Rabu, 29 September 2010

Menasihati Penguasa


Hadist Menasihati Penguasa dengan sembunyi-sembunyi
Oleh: Wahyudi Abu Syamil Ramadhan
Pendahuluan
Menasihati penguasa adalah sebuah kewajiban yang agung. Banyak hadist shahih yang menjelaskannya. Hadist-hadist tersebut menerangkan kewajiban menasihati penguasa dalam bentuk yang mutlak, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Diantaranya adalah,hadist dari Jabir ra, berkata:
عن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم قال: "سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب، ورجل قام إلى إمام فأمره ونهاه فقتله". ( رواه الترمذي، والحاكم وقال: صحيح الاسناد )
Dari Nabi saw, beliau bersabda: penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa kemudian dia memerintahkan dan melarangnya, kemudian penguasa tersebut membunuhnya (Hr Tirmidzi, dan al Hakim mengatakan sanadnya shahih)
Sayangnya, ada beberapa orang bahkan kelompok yang yang mencoba menutup-nutupi kenyataan ini. Kemudian mereka mengemukakan wajibnya menasihati penguasa dengan sembunyi-sembunyi. Pandangan yang keliru ini dibantah secara panjang lebar oleh Syaikh Muhammad bin Abdullah al Masy’ary dalam kitab beliau Muhasabah al hukkam (menasihati penguasa). Diantara bantahan beliau adalah status hadist yang dijadikan landasan orang-orang atau kelompok salafy yang mewajibkan menasihati penguasa dengan sembunyi-sembunyi. Hadist tersebut adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ
جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّى غَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ  وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللَّهِ فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Al Mughiroh telah menceritakan kepada kami Shafwan telah menceritakan kepadaku Syuraih bin 'Ubaid Al Hadlromi dan yang lainnya berkata; 'Iyadl bin Ghonim mencambuk orang Dariya ketika ditaklukkan. Hisyam bin Hakim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga 'Iyadl marah. ('Iyadl Radliyallahu'anhu) tinggal beberapa hari, lalu Hisyam bin Hakim mendatanginya, memberikan alasan. Hisyam berkata kepada 'Iyadl, tidakkah kau mendengar Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: " Orang yang paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia?." 'Iyadl bin ghanim berkata; Wahai Hisyam bin Hakim, kami pernah mendengar apa yang kau dengar dan kami juga melihat apa yang kau lihat, namun tidakkah kau mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan, tapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima memang begitu, jika tidak maka dia telah melaksanakan kewajibannya", kamu Wahai Hisyam, kamu sungguh orang yang berani, jika kamu berani kepada penguasa Allah, kenapa kamu tidak takut dibunuh penguasa dan kau menjadi korban penguasa Allah subhanahu wata'ala?. (HR. AHMAD - 14792)
Hadist ini di riwayatkan dalam dua sanad[1],yaitu:
Jalur pertama                                                             Jalur kedua







 






Mengenai Iyadh bin Ghanim ia adalah Ibnu Zuhair bin Ab Syadad, Abu Sa’ad al fahri, Dia adalah shahabat[2]  yang baik. Dia termasuk orang yang berbaiat di baiat ar-ridwan, meninggal tahun 20 H di Syam. Sedangkan Hisyam bin Hakim bin Hizam bin Khuwailid al Qurasyi al asadi termasuk tabi’in[3], meninggal pada awal kekhilafahan mu’awiyah.
Sedangkan Syuraih bin ’Ubaid al hadhrami al hashimi adalah tabi’in yang tsiqah[4] (terpercaya) periwayatannya dari sahabat secara mursal. Sebagaimana disebutkan dalam kitab tahdzib al kamal: “Muhammad bin ‘Auf ditanya, apakah Syuraih mendengar hadist dari Abu Darda? Muhammad bin ‘Auf menjawab: tidak. Kemudian dikatakan padanya, apakah dia mendengar dari salah seorang sahabat nabi saw? Muhammad bin ‘Auf menjawab: aku kira tidak, karena dia tidak berkata tentang sesuatupun dari yang dia dengar, tetapi dia tsiqah (tahdzibul kamal juz 12 hal 447)
Ibnu Hajar al Atsqalani berkomentar: dia tsiqah tetapi yang memursalkan banyak karena tadlisnya (taqriibu at tahdzib juz 2 hal 265). Ibnu Abi Hatim berkata dalam kitabnya “al maraasiil” aku mendengar ayahku berkata: Syuraih tidak berjumpa dengan abu Umamah, al Harist bin Harist dan Miqdam. Aku mendengar dia berkata: Syuraih dari Abu Malik adalah mursal. [5]
Mengenai hal ini Muhammad bin Abdullah al Masy’ary memberi komentar: “Jika abu Umamah ra meninggal tahun 86 H, Miqdam al Ma’di ra meninggal tahun 87 H. sementara Syuraih bin ‘Ubaid tidak menemui keduanya maka tentulah dia juga tidak bertemu dengan Hisyam bin al Hakim yang meninggal pada awal masa kekhilafahan Mu’awiyah, lebih-lebih dengan ‘Iyadh bin Ghanim yang meninggal pada tahun 20 H yaitu pada masa amirul mukminin Umar bin Khaththab ra?” (Muhasabah al hukkam hal 41)
Kemudian beliau melanjutkan: “ demikianlah kami mencermati bahwa Syuraih bin ‘ubaid telah meriwayatkan cerita dengan memberi komentar sementara dia tidak pada masa itu, hal ini menunjukan dia tidak hadir (ada) pada peristiwa tersebut, tidak mendengar pada apa-apa yang dikatakan padanya. Oleh karena itu mestilah hukum terhadap hadist ini adalah terputus  untuk kedua sanad ini (انقطاع هذا الإسناد) [6]. (Muhasabah al hukkam hal 42)
Kalua, Tanjung Kalimantan selatan, 20 Ramadhan 1431 H




[1] Jalur periwayatan hadist
[2] Sahabat ialah orang yang bertemu rasulullah sahallahu'alaihi wa sallam dan ia seorang muslim sampai akhir hayatnya.
[3] Generasi setelah masa sahabat
[4] Terpercaya baik keadilannya maupun kekuatan hafalannya
[5] Mursal ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi langsung disandarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tanpa menyebutkan nama orang (sahabat) yang menceritakan kepadanya.]
[6] Munqathi' ialah hadits/berita yang di tengah sanadnya gugur/terputus seorang rawi atau beberapa rawi, tetapi tidak berturut-turut.

Tidak ada komentar: