Selasa, 01 Desember 2009

Pandangan Ulama seputar kaidah “hukum asal benda adalah boleh (ibahah)sebelum terdapat dalil yang mengharamkannya”

Pandangan Ulama seputar kaidah “hukum asal benda adalah boleh (ibahah)sebelum terdapat dalil yang mengharamkannya”
Oleh: KH. Siddiq al Jawi, MSI
Penerjemah: Wahyudi Abu Syamil Ramadhan

Kaidah ini adalah kaidah yang sudah lama dan masyhur. Para ulama dari beragam mazdhab telah menyampaikan dan mengunakan kaidah ini untuk mengali hukum-hukum syari’ah pada berbagai cabang kehidupan. Saat mensyarah hadist Nabi saw:
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
Artinya: sesungguhnya sebesar-besar dosa kaum muslimin adalah siapa saja yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan, karena pertanyaannya itu maka perkara tersebut diharamkan (HR. Bukhari).
Al Hafizd Ibnu Hajar al Astqalani menyatakan, berdasarkan hadist ini ”bahwasanya hukum asal bagi benda-benda adalah mubah hingga datang dalil yang menyelisihi hukum asal ini”. (Fathul Baari juz 20 hal. 341)
Pada saat mensyarah hadist yang sama al Imam Ibnu Rajab al Hanbali menyatakan: ” hal ini menunjukan bahwa tidak didapati pengaharamannya, hukumnya bukanlah haram, hal diperkuat dengan firman Allah:
وَمَا لَكُمْ أَلا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya (TQS: al- An’am: 119). Allah SWT mencela orang-orang yang menjauhi dari memakan apa-apa disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Orang orang ini beralasan bahwa Allah SWT telah menjelaskan pada mereka keharaman benda-benda ini. padahal hal ini tidaklah benar. Ayat ini justru menunjukan bahwasanya hukum dari benda-benda adalah mubah (Ibnu Rajab al Hanbali, Jami’ul ulumil hikam juz 30 hal. 21)
Pengaranng kitab tuhfatul ahwadzi pada saat mensyarah sabda nabi:
انْهُلْحَلالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَ
Artinya: Yang halal adalah apa-apa yang telah Allah SWT telah halalkan dalam kitab-Nya (al-qur’an). Begitupula yang haram adalah apa-apa yang telah Allah SWT haramkan dalam kitab-Nya dan apa saja yang didiamkan darinya maka hal itu terkategori yang dimaafkan atasnya (HR. Tirmidzi). Beliau menyatakan ” Hukum asal benda adalah mubah, hal ini diperkuat dengan firman Allah SWT :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا
”Dialah (Allah ) yang telah menciptakan bagimu apa saja yang ada di bumi seluruhnya” (TQS: al Baqarah: 29) (Tuhfatul ahwadzi juz 4 hal. 416)
Iman Syaukani dalam kitab beliau Nailul Authar pada pembahasan tentang makanan, hewan buruan dan sembelihan membuat bab khusus yang berjudul hukum asal benda dan sesuatu adalah mubah hingga datang dalil yang mencegah atau mewajibkannya. Pada bab ini beliau mencantumkan beberapa hadist diantaranya hadist Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwasnya nabi saw bersabda:
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ

Artinya: sesungguhnya sebesar-besar dosa kaum muslimin adalah siapa saja yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan, karena pertanyaannya itu maka perkara tersebut diharamkan (HR. Bukhari). (Imam asy-Syaukani, Nailul Authar juz 12 hal. 443)
Pengarang kitab Majma’ul Anhar fi syarhil Multaqa al Abhar (ulama mazdhab Hanafi) menyatakan: ”ketahuilah bahwasanya hukum asal benda-benda seluruhnya kecuali kemaluan adalah mubah berdasarkan firman Allah SWT:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا
Dialah (Allah ) yang telah menciptakan bagimu apa saja yang ada di bumi seluruhnya” (TQS: al Baqarah: 29). Dan firman Allah SWT:
كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
Makanlah oleh kalian dari apa-apa yang ada di bumi yang halal lagi baik (TQS al Baqarah: 168). Ayat ini menunjukan bahwa yang yang ditetapkan haram hanyalah yang berlawanan dengan nash yang mutlak atau hadist yang diriwayatkan. Apabila tidak didapati dalil yang mengharamkannya maka hukumnya mubah. (Majma’ul anhar juz 8 hal. 263)
Berkata Imam Muhammad Amin pengarang Hasyah Ibnu ’Abidin (ulama madzab Hanafi) berkenaan tentang hukum rokok untuk membantah orang yang mengharamkan atau memakruhkannya. Beliau menyatakan ”Untuk menetapkan status hukum haram atau makruh haruslah berdasarkan dalil. Padahal tidak ada dalil pada perkara ini. Rokok juga tidak menyebabkan mabuk, tidak melemahkan akal, tidak menimbulkan mudharat bahkan rokok dapat mendatangkan beberapa manfaat. Maka pembahasan ini masuk dalam kaidah hukum asal benda yaitu mubah. Dan bila diasumsikan akan mendatangkan mudarat pada sebagian orang maka hal ini tidak berlaku pada semua orang... (Muhammad Amin, Hasyah Ibnu ’Abidin juz 6 hal 459)
Imam suyuthi (ulama madzhab Syafi’ie) menyatakan: Hukum asal suatu benda adalah mubah hingga ada dalil yang menunjukan atas keharamannya, ini adalah pendapat mazdhab kami. Selnjautnya Imam Suyuthi menyebutkan beberapa hadist yang menjadi landasan kaidah ini. diantaranya adalah sabda nabi saw:
”Apa saja yang dihalalkan oleh Allah maka hukumnya halal dan apa saja yang Allah haramkan maka hukumnya haram dan apa saja yang didiamkan darinya maka hal itu adalah pemaafan maka terimalah pemaafan tersebut karena sesungguhnya Allah SWT tidak pernah lupa terhadap segala sesuatu”. hadist ini dikeluarkan oleh Bazzar, Thabrani dari Abi Darda dengan sanad hasan. Selanjutnya Imam Suyuthi menyatakan : dari hadist-hadist ini dapat diselesaikan banyak persoalan yang susah dipecahkan misalnya tentang hukum hewan-hewan yang pelik/susah menentukan hukumnya. Maka dalam hal ini ada dua pendapat. Dan pendapat yang shahih (rajih) adalah yang hukumnya halal sebagaimana pendapat ar-Rafi’i yaitu: tumbuh-tumbuhan yang tidak dikenal namanya. Dua pendapat dalam mazdhab syafi’ie tersebut misalnya Imam Mutawalli menyatakan haram memakannya. Sedangkan Imam Nawawi menyelisihi pendapat ini dan beliau berkata yang lebih dekat serta sesuai dengan yang diriwayatkan Imam Syafi’e adalah hukumnya halal. (as Suyuthi, al- asybah wa an-Nazhaair hal. 60).

Terdapat dalam kitab Syarah al Asybah wa an-Nadzaair pada pembahsan hukum memakan jerapah bahwasnya pendapat (mazdhab) Imam Syafi’ie (semoga Allah merahmatinya) adalah halal memakannya sebagai bentuk penerapan kaidah Hukum asal suatu benda adalah mubah hingga ada dalil yang menunjukan atas keharamannya (Ghamzu ’Uyunil Bashaair syarah al-Asybah wa an-Nadzaair juz 1 hal. 470). Selanjutnya, Abdul Hamid Hakim dalam kitab Mabadiu Auliyah pada pemahasan hukum memakan jerapah mengutip pendapat Imam as Subki yang menyatakan bahwa hukum memakan jerapah adalah mubah karena hukum asalnya memang mubah. (Abdul Hamid Hakim, Mabadiu Auliyah hal 48)

Pengarang kitab Mathalibu Ulinnuha fi syarhi Ghayatil Muntaha (ulama mazdhab Hanabilah) saat menjelaskan hukum kopi dan rokok menyatakan bahwasanya seluruh ulama yang memiliki pengetahuan yang luas terhadap pokok-pokok agama (ushuluddin) dan cabang-cabang agama...saat ditanya hukum kopi dan rokok mereka tidak akan menjawab kecuali menyatakan bahwa hukumnya boleh (mubah); karena hukum asal dari benda yang tidak mendatangkan mudharatan dan tidak ada nash yang menharamkannya maka hukumnya halal dan mubah hingga datang dalil syara yang mengharamkannya. (Mathalibu Ulinnuha fi syarhi Ghayatil Muntaha juz 1 hal. 212)
Berdasarkan pandangan-pandangan ini jelaslah bahwa kaidah ini adalah kaidah yang sudah dikenal luas (masyhur) dan digunakan ulama khususnya ulama Syafi’iyyah. Sebagaimana terdapat dalam Ghamzu ’Uyunil Bashaair fii syarhil Asybah wa an-Nazhaair menunjukan bahwa kaidah ini digunakan dalam madzhab Syafi’i rahimahullah. Sedangkan Imam abu hanifah memiliki pendapat yang lain yaitu bahwa hukum asal dari suatu benda adalah haram hingga ada dalil yang menunjukan kebolehannya. Begitu pula pendapat sebagian pakar hadist yang menyatakan bahwa hukum asal benda adalah haram. Ada juga sebagian ulama hadist lain yang menyatakan bahwa hukum asal suatu benda adalah berhenti/diam (tawaqquf) yang artinya bahwa harus ada hukum tentang benda. (Ghamzu ’Uyunil Bashaair fii syarhil Asybah wa an-Nazhaair juz 1 jal 470)

Bila kita mencermati pendapat yang menyatakan bahwa hukum asal benda adalah haram atau tawaqquf maka jelas ini adalah pendapat yang salah. Sebab kesalahannya adalah mereka tidak membedakan antara hukum benda sebelum datangnya syariat dengan sesudah datangnya syariat. Imam Ibnu Rajab al Hanbali menjelaskan kesalahan ini, beliau berkata: ketahuilah bahwa masalah ini (masalah kaidah hukum asal pada benda) bukanlah maslah hukum benda sebelum datangnya syari’at. Apakah dia haram atau mubah, atau bahkan tidak ada hukum padanya? Akan tetapi masalah ini dianggap sebelum datangnya syariat, adapun setelah datangnya syariat maka telah ditunjukan oleh nash-nash ini dan yang serupa dengannya (misalnya surah al an’am ayat 145 dan 119) yaitu bahwasanya hukum asalnya tetap, tidak berubah ”bahwa hukum asal suatu benda adalah boleh” berdasarkan dalil-dalil syar’i. Sebagian mereka telah meriwayatkan kesepakatan akan hal ini. Dan kesalahan mereka sdalah menyamakan dua perkara yang berbeda ( yaitu hukum benda sebelum datangnya syariat dengan sesudah datangnya syariat) kemudian menetapkan hukum pada keduanya dengan satu pendapat. (Ibnu Rajab al hanbali, Jaami’ul ’ulumi wal hikam juz 20 hal 31). Wallahu ta’ala a’lam
Yogyakarta, 17 Nopember 2009

Tidak ada komentar: