Senin, 07 Desember 2009

Melanggar Sumpah dan Kafaratnya

Melanggar Sumpah dan Kafaratnya

Tulisan atas pertanyaan akh Faisal dari Banjarmasin

Untuk memahami saat kapan kita melanggar sumpah maka harus difahami terlebih dahulu pengertian sumpah, sahnya sumpah dan pelanggaran sumpah.

Definisi Sumpah

Mengenai pengertian (ta’rif) sumpah. Sumpah (aiman) --huruf hamzah diharakati fathah-- adalah bentuk jama’ dari yamin. Menurut bahasa, kata yamin asal artinya yad ‘tangan’. Kemudian digunakan untuk arti sumpah, karena kebiasaan orang Arab manakala bersumpah masing-masing dari mereka memegang tangan kanan rekannya.

Sedangkan menurut pengertian secara syar’i, kata yamin adalah menguatkan sesuatu dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya.

Sahnya sumpah

1. Menyebut lafadz Allah, atau salah satu nama-Nya, ataupun salah satu sifat-Nya.

Sumpah dianggap sah bila dengan menyebut lafadz Allah, atau salah satu nama-Nya, ataupun salah satu sifat-Nya. Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah saw pernah menjumpai Umar bin Khattab yang sedang bepergian di tengah kafilah bersumpah dengan (menyebut nama) bapaknya, lantas Beliau bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan (menyebut nama) bapak kalian; barangsiapa yang bersumpah, maka bersumpahlah dengan (menyebut nama) Allah, atau diamlah!” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XI: 530 no: 6646, Muslim III: 1267 no: 3 dan 1646, ’Aunul Ma’bud IX: 77 no: 3233 dan Tirmidzi III: 45 no: 1573).

Bahkan dipandang sebagai kesyirikan bila seseorang bersumpah dengan selain lafadz Allah. Dari Ibnu Umar ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan (menyebut nama) selain Allah, maka sungguh ia telah kafir atau musyrik.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 6204 dan Tirmidzi III: 45 no: 1574).

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian be, lalu didalam sumpahnya ia mengatakan, Demi Latta, maka hendaklah ia menyebut, LAA ILAAHA ILLALLAH. Dan barangsiapa berkata kepada rekannya, ’Mari kita main judi’, maka hendaklah ia bershadaqah.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1267 no: 1647, Nasa’i VII: 7, ’Aunul Ma’bud IX: 74 no: 3231 dengan tambahan ”FAL YATASHADDAQ BI SYAI-IN” (Maka hendaklah ia bershadaqah sesuatu), dan Fathul Bari XI: 536 no: 6650 dengan tambahan BILLAATA WAL ’UZZA (=dengan (menyebut nama) Latta dan ’Uzza).

Sebagian orang ada yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah dengan dalih karena mereka khawatir berdusta dan merujuk pada firman-Nya:

“Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allahdalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan.” (QS al-Baqarah: 224).

Jawaban atas syubhat ini ialah sebagaimana yang tertuang dalam riwayat berikut.

Dari Mis’ar bin Kidam dari Wabirah bin Abdurrahman bahwa Abdullah berkata, “Sesungguhnya saya bersumpah palsu dengan (menyebut nama) Allah lebih kusukai dari pada saya bersumpah secara jujur (dengan menyebut nama selain-Nya).” (ath-Thabrani dalam al-Kabir IX: 205 no: 8902).

Adapun ayat al-Baqarah itu, maknanya adalah sebagaimana yang diketengahkan Ibnu Katsir rahimahullah dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, ”Janganlah sekali-kali kamu memposisikan sumpahmu sebagai penghalang agar kamu tidak berbuat kebajikan. Akan tetapi bayarlah kafarat untuk menebus sumpahmu, kemudian kerjakanlah kebajikan.”

Ibnu Katsir menulis, ”Masruq, asy-Sya’bi, Ibrahim, an-Nakha’i, Mujahid, Thawus, Sa’id bin Jubair, Athaa’, Ikrimah, Makhul, Az-Zuhri, Hasan al-Bashri, Qatadah, Muqatil bin Hayyan, Rubayyi’ bin Anas, adh-Dhahhak, Atha’ al-Khurasan dan as-Sudi rahimahumullah memiliki penafsiran yang sama dengan Ibnu Abbas.” Selesai (Tafsir Ibnu Katsir I: 266).

2. Adanya kehendak dan keridhan yang bersumpah

Barangsiapa bersumpah untuk melakukan sesuatu, lalu yang diucapkan berlainan dengan yang diniatkan, maka yang teranggap adalah yang diniatkan, bukan yang diucapkan.

Dari Suwaid bin Hanzhalah ra, ia bercerita, ”Kami keluar hendak menemani Rasulullah saw bersama Wail bin Hujr ra, lalu ia ditahan oleh musuhnya. Kemudian para sahabat keberatan untuk mengucapkan sumpah, lalu saya mengucapkan sumpah bahwa ia (Wail) adalah saudaraku, lalu ia dilepaskan. Kemudian, kami datang menemui Rasulullah saw, lalu saya informasikan kepada Beliau bahwa para shahabat merasa keberatan untuk bersumpah, lalu saya bersumpah bahwa ia (Wail) adalah saudaraku.” Maka Rasulullah bersabda, ”Engkau benar, seorang muslim adalah saudara muslim yang lain.” (Shahih, Shahih Ibnu Majah no: 1722, Ibnu Majah I: 685 no: 2119 dan ’Aunul Ma’bud IX: 82 no: 3239).

Niat seorang yang bersumpah hanyalah akan dianggap jika ia tidak dimintai untuk bersumpah. Adapun jika ia diminta untuk bersumpah maka sumpah itu tergantung pada niat orang yang meminta sumpah.

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya sumpah itu hanya bergantung pada niat orang yang meminta sumpah.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1723, Ibnu Majah I: 685 no: 2120, Muslim LXXIII: 1274 no: 21 dan 1653 tanpa kata INNAMAA).

Darinya (Abu Hurairah) ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “sumpahmu bergantung pada apa yang dibenarkan oleh rekanmu.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah: no: 1724, Muslim III: 1274 no: 1653, Ibnu Majah I: 686 no: 2121, ‘Aunul Ma’bud IX: 80 no: 3238 dan Tirmidzi II: 404 no: 1365).

3. Tidak termasuk Al-Yaminul Laghwi

Al-Yaminul Laghwi ialah ungkapan sumpah yang tidak dimaksudkan sebagai sumpah, sekedar pemanis kalimat. Misalnya, orang Arab biasa mengatakan, “WALLAHI LATA'KULANNA” artinya “Demi Allah kamu benar-benar harus makan”, atau ‘WALLAHI LATASYRABANNA’ artinya “Demi Allah kamu benar-benar mesti minum”, dan semisalnya yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah.

Sumpah seperti ini tidak teranggap dan tidak mempunyai akibat hukum, sehingga si pengucap sumpah ini tidak terbebani hukum apa-apa.

Allah swt berfirman:

“Allah tidak akan menghukm kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah: 225).

Allah swt berfirman lagi:

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maidah: 89).

Dari Aisyah ra (tentang firman Allah), “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah)”, ia berkata, ”Ayat ini turun pada perkataan orang Arab: LAA WALLAAHI, WA BALAA WALLAAHI (=tidak, demi Allah, dan tentu, demi Allah).” (Shahih Abu Daud no: 2789 dan Fathul Bari XI: 547 no: 6663).

Demikianlah beberapa syarat sahnya sumpah. Yaitu harus diucapkan dengan lafadz Allah, Asma atau sifatnya, ada unsur kesngajaan dan keridhaan dan bukan terkategori sumpah sia-sia.

Saat kapan seseorang dianggap telah melanggar sumpahnya

Saat seseorang dengan sengaja mengucapkan bahwa dirinya menyelisi sumpahnya. Misalnya sebelumnya dia bersumpah untuk berjuang bersungguh-sunguh bersama harakah tertentu, taat pada keputusan amirnya dst. Namun dikemudian hari dia menyelisihi sumpahnya tersebut dan berpindah pada harakah lain. Maka saat itu dia telah dinilai melanggar sumpahnya.

Sedangkan pelanggaran yang dilakukan karena lupa atau karena keliru, maka ia tidak dianggap melanggar nya. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt.

“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.” (QS al-Baqarah: 286).

Diangkat pena dari ummatku kesalahan yang dilakukan karena keliru, lupa dan apa saja yang dia dipaksa atasnya (HR Bukhari)

Selain itu. Siapa saja yang bersumpah, lalu mengucapkan “INSYA ALLAH”, berarti ia telah melakukan pengecualian, dan tidak dianggap melanggarnya bila ia menyalahinya:

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw, Beliau bersabda: Nabiyullah Sulaiman bin Dawud berkata, “(Demi Allah), saya benar-benar akan menggilir tujuh puluh isteri pada malam ini, yang kesemuanya akan melahirkan seorang anak yang akan berperang di jalan Allah.” Kemudian rekannya atau seorang malaikat berkata (kepadanya), “Ucapkanlah, INSYA ALLAH (Jika Allah menghendaki).” Namun dia tidak mengucapkannya dan ia lupa, maka tidak seorangpun di antara isteri-isterinya yang melahirkan seorang anak kecuali satu orang yang melahirkan seorang anak yang cacat. Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Andaikata dia mengucapkan INSYA ALLAH, maka ia tidak (dianggap) melanggar sumpahnya, dan ia pasti akan memperoleh hajat (permohonan)nya.” (Muttafaqun’alaih: Muslim III: 1275 no: 23 dan 1654 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari XI: 534 no: 6639 dan Nasa’i VII: 25).

Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa bersumpahdan mengucapkan pengecualian (insya Allah), maka jika ia mau boleh merujuk sumpahnya, dan jika ia mau tinggalkan tanpa (dianggap) melanggar sumpahnya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1711, Ibnu Majah I: 680 no: 2105, ‘Aunal Ma’bud IX: 88 no: 3245, dan Nasa’i VII: 12).

Sebagai tambahan barang siapa melihat sesutu yang lebih baik. Maka dianjurkan baginya untuk mengambil yang lebih baik walapun dengan melanggar sumpahnya. Tentu dengan membayat kafarat (penebus). Misalnya seseorang yang menjadi anggota harakah tertentu ternyata dia melihat ada haraokah yang lebih baik. Baik dalam arti lebih dekat pada manhaj nabi maka wajib baginya berpindah pada harokah tersebut (Nasyrah qosam)

Adapun daliilnya adalah. Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mengucapkan suatu sumpah lalu dia melihat selainnya lebih baik daripada ia, maka hendaklah dia mengerjakan yang lebih baik itu, dan hendaklah dia menahan sumpahnya dengan membayar kafarah!” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2004, Muslim III: 1272 no: 13 dan 1650 dan Tirmidzi III: 43 no: 1569).

Kafarat Sumpah

Barangsiapa yang melanggar sumpahnya, maka kafarahnya salah satu dari tiga alternatif ini:

1. Memberi makan sepuluh orang miskin makanan yang biasanya kita berikan kepada keluarga kita.

2. Atau memberi pakaian kepada mereka.

3. Atau memerdekakan seorang budak.

Kemudian barangsiapa tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga alternatif di atas, maka kafarahnya harus berpuasa tiga hari. Tidak boleh membayar kafarah dengan jalan berpuasa selagi mampu melaksanakan salah satu dari tiga alternatif itu.

Allah swt berfirman:

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarah (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian itu, maka kafarahnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarah sumpah-sumpahmu, bila kamu bersumpah (lalu kamu melanggar).” (QS al-Maa-idah: 89).

Bersumpah untuk meninggalkan yang mubah

Barangsiapa mengatakan, ”Makananku haram atas diriku,” atau, ”Haram atas diriku masuk ke dalam rumah si Fulan,” “aku sersimpah atas nama Allah tidak akan merokok lagi” “aku bersumpah atas nama Allah untuk tidak nonton PS lagi” dan semisalnya yang sejatinya termasuk perbuatan yang tidak diharamkan Allah atasnya, maka jika ia melanggar sumpah termaksud ia harus membayar kafarah sumpah:

Allah swt berfirman:

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekali membebaskan diri dari sumpahmu.” (QS at-Tahriim: 1-2).

Dari Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw pernah meneguk madu di (rumah) Zainab binti Jahsy (salah satu isterinya) dan tinggal (beberapa hari) bersamanya, kemudian saya dan Hafshah sepakat, (jika) Rasulullah saw masuk ke rumah siapa saja di antara kami berdua, maka hendaklah dia (juga) bertanya kepada Beliau, ”Apakah engkau sudah makan getah pohon? Karena sesungguhnya aku mencium getah pohon padamu.” Maka jawab Beliau, ”Tidak, namun saya hanya minum madu di rumah Zainab binti Jahsy, maka aku tidak akan minum lagi dan sungguh aku telah bersumpah janganlah engkau menceritakan hal ini kepada siapapun.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 3553 dan Fathul Bari VIII: 656 no: 4912).

Maka saran saya kita tidak perlu menjerumuskan diri dalam kesulitan dengan hal-hal yang demikian. Cukup ada komitmen dalam diri untuk mengurangi perbuatan mubah yang sia-sia. Tanpa harus bersumpah. Wallahu ‘alam

Yogyakarta, 8 Desember 2009

Abu Syamil Ramadhan; dari sarikan dari beberapa referensi terutama tulisan ustadz Fadly dari www.alislamu.com

Tidak ada komentar: