Selasa, 29 Juni 2010

BILANGAN YANG MENGHASILKAN ILMU (MUTAWATIR)


BILANGAN YANG MENGHASILKAN ILMU (MUTAWATIR)

            Telah terjadi perbedaan pendapat—diantara para ulama'--dalam menentukan jumlah terkecil yang menghasilkan ilmu, sebagian mereka menyatakan jumlah minimal lima, yang lain menyatakan bahwa jumlah minimal dua belas, sebagian yang lain menyatakan jumlah minimal dua puluh, sebagian yang lain lagi empatpuluh bahkan sebagian yang lain lagi tujuhpuluh, yang lain lagi tigaratus tiga belas dst… Inilah   pendapat secara keseluruhan, dan semua pendapat yang menyatakan jumlah tertentu tersebut sama sekali tidak ada pijakannya baik dari dalil naqli maupun aqli, karena memang tidak ada nash yang menentukan jumlah tertentu, dan akal juga tidak menentukan jumlah tertentu. Yang  diperhatikan dalam khabar mutawattir adalah dihasilkannya ilmu yang bersifat yakin dan bukan riwayat pada bilangan tertentu, maka bersamaan dengan bilangan tersebut ada indicator yang menunjukkan kekuatan serta lemahnya suatu berita. Kadangkala  suatu berita diriwayatkan oleh sejumlah bilangan tertentu yang riwayat mereka tidak menghasilkan ilmu yang bersifat yakin. Kadangkala  berita tersebut diriwayatkan oleh jama’ah yang lain yang bilangan mereka tertentu  sebagaimana bilangan yang pertama dan menghasilkan ilmu yang bersifat yakin dengan periwayatan mereka, karena perbedaan pandangan terhadap khabar adalah seiring dengan perbedaan indikatornya, meski dari segi jumlah sama. Karena itu, maka hadits mutawattir yang menghasilkan ilmu harus diriwayatkan oleh jama’ah, bukan bilangan tertentu, dan hendaknya bilangan jama’ah tersebut serta jauhnya jarak tempat tinggal mereka, mustahil adanya kesepakatan untuk berdusta. Maka  yang dijadikan pedoman adalah bilangan yang memustahilkan adanya kesepakatan untuk berdusta atas khabar tersebut. Maka  tidak bisa tidak hadits tersebut harus diriwayatkan oleh jama’ah, dan hendaknya bilangan mereka mencapai bilangan yang dapat mengeliminir adanya kesepakatan mereka untuk berdusta, dan hal tersebut berbeda-beda tergantung pada  perbedaan orang yang menyampaikan berita, fakta serta indokator-indikatornya. (Syakhsyiyyah Islamiyah juz 3 hal. 82 -83)

Mutawatir terhimpun dalam empat perkara,
yaitu:
1. Para perawi harus berbilang dan terdiri dari sekumpulan orang. Tidak terbatas pada jumlah tertentu. Setiap yang tergolong pada bilangan dari suatu kumpulan dianggap sebagai mutawatir apabila memenuhi syarat-syarat lain.
2. Menurut adat kebiasaan mustahil mereka sepakat untuk berbohong. Hal ini berbeda-beda tergantung perbedaan individuindividunya maupun tempat-tempatnya. Lima orang seperti Ali bin Abi Thalib cukup dianggap sebagai khabar mutawatir. Namun, orang yang lain tidak cukup. Selain itu lima orang yang berasal dari tempat-tempat yang berbeda-beda dan mereka tidak saling bertemu kadangkala khabarnya dianggap sebagai khabar yang mutawatir, karena mereka tidak saling bertemu pada suatu tempat sehingga tidak memungkinkan adanya kesepakatan mereka (untuk berdusta-pen). Namun terkadang khabar (yang berasal dari orang semacam itu) didalam satu negeri tidak cukup (untuk dianggap sebagai hadits mutawatir).
3. Diriwayatkan oleh orang semisal mereka dari awal hingga akhir, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka sepakat untuk berbohong, meskipun jumlah mereka belum sampai, yaitu harus tercapai dua syarat yang pertama (diatas) pada semua tingkatan perawi.
4. Sandaran akhir mereka adalah panca indera, berupa pendengaran dan lain-lain. Penetapan dengan akal (tidak diterima), karena akal mungkin saja memicu terjadinya kesalahan jika tidak disandarkan kepada indera, sehingga tidak menghasilkan keyakinan.
(Terjemah Syahshiyyah Islamiyah juz hal I. 477-478)

Dalam kitab Taisir wushul ilal ushul karya amir Atha bin Khalil pada pasal as sunnah hal 73 – 74 yang membahas secara ringkas tentang hadist mutawatir juga tidak menyebutkan jumlah minimal perawi hadist mutawatir.

Tidak ada komentar: