Rabu, 26 Mei 2010

Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa, mungkinkah?

Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa, mungkinkah?1
Oleh: Wahyudi Abu Syamil Ramadhan2
Sekilas tentang pendidikan karakter
Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2010 mengangkat tema ‘Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa’. Tema tersebut menunjukkan komitmen kementerian pendidikan nasional yang bertekad untuk melaksanakan revitalisasi pendidikan karakter.

Pendidikan karakter sangat penting, hal ini sebagaimana disampaikan Mendiknas Mohammad Nuh, pendidikan karakter sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa, karakter yang dijiwai nilai-nilai luhur bangsa
Mengapa pendidikan karakter menjadi demikian usrgen? Menurut beberapa pengamat menyatakan bahwa hal ini tak lepas dari kondisi karakter bangsa Indonesia makin lemah; makin banyak gejala penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan, kecurangan, kebohongan, ketidakjujuran, ketidakadilan, ketidakpercayaan, mudah ditipu dan diprovokasi, kenakalan remaja, broken home dan sebagainya.
Dalam kontek regulasi pendidikan karakter adalah amanat dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas. Pada pasal 3 disebutkan: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pada pasal ini 5 dari 8 potensi peserta didik yg ingin dikembangkan lebih dekat dengan karakter.
Apa yang dimaksud dengan karakter itu? Menurut Prof Dr Herminarto Sofyan, 
Pembantu Rektor III UNY. ‘Karakter’ mempunyai banyak arti, di antaranya, kemampuan untuk mengatasi secara efektif situasi sulit, tak enak/tidak nyaman, atau berbahaya. Dengan pengertian tersebut karakter menuntut kecerdasan otak, kepekaan nurani, kepekaan diri dan lingkungan, kecerdasan merespons, dan kesehatan, kekuatan, dan kebugaran jasmani. Indikator kecerdasan otak antara lain, berilmu, berfikir logis dan kritis. Kepekaan nurani ditandai dengan adil, jujur, kasih sayang, empatik, ikhlas, berintegritas, santun, terpercaya, hormat, suka menolong dan dapat mengendalikan diri. Kepekaan diri dan lingkungan berarti peduli pada diri dan lingkungannya. Sedangkan kecerdasan merespons ditandai dengan sifat-sifat berani, rajin, disiplin, inisiatif, waspada dan motivasi. Sedangkan kesehatan, kekuatan dan kebugaran jasmani diperlukan pola hidup.
Bagaimana cara mengimplementasikan pendidikan karakter? Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Pendidikan karakter dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif menggunakan semua aspek persekolahan sebagai peluang untuk pengembangan karakter. Ini mencakup apa yang sering disebut dengan istilah kurikulum tersembunyi, hidden curriculum (upacara dan prosedur sekolah; keteladanan guru; hubungan siswa dengan guru, staf sekolah lainnya, dan sesama mereka sendiri; proses pengajaran; keanekaragaman siswa; penilaian pembelajaran; pengelolaan lingkungan sekolah; kebijakan disiplin); kurikulum akademik, academic curriculum (mata pelajaran inti, termasuk kurikulum kesehatan jasmani), dan program-program ekstrakurikuler, extracurricular programs (tim olahraga, klub, proyek pelayanan, dan kegiatan-kegiatan setelah jam sekolah).

Mungkinkah pendidikan karakter menjadi solusi permasalahan Bangsa?
Jawabnya sulit, atau bahkan tidak mungkin . paling tidak karena beberapa alasan berikut:
1.Kesalahan menetapkan akar persoalan bangsa

Dicetusknya program pendidikan karakter tidak terlepas dari paradigma akar masalah bangsa. Menurut pada pencetus ide ini masalah pundamental negeri ini adalah masalah moral. Untuk itulah maka perlu dilakukan perbaikan moral. Dalam Rencana Induk Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa yang dikeluarkan Kementerian Pendikan Nasional Republik Indonesia bahkan dikutip hadist nabi innama bu’itstu li utammima makaarima al akhlaq (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak) berangkat dari asumsi inilah maka dicetuskanlah program pendidikan karakter.
Sesungguhnya asumsi ini adalah asumsi yang keliru. Memang benar persoalan moral adalah satu persoalan bangsa. Tapi bukan satu-satunya masalah dan bukan pula satu-satunya solusi bagi persoalan bangsa ini. Persoalan bangsa ini sedemikian komplek. Sudah menjadi pesoalan sistemik, dimana satu aspek saling kait mengkait dengan aspek kehidupan yang lain. Tapi yang menjadi inti dari sumber masalah di negeri ini adalah sekulerisme yang berasaskan fashlu ad din ‘an al hayah atau pemisahan agama (din al Islam) dari persoalan kehidupan. Hal ini Nampak baik dalam aspek perundang-undangan maupun dalam hal impelentasinya.

Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus. Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia salih yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.

Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan.

Hal ini juga tampak pada BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya.

Ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kacaunya kurikulum ini tentu saja berawal dari asasnya yang sekular, yang kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya bagi proses penguasaan tsaqafah Islam dan pembentukan kepribadian Islam.

Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang pandai yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan tsaqafah Islam. Berapa banyak lulusan pendidikan umum yang tetap saja buta agama dan rapuh kepribadiannya? Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan agama memang menguasai tsaqafah Islam dan secara relatif sisi kepribadiannya tergarap baik. Akan tetapi, di sisi lain, ia buta terhadap perkembangan sains dan teknologi.

Akhirnya, sektor-sektor modern (industri manufaktur, perdagangan, dan jasa) diisi oleh orang-orang yang relatif awam terhadap agama karena orang-orang yang mengerti agama terkumpul di dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, Depag), tidak mampu terjun di sektor modern.

Memang benar dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, "Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air."

Tapi perlu diingat, sekularisme itu tidak otomatis selalu anti agama. Tidak selalu anti "iman" dan anti "taqwa". Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk mengatur kehidupan publik, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi masalah privat dan tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan sekular, walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa (sebagai perilaku individu).

2.Kaburnya definisi dan patokan karakter yang baik

Hingga saat ini apa definisi karakter, apa saja yang menjadi aspek karakter dan tolak ukur karakter masih kabur. Dalam Rencana Induk (Grand design) Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa kementrian Pendidikan RI disebutkan bahwa 3 aspek pembentuk karakter luhur adalah:
a.Agama, pancasila, UUD 1945 dan UU Sisdiknas
b.Teori pendidikan, Psikologi, nilai dan social budaya
c.Pengalaman terbaik dan praktik nyata

Kenyataannya ketiga aspek atau patokan karekter luhur ini sangat bias. Misalnya dalam UU Sisdiknas menjadi warga negara yang demokratis dimasukan sebagai karakter yang baik. Padahal kenyataan demokrasi adalah system kufur yang mengebiri hak Allah SWT sebagai al hakim (penetap hokum).
Demikian pula teori psikologi dan pendidikan, maka yang dipakai teori yang mana? Karena kenyataannya satu teori kadang bertentangan dengan teori yang lain. Hal ini diperparah dengan landasan epistimologi teori-teori dalam ilmu pendidikan yang rancu. Sebagai contoh teori klasik Ivan Paplov yang dibangun berdasarkan penelitiannya terhadap anjing. Padahal fakta anjing dengan manusia tidaklah sama. Sebagain peniliti lain menjadikan kelinci dan tikus sebagai obyek penelitian, kemudian hasil penelitian tersebut diterapkan pada manusia.
Mengenai nilai social dan budaya ini juga sangatlah kabur dan tidak sedikit terjadi pertentangan antara satu tempat dengan tempat yang lain. Dan seterusnya.
3.Distorsi materi ajar

