Jumat, 29 Juli 2011

HUKUM KEPITING


Assalamu'alaikum ustdz, afwn an mw tanya mngenai hukum kepiting, trmsuk hewan yg halal dimakan atau tdk? Jzk bil jannah ats pnjelasanx.(Fataya Al Fatih)

Kepiting (al sarathan) adalah jenis binatang air yang dapat hidup di darat, mempunyai cengkeram dan kuku tajam, bejalan cepat dan menyamping. Hukumnya haram karena dagingnya kotor dan membahayakan. Menurut mazhab Imam Malik hukumnya halal. Diantara yang menyatakan haram adalah Imam ar-Ramli dalam kitabnya Nihayah Al-Muhtaj ila Ma’rifah Al-Fadz Al-Minhaj, sbb:
(ومايعيش) دائما (في بَرٍّ وبحر كضِفْدعٍ) … (وسَرَطانٍ) ويسمي عقرب الماء ونسناس (وحية) … حرامٌ) لاستخباثه وضرره …
Hewan yang bisa hidup di darat dan laut, seperti kodok, kepiting, dan ular hukumnya haram dengan alasan kotor dan membawa bahaya… (h. 151 – 152)
Pendapat serupa disampaikan oleh Syeikh Muhammad Al-Khathib Al-Syarbaini dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Al-Minhaj, sbb:
(ومايعيش في بَرٍّ وبحر: كضِفْدعٍ وسَرَطانٍ [ويسمي أيضا عقرب الماء] وحية حرامٌ) للسمية في الحية والعقرب وللاستخباث في غيرهما.
Binatang yang hidup di darat dan laut, seperti kodok, kepiting (disebut juga laba-laba/kalajengking air), dan ular haram hukumnya, dengan alasan mempunyai bisa bagi haramnya ular dan kalajengking, dan jorok bagi selain keduanya (h. 298).
Sementara yang menyatakan halal antara lain Imam Ibnu Qudamah, beliau menyatakan:
كُلُّ مَا يَعِيشُ فِي الْبَرِّ مِنْ دَوَابِّ الْبَحْرِ ، لَا يَحِلُّ بِغَيْرِ ذَكَاةٍ ، كَطَيْرِ الْمَاءِ ، وَالسُّلَحْفَاةِ ، وَكَلْبِ الْمَاءِ ، إلَّا مَا لَا دَمَ فِيهِ ، كَالسَّرَطَانِ ، فَإِنَّهُ يُبَاحُ بِغَيْرِ ذَكَاةٍ
Artinya: semua yang hidup di darat dari binatang laut, tidak halal tanpa disembelih seperti burung laut, penyu, anjing laut, jika binatang tersebut tidak berdarah seperti ketam maka halal tanpa disembelih
Akan tetapi pada masa sekarang, seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, dapat diketahui bahwa kepiting tidaklah termasuk hewan yang bisa hidup di dua alam, yaitu di air dan di darat, sebagaimana yang disimpulkan oleh para ulama zaman dulu. Menurut pakar kepiting, hewan tersebut adalah hewan laut, karena hanya bisa hidup di air. Kepiting yang ada di darat, bisa bertahan hidup karena membawa kantung air di dalam batok tempurungnya, oleh karenanya ia tidak bisa hidup lama-lama di darat. Jika air bawaannya tersebut habis maka ia akan mati.
Apabila kita mencermati dua pendapat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kepiting hukumnya halal, dengan beberapa alasan:
a. Tidak ada dalil yang tegas yang mengharamkan binatang yang hidup di dua alam, maka kembali kepada kaidah umum tentang halalnya benda -termasuk binatang-.
b. Tahqiq manath (fakta) kepiting bukanlah binatang yang hidup di dua alam, sehingga seandainya diterima keharaman binatang yang hidup di dua alam maka juga tidak berlaku karena faktanya berbeda.
Wallahu ‘alam bi shawab
Banjarmasin, 28 Sya’ban/30 Juli 2011
Dikutip dari naskah buku Ensiklopedi 100 + Hewan dalam Tinjauan Syariat, Penyusun: Wahyudi Ibnu Yusuf (belum dicetak)

MENGOKOHKAN PERJUANGAN PENEGAKKAN SYARIAH
DAN KHILAFAH DI BULAN RAMADHAN

Seorang muslim dan mu’min yang lurus aqidahnya, benar pemahamannya, dan ikhlas hatinya tentu senantiasa bersemangat untuk melakukan keutamaan-keutamaan yang dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Ayyuhal hadirun rahimakumullah
Bulan ramadhan adalah afdhalu asy-syuhur (seutama-utama bulan), di dalamnya diturunkan al qur’an sebagai petunjuk, rahmat, dan pembeda antara haq dan batil, dan beragam keutamaan lain sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Di bulan yang paling utama ini juga terdapat afdhalu al-layali (seutama-utama malam), 1 malam yang lebih baik dari seribu bulan, lailatu al-qadar.

Ayyuhal hadirun rahimakumullah
Inilah the power of ramadhan. Dengan kekuatan ini para artis mendadak menjadi sangat religious, televisi berlomba mensyiarkan ramadhan, pengajian ramai, masjid-masjid penuh dst. Tentu kita berharap semangat ramadhan ini terus terjaga hingga akhir bulan ramadhan dan 11 bulan selanjutnya.

Ayyuhal hadirun rahimakumullah
Keindahan ramadhan sebagai afdhalu asy-syuhur yang di dalamnya ada afdhalu al-lail tentu akan lebih sempurna jika kita terus berjuang untuk menegakkan afdhalul qurbat atau seutama-utama pendekatan diri kepada Allah. Apa itu afdhalul qurbat? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan:

فالواجب اتخاذ الإمارة ديناً وقُرْبَةً يتقرب بها إلى الله ؛ فإن التقرب إليه فيها بطاعته وطاعة رسوله من أفضل القربات
Wajib hukumnya mengangkat kepemimpinan, baik karena alasan menegakkan agama maupun pendekatan diri kepada Allah. Karena sesungguhnya pendekatan diri kepada Allah dalam hal kepemimpinan ini, yaitu dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah seutama-utama taqarrub ilallah. (Imam Ibnu Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar'iyyah, hal. 161)

Mengapa tegaknya imarah, imamah, atau khilafah disebut taqarrub ilallah yang paling afdhal? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kembali menegaskan:
يجب أن يُعرف أن ولاية أمر الناس من أعظم واجبات الدين، بل لا قيام للدين إلا بها
Wajib diketahui bahwa wilayatu amri an-nas (Khilafah) adalah a’dzomu wajibati ad-din (kewajiban agama yang paling agung), karena agama tidak akan tegak tanpa khilafah

Atau istilah imam al haitsami أهم الواجبات (kewajiban yang paling penting) yang menyebabkan para sahabat menyibukkan diri memilih pengganti rasulullah setelah wafatnya beliau.

Maka hadirin…
Tidak ada alasan bagi kita untuk libur dari memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah karena alasan berpuasa di bulan ramadhan. Atau berfikir untuk mengurangi intensitas dakwah dengan alasan qiyamul lail dan tilawah al qur’an di malam hari. Sebaliknya, momentum ramadhan, dimana masyrakat sedang berada pada puncak semangat beribadah dan semangat menuntut ilmu harus dimanfaatkan untuk menjelaskan mengenai kewajiban, keperluan, dan urgensi khilafah.

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah
khilafah adalah bagian dari syariah, khususnya syariah di bidang siyasah. Allah SWT menjamin bahwa syariah-Nya PASTI mendatangkan kerahmatan, tidak hanya untuk kaum muslimin tetapi untuk seluruh alam. Di antara bentuk rahmat Allah tersebut adalah jaminan kesejahteraan bagi seluruh manusia. Sejarah menjadi bukti tak terbantahkan akan jaminan kesejahteraan tersebut. Sehingga jelas syariah dan khilafah bukanlah ancaman bagi siapa-siapa. Kalau ada yang mengatakan bahwa syariah dan khilafah adalah ancaman. Maka kami katakan: “benar syariah dan khilafah adalah ancaman bagi penjajahan, ancaman bagi Negara kafir imperialis yang mengeruk SDA kita, dan ancaman bagi segelintir orang yang oportunis”. Kalau ada yang mengatakan bahwa khilafah bertentangan dengan pancasila. Kami ingin bertanya: adakah sila yang secara tegas melarang tegaknya syariah dan khilafah? Kalau ada, sebutkan! Sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”. Redaksi mana dari sila pertama ini yang melarang tegaknya khilafah? Justru redaksi ini menunjukkan makna tauhid “laa ilaha illaLLAH” yang artinya la ma’buda bihaqqin illaLLAH (TIDAK ADA YANG BERHAK DISEMBAH KECUALI ALLAH) yang artinya pula laa hukma illaLLAH (tidak ada hukum yang patut diterapkan selain hukum Allah). Sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Adakah sila ini melarang tegaknya syariah dan khilafah?. Justru Syariah dalam bingkai khilafah adalah sistem yang menjamin keadilan sesuai dengan parameter syariah. Dengan sistem syariah akan terwujud manusia-manusia yang beradab. Tidak seperti sekarang, sistem sekular telah mencetak manusia-manusia yang tidak beradab. Manusia yang lebih malu mengaku bahwa dia telah menikah, sebaliknya memilih mengaku bahwa dia hanya “kumpul kebo”. Sistem yang melegalkan perzinahan, prostitusi meskipun di bulan ramadhan, system yang melegalkan aborsi dan perbuatan bejat lainnya. Sistem seperti inikah yang diharapkan akan mewujudkan manusia yang beradab. Sila ketiga “persatuan Indonesia”. Apakah sila ini melarang tegaknya syariah dan khilafah? Dari Abu Sa’id al Khudri ra. Nabi bersabda:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخِر مِنْهُمَا
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya (HR. Muslim)
mengomentari hadist ini Imam Nawawi menyatakan:
فِيهِ أَنَّهُ لَا يَجُوز عَقْدهَا لِخَلِيفَتَيْنِ
Berdasarkan hadist ini, tidak boleh/tidak sah akad baiat bagi dua orang khalifah sekaligus (Syarhu an-Nawawi ‘ala Muslim, 6/326)
Berdasarkan hadist ini jelas bahwa perpecahan atau disintegrasi bangsa HARAM HUKUMNYA. Inilah sikap HT, bahwa wilayah NKRI HARAM HUKUMNYA dipecah-pecah. sejak awal HT tidak pernah setuju dengan referendum yang dilakukan di Tim-Tim dan pelepasan wilayah Nusantara yang lain.

Ringkasnya syariah dan khilafah bukan ancaman bagi siapapun. Yang jelas-jelas mengancam dan menggiring negeri ini pada jurang kehancuran adalah sistem kapitalisme-sekular yang diterapkan puluhan tahun di negeri ini. Yang jelas-jelas mengancam negeri ini adalah para koruptor yang mengemplang triliyunan uang rakyat, perusahaan swasta local dan asing yang mengeruk 6,5 milyar ton cadangan batu bara Kalimantan Selatan, perusahaan-perusahaan multinasional yang mengeksploitasi 80 % cadangan migas kita, dst.

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah
Kalau syariah dan khilafah bukan ancaman bagi siapa-siapa. Maka HT sebagai pengusung ide syariah dan khilafah juga bukanlah ancaman bagi siapapun. Terlebih sejak awal berdirinya hingga kini HT telah menegaskan tidak akan pernah menggunakan kekerasan dalam perjuangannya. HT berdakwah di lebih 40 negara, di banyak Negara aktivitas HT dihalangi, diintimidasi, disiksa, bahkan ratusana syabab menemui syahidnya. Tetapi HT tetap istiqamah dengan metode dakwah Rasul saw. yaitu tanpa kekerasan.

Alhamdulillah, atas izin dan pertolongan Allah serta kerja keras HT bersama umat. Seruan penegakkan khilafah semakin mendapat sambutan yang luas. Konferensi Rajab yang diadakan beberapa waktu lalu mendapat sambutan yang luar biasa. Ratusan ribu kaum muslimin membuktikan dukungannya dalam konferensi rajab yang digelar dari Aceh hingga Papua. Ribuan ulama, para ustadz-ustadzah, para muballigh-muballighah, para intelektual, para pengusaha, mahasiswa, bahkan penyandang cacat tuna netra hadir untuk memberikan dukungannya terhadap perjuangan khilafah ini. Seruan penegakan khilafah juga mendapat sambutan yang luar biasa di belahan dunia yang lain, bahkan di jantung peradaban kapitalisme, yakni AS.

Ayyuhal hadirun rahimakumullah
Dukungan penegakan khilafah ini semakin dipertegas dengan beragam survey, baik dalam maupun luar negeri. Bahkan survey yang dilakukan oleh LSM yang getol memperjuangkan demokrasi, Pluralisme dan HAM yakni SETARA Institute (2010) menunjukkan bahwa 34, 6 % responden Jabodetabek setuju dengan ide Khilafah. Di kota Bogor bahkan, responden yang setuju khilafah lebih besar dari yang menolaknya, yaitu 46: 44 %. Survey yang lebih luas dilakukan SEM Institute (2010) menunjukkan 74% responden di Indonesia setuju syariah, 70% setuju khilafah sebagai bentuk sistem politik dan pemerintahan dalam Islam, dan 65 % umat Islam butuh khilafah yang menyatukan mereka.

Ayyuhal hadirun rahimakumullah
Hal ini menegaskan bahwa janji Allah dan bisyarah Rasulillah akan tegaknya khilafah sudah semakin dekat. Terlebih fase mulkan jabriatan (penguasa diktator) sebagaimana yang digambarkan Nabi saw. saat ini satu persatu telah tumbang. Dan fase setelah itu bukanlah fase kemenangan demokrasi sebagaimana yang diramalkan Francis Fukuyama, tapi setelah fase mulkan jabriatan ini adalah fase khilafah ‘ala minhaji an-nubuwwah. Takbir!!!

Maka dibulan yang mulia, bulan yang paling utama ini kami menyerukan kepada anda wahai ahlul quwwah wal mana’ah, para perwira-perwira militer, para ‘alim-ulama, para intelektual, pengusaha, jurnalis, dan seluruh elemen umat sambutlah perjuangan penegakan afdhalul qur’baat, a’dzhamu wajibati ad-diin, ahammu al-waajibat yakni perjuangan tegaknya khilafah. Berjuanglah bersama HT. Kami menyeru dengan seruan Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (QS. Al Anfal [8]: 24)
Wassalamu ‘alaikum wr. Wb
Wahyudi Ibnu Yusuf
Banjarmasin, 27 Sya’ban 1432 H/29 Juli 2011

Senin, 25 Juli 2011

MENGAPA HARUS BERSEMANGAT BELAJAR BAHASA ARAB?



Ada banyak alasan mengapa harus bersemangat belajar bahasa arab. Menurut saya, ada empat alasan penting mengapa kita harus bersemangat mempelajarinya, yaitu: bahasa arab adalah bahasa al qur’an yang hukumnya wajib untuk dipelajari, bahasa arab adalah bahasa kebangkitan, bahasa arab adalah bahasa resmi daulah Islam yang akan segera tegak, dan bahasa arab adalah bahasa penduduk surga.

Bahasa al qur’an yang Wajib Dipelajari

Mengenai bahasa al qur’an, Allah menegaskannya sendiri dalam banyak ayat didalam al qur’an, diantaranya:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya telah kami turunkan al qur’an dalam bahasa arab, agar kalian berpikir (QS. Yusuf [12]: 2)

Tidak ada satu katapun dalam al qur’an kecuali dalam bahasa arab. Kalaupun terdapat kata yang asalnya bukan bahasa arab maka bangsa arab telah menyerapnya dalam bahasa mereka, proses penyerapan bahasa asing ke dalam bahasa arab inilah yang disebut mu’arrabah. (al manar fi ‘ulumil qur’an.hal……..)

Mengapa Allah menurunkan al qur’an dengan bahasa arab? Imam Ibnu Katsir, saat menjelaskan ayat di atas Beliau menyatakan:

وذلك لأن لغة العرب أفصح اللغات وأبينها وأوسعها، وأكثرها تأدية للمعاني التي تقوم بالنفوس؛ فلهذا أنزلَ أشرف الكتب بأشرف اللغات، على أشرف الرسل…

Yang demikian itu karena bahasa arab adalah bahasa yang paling fasih, paling jelas, paling luas, dan paling banyak pengaruhnya bagi jiwa. Oleh karena itulah maka Allah menurunkan kitab yang paling mulia ini dengan bahasa yang paling mulia juga,bagi Nabi yang juga paling mulia…(Tasir al-qur’ani al-‘adhim. 4/365)

Mengenai hokum mempelajari bahasa arab, para ulama telah tegaskan bahwa hukumnya wajib. Alasannya, karena al qur’an menggunakan bahasa arab, sementara memahami al qur’an hukumnya wajib, maka mempelajari bahasa arab hukumnya juga wajib. Sebagaimana pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M), Beliau menyatakan:

فإن نفس اللغة العربية من الدين ومعرفتها فرض واجب فإن فهم الكتاب والسنة فرض ولا يفهم إلا بفهم اللغة العربية وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب…

Bahasa arab adalah bagian dari agama (Islam), hukum mempelajarinya fadhu yang wajib, karena memahami al qur’an dan as sunnah hukumnya fardhu. Sementara, al qur’an dan as sunnah tidak mungkin dipahami (dengan baik,penj) kecuali dengan memahami bahasa arab. Sebagaimana kaidah: ”tidak sempurna suatu kewajiban, kecuali dengan suatu hal, maka hal tersebut hukumnya juga wajib”… (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Iqtidhau ash shirathil mustaqiim mukhalafatu ashhabil jahiim hal. 207)

Bahkan, Imam Syafi’i rahimahullahu ta’ala. menyatakan bahwa mempelajari bahasa arab hukumnya wajib bagi seluruh umat. Beliau menyatakan:

ويكون على الناس كافة أن يتعلموا لسانه

Dan wajib atas manusia seluruhnya agar mempelajari bahasa nabi saw (yaitu bahasa arab) (Imam asy-Syafi’i dalam ar-risalah. Hal.45)

Lebih jauh amir Hizbut Tahrir ke-3 Syaikh ‘Atho Abu Rusythoh menyatakan siapa saja yang ingin lurus akidahnya dan faqih fiddin maka hendaklah ia mendalami bahasa arab dan menjadi faqih dalam bahasa arab tersebut. (Syaikh Atho’ Abu Rusythoh dalam at taisiru fi ushuli tafsiir hal. 22)

Saking pentingnya bahasa arab ini, khalifah kedua ‘Umar Ibnu Khaththab telah berkirim surat kepada Wali Abu Musa al Asy’ari yang isinya:

تفقهوا في السنة وتفقهوا في العربية وأعربوا القرآن فإنه عربي

‘Hendaklah kalian benar-benar memahami As-Sunnah. Hendaklah kalian benar-benar memahami bahasa Arab dan pahamilah Al-Qur‘an itu dalam bahasa Arab, karena sesungguhnya Al-Qur‘an itu menggunakan bahasa Arab.’ (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Iqtidhau ash shirathil mustaqiim mukhalafatu ashhabil jahiim hal. 207)

Dalam hadist lain, Umar Ibnul Khaththab, menyatakan:

تعلموا العربية فإنها من دينكم وتعلموا الفرائض فإنها من دينكم

Pelajarilah oleh kalian bahasa arab, karena ia bagian dari agama kalian dan pelajarilah ilmu waris karena ia bagian dari agama kalian (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Iqtidhau ash shirathil mustaqiim mukhalafatu ashhabil jahiim hal. 207)

Bahasa Kebangkitan

Peradaan Islam telah Berjaya selama lebih dari 13 abad. Sejarah menjadi bukti yang tak terbantahkan bahwa belum pernah ada peradaban yang sedemikian maju selain peradaban yang telah dibangun oleh Rasulullah dan para sahabat. Peradaban ini telah memberikan kesejahteraan disegala bidang. Ilmu-ilmu agama berkembang dengan sangat pesat, para mujtahidin lahir pada masa itu. Selain itu ilmu-ilmu sains berkembanga dengan sangat pesat. Buku-buku kedokteran, matematika, fisika, astronomi, dsb ditulis dalam bahasa arab. Wajar jika ilmuwan-ilmuwan barat harus belajar bahasa arab untuk mengusai ilmu-ilmu sains dari dunia Islam ini. Namun, seiringan dengan melemahnya pemahaman umat Islam terhadap agamanya sendiri dengan kelemahan yang sangat kronis. Dan kelemahan pemahaman ini berlanjutnya lemahnya penerapan Islam dengan mengadopsi pemikiran-pemikiran Barat seperti demokrasi, nasionalisme, dan puncaknya mereka mengadopsi perundang-undangan dari Barat. Alih-alih meraih kemajuan, umat Islam justru mengalami kemunduran di segala bidang dan puncaknya adalah sikap diamnya kaum muslimin saat khilafah yang merupakan pelindung mereka dihancurkan pada tanggal 3 Maret 1924 M.

Menurut Syaikh Taqiyuddin an Nabhani awal kelemahan pemahaman Islam ini karena umat Islam mulai mengabaikan bahasa arab. Beliau menyatakan:

وسبب هذا الضعف هو فصل الطاقة العربية عن الطاقة الإسلامية حين أهمل أمر اللغة العربية في فهم الإسلام

Penyebab kelemahan pemahaman Islam ini adalah pemisahan potensi bahasa arab dan potensi agama Islam, yaitu ketika bahasa arab mulai diabaikan dari pemahaman Islam (Mafahim hizb at-tahrir hal. 3).

Walhasil, jika kita ingin membangkitkan umat Islam saat ini maka potensi Islam dan potensi bahasa arab mestilah diintegrasikan. Karena bahasa arab adalah modal dasar untuk memahami Islam dengan benar serta modal dasar untuk menggali hukum Islam (istbathul ahkam) terhadap persoalan kontemporer yang dialami umat manusia.

Bahasa Resmi Daulah Khilafah

Bahasa arab adalah bahasa resmi daulah khilafah. Dalam kitab muqaddimah dustur aw al asbaabu almujibatu lahu, pada pasal ke-8 disebutkan:

اللغة العربية هي وحدها لغة الإسلام, وهي وحدها اللغة التي تستعملها الدولة

Bahasa arab adalah satu-satunya bahasa Islam, dan bahasa arab adalah satu-satunya bahasa yang akan digunakan daulah khilafah (muqaddimah dustur aw al asbaabu almujibatu lahu al qasmul awwal hal. 36).

Karena itulah seluruh program pendidikan dan penyiaran (seperti televisi Negara) yang dilakukan oleh Negara khilafah wajib menggunakan bahasa arab. Kecuali dikhawatirkan terjadi kesalahpahaman ditengah masyarakat maka untuk sementara waktu Negara boleh menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh rakyatnya.

Sebagai calon warga Negara khilafah yang baik sudah semestinya sejak sekarang kita mempersiapkan diri untuk menyongsong dan menyukseskan setiap program yang akan dilaksanakan Negara khilafah. Ingat! Kita tidak hanya sedang berupaya menegakkan khilafah, setelah itu bubar dalam sehari. Tetapi pasca tegaknya khilafah juga mesti kita siapkan. Jika “soft ware” tegaknya khilafah sudah kita siapkan. Kita sebagai ‘driver/user’ soft ware tersebut juga harus bisa mengoperasikannya. Kitalah yang akan mendidik umat sekarang dan nanti saat khilafah berdiri. Dan bahasa pengantar pendidikan pada masa khilafah nanti adalah bahasa arab. Ayo bersemangat untuk mempelajari bahasa arab seiring dengan semangat kita untuk menjemput nashrullah tegaknya Khilafah.

Bahasa Penduduk Syurga

Siapa yang tidak ingin masuk surga. Preman, koruptor, mafia saja ingin masuk surga. Dan ketahuilah wahai saudaraku, ternyata bahasa percakapan penduduk surge adalah bahasa arab. Sebagaimana diberitakan Nabi saw.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:أُحِبُّوا الْعَرَبَ لِثَلاثٍ: لأَنِّي عَرَبِيٌّ، وَالْقُرْآنُ عَرَبِيٌّ، وَكَلامُ أَهْلِ الْجَنَّةِ عَرَبِيٌّ

Dari Ibnu ‘Abbas ra. Nabi saw. Bersabda: Cintailah bahasa arab, Karena 3 alasan: karena aku dari bangsa arab, al qur’an berbahasa arab, dan percakapan/bahasa penduduk syurga (menggunakan) bahasa arab (HR. Ath-Thabrani dan al-Hakim)

Dengan hadist di atas seakan-akan Nabi saw. Ingin menyampaikan bahwa salah satu kunci masuk surge adalah dengan mencintai bahasa arab. Karena dengan cinta bahasa arab, kita akan sungguh-sungguh mempelajarinya dengan istiqomah tentunya. Buahnya adalah iman kita akan kokoh, pemahaman kita terhadap al-qur’an dan sunnah menjadi benar, dan akhirnya amal kita juga benar. Saat itulah kita layak dan pantas mendapat ridho dari Allah SWT dan sudah tentu kita pantas mendapat balasan dari-Nya dengan syurganya yang indah. Dan didalamnya kita bercakap-cakap dengan bahasa arab. Allahumma nas’aluka ridhoka wal jannah. Amiin ya mujibassailin

Banjarmasin, 25 Juli 2011

Wahyudi Ibnu Yusuf

Selasa, 19 Juli 2011

HUKUM ORGANISASI SOSIAL-KEMASYARAKATAN

Dalam buku pemikiran politik Islam dinyatakan bahwa tugas untuk melayani dan memenuhi urusan rakyat hanya tanggung jawab penguasa dan orang yang ditugaskan. Pertanyaan: Bagaimana hukum ormas/LSM yang bergerak di bidang sosial yang turut memenuhi kebutuhan rakyat seperti sekarang ini? (Fadlan, Banjarmasin)

Dalam sistem kapitalisme dan demokrasi, pelayanan kepada rakyat boleh ditanggani oleh suatu lembaga atau organisasi. Sebab Negara dalam sistem ini hanyalah salah satu lembaga pengendalian sosial (Agent of sosial control). Prof. Miriam Budiardjo menyatakan bahwa pada sistem kapitalisme-demokrasi, Negara dianggap sebagai salah satu asosiasi dari sekian banyak asosiasi yang ada yang bertugas sebagai lembaga pengendalian masyarakat (lihat Dasar-dasar Ilmu Politik hal. 20-21). Patut diketahui bahwa di samping Negara, ada tiga kategori golongan yang ikut andil dalam elit kekuasaan dalam system kapitalisme, yaitu: (1) partai-partai politik, (2) organisasi-organisasi sosial, (3) Serikat pekerja (union of labour). Dalam skala internasional kita kenal Palang Merah Internasional, Lions Rotary Club, Masyarakat Ekonomi Eropa (Uni Eropa), Salvation of Army (di Australia), dsb.

Berbeda dengan sistem Islam yang menetapkan Negara sebagai satu-satunya pihak yang berkewajiban melayani rakyatnya. Sedangkan individu sekedar dibolehkan (dengan status hukum sunnah) memberikan pelayanan kepada masyarakat dan haram hukumnya bagi lembaga, ormas, dan parpol memberikan pelayanan kepada rakyat secara terus menerus.
Dalil yang menegaskan bahwa Negara adalah satu-satunya pihak yang berkewajiban mengurusi urusan rakyatnya (riayah syu’un) adalah:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“…Imam (pemimpin) adalah bagaikan seorang pengembala. Dia bertanggung jawab terhadap rakyat (yang dipimpin)nya…” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dari Ibnu Umar)

Mengenai hadist ini, Ahmad bin Ali Al Muqri menyatakan: “disebut رَاعٍ untuk pemimpin Negara/Amir adalah karena dialah yang melaksanakan urusan masyarakat dan bertanggung jawab dalam urusan tersebut”. (Lihat kamus Misbahul Munir 1/231). Komentar yang sama disampaikan Imam Badruddin al ‘Aini, beliau menyatakan: “Hadist ini menunjukkan bahwa urusan dan kepentingan rakyat, wajib ditanggung oleh imam”. Kemudian beliau menyatakan: “ Tugas seorang imam dalam hal ini adalah memikul beban urusan rakyat dengan memenuhi hak mereka” (Lihat ‘Umdatul Qaari, Syarah shahih Bukhari XXIV/221)

Selain itu, Imam Badruddin menambahkan bahwa yang bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan rakyat adalah orang yang diangkat sulthan (Penguasa) untuk melaksanakan tugas tersebut. (Lihat ‘Umdatul Qaari, Syarah shahih Bukhari VI/191)

Dari keterangan tersebut telah cukup menjelaskan bahwa tidaklah dibenarkan adanya organisasi, yayasan atau parpol (yang berkiprah di bidang sosial), dan sejenisnya untuk mengurusi kepentingan umat berdasarkan mafhum hadist di atas. Sebab tugas dan wewenang ini ada di tangan imam (khalifah) atau orang yang ditunjuk oleh khalifah untuk mengatur urusan tersebut.

Apabila urusan ini dilakukan (diambil alih) oleh suatu organisasi sosial-kemasyarakatan dari kalangan kaum muslimin yang ada sekarang dan pada saat khalifah tidak ada, maka mereka telah berdosa karena telah melanggar syara’. Terlebih keberadaan organisasi-organisasi semacam ini telah menimbulkan mudharat (bahaya) bagi kaum muslimin yaitu mengalihkan perhatian umat untuk menegakkan Islam secara Kaffah dalam bingkai khilafah, mereka merasa aktivitas pelayanan masyarakat dalam bentuk layanan-layanan sosial tersebut adalah puncak dari perjuangan. Memang benar ada manfaat yang diraih dari keberadaan organisasi semacam ini, seperti terpenuhinya sebagian layanan kesehatan, pendidikan, dsb. Namun pelalaian upaya penegakkan syariah dan khilafah lebih besar mudharatnya.

Meski organisasi semacam ini diharamkan untuk memberikan pelayanan kepentingan masyarakat. Tetapi aktivitas ini boleh (jaiz) dengan status hukum sunnah dilakukan oleh individu atau sekelompok individu dalam masyarakat. Berdasarkan banyaknya dalil, baik dari al qur’an maupun as-sunnah yang mendorong untuk melakukan fi’lul khairat (melakukan kebaikan). Diantaranya:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (QS. Al Insan [76]: 8)
Dari ‘Ustman bin ‘Affan, aku mendengar Nabi saw. Bersabda:
مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا بَنَى اللَّهُ لَهُ مِثْلَهُ فِى الْجَنَّةِ
Barang siapa membangun masjid karena Allah maka Allah akan membangunkannya baginya yang semisal di syurga (HR. Tirmidzi no. 319)
Dari Sahl bin Sa’ad, Nabi bersabda:
(( أَنَا وَكَافلُ اليَتِيمِ في الجَنَّةِ هَكَذا )) وَأَشارَ بالسَّبَّابَةِ وَالوُسْطَى ، وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا . رواه البخاري .
Aku dan orang-orang yang memelihara anak yatim dengan baik berada di syurga (berdekatan). Beliau member isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah (HR. Muslim, lihat riyadhu ash-shalihin)
مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa membebaskan seorang muslim dari suatu kesulitan, maka Allah akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat kelak. (HR. Muslim)

Wallahu ‘alam bi shawab
Banjarmaisn, 20 Juli 2011 pukul 09. 52 Wita
Wahyudi Ibnu Yusuf (08565362242)

Senin, 18 Juli 2011

HUKUM ASKES PNS


Apa hukum memanfaatkan ASKES PNS? (Pariadi, Banjarmasin)
Jaminan  kesehatan yang disediakan pemerintah untuk PNS sejatinya diambil dari uang gaji pokok PNS yang bersangkutan sebesar 2 %, ditambah  2% yang ditanggung Pemerintah Pusat untuk PNS pusat dan Pemerintah Daerah untuk PNS daerah (Lihat PP No.  28 tahun 2003 tentang Subsidi dan Iuran Pemerintah dalam Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan Ps 4 dan 5 ayat 1). Dengan demikian uang yang jadikan premi asuransi oleh pemerintah sejatinya 50 %-nya  adalah uang gaji yang menjadi hak PNS yang bersangkutan dan 50 % sisanya subsidi yang dikeluarkan pemerintah.

Mengenai  2 % dari gaji pokok yang dipotong untuk dijadikan premi asuransi yang dilakukan oleh pemerintah atau secara umum pihak yang memperkerjakan (shahibul ‘amal) maka jika shahibul ‘amal mengembalikannya dalam bentuk jaminan kesehatan maka itu adalah sesuatu yang boleh untuk diterima (jaiz), karena sejatinya jaminan kesehatan itu diambil dari harta yang halal, yakni gaji. Meskipun shahibul ‘amal mendapatkannya dari cara yang dilarang syariat, misalnya riba atau asuransi. Pihak yang melakukan keharaman adalah shahibul ‘amal yaitu pemerintah (lihat ajwibah asilah syaikh ‘atho Abu Rusythah tanggal 25/2/2004)

Sedangkan 2 % yang disubsidi pemerintah pusat atau daerah selaku shahibul ‘amal maka itu terkategori pemberian Negara (i‘thou ad-daulah) terhadap rakyatnya khususnya rakyat yang bekerja pada Negara (PNS). Pemberian Negara termasuk cara kepemilikan harta yang dibenarkan syariat. Khalifah Umar bin Khaththab ra.pernah memberi para petani Irak harta dari Baitul Mal yang bisa membantu mereka menggarap tanah pertanian serta memenuhi kebutuhan hidup mereka, tanpa meminta imbalan dari mereka (lihat Sistem Ekonomi Islam hal. 151). Demikian pula Rasulullah saw. selaku kepala Negara pernah memberi sebidang tanah kepada Abu Bakar ra. dan Umar ra, sebagaimana memberi sebidang tanah yang luas  pada Zubair.

Kesimpulannya memanfaatkan jaminan kesehatan berupa ASKES hukumnya boleh (jaiz) karena baik gaji maupun pemberian Negara selaku shahibul ‘amal adalah cara kepemilikan harta yang diizinkan syariat. Meskipun dananya dijadikan premi oleh Negara dalam transaksi asuransi. Maka yang berdosa adalah pihak yang bertransaksi yang haram tersebut, sedang PNS atau pekerja tidak menanggung dosa. Wallahu ‘alam bi shawab

Banjarmasin, 18 Juli 2011 pukul 20.58 Wita
Wahyudi Abu Syamil (08565362242)


Minggu, 17 Juli 2011

HUKUM UNDIAN BERHADIAH

Apa hukum mengikuti undian berhadiah karena kita membeli produk tertentu, tanpa ada unsur taruhan?. Misalnya kita membeli produk A, kemudian kita mengirimkan bungkusnya untuk diundi. Apakah termasuk mengundi nasib yang dilarang dalam al qur’an? (Deden Koeswara, Banjarmasin) 

Undian atau dalam bahasa arab adalah qur’ah, secara bahasa adalah as-sahm (bagian) atau an-nashib (andil, nasib) (Kamus al-Munawwir hal. 1110; Mu’jam lughat al fuqaha hal. 275). 
Secara istilah qur’ah(undian) adalah: 
تَمْيِيزُ الْحِصَصِ بَعْضِهَا مِنْ بَعْضٍ 
Membedakan/menentukan bagian (hak) sebagian orang atas sebagian orang yang lain (al mausu’ah al fiqhiyyah al kuwatiyyah 34/320). 

Hukum asal undian adalah mubah/boleh menurut kesepakatan fuqaha (ahli fikih). Berdasarkan al qur’an dan as sunnah. Diantara dalil al qur’an adalah:
وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إذْ يُلْقُونَ أَقْلَامَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ
padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam (QS. Ali’Imron [3]: 44) 
Menurut Imam asy Syafi’I dalam saat menafsiri ayat ini menyatakan: asal mula terjadinya undian yang diceritakan dalam al qur’an adalah undian untuk menetapkan siapa yang memelihara Maryam (ahkamul qur’an 2/157). Ayat ini jelas menunjukkan bolehnya undian.
Selanjutnya firman Allah: 
فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنْ الْمُدْحَضِينَ
kemudian ia (Yunus) ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian (QS. Ash shoffat[37]:141) 
Menurut Ibnu ‘Abbas ra. Lafadz fasaahama maknanya adalah aqra’a (berundi). Adapun dalil dari as-sunnah adalah: 
Pertama, hadist dari Ibunda ‘Aisyah rah. Beliau berkata: 
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ , فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ 
Nabi saw jika hendak bepergian, beliau mengundi diantara istri-istinya, maka jika telah terpilih maka ia kebagian pergi bersama Rasul saw (HR.Bukhari, Muslim) 
Kedua, bahwa pernah ada seorang laki-laki menjelang kematiannya ingin membebaskan 6 budak yang dimilikinya. Padahal ia tidak memiliki harta selain 6 budak tersebut. Maka ia membebaskan dua budak dari keenam budak tersebut (sepertiganya) dengan cara melakukan undian (Tafsir Qurtubi, 15/125) 
Ketiga, bahwa ada dua orang lelaki yang mengadukan perkaranya kepada Nabi saw,yaitu masalah warisan berupa harta yang sudah tidak jelas lagi siapa yang berhak. Maka nabi memerintahkan keduanya untuk melakukan undian (Tafsir Qurtubi, 15/125). 

Undian dengan pengertian ini tidaklah terkategori judi, demikian pula tidak termasuk mengundi nasib (mausu’ah al fiqhiyyah al kuwaitiyyah, 5/88). Tidak termasuk judi karena memang tidak ada harta yang dipertaruhkan, sedang tidak termasuk dalam pengertian mengundi nasib karena pengertian mengundi nasib adalah:
الأزلام هي عيدان يستقسمون بها في الجاهلية لمعرفة الخير من الشر والربح من الخسارة ، ومثلها قرعة الأنبياء ، وخط الرمل ، والحساب بالمسبحة 
Al azlaam (mengundi nasib adalah) tongkat (anak panah) yang digunakan di masa jahiliyah untuk mengundi dengan tujuan mengetahui baik atau buruk, untung atau rugi. Atau dengan cara lain, seperti mengundi informasi, mengaris di pasir, dan menghitung biji tasbih (Aisaaru at-tafaasir, 1/374) 

Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. Orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. Setelah ditulis masing-masing yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. Bila mereka hendak melakukan sesuatu maka mereka meminta supaya juru kunci Ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. Kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, maka undian diulang sekali lagi (terjemah al qur’an Depag) 

Dari pengertian di atas jelas bahwa mengundi nasib adalah cara untuk mengetahui keadaan di masa depan atau perkara yang ghaib yang berdasarkan undian tersebut ditentukan pilihan perbuatan antara melakukan atau meninggalkan. Dengan kata lain teknis menentukannya memang dengan undian, hanya saja tujuannya adalah untuk menebak perkara yang ghaib yang dengan hasil tebakan tersebut ditentukan tindakan yang akan dilakukan. 

Kesimpulannya, undian bisa saja terjadi pada perkara yang halal seperti menentukan siapa istri yang diajak safar, menentukan siapa yang “menarik” duluan dalam arisan, siapa yang berhak mendapatkan door prize, termasuk undian untuk menentukan siapa yang berhak untuk mendapatkan hadiah yang tidak ada unsur taruhan seperti yang ditanyakan. Meski demikian terdapat undian yang haram jika dijadikan untuk menebak perkara yan ghaib yaitu al azlaam, atau undian yang dilakukan dalam taruhan judi. 

Wallahu ‘alam bi shawab 
Banjarmasin, 16 Sya’ban 1432 H/ 18 Juli 2011pukul 00.022 Wita 
Wahyudi Abu Syamil (08555362242)

MA’HAD TAQIYUDDIN AN NABHANI (MATAN) BANJARMASIN

Bergabunglah sebagai santri Pondok Pesantren Taqiyuddin an Nabhani (Ma’had Taqiyuddin an Nabhani/MATAN) Banjarmasin dengan program: 
1. Qiraatul Kutub: sebuah program aplikasi kaidah-kaidah nahwu dan shorof dengan menggunakan sampel kitab-kitab berbahasa arab seperti: nizdhomul Islam, at tafkir, asy syakhshiyyah Islamiyah juz II, an nizdomu as siyasiy ba’da hadmi daulatil khilafah, dll 
2. Dirosah Ushul fikih: program belajar kaidah-kaidah yang menjadi dasar penggalian hukum Islam (istinbathul ahkam). Kitab: taisiru al-wushuli ilal ushul karya al ‘aalim asy syaikh ‘atho ibnu Khalil 
3. Dirosah Mushtholahul hadist: sebuah program untuk mengkaji dasar-dasar ilmu hadist. Maroji’: Taisiru Musthalahil Hadist karya Mahmud Thahan 
4. Dirosah ‘Ulumul Qur’an: sebuah program untuk mengkaji ilmu-ilmu alquran. Maroji’: al manar fi ‘ulumil qur’an karya Syaikh Muhammad ‘Ali al Hasan 

Mulai belajar: Selasa, 13 September 2011 Waktu Belajar: setiap hari selasa dan jumat pukul 16.00 – 18.00 Wita 

Tempat: Shuffah Masjid Baitul Hikmah Unlam Banjarmasin 

Pengajar: Ustadz Wahyudi Ibnu Yusuf, M.Pd (Alumnus Ma’had Taqiyuddin An Nabhani Yogyakarta asuhan KH Muhammad Siddiq al Jawi, MSI) dan Ustadz Muhammad Abduh (Pengasuh Ma’had Baitul Hikmah Banjarmasin) 

Waktu pendaftaran: 22 Agustus – 10 September 2011 Pelaksanaan tes masuk: 11 September 2011 pukul 16.00 – 18.00 di shuffah Masjid Baitul Hikmah Unlam Banjarmasin 

Peserta: mahasiswa (i) atau pemuda (i) dengan rentang usia 18 – 30 tahun 

Pendaftaran via sms dengan cara ketik: Daftar_Nama_status (mahasiswa/umum). Contoh: Daftar_Yusuf_Mahasiswa, kirim ke Abu Syamil (08565372242) atau Abduh (087815782814)

Infaq bulanan: RP 20.000,-

Napak Tilas Jalan Kemuliaan: PROGRAM KURSUS BAHASA ARAB 50 JAM

Napak Tilas Jalan Kemuliaan: PROGRAM KURSUS BAHASA ARAB 50 JAM

PROGRAM KURSUS BAHASA ARAB 50 JAM

Bahasa arab adalah bahasa al qur’an, bahasa kebangkitan, bahasa resmi daulah Islam yang akan segera tegak, dan bahasa penduduk surga. Mempelajarinya fardhu ‘ain, karena hanya dengan bahasa arab al qur’an akan dapat dipahami dengan benar, kebangkitan akan segera terwujud, dan ijtihad untuk menjawab setiap persoalan kontemporer dalam tinjauan Syariat Islam dapat terlaksana. Maka sudah semestinya setiap muslim mencurahkan potensi yang dimilikinya untuk bersungguh-sungguh mempelajari bahasa arab. 

Program ini merupakan kursus singkat untuk memahami dan menguasai kaidah-kaidah dasar bahasa arab, khususnya nahwu dan shorof. Program ini akan dilanjutkan dalam program qiratul kutub yang dilaksanakan Ma’had Taqiyuddin an Nabhani (MATAN) Banjarmasin. Program qiratul kutub adalah tathbiq atau penerapan kaidah-kaidah nahwu dan shorof pada kitab-kitab berbahasa arab. Setiap alumni program 50 jam ini dapat mengikuti MATAN tanpa melalui proses tes seleksi 

Peserta: ikhwan dan akhwat dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum Kitab rujukan: terjemahan muyassar fi ‘ilmi an-nahwi karya ustadz A. Zakaria dan Ilmu Sharaf Praktis karya Ustadz Wahyudi Ibnu Yusuf Lama belajar: 50 jam yang dibagi dalam 25 pertemuan dengan durasi setiap pertemuan 2 jam Waktu belajar: pukul 06.00 – 08.00 wita pada tanggal 1-20 Ramadhan 1432 H Tempat belajar: shuffah masjid Baitul Hikmah Unlam Banjarmasin 

Kontribusi peserta: - Rp 100. 000 (fasilitas: buku terjemahan muyassar fi ‘ilmi an-nahwi, modul shorof, sertifikat/ syahadah, CD berisi: beberapa file kitab, file kamus arab-indonesia al munawwir, soft ware kamus arab-inggris-indonesia, dll) 

Nilai + program ini: 
  1. Menggunakan metode Quantum yang mudah dicerna dengan pengalaman mengajar 5 tahun 
  2. Program singkat namun menyeluruh sehingga peserta memiliki pemahaman yang utuh tentang nahwu dan shorof 
  3. Program lanjutan qiraatul kutub selama 1 tahun yang menjamin terjaganya suasana ‘arabiy dan aplikasi kaidah yang telah dipelajari 

Tempat Pendaftaran: Sekretariat LDK-Angkatan Muda Baitul Hikmah Unlam Banjarmasin dan Toko Buku Al Azhar Kayu Tangi mulai 21-30 Juli 2011 CP: Asbudi (0878815324282), Abu Syamil (08565372242) 

Pengajar: Wahyudi Ibnu Yusuf, M.Pd (Alumnus Ma’had Taqiyuddin an Nabhani Yogyakarta asuhan KH. Muhammad Siddiq al Jawi, MSI)

Sabtu, 16 Juli 2011

RISALAH SYA’BAN Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang amalan khusus di malam dan hari ke-15 di bulan sya’ban. Pangkal perbedaan disebabkan perbedaan pendapat tentang absahkah penggunaan hadist lemah (dhaif) untuk perkara targhib wa tarhib (motivasi dan ancaman). Mengenai pembahasan ini ulama hadist berselisih menjadi tiga pendapat, yaitu: Pendapat pertama Hadist lemah tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah aqidah, hukum-hukum syar’i, targhib wa tarhib, fadhilah ’amal (keutamaan amal) ataupun sekedar untuk kehati-hatian. Ini adalah pendapat Imam Yahya bin Ma’in, Abu Bakr ibnul Arabi, Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm, Abu Syamah, Syaukani, Shiddiq Hasan Khan. Dan pada zaman kita sekarang syaikh Ahmad Syakir, Imam al-Albani dan lainnya. Mereka berhujjah dengan tiga alasan, yaitu: pertama, bahwa masalah fadhilah amal itu sama dengan hukum halal dan haram karena semua itu adalah bagian dari syari’at Islam. kedua, hadist hasan dan shahih sudah cukup untuk beramal dalam agama sehingga tidak perlu hadist lemah. Ketiga, Hadist lemah hanya memberi faedah persangkaan yang lemah (dzan marjuh) padahal tidak boleh berhujjah dengan persangkaan yang lemah (lihat QS. An Najm [53]: 28). Pendapat kedua Hadist lemah bisa diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah penetapan halal, haram, wajib, sunnah, dan lainnya, akan tetapi harus memenuhi tiga syarat: 1. tidak ada hadist lain serta tidak ada fatwa sahabat dalam masalah ini 2. hadist itu tidak sangat lemah, karena hadist yang sangat lemah wajib ditinggalkan 3. tidak bertentangan dengan hadist lain Pendapat ini dinukil dari Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud dan Abu Hanifah. Dalil yang mereka gunakan adalah bahwa hadist lemah itu masih ada kemungkinan benar, apalagi jika tidak ada satupun yang menentangnya. Selain itu hadist tentu lebih utama ketimbang pendapat seseorang. Pendapat ketiga Hadist lemah bisa diamalkan dalam fadhilah amal, nasihat, kisah, targhib wa tarhib dan yang semisalnya. Adapun dalam masalah aqidah, hukum halal haram, wajib, sunnah dan yang semisalnya maka tidak sah menggunakn hadist lemah. Menurut Imam an Nawawi inilah pendapat jumhur ulama (lihat al Adzkar hlm. 5) Di anatara yang berpendapat demikian ini adalah Imam Ahmad, Ibnu Ma’in Ibnu Mubarak, ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Ibnu Sayyidin Nas, al-Iraqi, as-Sakhawi, Zakariya al –Anshary, as-Syuyithi, Ali al-Qari, al Khatib al-Bagdhadi dan lainnya. Ibnu Hajar as-Qalani termasuk yang yang membolehkan berhujjah dengan hadist dhaif dengan beberapa syarat, yaitu: 1. Hadist itu lemahnya ringan, bukan yang berat. 2. Hadist tersebut harus selaras dengan keumuman sebuah hadist lain yang shahih 3. Saat mengamalkan hadist itu harus meyakini bahwa hadis itu lemah dan tidak shahih dari rasul saw. Sehingga mengamalkannya sekedar untuk kehati-hatian. Adapun dalil yang digunakan untuk menguatkan pendapat ketiga ini adalah: Dalil pertama: Dari Jabir bin Abdillahdari Rasulullah saw bersabda: ” Barang siapa yang sampai kepadanya kabar dari Allah tentang sebuah keutamaan lalu dia mengimaninya dengan mengharapkan pahalanya, maka Allah akan memberinya pahala, meskipun sebenarnya bukan demikian (diriwayatkan oleh Hasan bin Arafah1/100, al-Khatib al Baghdadi dalam tarikh al Baghdadi 8/296) Dalil kedua: Diriwayatkan dari Rasulullah saw: ”Barang siap yang sampai kepadanya kabar dari Allah tentang sebuah keutamaan, lalu ia mengambilnya maka Allah akan memberikannya, meskipun yang menceritakan hadist itu adalah seorang pendusta (Diriwayatkan olehn Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi 1/22, al Baghawi 4/1, Ibnu Asyajir dalam at-Tajrid 4/2) Inilah kiranya peta perbedaan di kalanagn ulama hadist. Adapun pembahasan keutamaan bulan sya’ban dan keutamaan shalat dan berpuasa padanya akan banyak berkutat seputar status hadist lemah ini. Berikut penjelasanya. Dalil Tentang Keutamaan Bulan Sya'ban dan Khususnya Nisfu Sya'ban Dalil-dalil yang diperselisihkan oleh para ulama tentang level keshahihannya itu antara lain adalah hadits-hadits berikut ini: "إن الله عز وجل ينزل إلى السماء الدنيا ليلة النصف من شعبان فيغفر لأكثر من شَعْرِ غَنَمِ بني كلب، وهي قبيلة فيها غنم كثير"رواه أحمد والطبراني.وقال الترمذي: إن البخاري ضعفه Sesungguhnya Allah 'Azza Wajalla turun ke langit dunia pada malam nisfu sya'ban dan mengampuni lebih banyak dari jumlah bulu pada kambing Bani Kalb (salah satu kabilah yang punya banyak kambing). (HR At-Tabarani dan Ahmad) Namun Al-Imam At-Tirmizy menyatakan bahwa riwayat ini didhaifkan oleh Al-Bukhari. Selain hadits di atas, juga ada hadits lainnya yang meski tidak sampai derajat shahih, namun oleh para ulama diterima juga. عائشة ـ رضي الله عنها ـ قام رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ من الليل فصلى فأطال السجود حتى ظننت أنه قد قُبِضَ، فَلَمَّا رفع رأسه من السجود وفرغ من صلاته قال, "يا عائشة ـ أو يا حُميراء ـ ظننت أن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ قد خَاسَ بك"؟ أي لم يعطك حقك. قلت: لا والله يا رسول الله ولكن ظننت أنك قد قبضتَ لطول سجودك، فقال, "أَتَدْرِينَ أَيُّ ليلة هذه"؟ قلت: الله ورسوله أعلم، قال "هذه ليلة النصف من شعبان، إن الله عز وجل يطلع على عباده ليلة النصف من شعبان، فيغفر للمستغفرين ، ويرحم المسترحِمِينَ، ويُؤخر أهل الحقد كما هم" رواه البيهقي Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata bahwa Rasulullah SAW bangun pada malam dan melakukan shalat serta memperlama sujud, sehingga aku menyangka beliau telah diambil. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan selesai dari shalatnya, beliau berkata, "Wahai Asiyah, (atau Wahai Humaira'), apakah kamu menyangka bahwa Rasulullah tidak memberikan hakmu kepadamu?" Aku menjawab, "Tidak ya Rasulallah, namun Aku menyangka bahwa Anda telah dipanggil Allah karena sujud Anda lama sekali." Rasulullah SAW bersabda, "Tahukah kamu malam apa ini?" Aku menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau bersabda, "Ini adalah malam nisfu sya'ban (pertengahan bulan sya'ban). Dan Allah muncul kepada hamba-hamba-Nya di malam nisfu sya'ban dan mengampuni orang yang minta ampun, mengasihi orang yang minta dikasihi, namun menunda orang yang hasud sebagaimana perilaku mereka." (HR Al-Baihaqi) Al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini lewat jalur Al-'Alaa' bin Al-Harits dan menyatakan bahwa hadits ini mursal jayyid. Hal itu karena Al-'Alaa' tidak mendengar langsung dari Aisyah ra. Ditambah lagi dengan satu hadits yang menyebutkan bahwa pada bulan Sya'ban amal-amal manusia dilaporkan ke langit. Namun hadits ini tidak secara spesifik menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada malam nisfu sya'ban. روى النسائي عن أسامة بن زيد ـ رضي الله عنهما ـ أنه سأل النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ بقوله: لم أَرَكَ تصوم من شهر من الشهور، ما تصوم من شعبان قال "ذاك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان، وهو شهر تُرفع فيه الأعمال إلى رب العالمين، وأحب أن يُرفع علمي وأنا صائم Dari Usamah bin Zaid ra bahwa beliau bertanya kepada nabi SAW, "Saya tidak melihat Anda berpuasa (sunnah) lebih banyak dari bulan Sya'ban." Beliau menjawab, "Bulan sya'ban adalah bulan yang sering dilupakan orang dan terdapat di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan itu adalah bulan diangkatnya amal-amal kepada rabbul-alamin. Aku senang bila amalku diangkat sedangkan aku dalam keadaan berpuasa." (HR An-Nasai) Dari tiga hadits di atas, kita bisa menerima sebuah gambaran para para ahli hadits memang berbeda pendapat. Dan apakah kita bisa menerima sebuah riwayat yang dhaif, juga menjadi ajang perbedaan pendapat lagi. Sebab sebagian ulama membolehkan kita menggunakan hadits dhaif (asal tidak parah), khususnya untuk masalah fadhailul a'mal, bukan masalah aqidah dan hukum halal dan haram. Anggaplah kita meminjam pendapat yang menerima hadits-hadits di atas, maka kita akan mendapati bahwa memang ada kekhususan di bulan sya'ban khususnya malam nisfu sya'ban. Di antaranya adalah Allah SWT mengampuni dosa-dosa yang minta ampun. Dan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat di malam itu dan memperlama shalatnya. Dan bahwa bulan Sya'ban adalah bulan diangkatnya amal-amal manusia. Namun semua dalil di atas belum sampai kepada bagaimana bentuk teknis untuk mengisi malam nisfu sya'ban itu. Ritual Khusus Malam Nisfu Sya'ban Yang menjadi pertanyaan, adakah anjuran untuk berkumpul di masjid-masjid membaca doa-doa khusus di malam itu? Dan sudahkah hal itu dilakukan di zaman nabi SAW? Ataukah ada ulama di masa lalu yang melakukannya di masjid-masjid sebagaimana yang sering kita saksikan sekarang ini? Anjuran untuk berkumpul di malam nisfu sya'ban memang ada, namun dari segi dalilnya, apakah terkoneksi hingga Rasulullah SAW, para ulama umumnya menilai bahwa dalil-dalil itu dhaif. Di antaranya hadits berikut ini: عن علي ـ رضي الله عنه ـ مرفوعًا ـ أي إلى النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ "إذا كانت ليلة النصف من شعبان فقوموا لَيْلَهَا وصُوموا نهارها، فإن الله تعالى ينزل فيها لغروب الشمس إلى السماء الدنيا فيقول: ألا مستغفر فأغفر له،ألا مسترزق فأرزقه، ألا مُبْلًى فأعافيه، ألا كذا ألا كذا حتى يطلع الفجر."ابن ماجة في سننه بإسناد ضعيف Dari Ali bin Abi Thalib secara marfu' bahwa Rasululah SAW bersabda, "Bila datang malam nisfu sya'ban, maka bangunlah pada malamnya dan berpuasalah siangnya. Sesungguhnya Allah SWT turun pada malam itu sejak terbenamnya matahari ke langit dunia dan berkata, "Adakah orang yang minta ampun, Aku akan mengampuninya. Adakah yang minta rizki, Aku akan memberinya riki.Adakah orang sakit, maka Aku akan menyembuhkannya, hingga terbit fajar. (HR Ibnu Majah dengan sanad yang dhaif) Sedangkan pemandangan yang seperti yang kita lihat sekarang ini di mana manusia berkumpul untuk berdzikir dan berdoa khusus di malam nisfu sya'ban di masjid-masjid, belum kita temui di zaman Rasulullah SAW maupun di zaman shahabat. Kita baru menemukannya di zaman tabi'in, satu lapis generasi setelah generasi para shahabat. Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa para tabiin di negeri Syam seperti Khalid bin Mi'dan dan Makhul telah ber-juhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nisfu sya'ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan. Namun disebutkan terdapat kisah-kisah Israiliyat dari mereka. Sehingga hal itu diingkari oleh para ulama lainnya, terutama ulama dari hijaz, seperti Atho' bin Abi Mulkiyah, termasuk para ulama Malikiyah yang mengatakan bahwa hal itu bid'ah. Al-Qasthalany kemudian meneruskan di dalam kitabnya bahwa para ulama Syam berbeda pendapat dalam bentuk teknis ibadah di malam nisfu sya'ban. 1. Bentuk Pertama Dilakukan di malam hari di masjid secara berjamaah. Ini adalah pandangan Khalid bin Mi'dan, Luqman bin 'Amir. Dianjurkan pada malam itu untuk mengenakan pakaian yang paling baik, memakai harum-haruman, memakai celak mata (kuhl), serta menghabiskan malam itu untuk beribadah di masjid. Praktek seperti ini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih dan beliau berkomentar tentang hal ini, "Amal seperti ini bukan bid'ah." Dan pendapat beliau ini dinukil oleh Harb Al-Karamani dalam kitabnya. 2. Bentuk kedua Pendapat ini didukung oleh Al-Auza'i dan para ulama Syam umumnya. Bentuknya bagi mereka cukup dikerjakan saja sendiri-sendiri di rumah atau di mana pun. Namun tidak perlu dengan pengerahan masa di masjid baik dengan doa, dzikir maupun istighfar. Mereka memandang hal itu sebagai sesuatu yang tidak dianjurkan. Jadi di pihak yang mendukung adanya ritual ibadah khusus di malam nisfu sya'ban itu pun berkembang dua pendapat lagi. Al-Imam An-Nawawi Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, seorang ahli fiqih kondang bermazhab Syafi'i yang punya banyak karya besar dan kitabnya dibaca oleh seluruh pesantren di dunia Islam (di antaranya kitab Riyadhusshalihin, arba'in an-nawawiyah, al-majmu'), punya pendapat menarik tentang ritual khusus di malam nisfu sya'ban. Beliau berkata bahwa shalat satu bentuk ritual yang bid'ah di malam itu adalah shalat 100 rakaat, hukumnya adalah bid'ah. Sama dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak dilakukan di bulan Rajab, juga shalat bid'ah. Keduanya tidak ada dalilnya dari Rasulullah SAW. Beliau mengingatkan untuk tidak terkecoh dengan dalil-dalil dan anjuran baik yang ada di dalam kitab Ihya' Ulumiddin karya Al-Ghazali, atau kitab Quut Al-Qulub karya Abu Talib Al-Makki. Ustadz 'Athiyah Shaqr Beliau adalah kepala Lajnah Fatwa di Al-Azhar Mesir di masa lalu. Dalam pendapatnya beliau mengatakan bahwa tidak mengapa bila kita melakukan shalat sunnah di malam nisfu sya'ban antara Maghrib dan Isya' demi untuk bertaqarrub kepada Allah. Karena hal itu termasuk kebaikan. Demikian juga dengan ibadah sunnah lainnya sepanjang malam itu, dengan berdoa, meminta ampun kepada Alla. Semua itu memang dianjurkan. Namun lafadz doa panjang umur dan sejenisnya, semua itu tidak ada sumbernya dari Rasulullah SAW. Dr. Yusuf al-Qaradawi Ulama yang sering dijadikan rujukan oleh para aktifis dakwah berpendapat tentang ritual di malam nasfu sya'ban bahwa tidak pernah diriwayatkan dari Nabi SAW dan para sahabat bahwa mereka berkumpul di masjid untuk menghidupkan malam nisfu Sya'ban, membaca doa tertentu dan shalat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam. Juga tidak ada riwayat untuk membaca surah Yasin, shalat dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in). Pendapat syaikh Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah Bahwa memperbanyak puasa di bulan sya’ban adalah bagian dari sunnah nabi. Baik itu diseparuh awal maupun separoh akhir bulan sya’ban. Hal ini karena banyaknya hadist yang menjelaskan keutamaan berpuasa di bulan sya’ban. Antara lain hadist dari Usamah bin Zaid di atas. Sekaligus beliau membantah pendapat yang menyatakan haramnya berpuasa di paruh kedua dari bulan sya’ban. Dari Abu Hurairah dia berkata: “telah bersabda Nabi saw: { إذا كان النصف من شعبان فلا صومَ حتى يجيء رمضان } Separuh dari bulan sya’ban maka tidak ada puasa hingga bertemu bulan ramadhan ( HR. Ibnu Majah, An Nasa’I, Abu dawud, Tarmidzi, Ibnu Hibban, Ahmad, ad Darimi). Ibnu Hazm, Tarmidzi dan Ibnu Abdil Bar menshahihkannya. Hadist ini hanya melalui satu jalur periwatatan yaitu ‘Ila bin Abduuraahman. Tentang ‘Ila bin Abduuraahman, Ibnu ma’in menggapnya lemah, demikian juga al Baihaqi, ath-Thahawi dan Abdurrahman bin Muhdi. Imam Ahmad dan Yahya bin Ma’in bahkan menyebutnya sebagai hadist yang munkar. Selain itu hadist ini juga bertentangan dengan hadist yang shahih tentang banyaknya frekuensi puasa nabi di bulan sya’ban. Hadist yang dimaksud adalah: Dari Ibunda Aisyah RA, beliau berkata: “ Rasulullah saw.berpuasa hingga kami mengatakan beliau tidak meninggalkan puasa , dan beliau tidak berpuasa hingga kami mengatakan belaiu tidak akan berpuasa. Aku tidak pernah melihat Rasuullah saw menyempurnakan puasa satu bulan penuh selain puasa ramadhan, dan aku tidak melihat beliau lebih banayk berpuasa daripada –bulan ramadhan selain- bulan sya’ban (HR Bukhari no. 1969) Dari Abu Salamah bahwa Aisyah RA menceritakan kepadanya, dia berkata: “ Nabi saw tidak pernah berpuasa (sunnah) pada bulan melebihi bulan sya’ban , bahkan beliau biasa berpuasa penuh di bulan sya’ban. Beliau bersabda: “ Kerjakanlah amal-amal apapun yang kalian mampu, sesungguhnya Allah tidak bosan hingga kalian bosan’ ……….. (HR. Bukhari no. 1970). Kesimpulan akhir Memperbanyak puasa di bulan sya’ban hukumnya sunnah, termasuk di tanggal 15 sya’ban dengan bersandar pada hadist-hadist yang shahih di atas, tanpa mengkhususkan puasa di tanggal 15 Sya’ban. Wallahu ’alam Banjarmasin, 21 Agustus 2008 Al Faqir ilaLLAH Wahyudi Ibnu Yusuf

Senin, 11 Juli 2011


Hukum Mengkreasikan Doa Qunut Nazilah
Padahal tidak Ada Contohnya dari Nabi saw
Apakah kita boleh berdoa qunut nazilah dengan doa (yang redaksinya, penj) tidak dicontohkan Nabi saw, yakni dengan doa yang tidak ma’tsur. Tetapi kita mengkreasikannya sendiri, misalnya: Ya Allah laknatlah Islam karimov dan tentara-tentaranya(اللهم العن إسلام كريموف وجنوده)?. Apakah doa semacam ini bertentangan dengan sabda nabi saw:
إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء من كلام الناس إنما هي التسبيح والتكبيروقراءة القرآن
Sesungguhnya shalat ini tidak pantas didalamnya ada perkataan manusia. Shalat hanyalah berisi tasbih, takbir, dan bacaan al qur’an. HR. Ahmad, Muslim, an Nasaai, dan Abu Dawud?
Jawab
Boleh bagi siapa saja yang berdoa dalam shalat fardhu dengan qunut nazilah (yang redaksinya, penj) tidak dicontohkan Nabi saw, yakni berdoa dengan doa yang tidak ma’tsur dengan syarat doa tersebut tidak bertentangan dengan doa-doa yang ma’tsur. Dalilnya adalah hadist Rifa’ah bin wafi’, ia berkata: Aku shalat di belakang Rasulullah saw, kemudian aku bersin dan mengucapkan, "ALHAMDULILAAHI HAMDAN KATSIRAN THAYYIBAN MUBARAKAN FIHI, MUBARAKAN 'ALAIHI KAMA YUHIBBU RABBUNA WA YARDLA (Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik, diberkahi di dalamnya serta diberkahi di atasnya, sebagimana Rabb kami senang dan ridla)." Maka ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selesai shalat, beliau berpaling ke arah kami seraya bersabda: "Siapa yang berbicara waktu shalat?" tidak ada seorang pun yang menjawab, beliau lalu bertanya lagi untuk yang kedua kalinya; "Siapa yang berbicara dalam shalat?" tidak ada seorang pun yang menjawab, beliau lalu bertanya untuk yang ketiga kalinya: "Siapa yang berbicara waktu shalat?" maka Rifa'ah bin Rafi' menjawab, "Saya wahai Rasulullah, Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh ada tiga puluh lebih malaikat saling berebut untuk membawa naik kalimat tersebut." (HR. An Nasaai dan at Tirmidzi, Shahih)
Mengomentari hadist ini Imam Syaukani rahimahullahu ta’ala menyatakan: “hadist ini dalil yang menunjukkan bolehnya mengkreasikan dzikir/doa dalam shalat, meskipun dzikir/doa tersebut tidak ma’tsur, dengan syarat jika dzikir/doa tersebut tidak bertentangan/menyelisihi yang ma’tsur (Nailul authar hal. 472. Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2000)
Oleh karena itulah maka seorang mushalli (orang yang shalat) yang berdoa dengan qunut nazilah padahal redaksinya tidak dicontohkan Nabi saw, dengan kata lain dengan doa yang tidak ma’tsur hukumnya boleh (laa syaia fiih). Akan tetapi kebolehan ini sebatas doa yang tidak bertentangan doa-doa yang ma’tsur, karena terdapat larangan berdoa dengan doa yang bertentangan dengan doa yang ma’tsur. Dari Abu Hurairah dia berkata: "Rasulullah Shalallah 'Alaihi Wa Sallam berdiri untuk shalat dan kami ikut berdiri dengannya, lalu ada seorang Badui yang berbicara dalam shalat; 'Ya Allah, kasihanilah aku dan Muhammad, janganlah Engkau kasihani seorangpun bersama kami! ' Setelah Rasulullah Shalallah 'Alaihi Wa Sallam mengucapkan salam, beliau bersabda kepada orang Badui tersebut: 'Engkau telah menyempitkan sesuatu yang luas! ' Maksudnya adalah rahmat Allah Azza wa Jalla." (HR. Ahmad, Bukhari, abu Dawud an Nasaai)
Dalam hadist ini terdapat larangan berdoa yang bertentangan dengan yang ma’tsur, karena jelas bahwa rahmat Allah itu luas meliputi segala sesuatu dan tidak boleh seorangpun mempersempit apa saja yang Allah telah meluaskannya dan mengkhususkan dengan doa tersebut dirinya saja dan tidak mencakup saudaranya yang muslim.
Adapun sabda Nabi saw “Sesungguhnya shalat ini tidak pantas didalamnya ada perkataan manusia. Shalat hanyalah berisi tasbih, takbir, dan bacaan al qur’an”. Hadist ini menunjukkan mafhum mukhalafah (makna kebalikan) tentang larangan berbicara/ucapan dalam shalat selain tiga hal ini (tasbih, takbir, dan bacaan al quran). Akan tetapi pemahaman ini tidak berlaku karena ada nash-nash yang menggugurkannya, diantara nash-nash ini adalah apa yang telah kami paparkan sebelumnya dari hadist Rifa’ah bin wafi’ dan lainnya. Sementara kaidah ushul menyatakan:
لا يعمل بمفهوم المخالفة إذا ورد نص من الكتاب والسنة يعطله
Mafhum mukhalafah tidak berlaku jika terdapat nash baik dari al qur’an dan as sunnah yang menggugurkannya (Taqiyuddin an Nabhani, Asy Syakhshiyyah Islamiyyah 3/200)
Berdasarkan pemaparan di atas jelaslah, bahwa mengkreasikan doa qunut nazilah dalam shalat fardhu dengan (redaksi) yang tidak dicontohkan Nabi saw tetap dalam kebolehannya dengan syarat tidak bertentangan dengan doa yang ma’tsur. Wallahu a’lam.
8 Juli 2011 bertepatan dengan 6 Sya’ban 1432H
KH. Muhammad Siddiq al Jawi
Penerjemah: Wahyudi Abu Syamil Ramadhan