiri. pemberikan kewenangan penyadapan tanpa prosedur perizinan dari pengadilan akan berpotensi terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi penyadapan tersebut didasarkan pada alasan yang definisi, kriteria dan tolok ukurnya tidak dijelaskan, kabur, dan multitafsir sehingga bersifat subjektif dan tergantung selera. Lebih berbahaya lagi tidak disebutkan siapa yang berwenang memutuskan penyadapan itu. Akibatnya secara implisit setiap personel intelijen berhak untuk memutuskannya, di negara hukum manapun, penyadapan harus atas izin pengadilan, karena itu dianggap tidak demokratis dan mencederai demokrasi. Ketiga, di dalam DIM (Daftar Inventaris Masalah) pemerintah, diusulkan pemberian wewenang kepada BIN untuk melakukan penangkapan dan pemeriksaan secara intensif (interogasi) paling lama 7x24 jam yang semestinya ini menjadi kewenangan dari para penegak hukum yaitu kepolisian. Kewenangan intel tersebut dapat berpotensi melahirkan rezim intel yang dengan kewenangannya mereka bisa jadi ’menciduk’ orang yang dicurigai, tanpa surat perintah, tanpa diberitahu tempat dan materi interogasi, tanpa pengacara, dan bahkan tanpa diberitahukan kepada keluarganya. Lalu jika demikian apa bedanya dengan penculikan?. Kelima, di dalam RUU tersebut tidak ada mekanisme pengaduan dan gugatan bagi individu yang merasa dilanggar hak-haknya oleh kerja lembaga intelijen. Hal ini tentu memicu arogansi tanpa kontrol dari lembaga intelijen tersebut. Keenam, RUU tersebut tidak mengatur dengan jelas mekanisme kontrol dan pengawasan yang tegas, kuat dan permanen terhadap semua aspek dalam ruang lingkup fungsi dan kerja intelijen (termasuk penggunaan anggaran). Akibatnya, intelijen akan menjadi ”super body” yang tidak bisa dikontrol dan bisa dijadikan alat kepentingan politik status quo. Pandangan Islam Mengenai Intelijen Dalam syariah Islam, intelijen ditujukan untuk menyasar orang-orang kafir yang memerangi kaum muslim baik secara de facto (muhâriban fi’lan) ataupun de jure (muhâriban hukman). Itulah yang dicontohkan dalam sirah Nabi saw sebagai teladan yang wajib kita pegangi. Dalam pandangan syariah Islam, negara haram mematai-matai rakyat. Allah berfirman yang artinya ”Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS. Al-hujurat [49] : 12). Dalam hadist, Rasulullah saw juga bersabda : ”Sesungguhnya seorang amir itu, jika ia mencari keragu-raguan (sehingga mencari-cari kesalahan) dari rakyatnya, berarti ia telah merusak mereka (HR. Ahmad, abu dawud, al-hakim, dan al-baihaqi). Sehingga jelaslah bahwa mematai-matai rakyat, termasuk kafir dzimmi, oleh negara atau individu, hukumnya adalah haram. Adapun ahl ar-riyab yaitu warga negara yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudaratan dan bahaya terhadap institusi negara, jamaah, atau bahkan individu karena menjalin hubungna khusus dengan muhâriban fi’lan ataupun muhâriban hukman, maka tajassus (spionase) terhadap mereka dibolehkan dengan syarat: pertama, didasarkan dari hasil monitoring yang dilakukan Departemen Peperangan dan Departemen Kemanan Dalam Negeri bahwa mereka menjalin hubungan dengan muhâriban fi’lan ataupun muhâriban hukman dengan hubungan yang tidak biasa dan tampak mencolok; dan kedua, hal itu disampaikan kepada dan disetujui oleh qadhi hisbah (hakim yang bertugas menyelesaikan masalah penyimpangan-penyimpangan yang dapat membahayakan hak-hak jama’ah) dan qadhi hisbah menyimpulkan bahwa hubungan tersebut merupakan bahaya yang mungkin menimpa Islam, kaum muslimin, dan negaranya. Maka dengan penerapan syaiah Islam dalam bingkai khilafah rasyidah sajalah, negara tidak akan menjadi musuh rakyat, tidak penuh curiga kepada rakyat, dan tidak sibuk mematai-matai rakyat. Dengan itu pemerintah dan rakyat akan menyatu menjadi kekuatan besar demi kemuliaan dan keadilan Islam dan mewujudkan rahmat bagi semua. Wallahu’alam bi ash-shawab.