Hal ini terutama terjadi pada mata pelajaran/mata kuliah social. Sepert ekonomi, sejarah, pendidikan, sosiologi, antropologi dan sebagainya. mata pelajaran sejarah misalkan menurut seoarang pakar sejarah Ahmad Mansur Surya Negara dalam buku Api Sejarah I telah terjadi pegakaburan dan distorsi sejarah Indonesia khususnya dalam bentuk deIslamisasi atau mengaburan/menghilangkan peran umat Islam dalam sejarah Indonesia. Sebagai contoh Bapak pendidikan disematkan pada Ki Hadjar Dewantara yang telah mendirikan Taman Siswa pada 31 Desember. Padahal Muhammadiyah yang juga concern pada pendidikan dengan jaringan yang kuat telah didirikan KH. Ahmad Dahlan pada 18 Nopember 1912. Artinya 10 tahun lebih awal dari Taman Siswa. Demikian pula penetapan Harkitnas pada tanggal 20 Mei dengan patokan berdirinya Boedi Oetomo. Bukan syarikat Islam yang berdiri lebih awal yaitu 16 Oktober 1905. Padahal SI pada saat itu telah memiliki jaringan yang luas dengan anggota lebih dari 1 juta orang dari beragam etnis, dan yang terpenting memiliki cita-cita persatuan dan kemerdekaan dan pembebasan dari penjajahan. Sementara boedi Utomo saat itu hanya memiliki anggota sekitar 10ribu orang, Budi Oetomo juga menjadi sebuah organisasi elitis yang membatasi keanggotaannya hanya dari kalangan priyayi jawa, dan yang lebih ironis lagi oragnisasi ini tidak memimiliki visi kemerdekaan dari penjajahan Belanda karena sebagian anggotanya adalah para bangsawan yang diangkat dan digaji Belanda. Dalam aspek keagamaan organisasi ini juga menganut faham kejawen yang penuh dengan ritual syirik dan menganjurkan untuk tidak shalat.
DeIslamisasi yang lain adalah pengkaburan fakta sejarah kesultanan-kesultanan Islam di nusantara yang sejatinya menjadi bagian dari Khilafah Islam. Wajar jika perjuangan penegakan syariah dan khilafah dianggap terorisme dan dianggap bertentangan dengan realitas keindonesiaan baik dalam aspek historis maupun realitas kekinian. Padahal syariah dan khilafah sangat relevan bagi solusi bangsa Indonesia baik dari aspek idiologis, historis dan empiris.
4.Kontradiksi satu kebijakan dengan kebijakan lain

Sebagai contoh pelaksanaan ujian nasional yang hanya menfokuskan pada mata pelajaran tertentu. Ironisnya hanya pelajaran yang kental aspek kognitifnya. Di jenjang SMP, mata pelajaran yang diujikan adalah mata ujian dasar (matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris) dan mata pelajaran IPA. Untuk jenjang pendidikan SMA, mata pelajaran yang diujikan di bidang IPA adalah mata pelajaran dasar ditambah dengan kimia, fisika, dan biologi. Untuk bidang IPS, mata ujiannya adalah mata pelajaran dasar ditambah pelajaran geografi, ekonomi, dan sosiologi. Akibatnya siswa, guru, sekolah dan masyarakat secara umum hanya memprioritaskan mata pelajarn yang diujikan dan cenderung menyepelekan mata pelajaran lain. Termasuk pelajaran agama.

Belum lagi kecurangan UN yang telah menjadi rahasia umum. Bahkan, pihak yang melakukan kecurangan bukan hanya peserta didik semata, namun pihak guru/pendidik seringkali justru ikut terlibat. Kepala sekolah dan parahnya adalah pegawai dinas turut menjadi agen kecurangan dalam UN. Hal ini diperparah dengan hasil lulusan. Banyak peserta didik yang protes karena yang biasa berprestasi dan berusaha jujur malah tidak lulus UN sedangkan yang biasa-biasa saja justru lulus. Hal ini seakanmenguatkan anggapan bahwa “jujur hancur, curang mujur”. Pendidikan karakter macam apa yang sedang diajarkan di negeri ini?

5.Tidak terintegrasinya pendidikan di sekolah dengan pendidikan diluar sekolah.

Pendidikan sejatinya adalah upaya simultan dan terus menerus yang melibatkan semua pihak. Dengan system yang bobrok disegala bidang seperti saat ini rasanya sulit mencetak anak bangsa yang memiliki kepibadian Islam. Pedidikan yang seharusnya dimulai dari keluarga sangat sulit untuk diharapkan sebagai madrasatul ulaa (lembaga pendidikan pertama). Kemiskinan structural yang menyebabkan 100 jt lebih penduduk Indonesia miskin menyebabkan orang tua sibuk untuk mecari uang, ibu yang seharus menjadi ummun warabbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga) sibuk membantu suaminya. Ditambah lagi ide liberal keseteraan gender, semakin membuat para ibu mengadaikan kemuliaannya dalam persaingan dengan laki-laki di sector public.
Demikian pula saat siswa masuk pada lingkungan masyarakat. Mereka mendapati kenyataan pergaulan bebas, kehidupan malam, hedonisme, siaran telivisi yang tidak mendidik dengan siaran yang penuh mesum, kekerasan dan sebagainya.
Padahal kenyataannya. Apa yang dilihat, dirasakan dan dilakukan sejatinya adalah pendidikan yang paling efektif untuk membentuk perilaku. Akhirnya jadilah proses pendidikan di negeri ini bagaikan memintal benang di siang hari, tapi malam harinya dikusutkan kembali.
Pendidikan Islam sebagai Solusi
Perlu penulis tegaskan lagi bahwa persoalan negeri ini adalah akibat diterapkannya idiologi sekuler-kapitalisme. Idiologi ini telah terbukti gagal mensejahterakan manusia (1,5 M miskin), gagal memberikan rasa aman (penjajahan dibelahan negeri Islam), gagal menjadikan manusia menjadi makhluk yang bermartabat (kerusakan moral, 40 % bayi AS lahir by accident , miras menjadi konsumsi yang wajar bahkan dilegalkan dsb). Maka solusi bagi persoalan ini tidak lain adalah dengan mendongkel system ini dan mengantikannya dengan system yang adil, system yang datang dari yang Maha adil yaitu Islam. Islam adalah idiologi yang sempurna yang mengatur segala aspek termasuk pendidikan.
Pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk karakter atau kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyah. Kepribadian ini dibentuk oleh dua factor, yaitu pola fikir (fikriyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang Islami. Selain dalam system pendidikan Islam berlandaskan pada aqidah Islam, sehingga seluruh materi pelajaran, kurikulum, metode dan pendekatan pengajaran, kebijakan perundang-undangan, interaksi di sekolah, dan interaksi di mayarakat akan disetting sesuai dengan syariat Islam. Dengan aqidah Islam ini pula akan dikaji setiap materi ajar yang shahih. Materi ajar yang sesat dan menyesatkan seperti nasionalisme, demokrasi, dsb tidak akan diajarkan kecuali jika siswa telah memiliki kematangan aqidah (yaitu saat perguruan tinggi).
Lebih dari itu Islam adalah dien yang jelas dan tidak kabur. Sesutu yang baik adalah yang dipandang baik oleh syariat, sebaliknya yang buruk adalah apa saja yang dipandang buruk oleh syariat. Sumber hokum Islam juga jelas yaitu al qur’an, as sunnah, Qiyas dan Ijma shabat. Metodologi pengalian hokum hokum Islam juga jelas yaitu dengan ijtihad. Sehinga tidak terjadi kekaburan patokan kebenaran atau sesuatu yang dipandang terpuji maupun tercela.
Dalam Islam, pengajaran juga akan disetting agar yang terjadi bukan hanya transfer of knowledge semata, yang hanya memprioritaskan aspek kognitif. Akan tetapi benar-benar disetting agar terjadi transfer of personality sehingga terbentuklah pribadi-pribadi yang tangguh yang tafaqquh fiddin sekaligus pakar dibidang saintek. Hal ini dicapai dengan metode mengajaran talaqqi (perjumpaan langsung)dan siswa ditempatkan pada asrama (boarding school) agar kepribadian mereka terkontrol. Hal ini hanya akan terjadi apabila guru memiliki dedikasi yang tinggi dalam dunia pendidikan bukan sekedar profesi, apalagi karena tidak ada pilihan lain. Oleh karena itu selain di dorong oleh quwwah ruhiyyah (motivasi spiritual) untuk mencetak pribadi-pribadi yang bersyakshiyyah maka negara juga akan menggaji dengan gaji yang diatas layak.
Demikianlah beberapa hal yang dapat saya sampaikan. Karena keterbatasan ilmu, waktu, dan halaman maka tidak semua hal dapat dipaparkan disini. Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam bishawab





Khutbah Jumat

Sudah Bangkitkah Kita?
Materi Khutbah, 21 Mei 2010 di Masjid Siswa Graha DI Yogyakarta
Pada tanggal 20 mei 2010 bangsa Indonesia memperingati 102 tahun hari kebangkitan nasional atau yang disingkat harkitnas. Dalam kesempatan khutbah ini ada 2 catatan penting tentang harkitnas yang ingin kami sampaikan:


Pertama, aspek kesejarahan,
Penetapan harkitnas pertama kali dilakukan oleh cabinet Hatta (1948-1949). Tujuannya adalah membangkitkan kembali kesadaran nasional melawan pejajah. Untuk itulah diperlukan penentuan tanggal awal dan organisasi yang mempelopori timbulnya gerakan kebangkitan nasional pada abad ke-20an. Maka diputuskanlah Boedi Oetomo yang berdiri pada tanggal 20 mei 1908 sebagai tonggak sejarah kebangkitan nasional. Bukan syarikat Islam yang berdiri lebih awal yaitu 16 Oktober 1905. Padahal SI pada saat itu telah memiliki jaringan yang luas dengan anggota lebih dari 1 juta orang dari beragam etnis, dan yang terpenting memiliki cita-cita persatuan dan kemerdekaan dan pembebasan dari penjajahan. Sementara boedi Utomo saat itu hanya memiliki anggota sekitar 10ribu orang, Budi Oetomo juga menjadi sebuah organisasi elitis yang membatasi keanggotaannya hanya dari kalangan priyayi jawa, dan yang lebih ironis lagi oragnisasi ini tidak memimiliki visi kemerdekaan dari penjajahan Belanda karena sebagian anggotanya adalah para bangsawan yang diangkat dan digaji Belanda. Dalam aspek keagamaan organisasi ini juga menganut faham kejawen yang penuh dengan ritual syirik dan menganjurkan untuk tidak shalat. Berdasarkan fakta ini seorang pakar sejarah yaitu Ahmad Mansur Surya Negara dalam bukunya Api Sejarah I menyatakan ini adalah bentuk pengaburan sejarah dalam bentuk deislamisasi historis.
Catatan kedua, aspek empiris
Kenyataannya. Meski ’kebangkitan nasional’ sudah berjalan seabad lebih, dari tahun ke tahun, negeri ini bukan makin bangkit, tetapi justru makin terpuruk di segala bidang.
Sebagai contoh, di bidang pendidikan, hampir berbarengan dengan Peringatan Hari Pendidikan Nasional, kondisi dunia pendidikan di negeri ini boleh dikatakan makin menyedihkan. menurut data dari Kementerian Pendidikan Nasional, tahun 2010 ini sebanyak 267 sekolah tingkat SMA di seluruh Indonesia, 100% siswanya tidak lulus UN. Di tingkat SMP kondisinya lebih parah lagi; sebanyak 561 SMP/MTs di seluruh Indonesia, 100% siswanya juga dinyatakan tidak lulus UN. Kenyataan ini belum ditambah dengan makin mahalnya biaya pendidikan. Akibatnya, puluhan juta orang miskin tidak dapat sekolah
Di bidang hukum/peradilan, yang mengemuka akhir-akhir malah merajalelanya mafia hukum/peradilan. Di bidang politik/pemerintahan, kasus-kasus korupsi bukan malah berkurang, tetapi makin banyak dan beragam dengan berbagai modus. Wajar jika menurut survei PERC, tahun ini 2010 ini pun–sebagaimana tahun lalu–Indonesia masih memegang rekor sebagai negara terkorup di Asia Pasifik (Metronews.com, 10/3).
Di bidang ekonomi, negeri yang kaya-raya dengan sumberdaya alam ini pun masih menyisakan sekitar 100 juta penduduk miskin menurut kategori Bank Dunia (Okezone, 18/8/2009). Parahnya lagi, rakyat ini harus menanggung beban utang luar negeri yang tahun 2010 ini mendekati Rp 2000 triliun (Kompas.com, 16/5).
Lantas apakah makna kebangkitan yang hakiki? Pengarang kitab an nahdah al ustadza Hafidz Shalih mendefinisikan kebangkitan dengan:
النهضة هي انتقال أمة أو شعب أو فرد من حال إلى حال أفضل
Kebangkitan adalah peralihan umat, masyarakat atau individu dari satu keadan pada keadaan yang lebih baik (An Nahdhah hal. 4)

Untuk meraih kebangkitan meniscayakan adanya kebangkitan berfikir. Karena dengan berfikir terbentuklah pemahaman. Berdasarkan pemahaman inilah kemudian satu individu, masyarakat ataupun sebuah Negara akan berperilaku. Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (Ar – Ra’du [13]: 11)
Sedangkan factor mendasar yang harus difikirkan dan mendapatkan jawaban tuntas dan memuaskan adalah pertanyaan tentang dari mana kita, akan kemana kita setelah kematian dan apa tujuan hidup kita? 3 pertanyaan inilah yang disebut sebagai al ‘uqdatul kubra (simpul yang besar). Jawaban dari tiga pertanyaan ini akan menjadi guiden (pemandu) hidup kita. Eropa telah bangkit dengan menjawab 3 pertanyaan tersebut. Meski dengan jawaban yang tidak shahih, hingga akhirnya berpandangan sekular atau fashlu ad-din ‘anil hayah. Akibatnya mereka bangkit dalam aspek materi namun kering secara spiritual.
Jawaban yang shahih hanya ada dalam Islam. Islam menjawab bahwa manusia, alam semesta beserta isinya dan kehidupan adalah makhluk Allah al Khaaliq al Mudabbir dan bahwa manusia akan Allah hidupkan kembali untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya. Allah berfirman:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (al zalzalah: 7-8)
Oleh karena itulah maka tujuan penciptaan manusia adalah semata-mata beribah kepada Allah: Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (az zariat [51]: 56)
Jawaban 3 pertanyaan ini termaktub dalam kalimat syahadat:
لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله
Maknanya adalah:
لا إله إلا الله، فهي تقرر أن لا معبود بحق إلا الله تعالى بوصفه الرب الخالق المدبر. فالإله هو المعبود، والعبودية هي الخضوع المطلق والتذلل الكامل وتفويض الأمر للمعبود
Pengakuan/keyakinan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah ta’ala dengan sifatnya sebagai Tuhan yang Maha Pencipta lagi Maha Mengatur. Al ilah adalah al ma’bud (yang disembah). Sedangkan ‘ubudiyah adalah Ketundukan mutlak dan ketundukan yang sempurna dan pemberian kekuasan secara penuh kepada pihak yang disembah
Berdasarkan definisi ini. Konsekuensi dari keyakinan bahwa tidak ada yang berhak untuk disembah selain Allah adalah tunduk patuh terhadap terhadap seluruh hokum-hukum yang Allah tetapkan, tanpa memilah dan memilihnya sesusai hawa nafsu kita. Allah berfirman:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاء مَن يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat; tafsir depag) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat (Al Baqarah: 85)
Hanya denga aqidah yang benar, lurus dan mantap serta ketundukan total pada hokum-hukum Allahlah maka kita akan bangkit. Sejarah telah membuktikan dengan rahasia kebnagkitan ini bangsa arab yang jahiliyah dan terbelakang akhirnya mampu memimpin dunia. Kekuasaan islam terbentang di tiga benua, 2/3 bumi hidup dalam naungan hidayah Islam. Peradaban islam menjadi inspirasi bagi dunia. Barat bahka mengakui bahwa kemajuan peradaban (khususnya aspek materi) tidak terlepas dari jasa umat Islam. Saatnya bangkit dengan islam. Terapkan syariah, tegakkan Khilafah. Allahu Akbar
Wallahu ‘alam



Minggu, 09 Mei 2010

Hukum Leasing Sepeda Motor

SOAL :
Bagaimana hukum leasing? Contoh, saya membeli sepeda motor dengan sistem leasing. Jika dalam beberapa bulan tidak bisa membayar cicilan atau telat membayar cicilan, maka akan didenda bahkan jika tidak mampu membayar cicilan lagi, sepeda motor itu akan diambil kembali oleh dealer. Bagaimana hukum jual-beli seperti ini? (Agus, Bandung)
JAWAB :



A. Fakta Leasing
Leasing secara global ada dua, yaitu operating lease dan financial lease. Operating lease adalah menyewa suatu barang untuk mendapatkan manfaat barang yang disewa, sedangkan kepemilikan barang tetap di tangan pemberi sewa.
Adapun financial lease merupakan suatu bentuk sewa dimana kepemilikan barang berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap milik pemberi sewa (perusahaan leasing), akadnya dianggap sebagai akad sewa. Sedangkan bila pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya, barang tersebut menjadi milik penyewa. Biasanya pengalihan pemilikan ini dengan alasan hadiah pada akhir penyewaan, pemberian cuma-cuma, atau janji dan alasan lainnya. Intinya, dalam financial lease terdapat dua proses akad sekaligus : sewa sekaligus beli. Dan inilah sebabnya mengapa leasing bentuk ini disebut sebagai sewa-beli. Istilah leasing, pada umumnya diartikan masyarakat sebagai financial lease atau sewa-beli ini (MR. Kurnia, Hukum Seputar Leasing, 1999).

B. Hukum Leasing
Leasing dalam arti financial lease (sewa beli) adalah akad yang batil, karena bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW yang melarang terjadinya dua akad berbeda dalam satu akad. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa “Rasulullah SAW melarang (kaum muslimin) dua perjanjian dalam satu perjanjian“ (nahaa rasulullah ‘an shafqatain fi shaqatin) (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhsyiah Al-Islamiyah, II/263-264).

Syaikh An-Nabhani menafsirkan, bahwa makna hadits tersebut ialah Rasulullah SAW melarang adanya dua akad pada satu akad saja (wujuudu ‘aqdain fi aqdin wahidin). Syaikh An-Nabhani mencontohkan dua akad dalam satu akad, misalnya seseorang berkata,”‘Saya menjual rumah saya ini kepada Anda dengan syarat Anda menikahkan putri Anda kepada saya.” Ini tidak boleh, sebab perkataan “Saya menjual rumah saya ini kepada Anda” adalah akad pertama (akad jual-beli), dan perkataannya “Dengan syarat Anda menikahkan putri Anda kepada saya” adalah akad kedua (akad nikah). Kedua akad ini telah berkumpul menjadi satu akad, sehingga tidak dibenarkan sebagaimana hadits Rasulullah SAW di atas.

Demikian pula andaikata seorang penjual motor berkata,“Saya menjual motor ini kepada Anda dengan harga 10 juta rupiah dengan cicilan selama 2 tahun, tetapi bila di tengah jalan Anda tidak dapat melunasinya, maka barang tersebut tetap menjadi milik saya dan uang yang telah Anda berikan kepada saya dianggap uang sewa selama Anda menggunakannya.”
Di dalam muamalah ini sesungguhnya terdapat dua akad sekaligus, yaitu akad jual-beli sekaligus akad sewa dalam satu akad saja. Semua ini bertentangan hadits Rasulullah SAW tadi.
Berdasarkan penjelasan ini, nampaklah bahwa dalam muamalah financial lease (yang secara umum dikenal dengan istilah ‘leasing’ saja) seperti yang ditanyakan, terdapat dua akad sekaligus dalam satu akad. Hal ini batil karena tidak sesuai dengan hadits Rasulullah SAW. Wallahu a’lam [ ]

Yogyakarta, 29 Agustus 2005

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Rabu, 05 Mei 2010

Tanggapan atas tulisan

Diskusi tentang MLM
Tanggapan atas tulisan al mukarram al Ustadz M. ABDUL-QADIM M.M

Beberapa waktu yang lalu ana mendapat kiriman makalah yang ditulis al mukarram al Ustadz M. ABDUL-QADIM M.M dengan judul Mendudukkan Bisnis Multi Level Marketing Dalam Sudut Pandang Hukum Islam. Pengirim meminta tanggapan ana tentang tulisan tersebut.

Dalam tulisan ini ana akan mengutip beberapa pandangan beliau yang perlu ana koreksi (tentu dengan segala keterbatasan ilmu ana). Supaya terbentuk pemahaman yang gambling maka ana mengutip pandangan beliau dan ana beri garis bawah (underline). Kemudian ana hanya membatasi tanggapan ana dengan banyak merujuk pada beberapa kitab mutabannat. Selain itu sengaja ana kutipkan versi arabnya agar tidak terjadi kesalahfahaman dan pemahamannya lebih lengkap. Ana sangat berharap agar tulisan ini dapat disampaikan kepada teman-teman yang terlibat langsung dalam bisnis ini. Masukan, tanggapan, kritik dan saran sangat ana nantikan untuk memperbaiki dan mempertajam pemahaman kita tentang hokum-hukum Allah SWT. Akhirnya ana berharap kepada Allah SWT agar Dia memberikan hidayah, ketajaman mata hati dan kekuatan kepada semua agar senantiasa berada di jalan-Nya. Amin ya mujibassaailiin.

Point I
Aqad Membership MLM umumnya tercantum dengan gamblang/jelas pada lembaran formulir pendaftaran dan diulangi lagi tercantum di dalam buku panduan resmi yang telah dikeluarkan oleh perusahaan MLM tersebut. Nyaris semua perusahaan MLM telah mencantumkan akad keanggotaan dengan bunyi sebagai berikut: Anggota MLM berstatus bukan sebagai pegawai maupun wakil dari perusahaan MLM, namun statusnya sebagai partner/mitra usaha yang berhak untuk mendapatkan komisi, bonus dan penghargaan/reward dari perusahaan atas prestasi yang telah diraih. Sangat jelas di dalam aqad membership tersebut di atas kita cermati baik-baik maka akan dapat kita simpulkan bahwa seorang member MLM jelas statusnya bukan sebagai pegawai (:ajir) maupun wakil (:wakalah) dari perusahaan MLM sehingga tidak berhak mendapatkan gaji/upah (:ujrah/ajrun). Lantas sebagai apa statusnya? Kalimat berikutnya juga sangat tegas dan terang bahwa akad membership MLM seseorang ditetapkan sebagai agen atau distributor atau broker/makelar (;simsar) yang berhak mendapatkan komisi/persenan (:samsarah), juga berhak mendapatkan bonus (;hadiyyah), dan juga berhak mendapatkan reward/penghargaan (:ju'ala`) dari perusahaan MLM atas prestasi yang telah diraihnya. Demikian pula dapatlah dipahami bahwa semua member yang berlevel distributor, downline, sponsor, upline, dan crossline telah ditetapkan statusnya oleh perusahaan MLM secara langsung sebagai broker (:simsar). Sehingga mulai dari transaksi jual-beli produk, pengembangan jaringan downline, pertumbuhan omzet penjualan produk grup downline, sampai hak untuk mendapatkan berbagai komisi, bonus dan reward, setiap distributor/broker melakukan/menerima akad-akad itu semua langsung kepada perusahaan MLM.
Komisi, bonus dan reward dari perusahaan MLM yang diberikan kepada seorang distributor murni 100% akadnya diambilkan/berasal/bersumber dari keuntungan perusahaan MLM itu sendiri dan sama sekali bukan diambil sedikitpun (meski Rp.1) dari bonus/komisi/reward maupun keuntungan Downline

Tanggapan:
Memang benar bahwa salah satu akad dalam bisnis MLM adalah samsarah. Samsarah hukumnya boleh. Berdasarkan hadist Nabi dari Qais Bin Abi Ghurzat Al Kinani yang mengatakan:
كنا نبتاع الأوساق في المدينة ونسمي أنفسنا السماسرة فخرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم فسمّانا باسم هو أحسن من اسمنا قال صلى الله عليه وسلم: يا معشر التجار إن البيع يحضره اللغو والحلف فشوبوه بالصدقة

Kami, pada masa Rasulullah SAW, biasa disebut (orang) dengan sebutan samasirah. Kemudian --suatu ketika-- kami bertemu dengan Rasulullah SAW, lalu beliau menyebut kami dengan sebutan yang lebih pantas dari sebutan tadi. Kemudian beliau bersabda:"Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli itu bisa mendatangkan omongan yang bukan-bukan dan sumpah palsu, maka kalian harus memperbaikinya dengan kejujuran." (HR. abu Dawud).


Akan tetapi kita harus sepakati dulu apa definisi samsarah. Berikut ana kutipkan beberapa definisi samsarah.

Dalam kitab an-Nizham al Iqtishadi fil Islam disebutkan:
السمسرة اسم لمن يعمل للغير بالأجر بيعاً وشراء، وهو يصدق أيضاً على الدلال فإنه يعمل للغير بالأجر بيعاً وشراء
Simsar adalah sebutan bagi orang yang bekerja untuk orang lain dengan upah, baik untuk keperluan menjual maupun membelikan. Sebutan ini juga layak dipakai untuk orang yang mencarikan (menunjukkan) orang lain. Karena dalal adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan upah, baik untuk keperluan menjual maupun membelikan (an-Nizham al Iqtishadi fil Islam hal. 81 dan Syakhshiyyah Islamiyyah II/311)
Definisi senada juga disebutkan pengarang kitab al maushu’ah al fiqhiyyah, disebutkan:
والسّمسرة اصطلاحاً: هي التّوسّط بين البائع والمشتري ، والسّمسار هو: الّذي يدخل بين البائع والمشتري متوسّطاً لإمضاء البيع ، وهو المسمّى الدّلّال ، لأنّه يدلّ المشتري على السّلع ، ويدلّ البائع على الأثمان
Samsarah secara istilah (etimologi) adalah menghubungkan antara penjual dan pembeli. Sedangkan simsar/broker adalah orang yang menghubungkan antara penjual dan pembeli hingga terjadilah transaksi jual-beli. Sebutan ini juga layak dipakai untuk orang yang mencarikan (menunjukkan) orang lain. Karena dia yang menunjukan barang pada calon pembeli dan menunjukan harga (calon pembeli) kepada penjual. (Mausu’ah fiqhiyah 2/3573)

السمسرة هي بين البائع ومن يحضر له الزبائن وهذا يعني أنَّ أجرة السمسرة هي عن الذين يحضرهما الشخص للشركة وليس عن الذين

Samsarah itu berada di antara penjual dan orang-orang yang diajaknya sebagai pelanggan. Ini berarti, ujrah (upah) samsarah itu berasal dari pelanggan-pelanggan yang diajaknya, dan bukan dari orang-orang yang diajak oleh orang lain. (Syaikh atha’ Abu Rasytah dalam Ajwibah asilah dengan judul عمولة المشتري)

Dari definisi dan fakta samsarah pada masa nabi saw. Dapat kita fahami bahwa akad samsarah terjadi hanya pada level satu. Bukan bertingkat-tingkat. Inilah yang disebut sebagai samsarah ‘ala samsarah. Fakta seperti inilah yang diharamkan.

Oleh karena itu yang berhak mendapat komisi dari perusahaan/orang yang minta dijualkan barangnya atau minta dicarikan barang hanyalah makelar yang berhubungan langsung dengan orang/perusahaan yang meminta dijualkan barang atau mencari barang (perusahaan MLM).

Tapi yang terjadi pada hampir semua MLM seorang member/makelar/simsar yang telah berstatus up line berhak mendapatkan bonus/komisi dari perusahaan meskipun dia bukan orang yang merekrut orang yang ada dibawahnya secara langsung (level satu). Lantas bonus yang dia dapatkan itu apa namanya? Apa bukan mengambil hak komisi orang yang merekrut/menjual produk secara langsung? Padahal ini adalah satu hal yang baku dan mesti ada dalam bisnis MLM.

Padahal, ustadz Abdul Qadim sendiri menyatakan:
“Lain halnya jika fakta yang telah-tengah-akan terjadi demikian. Ternyata si-A kurang 2minggu hampir kena deadline dari 2bulan batas waktu yang telah ditetapkan oleh malikusy-syai`. Akhirnya si-A menyerahkan kembali akad simsarnya kepada malikusy-syai` dengan alasan tidak mampu menjual tanah senilai Rp.100M jika bekerja sendirian hanya dengan naik sepeda motor ke para calon pembeli. Namun si-A dengan mengajak si-B, si-C, si-D dan si-E secara kolektif, kembali mengajukan penawaran kembali menjadi simsar kolektif kepada malikusy-syai` dengan tetap bersedia menerima samsarah 5% dan sisa batas waktu 2minggu. Kemudian malikusy-syai` bersedia dan mengakadi mereka 5 orang secara langsung sebagai simsar kolektif. Demikian fakta empiric samsarah yang haq, dan fakta yang terakhir ini sama sekali tidak termasuk samsarah 'ala samsarah.”

Apabila demikian faktanya MLM yang syar’ie. Mengapa kemudian member/distributor/simsar tidak memiliki hak yang sama dalam arti hak bonus?.

Sebagai ilustrasi misalkan. Si A merekrut B dan C sebagai member. Maka komisi yang didapatkan si A karena merekrut B dan C atau komisi yang didapatkan si A karena B dan C melakukan pembelian. Maka ini adalah komisi yang halal karena merupakan samsarah. Dan faktanya yang terjadi adalah komisi yang diberikan perusahaan karena kerja si A. Kemudian si B merekrut D dan E. seharusnya hanya si B yang dapat bonus. Tetapi dalam system MLM si A juga mendapat bonus. Padahal dia bukan orang yang merekrut D dan E. lantas dimana kesetaraan (samsarah yang terjadi langsung antara makelar dengan perusahaan) seperti yang dicontohkan ustadz Abdul Qadim di atas? Kenyataannya justru ada hak istimewa bagi up line yaitu mendapat bonus dari perusahaan karena orang yang berada dibawahnya (tingkat 2 dst) membeli produk atau merekrut member baru.

Atau apabila menggunakan contoh yang dikemukakan ustadz Abdul Qadim. Seandainya si C yang berhasil menjual tanah. Tentu yang mendapat 5 % hanya si C. adapun selain C tidak mendapat komisi apa. Kalaupun si C member kepada yang lain tentu hanya hadiah yang sifatnya tidak mengikat.

Kalau dikatakan bahwa apa yang didapatkan adalah hadiyah/bonus yang diberikan oleh perusahaan karena pembinaan yang dia lakukan. Pertanyaan adalah, mengapa hadiahnya mengikat dan fixed? Hadiah macam apa ini? Apakah ini bukan komisi yang berlindung dibalik kata hadiah?

Dalam konteks inilah syaikh ‘Atha Abu Rusythah menyatakan:
لكن يجوز للشركة أن تعطي هبةً للمشتري الأول عن الزبائن الذين يحضرهم غيره، ولكن ليس على سبيل الإلزام
Boleh saja bagi pelanggan memberikan hibah (pemberian) kepada pembeli pertama dari para pelanggan yang diajak oleh orang lain. Hanya saja, itu tidak boleh dalam bentuk yang mengikat . (Syaikh atha’ Abu Rasytah dalam Ajwibah asilah dengan judul عمولة المشتري)
Kalau yang dicontohkan ustadz Abdul Qadim adalah secara kolektif A, B, C, D dan E bekerjasama untuk menjual tanah. Kemudian mereka sepakat membagi komisi yang 5% dengan ketentuan yang disepakati maka itu tidak masalah. Tapi masalahya adalah akad makelar/member/simsar dalam system MLM bukanlah akad kolektif tapi akad individual. Sebagaimana yang ditulis oleh penulis makalah, seperti yang telah saya cantumkan diatas. Kalaupun dianggap bahwa member melakukan akad kolektif . diantara member tidak pernah melakukan kesepakatan tentang pembagian komisi dari perusahaan.
Point II
Bersedia membayar uang pendaftaran keanggotaan sebesar Rp.350.000,- maka sah menjadi distributor dengan mendapatkan fasilitas 1 set Member Kit Pack berisi produk senilai Rp.315.000,- dan tools kit lengkap senilai Rp.35.000,- (1member card ekslusif, 1keping VCD panduan product knowledge, 1keping VCD panduan marketing plan, 1lembar masing-masing produk yang dipasarkan, 1buah shaker, goody bag, map plastic, dll). Syarat pertama ini secara syar’iy hukumnya mubah-mubah saja, karena memang tahqiqul-manathnya adalah transaksi jual-beli produk & tools/perangkat yang secara langsung berkaitan dengan akad/statusnya sebagai makelar/distributor/agen ImPro.

Tanggapan: dari tulisan ini dapat saya fahami bahwa dalam MLM IMPRO pembelian produk (Rp.315.000,-) menjadi syarat diterimanya seseorang menjadi makelar/distributor/agen ImPro. Sesungguhnya inilah yang disebut shafqatain fi shafqah (2 transaksi dalam satu transaksi). Akad/transaksi pertama adalah akad samsarah, hanya saja akad samsarah ini ini berlangsung apabila calon simsar/makelar memenuhi syarat. Yaitu pembelian sejumlah produk. Padahal pembelian produk adalah akad yang lain. Dengan kata lain hal ini mirip dengan “Anda kami terima sebagai makelar/simsar dengan syarat anda membeli produk kami”.

Perhatikanlah pandangan syaikh Taqiyuddin dalam kasus seperti ini:

وأمّا ما رواه أحمد (نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن صفقتين في صفقة) فالمراد منه وجود عقدين في عقد واحد، كأن يقول: بعتك داري هذه على أن أبيعك داري الأخرى بكذا، أو على أن تبيعني دارك أو على أن تزوجني بنتك. فهذا لا يصح لأن قوله: "بعتك داري" عقد، وقوله: "على أن تبيعني دارك" عقدٌ ثان واجتمعا في عقد واحد، فهذا لا يجوز
Artinya: Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad “Nabi saw. melarang melakukan dua transaksi dalam satu transaksi”, maksudnya adalah adanya dua akad dalam satu akad, seperti seseorang yang mengatakan; saya jual rumah ini kepada anda segini, dengan catatan saya jual kepada anda rumah yang satunya dengan harga segini, atau dengan catatan kamu menjual rumah anda pada saya, atau dengan syarat anda mau mengawinkan aku dengan putrimu. Model seperti ini tidak diperbolehkan, karena ucapan “saya menjual rumahku kepada anda” adalah satu transaksi, dan catatan “dengan syarat saya juga menjual rumah yang satunya kepada anda” adalah transaksi yang berbeda. Dan keduanya dikumpulkan dalam satu transaksi. Maka transaksi seperti ini tidak dibolehkan (Syakhshiyyah Islamiyyah II/307)

Dalam konteks ini pulalah Syaikh ‘Atha Abu Rasytah menyatakan:
أن لا يكون الشراء مشروطاً بالسمسرة أي لا يكون العقدان مشروطين ببعضهما، فيكون عقد الشراء وعقد إحضار الزبونين مقابل عمولة، مشروطين ببعضهما كعقد واحد ففي هذه الحالة لا يصح لأنهما صفقتين في صفقة وقد نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صفقتين في صفقة. أي كأن أقول لك: إذا بعتني أستأجر منك أو أسمسر لك، أو أشتري منك...الخ. ويبدو أن هذا موجود هنا (حسب السؤال) فالبيع والسمسرة في عقد واحد أي تشتري من الشركة وتحضر لها.
Pembelian tidak boleh dijadikan sebagai syarat bagi samsarah, yakni tidak boleh ada dua akad yang satu sama lain menjadi syarat. Akad pembelian dan akad mengajak dua orang pelanggan untuk mendapatkan komisi itu telah menjadi persyaratan bagi satu sama lain sehingga seperti satu akad. Ini tidak sah karena termasuk dalam shafqatayn fî shafqah wâhidah (dua akad dalam satu akad). Rasulullah saw. telah melarang shafqatayn fî shafqah wâhidah. Seperti saya berkata kepada Anda, “Jika kamu menjual kepadaku maka aku akan menyewa darimu, “atau, “aku mengangkatmu menjadi makelar,” atau, “aku membeli darimu,” dst. Hal itu telah tampak terjadi dalam muamalah ini (sesuai dengan pertanyaan). Jual-beli dan samsarah itu dalam satu akad, yakni Anda membeli dari perusahaan dan mengajak orang kepadanya. (Ajwibah asilah dengan judul عمولة المشتري)
Apabila dikatakan “Syarat pertama ini (pembelian produk) secara syar’iy hukumnya mubah-mubah saja, karena memang tahqiqul-manathnya adalah transaksi jual-beli produk & tools/perangkat yang secara langsung berkaitan dengan akad/statusnya sebagai makelar/distributor/agen ImPro.” Maka perhatikanlah!!! Pernyataan ini semakin menegaskan bahwa dua akad ini benar-benar telah terjadi dalam satu akad. Dan hal ini semakin menegaskan bahwa transaksi ini adalah transaksi yang batil.


Point III
Bersedia melakukan pembelanjaan rutin pribadi dan omzet grup downline masing-masing distributor setiap bulan produk-produk ImPro sebesar Rp.50.000,- s.d Rp.400.000,- yang sesuai peringkat kedistributorannya, dengan kompensasi atau jaminan dari ImPro yang akan diberikan kepada para distributor yang qualify/memenuhi syarat kelima ini berupa bonus/hadiah dan reward/ju’ala` yang besar nilainya ditentukan tinggi-rendahnya peringkat kedistributoran masing-masing. Bila belum/tidak qualify, maka tetap dapat bonus tetapi tidak sebesar bonus yang qualify. Namun demikian, setiap distributor dijamin akan mendapatkan reward tertentu bila qualify dan bila tidak/belum qualify dijamin reward tidak akan pernah hangus, tetapi hanya tertunda waktunya sampai distributor tersebut qualify.

Adapun “kewajiban” belanja bulanan sejumlah/senilai tertentu sesuai peringkat prestasinya atau paling mudah dikenal dalam istilah MLM sebagai Tutup Poin (:TuPo), jika ditelaah secara detail maka kita akan mendapatkan pemahaman bahwa tutup poin ini sebenarnya tetap masih dalam akad agen/distributor yang bersifat SYARAT.

Tanggapan: syarat tutup point adalah syarat yang batil. Karena di dalamnya terdapat unsur kedzaliman. Dimana letak kezalimannya? Tupo (tutup point) adalah syarat dicairkan bonus (baik bonus perekrutan maupun pembinaan). Bayangkan bagaimana mungkin makelar/broker diperlakukan seperti itu. Padahal dia sudah bekerja, peras keringat, bersusah payah merekrut member/downline baru. Apakah hanya karena dia tidak dapat melunasi tupo maka hak bonus yang seharusnya dia dapatkan malah ditahan.

Kalau dikatakan bahwa bonusnya akan diakumulasikan bulan depan kalau makelar/simsar dapat melakukan tupo. Pertanyaannya adalah seandainya bulan selanjutnya simsar kembali tidak dapat melakukan tupo apakah lantas selama itu pula hak bonusnya ditahan. Bukankah ini bentuk kedzaliman?


Padahal salah satu kewajiban syariat adalah segera membayarkan hak seseorang (dalam hal ini makelar/simsar) apabila dia telah menunaikan kewajibannya. Misalnya merekrut down line. Dalam hal ini Nabi bersabda dalam sebuah hadist qudsi:
قَالَ اللَّهُ: ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى بِى، ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا، ثُمَّ أَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا، فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ
"Allah SWT berfirman: 'Tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti, adalah orang yang telah memberikan karena Aku, lalu berkhianat; dan orang yang membeli barang pilihan, lalu ia makan kelebihan harganya; serta orang yang mengontrak pekerja kemudian pekerja tersebut menunaikan transaksinya sedangkan upahnya tidak diberikan." (HR. Bukhari)

Memang benar, akad samsarah bukanlah akad ijarah. Akan tetapi dalam samsarah juga ada upah/komisi (sebagaimana ana jelaskan dalam definisi samsarah) yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh perusahaan MLM ketika seorang makelar/simsar telah menunaikan kewajibannya. Apakah hanya karena tidak bisa tutup point lantas hak simsar tidak ditunaikan. Bukankah ini satu bentuk kezaliman. Padahal Nabi bersabda:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ : لَا يَظْلِمُهُ ، وَلَا يَخْذُلُهُ ، وَلَا يَحْقِرُهُ …كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ : دَمُهُ ، وَمَالُهُ ، وَعِرْضُه
Seorang muslin adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak boleh mendzaliminya, tidak menelantarkannya dan tidak menghinanya… setiap muslim atas muslim yang lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatanny (Hr muslim no. 2564)

Kesimpulannya, tutup point adalah syarat yang batil. Karena ada unsur kezaliman didalamnya. Maka syarat yang seperti ini adalah syarat yang bertentangan dengan syariat.

Padahal Nabi bersabda:
مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِى كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَ اِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
Artinya: apa yang disyaratkan yang tidak ada dalam Kitab Allah adalah batil meskipun terdapat seratus syarat, (Shahih Bukhari No.2023).


Point IV
Contoh lain, tidak sah jika anda menyatakan: aku jual sesuatu ini dengan harga seribu tunai atau dengan dua ribu jika tidak tunai (:kredit/diangsur). Ini adalah satu jual beli yang mengandung dua syarat, yang tujuannya berbeda dengan berbedanya dua syarat tersebut dan ini merupakan syarat yang batil, maka jual-beli yang disebabkan oleh syarat tadi batil pula;

Tanggapan; apa yang beliau paparkan adalah mengacu pada kitab syakhshiyyah Islamiyyah juz III hal 47 (versi maktabah syamilah). Beliau (Syaikh Taqyuddin) menyatakan:
ومثلاً، لا يصح أن تقول: بعتك هذا الشيء بألفٍ نقداً أو بألفين نسيئة، فهذا بيع واحد تضمن شرطين يختلف المقصود فيه باختلافهما، وهذا شرط باطل والبيع بسببه باطل لقوله عليه الصلاة والسلام: (لا يَحِل سلف وبيع ولا شرطان في بيع)
Contoh (lain) tidak sah jika anda menyatakan: aku jual sesuatu ini dengan harga seribu tunai atau dengan dua ribu jika tidak tunai. Ini adalah satu jual beli yang mengandung dua syarat, yang tujuannya berbeda dengan berbedanya dua syarat tersebut dan ini merupakan syarat yang batil, maka jual-beli yang disebabkan oleh syarat tadi batil pula; didasarkan pada sabda beliau As-Shalatu was-Salam:

“ tidak halal salaf dan jual-beli dan tidak ada dua syarat pada satu jual-beli” Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud.

Fakta yang diharamkan dalam point ini adalah pada saat telah terjadinya akad/transaksi . Adapun apabila masih dalam masa penawaran maka hukumnya boleh. Dan penawaran hukumnya boleh dalam bentuk seperti yang disebutkan diatas karena penawaran terjadi sebelum akad jual beli, bukan akad jual beli itu sendiri. Perhatikanlah pandangan syaikh Taqiyuddin dalam masalah ini:

وكذلك يجوز للبائع أن يبيع سلعته بثمنين أحدهما نقداً والآخر نسيئة، فلو قال شخص لآخر: بعتك هذه السلعة نقداً بخمسين ونسيئة بستين. فقال له: اشتريتُها بستين نسيئة، أو قال: اشتريتها نقداً بخمسين، صحّ البيع. وكذلك لو قال له: بعتك هذه السلعة نسيئة بستين بزيادة عشرة على ثمنها الأصلي نقداً لأجل تأخير دفع الثمن، فقالك المشتري: قَبِلت، صحّ البيع أيضاً. ومن باب أوْلى لو قال له: هذه السلعة ثمنها ثلاثون نقداً وثمنها أربعون نسيئة فقال: اشتريتها بثلاثين نقداً، أو قال: اشتريتها بأربعين نسيئة فقال البائع: بعتك أو خذها أو هي لك، صحّ البيع. لأنه في هذا المثال الأخير حصلت المساومة على ثمنين والبيع على ثمن واحد. أمّا بالأمثلة الأولى فقد حصل البيع على ثمنين. وإنّما جاز في عقد البيع جعل ثمنين للسلعة الواحدة، ثمن حال وثمن مؤجل، أي ثمن نقداً وثمن نسيئة ديْناً، لعموم الأدلة الواردة في جواز البيع، قال تعالى: (وأحلّ الله البيع)، وهذا عام. فما لم يَرِد نص شرعي على تحريم نوع معين من البيع كبيع الغرر مثلاً، الذي ورد نص في تحريمه، فإنه يكون البيع حلالاً. فعموم قوله تعالى: (وأحلّ الله البيع) يشمل جميع أنواع البيع أنها حلال إلاّ الأنواع التي ورد نص في تحريمها، فإنها تصبح حراماً بالنص مستثناة من العموم. ولم يَرِد نص في تحريم جعل ثمنين للسلعة، ثمن معجّل وثمن مؤجّل، فيكون حلالاً أخذاً من عموم الآية. وأيضاً فقد قال صلى الله عليه وسلم: (إنّما البيع عن تراض)، والمتبايعان هنا كانا بالخيار وتم البيع برضاهما
Artinya: Dan juga diperbolehkan bagi penjual menjual barangnya dengan dua harga yang berbeda; kontan atau kredit. Jika seseorang berkata pada temannya; saya menjual barang ini 50 secara kontan 60 secara kredit, lalu temannya itu berkata; saya beli secara kredit 60, atau dengan kontan 50, maka sahlah jual-beli itu. Begitu pula kalau dia berkata; saya jual barang ini 60 secara kredit, selisih 10 dari harga aslinya secara kontan, dan pembeli setuju. Maka sahlah jual-beli itu. Dan masuk dalam kategori lebih utama (bab aula) adalah ketika penjual mengatakan; harga barang ini adalah 30 secara kontan, dan 40 secara kredit. Dan pembeli berkata; “saya beli barang itu dengan harga 30 kontan”, atau “saya beli barang itu dengan harga 40 kredit, lalu penjual berkata; “saya jual kepada anda, atau ambillah barang itu, atau barang itu menjadi milik kamu”. Transaksi di atas hukumnya adalah sah. Karena dalam contoh terakhir ini, ada dua penawaran sistem pembayaran dan melangsungkan transaksi dengan satu sistem pembayaran. Sementara dalam kasus sebelumnya terjadi transaksi dengan dua sistem pembayaran. Dalam transaksi jual-beli boleh menetapkan dua sistem pembayaran untuk satu barang; sistem kontan atau kredit, karena dalil yang membolehkan jual-beli, yaitu firman Allah“Allah menghalalkan jual-beli” (Q.S Al-Baqoroh; 275), sifatnya umum. Jadi transaksi jual-beli dalam bentuk apapun adalah halal selama tidak ada teks atau dalil yang mengharamkannya, seperti bai’ul ghoror. Dan untuk kasus di atas, menjadikan dua sistem pembayaran pada satu barang, tidak ada nash yang mengharamkannya. Dengan begitu, masuk dalam keumuman ayat, yaitu halal. Di samping itu, Nabi saw. bersabda; “jual-beli itu didasarkan pada keridloan dua belah pihak”. (Syakhshiyyah Islamiyah II/305-306)

Pemhaman seperti ini ada dapatkan dalam nasyrah saat seorang syabab bertanya tentang dua hal yang seakan-akan berbeda antara yang termaktub dalam kitab syakhshiyyah II dan III. Jadi kesimpulannya boleh menawarkan dengan dua model harga (kredit atau cash) tapi saat akad/transaksi harus ditetapkan satu model harga atau model jual belinya.

Wallahu ‘alam bishawab
Yogyakarta, 5 Mei 2010
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan