Minggu, 07 Maret 2010

HUKUM MEMPERINGATI HARI LAHIRNYA NABI MUHAMMAD SAW
Pendahuluan
Telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang hukum memperingati maulid Nabi saw. Sebagian ulama berpendapat bahwa peringatan ini terkategori bid’ah yang diada-adakan. Sedangkan yang lain menyatakan bahwa peringatan seprti ini adalah bid’ah yang dibolehkan bahkan sunnah karena terdapat kebaikan di dalamnya. Untuk membahas persoalan ini bukanlah perkara yang mudah. Diperlukan penelaahan yang mendalam dan jernih agar kita tidak terjebak pada pengambilan keputusan yang sembrono. Untuk itulah maka kami akan mengemukakan ringkasan pendapat ulama yang mengganggap bid’ah dan pendapat ulama yang membolehkannya. Selanjutnya dengan izin Allah SWT semoga kami diberikan kemudahan dan petunjuk untuk dapat mengambil pendapat yang lebih rajih. Amiin



Pandangan Ulama yang membid’ahkan:
1. Peringatan maulid Nabi saw tidak ada dasarnya baik dari al-qur’an, as sunnah maupun pendapat salafus shalih. Sebgaimana perktaan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
إن هذا لم يفعله السلف، مع قيام المقتضى له وعدم المانع فيه، ولو كان هذا خيراً محضاً أو راجحاً لكان السلف – رضي الله عنهم – أحق به منَّا؛ فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله  وتعظيماً له منا، وهم علي الخير أحرص. (اقتضاء الصراط المستقيم:2/615)
2. Peringatan maulid Nabi saw termasuk bid’ah yang dilarang syariat. Sebgaimana sabda Nabi:
وكل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة،وكل ضلالة في النار
Artinya: setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan berada di neraka (Hr. Muslim)
Karena Nabi saw telah menetapkan hari-hari tertentu yang boleh dirayakan, yaitu idul fitri, idul adha termasuk hari-hari nahar dan hari jumat maka peringatan maulid Nabi adalah bid’ah.
3. Menjadikan hari tertentu sebagai sesuatu yang diperingati adalah perkara yang dilarang. Dari Uqbah bin amir, Nabi saw bersabda:
"يوم عرفة ويوم النحر وأيام منى عيدنا أهل الإسلام، وهي أيام أكل وشرب وذكر لله"
Artinya; hari ‘arafah dan hari nahar adalah hari-hari dariku hari raya kita (orang-orang islam) dan hari-hari makan, minum dan berdzikir kepada Allah (Hr. Abu Dawud, An Nasai dan at Tirmidzi)
Berdasar hadist ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa hari selain hari yang ditetapkan Nabi sebagai hari yang boleh dirayakan maka haram melakukan perayaan didalamnya.
4. Memperingati hari tertentu dari lahirnya Nabi saw adalah satu bentuk menyerupai (tasyabuh) terhadap orang kafir. Nabi bersabda:
" لتتبعنَّ سنن من كان قبلكم شبراً بشبر وذراعاً بذراع، حتى لو دخلوا جحر ضب تبعتموهم. قيل: يا رسول الله اليهود والنصارى ؟ قال: فمن؟ ـ أي: من غيرهم
Artinya: sungguh kalian akan mengikuti jalan hidup orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga seandainya mereka masuk kelubang biawak sekalipun kalianpun akan mengikuti. Nabi ditanya: apakah mereka orang-orang Yahudi dan Nasrani. Nabi menjawab: siapa lagi kalau bukan mereka (HR. BUkhari dan Muslim).
5. Seandainya memperingati hari lahirnya Nabi saw diperbolehkan maka hari diutusnya beliau lebih layak untuk diperingati. Allah berfirman:
{لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أنفسهم يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ }
Artinya: Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata (QS. Ali ‘Imran: 164).

Dalam ayat ini jelas Allah menyatakan ‘idza ba’atsa’ bukan ‘idza walada’. Maka tentu memperingati hari diutusnya (jika dibolehkan) tentu lebih utama dari memperingati hari lahirnya.
6. Peringatan maulid Nabi cacat secara historis
Malam kelahiran Rasulullah saw tidak diketahui secara qath'i (pasti), bahkan sebagian ulama kontemporer menguatkan pendapat yang mengatakan bahwasannya ia terjadi pada malam ke 9 (sembilan) Rabi'ul Awwal dan bukan malam ke 12 (dua belas). Jika demikian maka peringatan maulid Nabi Muhammad r yang biasa diperingati pada malam ke 12 (dua belas) Rabi'ul Awwal tidak ada dasarnya, bila dilihat dari sisi sejarahnya.
7. Peringatan Maulid bercampur dengan kemungkaran-kemungkaran lain

Sedangkan alasan ulama yang membolehkan peringatan maulid nabi adalah:
1. Dalam peringatan maulid nabi terdapat banyak kebaikan yang dilakukan seperti mengenang perjuangan Nabi, membaca shalawat, sedekah dsb. Dan ini satu bentuk kebaikan yang diperintahkan Nabi. Nabi bersabda:
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا

Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)
2. Rasulullah SAW merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa, yaitu setiap hari Senin Nabi SAW berpuasa untuk mensyukuri kelahiran dan awal penerimaan wahyunya.

عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ” : فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم

“Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.” (H.R. Muslim)
3. Sesungguhnya bid’ah ada dua yaitu: bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Sedangkan peringatan maulid Nabi termasuk bid’ah hasanah karena terdapat kebaikan didalamnya. sebagaimana komentar Imam Syafi’i:
المُحْدَثَاتُ ضَرْباَنِ مَاأُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتاَباً أَوْسُنَّةً أَوْأَثَرًا أَوْإِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلاَلِ وَمَاأُحْدِثَ مِنَ الخَيْرِ لاَيُخَالِفُ شَيْئاً مِنْ ذَالِكَ فَهِيَ مُحْدَثَةٌ غَيْرَ مَذْمُوْمَةٍ

Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, prilakuk sahabat, atau kesepakatan ulama maka termasuk bid’ah yang sesat; adapun sesuatu yang diada-adakan adalah sesuatu yang baik dan tidak menyalahi ketentuan (al Qur’an, Hadits, prilaku sahabat atau Ijma’) maka sesuatu itu tidak tercela (baik). (Fathul Bari, juz XVII: 10)
4. Merayakan maulid Nabi adalah salah satu wujud cinta kepada beliau. Nabi bersabda:
" لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين"
Artinya: tidak sempurna iman diantara kalian hingga aku lebih dicintainya dari orang tuanya, anak-anaknya dan manusia seluruhnya (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Sahabat juga melakukan hal-hal baru yang tidak secara langsung dilakukan Nabi. Khususnya setelah wafatnya Nabi saw. Antara lain Pembukuan Al-Qur'an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usulan Sayyidina Umar ibn Khattab. Demikian pula Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah dengan dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau berkata :
نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِه

artinya: “Sebaik-baik bid’ah itu ialah ini”.
6. Hari lahirnya Nabi terkategori hari-hari Allah yang layak diperingati. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi berpuasa pada hari ini. Maka hari lahirnya Nabi sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam tentu juga layak untuk diperingati.
Setelah melakukan pengakajian secara seksama atas dua pandangan diatas maka kami menyimpulkan bahwa perkara ini adalah perkara yang diperselisihkan. Masing-masing pihak boleh saja menganggap pendapatnya yang terkuat. Tapi yang jelas masing-masing pihak memiliki landasan syar’i. Maka sejatinya masing-masing merupakan pandangan yang islami (ra’yul islam). Perbedaan seperti ini adalah hal yang dapat ditolerir sebagaimana juga terjadi banyak pendapat yang berbeda di kalangan sahabat baik Nabi masih hidup maupun setelah wafatnya beliau.
Adapun pandangan kami adalah peringatan maulid Nabi hukumnya boleh selama tidak tercampur dengan sesuatu yang haram. Alasannya adalah sebagai berikut:
1. Sesuatu yang tidak dilakukan nabi tidak otomatis dilarang, dengan kata lain tidak otomatis bid’ah. Hal ini berdasarkan kaidah:
ان عدم فعله لشيء لا يدل على النهي عنه ولا يجب الاقتداء به
Artinya: tidak adanya perbuatan Nabi saw tidak menunjukan bahwa hal terbut dilarang melakukannya maka tidak wajib mentauladani pada hal tersebut

Karena tidak ada larangan tegas dari Nabi saw. Maka hukum maulid perlu ditinjau dari fakta yang terjadi pada peringatan maulid tersebut. Tidak otomatis bid’ah hanya karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan sahabat.
2. Memang benar telah terjadi perbedaan dalam mendefinisikan bid’ah. Namun kami mengambil definisi bid’ah sebagai berikut: Penyimpangan perintah asy-Syâri’ yang untuknya dinyatakan tata cara penunaiannya. Yang dimaksud dinyatakan tata cara penunaiannya misalnya perkara ibadah yang sudah jelas tatacaranya dan bersifat tauqifi. Oleh karena itu jika orang bersujud tiga kali di dalam shalatnya, bukannya dua kali saja, maka itu bid’ah. Siapa saja yang melempar jumrah di Mina sebanyak delapan lemparan bukannya tujuh lemparan maka ia telah melakukan bid’ah. Tidak adanya larangan tegas dari Nabi dan terjadinya perselisihan pendapat dikalangan ulama menunjukan bahwa persoalan peringatan maulid Nabi bukanlah perkara yang rinci tatacaranya. Dengan kata lain hal ini bukanlah perkara yang bid’ah.
3. Adapun alasan bahwa peringatan maulid nabi cacat secara historis maka hal ini bukanlah hal yang penting untuk ditanggapi. Karena sejarah bukanlah sumber hokum. Kecacatan sejarah bukanlah alasan yang dapat dijadikan hujjah untuk membolehkan atau mengharamkan peringatan maulid Nabi. Begitu pula alasan pada masa siapa peringatan maulid Nabi dimulai maka hal ini juga tidak penting untuk ditanggapi karena kebenaran dapat datang dari siapa saja. Sebagaimana pernyataan Imam ‘Ali kwh “perhatikanlah apa yang disampaikan dan jangan perhatikan siapa yang mengatakan”.
Kesimpulannya, Karena didalam peringatan maulid nabi terdapat banyak kebaikan sebagaimana telah disebutkan diatas maka hukumnya perlu dirinci. Apabila pringatan maulid terbebas dari yang diharamkan maka hukumnya boleh. Akan tetapi apabila tercampur dengan hal-hal yang diharamkan maka hukumnya haram seperti ikhtilath antara laki-laki dan perempuan, pengagungan terhadap Nabi secara berlebihan, dsb. Selain itu disyaratkan bahwa peringatan ini bukanlah bagian dari ibadah khusus (mahdhah) karena ibadah mahdhah telah sempurna penjelasannya dan sifatnya tauqifi. Wallahu ‘alam bi shawab
Yogyakarta, 6 Maret 2010
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan (081251188553)



Tidak ada komentar: