Selasa, 16 Maret 2010

DEMOKRASI VS KHILAFAH
Oleh: Najmi Adzkia
Pendahuluan
Satu ketika, di sebuah desa dalam acara rembug pemilihan rukun tetangga (RT) baru. Seorang warga menyatakan pendapatnya. “agar lebih demokratis sebaiknya RT dipilih secara langsung oleh semua warga”.


Inilah kenyataan yang ada di kanan, kiri, depan dan belakang kita. Betapa masyarakat kita demikian latah, ikut-ikutan mengadopsi demokrasi tanpa mengetahui hakikat sesungguhnya. Demokrasi telah mengalami perluasan sekaligus pengkaburan makna. Musuh-musuh Islam memang tidak cukup ‘percaya diri’ untuk menjajakan demokrasi dalam wajah aslinya. Maka beragam cara dilakukan untuk ‘merias’ demokrasi. Diantara yang mereka lakukan adalah mengkaburkan makna demokrasi. Demokrasi sama dengan mekanisme pemilihan penguasa. Hingga tidak sedikit para syaikh dan aktivis Islam yang mengadopsi, memperjuangkan atau berjuang lewat jalur demokrasi. Sebagian dari mereka bahkan memuja-muja demokrasi dan menganggap demokrasi sebagai system terbaik saat ini
Dalam kesempatan yang lain, sebagian umat Islam menganggap bahwa demokrasi sebangun dengan Islam. Mereka menyatakan subtansi demokrasi adalah musyawarah. Disisi lain Islam adalah agama yang sangat menganjurkan musyawarah.
Demikianlah upaya pengkaburan dan penyesatan yang dibungkus dengan janji-janji manis kesejahteraan, kesetaraan, keadilan dan sebagainya ditiupkan ditubuh kaum muslimin. Dan upaya ini telah dilakukan Barat sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Bahkan dijadikan salah satu pemikiran yang ditanamkan ditubuh kaum muslimin untuk meruntuhkan khilafah Islam di Turki. Hingga tidak sedikit dari para syaikh yang menganjurkan untuk mengambil demokrasi. Diantara mereka bahkan mengeluarkan satu kaidah untuk membenarkan demokrasi inna ma laa yukhalifu al islama walam yarid nashun ‘ala an nahyi ‘anhu yajuzu akhdzuhu (bahwasanya apa saja yang tidak bertentangan dengan Islam dan tidak ada nash yang melarangnya maka boleh mengambilnya)
Demikianlah akhirnya demokrasi telah diadopsi dan diperjuangkan umat Islam di berbagai belahan bumi termasuk Indonesia. Mereka demikian mengagungkan demokrasi bahkan menjadikannya standar benar salah. Hingga pada saat ada sekelompok putera-puteri kaum muslimin yang ikhlas dalam berjuang dan tercerahkan dengan cahaya Islam yang untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan menegakan khilafah Islam mereka kemudian melakukan penolakan dengan beragam dalih. Salah satunya adalah anggapan bahwa khilafah Islam adalah system kerajaan yang otoriter yang merupakan antithesis dari demokrasi.
Oleh karena itulah menjadi perkara yang teramat penting untuk mendudukan persoalan pada tempatnya. Hingga yang benar nampak benar dan yang batil tersingkap kebatilannya. Dan akhirnya umat secara sadar berjuang bersama hizb dalam upaya mewujudkan janji Allah SWT dan bisyarah Rasul-Nya yaitu tegaknya khilafah rasyidah yang kedua. insyaAllah fil waqtil qariib. Inna nashraLLAHI qariib.
Ilusi Negara Demokrasi
Sejak lahirnya demokrasi tidak tebih hanya sebuah khayalan yang tidak pernah terwujud dalam realitas sejarah peradaban manusia. System demokrasi yang terdapat di Negara kota (city state) Yunani Kuno (abad ke- 6 s/d 3 S.M) yang dianggap sebagai pelaksanaan terbaik dari system demokrasi. Dimana semua rakyat diberi hak dan kebebasan untuk menyuarakan pendapatnya secara langsung. Kenyataannya tidak mencerminkan demokrasi yang sesungguhnya. Betapa tidak, Negara kecil yang berpenduduk 30.000 orang hanya memberikan hak suara kepada segelintir orang. Sisanya, yaitu para budak yang jumlahnya mencapai 100.000 tidak diberikan hak suara.
Dalam perkembangan selanjutnya, demokrasi juga mengalami perkembangan seiring terbitnya era ranaisance. Dimulai dari Magna Charta (piagam besar) (1215) yang merupakan semi kontrak antara beberapa bangsawan dan raja John dari Inggris dimana untuk pertama kalinya seorang raja memberikan hak dan privelegs kepada bawahannya. Hingga pematangan konsep demokrasi dengan lahirnya kontrak social oleh JJ. Rousseau, Trias politika oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755). Tapi disisi lain dalam masa-masa itu pula terjadi penjajahan diberbagai belahan bumi. Khususnya dunia Islam. Hampir seluruh dunia Islam telah dibagi-bagi oleh Negara–negara barat pemuja demokrasi. Tak terkecuali wilayah Indonesia yang secara silih berganti dijajah oleh Spanyol, Portugis, Belanda bahkan Inggris. Ironisnya penjajahan yang merobohkan nilai-nilai kemanusiaan dilakukan oleh Negara pemuja dan pengusung demokrasi. Bahkan pencaplokan tanah mi’raj Palestina atas skenario Inggris terjadi pada tahun ditandatanginya declaration of human right (HAM) yaitu tahun 1948. Padahal HAM adalah saudara kandung demokrasi. Fakta mutakhir penjajahan yang dilakukan AS di Afganistan, Irak dan Pakistan adalah sederet fakta yang tak terbantahkan bahwa demokrasi hanyalah sebuah ilusi para penghayal yang sesat. Dzalika bi annahum la ya’qiluun
Selain itu, kedaulatan rakyat yang dijanjikan oleh demokrasi kenyataannya juga tidak pernah terwujud. Kenyataannya suara rakyat didengar hanya saat musim-musim pilpres, pileg dan pilkada vc. Didustai dengan beragam janji-janji dusta. Atau dibeli dengan sekantong sembako, kaos murah, nasi bungkus atau uang 20 ribuan. Selanjutnya, habis nyoblos sepah dibuang. Untuk selanjutnya para capital-lah yang berkuasa dan berdaulat. Kasus Anggodo satu bukti yang menunjukan bahwa begitu kuatnya fulus dalam menentukan kebijakan, Kasus Century yang menunjukan betapa para penguasa tidak lagi peduli pada rakyatnya, termasuk kongkalingkong antara eksekutif, legislative dan yudikatif, termasuk produk perundang-undangan yang dapat dibeli. Bahkan oleh pihak asing. Adalah sederet fakta yang menegaskan bahwa kekuasan dan kedaulatan ditangan rakyat adalah kebohongan besar. Karena kenyataannya yang berdaulat adalah segelintir orang yang bernama penguasa. Terkadang penguasa tersebut ‘berselingkuh’ dengan pengusaha atau bahkan tak jarang penguasa adalah sekaligus pengusaha. Maka kami Tanya kepada anda wahai para pengusung dan pemuja demokrasi. Demokrasi macam apa yang sedang anda perjuangkan? Padahal system ini telah cacat sejak lahirnya dan ini adalah kenyataan sejarah yang tak terbantahkan.
Demokrasi Dalam Pandangan Islam
Demokrasi bukan sekedar mekanisme pemilihan pemimpin atau mekanisme pengambilan keputusan (musyawarah). tapi subtansi demokrasi sebagaimana menurut para penganutnya, Demokrasi berarti peme-rintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat; dengan menjalankan peraturan yang dibuat sendiri oleh rakyat. Aspek terpenting dalam Demokrasi, adalah ketetapan-nya bahwa pihak yang berhak membuat hukum (Al Musyarri') adalah manusia itu sendiri, bukan Al Khaliq. Ini logis saja bagi penga¬nut ide pemisahan agama dari kehi- dupan (sekularisme), karena pemisahan agama dari kehidupan itu berarti memberikan otoritas menetapkan hukum kepada manusia, bukan kepada Al Khaliq.
Bagi kaum muslimin, hal itu berarti tindak pembangkangan dan pengingkaran terhadap seluruh dalil yang qath'i tsubut (pasti sumbernya) dan qath'i dalalah (pasti penger-tiannya) yang mewajib¬kan kaum muslimin untuk mengikuti syari'at Allah dan membuang peraturan apa pun selain sya-ri'at Allah. Na'udzu billah min dzalik.
Kewajiban di atas diterangkan oleh banyak ayat dalam Al Qur'an. Dan lebih dari itu, ayat-ayat yang qath'i tadi menegas¬kan pula bahwa siapa pun yang tidak mengikuti atau menerapkan syari'at Allah, berarti dia telah kafir, dzalim, atau fasik. Sebagaimana firman Allah SWT Q.S. Al Maaidah : 44, Al Maaidah : 45 dan Al Maaidah : 47.
Berdasarkan nash ayat di atas, maka siapa pun juga yang tidak berhukum (menjalankan urusan pemerintahan) dengan apa yang diturunkan Allah, seraya menging¬kari hak Allah dalam menetapkan hukum --seperti halnya orang-orang yang meyakini Demokrasi-- maka dia adalah kafir tanpa keraguan lagi, sesuai nash Al Qur'an yang sangat jelas di atas. Hal ini karena tindakan tersebut --yakni tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dan mengingkari hak membuat hukum yang dimiliki Allah-- berarti ingkar terhadap ayat-ayat yang qath'i dalalah. Padahal orang yang mengingkari ayat yang qath'i adalah kafir, dan ini disepakati oleh seluruh fuqaha.
Mengenai syura dan dan demokrasi maka antara keduanya terdapat perbedaan yang fundamental. Syaikh Abdul Qadim Zallum (1990) secara ringkas membandingkan sekaligus membedakan demokrasi dan syura dengan perkataannya, “Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra’y). Sebaliknya, demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem (pemerintahan).”
Ini berarti, menyamakan syura dengan demokrasi bagaikan menyamakan sebuah sekrup dengan sebuah mobil; tidak tepat dan tidak proporsional. Mengapa? Sebab, syura hanyalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat dalam Islam, sebagai bagian dari proses sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Sebaliknya, demokrasi bukan hanya sekadar proses pengambilan pendapat berdasarkan mayoritas, namun sebuah jalan hidup (the way of life) yang holistic, yang terepresentasikan dalam sistem pemerintahan menurut peradaban Barat. Kenyataan bahwa demokrasi adalah sebuah tipe sistem pemerintahan dapat dibuktikan, misalnya, melalui pernyataan Presiden Lincoln pada peresmian makam nasional Gettysburg (1863) di tengah berkecamuknya Perang Saudara di AS. Lincoln menyatakan, “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” (Melvin I. Urofsky, 2003: 2). Oleh karena itu, menyamakan syura dengan demokrasi tidaklah tepat dan jelas tak proporsional.
Khilafah, Harapan Masa Depan
Khilafah bukanlah Negara otoriter seperti yang sering dituduhkan. Paling tidak atas beberapa alasan berikut:
1. Dalam system khilafah kedaulatan (as siyadah) tidak dilimpahkan pada segelintir orang seperti dalam system demokrasi atau pada seorang raja dalam system monarkhi (kerajaan). Karena apabila kedaulataan dalam arti hak membuat hokum diserahkan manusia maka produk hokum yang dihasilkan adalah hokum yang penuh dengan kecacatan dan kekurangan. Karena bagaimanapun manusia pasti memilki keterbatasan. Bahkan dalam banyak kesempatan sering tercampur dengan pelbagai kepentingan sesaat. Oleh karena itulah maka kedaulatan semata-mata menjadi milik mutlak asy syaari’ yaitu Allah SWT. Banyak dalil baik dari Al qur’an maupun As sunnah yang menunjukan hal ini.
2. Kekuasaan (as sulthan) adalah milik umat. Umatlah yang berhak memilih dan membaiat pemimpinnya. Umat berhak memilih siapa saja untuk menjadi khalifahnya selama memenuhi syarat (minimal syarat in’iqad yaitu: Muslim, laki-laki, berakal, baligh, adil, merdeka dan mampu). Umat juga memiliki hak dan kewajiban untuk mengoreksi penguasa. Baik secara pribadi, melalui partai-politik maupun majlisul ummah. Dan aktivitas muhasabah lil hukkam ini adalah sebuah aktivitas yang sangat mulia. Nabi menyatakannya sebagai afdhalu al jihad dan siapa yang meninggal disetarakan dengan sayyidu syuhada Hamzah bin Abdul muthalib. Subhanallah. Inna hazda fauzan ‘adzima minallahi adzim
3. Seorang imam/khalifah memiliki shalahiyah (kewenangan) untuk mengadopsi hokum (tabanni al hukmi), melaksanakan hokum (tathbiq al hukmi) dan peradilan (al qadha) yang wajib terikat dengan hokum syara’. Aturan ini bersifat mengikat dan apabila seorang khalifah secara sengaja melanggarnya dan menampakkan kekufuran yang nyata maka mahkamah mazhalim dapat memberhentikannya. Sehingga bisa jadi seorang khalifah kehilangan statusnya sebagai khalifah meskipun baru satu bulan menjabat atau bahkan kurang dari itu. Sehingga seorang khalifah harus sangat hati-hati agar memastikan bahwa seluruh kebijakannya sesuai dengan syariat.

Kesimpulannya, Islam membedakan dan membagi kedaulatan (as siyadah, sovereignty) pada syara, kekuasaan (as sulthan, power) pada umat dan kewenangan (shalahiyah, authority) pada khalifah. Hal ini berbeda dengan system demokrasi yang menjadikan kedaulatan dan kekuasaan terkumpul pada rakyat/manusia. Yang dalam realitasnya diwakili oleh segelintir orang melalui mekanisme pemilihan. Maka konsep kedaulatan seperti ini mirip dengan system monarki dari sisi manusialah yang memegang kedaulatan. Hanya bedanya dalam sistem kerajaan kedaulatan ada pada seorang raja sedangkan dalam system demokrasi kewenangan berada pada segelintir orang dengan beragam kelemahan dan kepentingan yang ada. Bahkan tidak jarang suara wakil rakyat berseberangan dengan suara rakyat. Inilah kenyataan. Dengan system demokrasi manusia telah telah terlepas dari tirani system monarki. Tapi terjatuh pada tirani demokrasi yang menyesatkan. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?

Penutup
Demikianlah, ideology Sosialisme Marx telah punah sejak tahun 1991. Yaitu ketika Uni Soviet roboh dan bangsa-bangsa penganut Sosialisme ramai-ramai melepaskan diri dari ideologi tersebut. Selanjutnya, AS mendominasi percat¬uran politik internasional, sebab tak ada lagi negara di dunia ini yang mengemban ideologi lain dan menjalankan strategi politik internasionalnya atas dasar ideologinya. Tapi, sebagaimana kita saksikan saat ini. Ideologi inipun telah rapuh dan bersiap menuju pada kematiannya. Maka tidak ada lagi alternatif ideology yang laik dan pantas untuk memimpin dunia saat ini kecuali Islam dengan tegaknya khilafah. Tsumma takunu khilafatan ‘ala minhaj an nubuwwah. Wallahu ‘alam bi shawab
Yogyakarta, 30 Rabi’ul awwal 1431 H/16 Maret 2010 M


Tidak ada komentar: