BILANGAN YANG MENGHASILKAN ILMU (MUTAWATIR)
Telah terjadi perbedaan
pendapat—diantara para ulama'--dalam menentukan jumlah terkecil yang
menghasilkan ilmu, sebagian mereka menyatakan jumlah minimal lima, yang lain
menyatakan bahwa jumlah minimal dua belas, sebagian yang lain menyatakan jumlah
minimal dua puluh, sebagian yang lain lagi empatpuluh bahkan sebagian yang lain
lagi tujuhpuluh, yang lain lagi tigaratus tiga belas dst… Inilah pendapat secara keseluruhan, dan semua
pendapat yang menyatakan jumlah tertentu tersebut sama sekali tidak ada
pijakannya baik dari dalil naqli maupun aqli, karena memang tidak ada nash yang
menentukan jumlah tertentu, dan akal juga tidak menentukan jumlah tertentu.
Yang diperhatikan dalam khabar
mutawattir adalah dihasilkannya ilmu yang bersifat yakin dan bukan riwayat pada
bilangan tertentu, maka bersamaan dengan bilangan tersebut ada indicator yang
menunjukkan kekuatan serta lemahnya suatu berita. Kadangkala suatu berita diriwayatkan oleh sejumlah
bilangan tertentu yang riwayat mereka tidak menghasilkan ilmu yang bersifat
yakin. Kadangkala berita tersebut
diriwayatkan oleh jama’ah yang lain yang bilangan mereka tertentu sebagaimana bilangan yang pertama dan
menghasilkan ilmu yang bersifat yakin dengan periwayatan mereka, karena
perbedaan pandangan terhadap khabar adalah seiring dengan perbedaan
indikatornya, meski dari segi jumlah sama. Karena itu, maka hadits
mutawattir yang menghasilkan ilmu harus diriwayatkan oleh jama’ah, bukan
bilangan tertentu, dan hendaknya bilangan jama’ah tersebut serta jauhnya jarak
tempat tinggal mereka, mustahil adanya kesepakatan untuk berdusta. Maka yang dijadikan pedoman adalah bilangan yang
memustahilkan adanya kesepakatan untuk berdusta atas khabar tersebut. Maka tidak bisa tidak hadits tersebut harus
diriwayatkan oleh jama’ah, dan hendaknya bilangan mereka mencapai bilangan yang
dapat mengeliminir adanya kesepakatan mereka untuk berdusta, dan hal tersebut
berbeda-beda tergantung pada perbedaan orang
yang menyampaikan berita, fakta serta indokator-indikatornya. (Syakhsyiyyah Islamiyah
juz 3 hal. 82 -83)
Mutawatir
terhimpun dalam empat perkara,
yaitu:
1. Para perawi
harus berbilang dan terdiri dari sekumpulan orang. Tidak terbatas pada
jumlah tertentu. Setiap yang tergolong pada bilangan dari suatu kumpulan
dianggap sebagai mutawatir apabila memenuhi syarat-syarat lain.
2. Menurut adat
kebiasaan mustahil mereka sepakat untuk berbohong. Hal ini berbeda-beda
tergantung perbedaan individuindividunya maupun tempat-tempatnya. Lima orang
seperti Ali bin Abi Thalib cukup dianggap sebagai khabar mutawatir. Namun, orang
yang lain tidak cukup. Selain itu lima orang yang berasal dari tempat-tempat
yang berbeda-beda dan mereka tidak saling bertemu kadangkala khabarnya dianggap
sebagai khabar yang mutawatir, karena mereka tidak saling bertemu pada suatu
tempat sehingga tidak memungkinkan adanya kesepakatan mereka (untuk berdusta-pen).
Namun terkadang khabar (yang berasal dari orang semacam itu) didalam satu
negeri tidak cukup (untuk dianggap sebagai hadits mutawatir).
3. Diriwayatkan
oleh orang semisal mereka dari awal hingga akhir, yang menurut adat kebiasaan
mustahil mereka sepakat untuk berbohong, meskipun jumlah mereka belum sampai,
yaitu harus tercapai dua syarat yang pertama (diatas) pada semua tingkatan perawi.
4. Sandaran
akhir mereka adalah panca indera, berupa pendengaran dan lain-lain. Penetapan
dengan akal (tidak diterima), karena akal mungkin saja memicu terjadinya
kesalahan jika tidak disandarkan kepada indera, sehingga tidak menghasilkan keyakinan.
(Terjemah
Syahshiyyah Islamiyah juz hal I. 477-478)
Dalam kitab Taisir wushul ilal ushul karya amir
Atha bin Khalil pada pasal as sunnah hal 73 – 74 yang membahas secara ringkas
tentang hadist mutawatir juga tidak menyebutkan jumlah minimal perawi hadist
mutawatir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar