Rabu, 24 Februari 2010

TOLAK OBAMA, PENGUASA NEGARA PENJAJAH!

[Al-Islam 495] Jika tidak ada perubahan, sekitar tanggal 20-22 Maret 2010 ini, Presiden AS Barack Obama akan berada di Indonesia. Pemerintah Indonesia tampak menaruh banyak harapan kepada Obama. Untuk itu, Pemerintah telah menyiapkan beberapa inti pembicaraan yang akan dijadikan acuan untuk merumuskan bentuk kerjasama yang saling menguntungkan antara Indonesia dan AS.


Berbeda dengan kedatangan Bush pada tahun 2006, kunjungan Presiden AS Obama kali ini cukup mendapatkan respon dan penilaian positif dari beberapa pihak. Adanya respon positif dari Pemerintah tentu wajar karena sejak awal Presiden SBY (tentu dengan berbagai motifnya) sangat mengharapkan kehadiran Obama. Yang aneh, respon positif ternyata juga datang dari beberapa orang yang dianggap tokoh umat Islam di Indonesia. Beberapa tokoh Muslim tersebut menganggap Obama bisa membawa harapan dengan tawaran pemulihan hubungan AS dengan Dunia Islam yang sudah diumbar sebelumnya.

Padahal mereka tahu bahwa hingga saat ini janji Obama hanya mimpi dan tipuan belaka. Bahkan ada yang tidak sependapat jika kehadiran Obama ke Indonesia malah ditolak dengan aksi demonstrasi. Pasalnya, menurut mereka, justru ini adalah kesempatan baik bagi Indonesia dan umat Islam khususnya untuk menunjukkan sikap bijak dan ramah sebagaimana layaknya kewajiban umat Islam kepada tamunya.

Obama Wajib Ditolak!

Apakah benar umat Islam Indonesia harus menyambut Obama sebagai tamu dengan ramah dan rasa hormat? Yang pasti, umat Islam saat ini sangat perlu mengetahui hakikat masalah ini dari sudut pandang Islam, bukan dari asas manfaat. Tetap harus didudukkan masalahnya secara jelas, bahwa Obama adalah presiden dari sebuah negara penjajah, yang hingga saat ini terus-menerus menjajah Dunia Islam serta melakukan pembantaian atas kaum Muslim di negeri-negeri Islam khususnya di Irak, Afganistan dan Pakistan.

Karena itu, setidaknya ada dua alasan kuat untuk menolak kedatangan Obama.

1. Alasan syar’i.

Memang, salah satu kewajiban kaum Muslim adalah menyambut dan memuliakan tamu. Rasulullah saw. bersabda:

«مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»

Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya. Siapa saja yang mengiman Allah dan Hari Akhir, hendaklah menyambungkan tali silaturahmi. Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata hal-hal yang baik atau diam (HR al- Bukhari dan Muslim).

Tamu yang disebut di dalam hadis di atas mencakup tamu Mukmin atau kafir. Kata dhayfah termasuk dalam kata umum; mencakup tamu Mukmin dan kafir/laki-laki dan perempuan. Semua tamu wajib disambut dan dimuliakan dan dihormati berdasarkan nash hadis di atas. Seorang Muslim juga diperintahkan untuk memenuhi hak-hak tamu, sesesuai dengan kemampuannya.

Masalahnya, bagaimana jika tamu yang hendak berkunjung adalah para penguasa negara kafir penjajah (seperti AS hari ini) yang telah terbukti menzalimi, menganiaya, menjajah dan membunuhi kaum Muslim serta berusaha terus menistakan kesucian agama Islam? Apakah ketentuan-ketentuan dalam hadis di atas tetap berlaku?

Jelas, seorang Muslim haram menerima kunjungan tersebut, apalagi menyambut dan memuliakannya, dengan dasar: Pertama, Allah SWT justru telah melarang untuk menampakkan kesetiaan dan kasih-sayang kepada orang-orang kafir, apalagi lagi kafir penjajah yang sampai hari ini masih terus menghisap harta dan darah kaum Muslim. Allah SWT berfirman:

]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ[

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia—yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad)—dengan penuh kasih-sayang (QS al-Mumtahanah [60]: 1).

]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ[

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil sebagai teman kepercayaan kalian orang-orang yang berada di luar kalangan kalian karena mereka tidak henti-hentinya menimpakan kemadaratan atas kalian. Mereka menyukai apa saja yang menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi (QS Ali ‘Imran [3]: 118).

Kedua, Allah SWT telah melarang untuk menyakiti kaum Muslim. Penerimaan dan penyambutan Barack Obama di negeri ini tentu akan menambah penderitaan dan rasa sakit kaum Muslim yang pada saat ini tengah menghadapi serangan militer Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di Irak, Afganistan, Pakistan, Palestina dan negeri-negeri kaum Muslim lainnya. Allah SWT berfirman:

]وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا[

Orang-orang yang menyakiti kaum Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat sesungguhnya telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata (QS al-Ahzab [33]: 58).

Nabi Muhammad saw. juga telah bersabda, "Seorang Muslim adalah saudara Muslim yang lain; ia tidak akan menzaliminya dan tidak akan menyerahkannya kepada musuh." (HR al-Bukhari dan Muslim).

Ketiga, adanya kewajiban untuk membela saudara sesama Muslim yang tidak berada di dekatnya. Nabi Muhammad saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Anas bin Malik ra., "Siapa saja yang membela saudaranya saat tidak ada di dekatnya, Allah akan membelanya di dunia dan di akhirat." (HR asy-Syihab).

Wujud pembelaan seorang Muslim kepada saudara-saudaranya sesama Muslim yang jauh, yang pada saat ini dijajah, dianiaya bahkan dibunuh oleh Amerika Serikat adalah menolak kunjungan mereka. Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Darda’ra.:

»مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَة«

Siapa saja yang membela kehormatan saudaranya, Allah akan menolak api neraka pada Hari Kiamat dari wajahnya (HR at-Tirmidzi).

Rasulullah saw. juga pernah bersabda sebagaimana dituturkan Asma binti Yazid ra.:

»مَنْ ذَبَّ عَنْ عَرَضِ أَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يَعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ«

Siapa saja yang membela kehormatan saudaranya pada saat tidak berada di dekatnya, Allah pasti akan membebaskannya dari api neraka (HR Ishaq).

Salah satu wujud pembelaan seorang Muslim terhadap kaum Muslim lain di Irak, Afganistan, Pakistan dan Palestina yang saat ini tengah menghadapi invasi militer Amerika adalah menolak kunjungan, kerjasama, maupun intervensi non-fisik dari para penguasa kafir penjajah dan antek-anteknya seperti Amerika, Inggris dan Israel.

Keempat, adanya contoh berupa sikap para Sahabat Nabi saw. Salamah bin al-Akwa’ ra., misalnya, pernah bertutur, "Saat kami berdamai dengan penduduk Makkah dan sebagian kami bercampur dengan sebagian mereka, saya mendatangi suatu pohon. Kemudian saya menyingkirkan durinya, lalu merebahkan diriku di akarnya. Kemudian datang kepada saya empat orang kaum musyrik Makkah. Mereka mulai membicarakan Rasulullah saw. Saya membenci mereka hingga saya pindah ke pohon yang lain." (HR Muslim).

Selain itu, banyak riwayat yang menunjukkan bagaimana sikap Rasulullah saw terhadap para utusan kaum kafir yang memusuhi Islam dan kaum Muslim. Misal, Rasul saw. tidak menggubris Abu Sufyan, utusan kafir Qurays saat itu, yang mendatangi Nabi saw. untuk memperbaiki perjanjian dengan beliau yang sebelumnya mereka langgar. Rasul saw. pun pernah bersabda kepada utusan Musailamah al-Kadzdzab, "Seandainya kamu bukan seorang utusan, niscaya sudah aku penggal lehermu." (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Jelas, sikap beliau sangat keras dan tidak menunjukkan penerimaan yang ramah terhadap ‘tamu’ seperti mereka.

2. Alasan rasional.

Selain alasan syar’i di atas, sesungguhnya tidak masuk akal jika kaum Muslim harus bermitra dengan negara seperti AS. Pasalnya, hingga saat ini kaum Muslim di berbagai belahan negeri yang jauh dari Indonesia dalam kondisi terkoyak dan porak-poranda dililit kemiskinan, penyakit dan konflik berkepanjangan; darah mereka pun tumpah-ruah seolah tiada harga. Semua masyarakat dunia bisa menyaksikan tragedi di Irak, Afganistan, Palestina, perbatasan Pakistan dan di wilayah-wilayah lainya yang diakibatkan oleh tindakan biadab AS sebagai negara penjajah. Lalu bagaimana mungkin para penguasa negeri kaum Muslim mau berjabat tangan, bahkan berpelukan mesra, dengan para penguasa negara penjajah seperti AS; sementara tangan dan badan sang penjajah itu masih basah terpercik simbahan darah suci umat Islam yang mereka bantai? Dimana letak iman para penguasa Muslim seperti ini? Dimana letak pembelaan para penguasa Muslim, yang katanya politik luar negeri bebas aktif menentang segala bentuk penjajahan? Bagaimana nanti mereka mempertanggungjawabkan tindakan mereka ini saat mereka menghadap kepada Allah Yang Mahaperkasa dengan segala perhitungan dan balasan-Nya kelak? Na’ûdzubillâh min dzalik!

Semoga umat Islam segera menemukan penguasa yang amanah, yang bisa menjaga, merawat dan mengayomi mereka. Itulah Imam/Khalifah, yang menegakkan syariah Islam secara kaffâh dalam sebuah negara, yakni Khilafah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah. Amin, ya Mujîb as-sâ’ilîn… []

BOX:

OBAMA WAJIB DITOLAK KARENA…

1.
Obama adalah kepala negara Amerika Serikat, sang penjajah. Ini bertentangan dengan sikap politik Indonesia yang anti penjajahan.
2.
Kedatangan Obama adalah untuk mengokohkan Indonesia sebagai negara kapitalis sekular. Sistem inilah yang menjadi sumber berbagai persoalan di Indonesia.
3.
Kedatangan Obama juga untuk mengokohkan penjajahan ekonomi lewat perusahaan Amerika yang merampok kekayaan alam Indonesia di Aceh, Riau hingga Papua.
4.
Kedatangan Obama merupakan bagian dari politik belah bambu di dunia Islam, yang menampilkan citra positif Amerika untuk menutupi kejahatannya di negeri Islam lainnya.
5.
Obama memerangi kaum Muslim di Afganistan bahkan mengirim 30 ribu pasukan tambahan yang telah menewaskan ribuan umat Islam, termasuk anak-anak dan ibu-ibu.
6.
Obama tidak sepenuhnya menarik pasukan AS dari Irak yang selama pendudukan AS telah membunuh lebih 1 juta umat Islam,
7.
Obama hingga saat ini belum menutup Penjara Guantanamo sesuai janjinya, yang menjadi tempat penahanan dan penyiksaan banyak Muslim yang tidak bersalah dan tempat penghinaan terhadap Islam dan al-Quran.
8.
Obama dengan setia mendukung Zionis Israel yang merampas Tanah Palestina dan hingga saat ini terus membantai umat Islam di Palestina.
9.
Obama tidak mengecam sama sekali Israel saat entitas Yahudi itu membantai lebih kurang 1300 Muslim di Gaza. Obama bahkan mendukung tindakan kejam Israel tersebut.
10.
Status negara Amerika Serikat (AS) adalah Muhariban Fi’lan karena secara langsung memerangi umat Islam. Karena itu, Islam mengharamkan kaum Muslim melakukan hubungan dalam bentuk apapun dengan AS, termasuk menyambut kedatangan presidennya, apalagi menjadikannya sebagai sahabat dan tamu terhormat, karena AS adalah musuh Allah SWT dan umat Islam.

KOMENTAR AL-ISLAM:

UU Tumpang Tindih karena Pemerintah Genit (Vivanews.com, 23/2/10).

Pemerintah genit, sistem pemerintahannya pun amburadul. Ganti dengan syariah dan Khilafah!

Konsultasi: Antara Zakat dan HUtang

Seorang petani menggarap lahan dengan berhutang untuk modal bertanam. Saat musim panen, apabila hasilnya digunakan untuk membayar zakat maka hasil panennya tidak mencukupi untuk melunasi hutang. Pertanyaan: apakah wajib untuk membayar zakat atau melunasi hutang?(085651203598)
Jawab
Pertanyaan saudara termasuk dalam pembahasan zakat pertanian. Ulama telah membahasnya dan memasukannya dalam pembahasan zakat tanaman dan buah-buahan. Zakat pertanian berbeda dengan zakat harta misalnya uang. Berbeda dari sisi waktu menunaikannya dan nishab (kadar yang mewajibkan dikeluarkannya zakat).



Zakat tanaman dan buah-buahan dikeluarkan pada saat memanen hasil pertanian. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
وَآَتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
Artinya: Dan tunaikanlah haknya (zakatnya) pada hari memetik hasilnya (panen). (TQS. al-An’am [6]: 141)

Yang dimaksud saat memanen adalah setelah hasil panenan tersebut dibersihkan dan dikeringkan. Hal ini dapat difahami dari beberapa hadist yang menjelaskan jenis-jenis zakat pertanian yaitu gandum (al khinthah), jewawut (asy-sya’iir), kurma kering (at-tamr) dan kismis (anggur kering).

Zakat tanaman dan buah-buahan tidak diwajibkan kecuali telah sampai nishabnya. Nishab terendah zakat tanaman dan buah-buahan yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah 5 wasaq. Apabila jewawut, gandum, kurma atau kismis belum mencapai 5 wasaq maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abi Sa’id al-Khudriy yang berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:

وليس فيما دون خمسة أوسق صدقة
Tidak ada zakat dalam jumlah yang kurang dari lima wasaq. (HR. Bukhari dan Muslim)
Juga hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Abdurrahman yang menyatakan bahwa surat Rasulullah saw dan surat Umar tentang zakat tertulis:
وليس فيما دون خمسة أوسق
Artinya: Dan janganlah diambil apapun (berupa zakat) sehingga mencapai lima wasaq. (HR. Abu Ubaid)

Dari Jabir berkata: Tidak diwajibkan zakat kecuali (sudah) mencapai lima wasaq. (HR.Muslim)

Satu wasaq sama dengan 60 sha’. Abu Said dan Jabir meriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau bersabda: Satu wasaq sama dengan 60 sha’. Satu sha’ sama dengan empat mud, dan satu mud sama dengan satu sepertiga rithl Baghdad. Satu sha’ sama dengan 2,176 kg, dan satu wasaq sama dengan 130,56 kg jewawut. Oleh karena itu, ukuran lima wasaq untuk biji-bijian (nishab zakat tanaman dan buah-buahan) sama dengan 652 kg.

Jadi apabila hasil panen tidak mencapai nishabnya yaitu 5 wasaq atau setara dengan 652 kg maka tidak wajib mengeluarkan zakat.

Sedangkan apabila hasil panennya mencapai atau melebihi nishab. Tapi disisi lain harus membayar hutang maka perlu dirinci. Maka yang harus didahulukan adalah membayar hutang. Karena hutang adalah perkara yang penting. Apabila seseoarang meninggal, maka harta warisan tidak akan dibagi kecuali setelah diselesaikan hutang-hutangnya serta wasiat yang disampaikannya. Allah berfirman:
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْن
Artinya: sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu (QS. An Nisa:12)

Bahkan Nabi menyampaikan bahwa seorang yang mati syahid di medan jihad (syahid dunia-akhirat) tidak dapat masuk surga karena terhalangi oleh hutangnya. Dari Abdullah bin Abu Qatadah diceritakan bahwa seorang Laki-laki bertanya kepada Nabi saw:

أرأيتَ إن قُتلت في سبيل الله تُكفَّر عني خطاياي؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: نعم، إن قُتلتَ في سبيل الله وأنت صابر محتَسِب مُقبِل غير مدبِر. إلاّ الديْن، فإنّ جبريل عليه السلام قال لي ذلك
Artinya: “Jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah kesalahan-kesalahanku akan diampuni?” Rasulullah saw. berkata: “Ya, sedang kamu bersabar, berniat karena Allah, dan maju, tidak mundur. Kecuali hutang. Karena, Jibril as. telah mengatakan itu kepadaku.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash, bahwa Rasulullah saw. berkata:
يُغفر للشهيد كل ذنب إلاّ الديْن
“Semua dosa syahid diampuni, kecuali hutang.” (Diriwayatkan oleh Muslim).

Ditambah terdapat sejumlah riwayat yang memerintahkan melunasi hutang sebelum menunaikan zakat. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Saib bin Yazid yang berkata, ‘Akutelah mendengar Utsman bin Affan berkata: ‘Ini adalah bulan wajib zakat kalian. Barangsiapa yang memiliki hutang, maka lunasilahhutangnya sebelum diambil zakat atas harta kalian.’

Ibnu Qudamah menyebutkan di dalam kitabnya al-Mughni: ‘Barangsiapa yang yang memiliki hutang maka lunasilah hutangnya dan bayarlah zakat atas harta sisanya.’ Perkataannya ini disaksikan oleh para sahabat, dan tidak diingkari. Ini menunjukkan adanya kesepakatan mereka (ijma Shahabat).

Maka hal pertama yang harus dilakukan bagi petani tersebut adalah membayar hutang. Setelah membayar hutang maka disini perlu dirinci: apabila hasil sisa panennya masih memenuhi nishab maka wajib darinya menunaikan zakat dengan hitungan sisa hasil panen setelah dibayarkan ke hutang. Misalnya hasil penennya 1000 kg kemudian dibayakan hutag 200 kg maka sisanya yaitu 800 kg wajib dikeluarkan zakatnya. Yaitu 80 kg apabila pengairannya mengunakan tadah hujan dan 40 apabila diairi sendiri.

Akan tetapi apabila setelah dibayarkan hutang sisanya tidak mencapai nishab maka tidak ada kewajiban zakat atas hasil pertanian tersebut. Nabi bersabda:
( لا صدقة إلا عن ظهر غني
Artinya: tidak ditarik zakat kecuali terhadap orang yang kaya (HR. Ahmad)
Nabi Juga bersabda:
: ( تؤخذ من أغنيائهم وترد على فقرائهم )
Artinya: Zakat ditarik dari orang yang kaya dan tidak ditarik bagi orang yang miskin

Dari Nafi’ dari Ibnu Umar berkata, bahwaRasulullah saw bersabda:
إذا كان لرجل ألف درهم، وعليه ألف درهم، فلا زكاة عليه".
Artinya: Apabila seseorang memiliki 1000 dirham, tetapi dia memiliki hutang 1000 dirham juga, maka tidak wajib zakat atasnya”. Ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni.

Jenis-jenis Zakat Tanaman dan Buah-buahan

Sebagai tambahan kami sampaikan bahwa ulama berbeda pendapat tentang jenis-jenis produk pertanian yang wajib dikeluarkan zakat. Sayyid Sabiq menyebutkan 5 klasifikasi pendapat ulama tentang masalah ini. Dan pendapat yang kami pilih adalah bahwa hanya empat macam tanaman dan buah-buahan yang wajib dikeluarkan zakat yaitu: gandum (al-qamhu), jewawut (sejenis
gandum, asy-sya’ir), kurma (at-tamru) dan kismis (az-zabib). Selain dari empat jenis ini maka tidak wajib dikeluarkan zakat. Inilah pendapat Imam Hasan al Bashri dan Asy Sya’bi dan diakui oleh Imam Asy Syaukani. Alsannya adalah hadist-hadist yang mewajibkan zakat pertanian ini telah mengkhususkan hanya pada empat jenis tanaman dan buah-buahan.

Diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib, dari dari bapaknya, dari Abdullah bin Amru yang berkata,
" إنما سن رسول الله صلى الله عليه وسلم الزكاة في وهذه الأربعة: الحنطة، والشعير، والتمر، والزبيب"
“Bahwa Rasulullah saw membuat daftar zakat hanya terhadap jewawut, gandum, kurma dan kismis.” (HR. Thabrani)

Dari Musa bin Thalhah berkata:
أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم معاذ بن جبل -حين بعثه إلى اليمن- أن يأخذ الصدقة من الحنطة، والشعير، والنخل، والعنب"
Rasulullah saw telah memerintahkan Mu’adz bin Jabal pada saat dia diutus ke Yaman, (yaitu) agar dia mengambil zakat dari jewawut, gandum, kurma dan anggur. (HR. Abu Ubaid)

Hadits-hadits ini menjelaskan bahwa zakat pada tanaman dan buah-buahan hanya diambil dari empat macam saja yaitu: jewawut, gandum, kurma dan kismis. Selain dari jenis tanaman serta buahbuahan tersebut tidak diambil. Alasannya adalah, karena hadits yang pertama menggunakan kata –innama- yang menunjukkan pembatasan.

Kemudian pembatasan atas wajibnya zakat pada empat jenis (tanaman dan buah-buahan itu-pen) dikuatkan oleh hadits yang dikeluarkan al- Hakim, al-Baihaqi dan Thabrani dari Abu Musa dan Mu’adz pada saat Nabi saw mengutus keduanya ke Yaman untuk mengajarkan kepada masyarakat perintah-perintah agama mereka. Dikatakan€:
لا تأخذ الصدقة إلا من هذه الأربعة: الشعير، والحنطة، والزبيب، والتمر
Artinya: Janganlah kalian berdua mengambil zakat kecuali dari empat macam, (yaitu) gandum, jewawut, kismis dan kurma.
Imam Baihaqi memberikan komentar tentang hadits ini, bahwa perawinya terpercaya (tsiqah) dan sanadnya sampai kepada Rasulullah saw (muttashil). Hadits ini menjelaskan adanya pembatasan pengambilan zakat pada tanaman dan buah-buahan hanya empat jenis saja, karena lafadz –illa- apabila diawali dengan nafiy atau nahyi menunjukkan makna pembatasan terhadap segala sesuatu yang disebut
sebelumnya atas segala sesuatu yang disebut sesudahnya. Jadi, pembatasan pengambilan zakat hanya pada empat jenis yang disebutkan sesudahnya, yaitu: gandum, jewawut, kismis, kurma.

Alasan lainnya adalah karena kata-kata jewawut, gandum, kurma dan kismis yang terdapat di dalam hadits-hadits di atas, merupakan isim jamid, sehingga lafadz-lafadznya tidak mengandung arti yang lain, baik secara manthuq, mafhum, maupun iltizam. Hal inikarena bukan termasuk isim-isim sifat, bukan juga isim-isim ma’ani,
tetapi dibatasi dengan jenis-jenis yang disebut dengan isim tersebut, dan mutlak hanya pada jenis-jenis itu saja. Oleh karena itu tidak bisa diambil dari lafadz-lafadznya itu makna-makna al-aqtiyatu, al-yabsuatau al-idkharu. Sebab, lafadz-lafadznya tidak menunjukkan kepada makna-makna dan sifat-sifat ini. Sehingga hadits-hadits diatas, yang membatasi wajibnya zakat hanya pada empat jenis tanaman dan buahbuahan,merupakan pengkhusus (mukhashash) untuk lafadz umum yang ada pada hadits:
فيما سقت السماء العشر، وفيما سقي بغرب، أو دالية نصف العشر
Artinya: Pada tanaman yang disirami hujan zakatnya sepersepuluh, dan pada tanaman yang di sirami dengan tenaga manusia atau irigasi zakatnya seperduapuluh.

Dengan demikian, maknanya adalah bahwa seluruh tanaman yang disirami oleh air hujan berupa jewawut, gandum, kurma dan kismis, zakatnya adalah sepersepuluh. Apabila disirami oleh tenaga manusia atau irigasi maka zakatnya adalah seperduapuluh.

Zakat tanaman dan buah-buahan tidak diwajibkan pada selain empat jenis tadi, sehingga zakat tidak diambil dari biji sawi, beras, kacang, kacang kedelai, kacang ‘adas dan yang lain-lainnya dari bijibijian Demikian juga zakat tidak diambil dari buah apel, pir, persik (peach), aprikot, delima, jeruk, pisang dan lain-lain dari jenis buahbuahan. Karena biji-bijian dan buah-buahan tersebut tidak termasuk dalam lafadz jewawut, gandum, kurma, dan kismis. Demikian juga tidak ada satu nash shahih pun yang menjelaskan jenis-jenis tanaman dan buah-buahan lain. Juga tidak ada ijma’ sahabat dalam hal ini. Perkara ini tidak bisa diqiyaskan, karena zakat merupakan ibadah. Dan dalam hal ibadah tidak ada qiyas, sehingga hanya dibatasi dengan apa-apa yang disebut oleh nash. Zakat tidak diambil dari sayur-sayuran seperti waluh, mentimun, labu/calabash, terong, lobak, wortel, dan lain-lain. Telah disampaikan dari Umar, Ali, Mujahid dan lainnya bahwa sayur-sayuran tidak dipungut zakatnya. Hal itu diriwayatkan oleh Abu Ubaid, Baihaki dan lainnya. Wallahu ‘alam bi shawab

Yogyakarta, 9 Rabi’ul awwal 1431 H/ 24 Februari 2010
Al Faqir ilallah: Wahyudi Abu Syamil Ramadhan

Minggu, 21 Februari 2010

SAKINAH MAWADDAH WA RAHMAH

Ketiga istilah ini dapat kita temui dalam firman Allah:

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. Ar Rum [30]:21)

Dalam Tafsirnya Al alusi menyatakan sakinah adalah merasa cenderung (muyul) kepada pasangan. Kecenderungan ini satu hal yang wajar karena seseorang pasti akan cenderung terhadap dirinya. Padahal menurut imam Ibnu Katsir wanita (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang sebelah kiri. Allah SWT juga telah menegaskan bahwa laki-laki memiliki kecenderungan pada wanita. Allah berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ

Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, (QS ali ‘Imran [3]: 14)

Apabila kecenderungan ini disalurkan sesuai dengan aturan Islam maka yang tercapai adalah ketentraman dan ketenangan. Karena makna lain dari sakinah adalah ketenangan sebagaimana firman Allah:

هُوَ الَّذِي أَنزلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya: Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, (QS Al Fath: 4)

Demikian pula firman Allah SWT:

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

Artinya: Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya) (Qs. Al fath:18)

Ketenangan dan ketentraman inilah yang menjadi salah satu tujuan pernikahan. Karena pernikahan adalah sarana efektif untuk menjaga kesucian hati dan terhindar dari perzinahan. Nabi saw bersabda:

يا معشر الشباب من استطاع الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج

Artinya: “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Karena pernikahan dapat menundukan pandangan dan menjaga kemaluan” (Muttafaq ’alayhi dari jalur Abdullâh ibn Mas’ûd)

Mengenai pengertian mawaddah menurut Imam Ibnu Katsir adalah al mahabbah (rasa cinta) sedangkan ar rahmah adalah ar-ra’fah (kasih sayang). Dalam tafsir al Alusi penulis mengutip pendapat Hasan, Mujahid dan Ikrimah yang menyatakan mawaddah adalah makna kinayah dari nikah yaitu jima’ sebagai konsekuensi dari pernikahan. Sedangkan ar rahmah adalah makna kinayah dari keturunan yaitu terlahirnya keturunan dari hasil pernikahan. Masih dalam tafsir al Alusi ada juga yang mengatakan bahwa mawaddah berlaku bagi orang yang masih muda sedangkan ar-rahmah bagi orang yang sudah tua.

Implementasi dari mawaddah wa rahmah ini adalah sikap saling menjaga, melindungi, saling membantu, memahami hak dan kewajiban masing-masing antara lain memberikan nafkah bagi laki-laki. Sangat indah perumpamaan yang disebutkan dalam al qur’an mengenai interaksi suami-istri. Allah berfirman:

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ

Artinya: mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.(QS. Al-baqarah [2]: 187)

Pakainan adalah lambang dari kehormatan dan kemuliaan karena salah satu fungsi pakaian adalah untuk menutup aurat. Aurat sendiri maknanya adalah sesuatu yang memalukan. Karena memalukan maka harus ditutup. Maka demikianlah seharusnya hubungan suami-istri. Satu sama lain harus saling menutupi kekurangan pasangannya dan bersinergi untuk mempersembahkan yang terbaik.

Sebagai penutup tulisan singkat ini. Kita harus sadar bahwa pasangan hidup, termasuk kecenderungan/ ketenangan (as sakiinah), rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (ar rahmah) adalah sebagian dari banyak nikmat yang Allah berikan kepada hamba-hambanya khususnnya hambanya yang beriman. Perhatikanlah redaksi ayat pada surah ar rum diatas “Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri” dan “dijadikan-Nya diantaramu rasa sinta dan kasih sayang” dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa Dirinyalah yang memberikan itu semua kepada hamba-hambanya. Wabil khusus ar-rahmah adalah adalah bentukan (Musytaq) dari salah satu sifat dan Asma Allah yaitu rahima. Demikian pula ar-ra’fah yang merupakan salah salah satu asma dan sifat Allah ar-rauuf (yang Maha kasih).

Untuk apa semua ini? Tidak lain agar manusia berfikir “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Setelah itu beiman, beramal dan bersyukur atas segala nikmat yang Allah berikan yang seandainya kita hitung nikmat tersebut dengan alat hitung secangggih apapun kita pasti takkan mampu menghitunnya. Allahummaghfir lana, Allahummaj’alna ‘ibadaka shalihin wa syakiriin. Amiin

Yogyakarta, 21 Februari 2010

Al Faqr ilallah, Wahyudi Abu Syamil Ramadhan

Seputar MLM lagi

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan tentang MLM, maka berikut kami sampaikan beberapa hal yang terkait. Semoga dapat memberikan pencerahan dan kejelasan. Nas’alullaha min taufiqihi wa hidayatihi. Amiin

I. Mengenai Buku yang berjudul “Siapa bilang MLM haram” buku ini menurut salah seorang teman dijadikan pembenaran akan mubahnya MLM. Maka tanggapan kami: mungkin orang yang menjadikan pembenaran berdasarkan buku tersebut belum membaca keseluruhan buku tersebut. Setelah kami mengkaji buku tersebut secara seksama ternyata kesimpulan penulis menyatakan bahwa MLM hukumnya haram. Hal ini diperkuat oleh fatwa al-lajnah ad-daimah lil buhust wal ifta (semacam MUI Arab Saudi)

II. Mengenai dua akad. Maka akad ini dapat berupa:

1. Apabila disyaratkan bahwa bonus (baik bonus penjualan produk maupun rekrutmen) hanya dicairkan apabila membeli sejumlah produk. Istilah ini sering disebut tutup point.

2. Apabila pembelian produk menjadi syarat diterimanya seseorang sebagai member (istilah fiqihnya simsar).

3. Apabila disyaratkan bahwa seseorang dapat membeli produk dengan syarat harus menjadi member dulu

III. Mengenai dalil haramnya samsarah ‘ala samsarah (mekelar bertingkat). Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.(An-Nisaa:29). Ayat ini berisi larangan untuk memakan/mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syara’. Keumuman ayat ini akan tidak berlaku apabila ada dalil khusus yang mentakhshisnya. Kaidah fiqh menyatakan “al ‘am yabqa’ fi umumihi malam yarid dalilun yukhashishu bihi” sesuatu yang umum akan tetap dalam keumumannya sebelum datang dalil yang mengkhususkannya. Apabila terdapat dalil yang mengkhususkannya maka dalil tersebut tidak dapat dipakai untuk konteks yang dikhususkan akan tetapi tetap berlaku untuk perkara yang diluar yang dikhususkan.

Diantara dalil yang mengkhususkan adalah tentang kebolehan samsarah (perdagangan perantara).

Ahmad meriwayatkan dari Qais bin Abu Gharazah Al-Kinani, dia berkata: Kami dulu berdagang muatan di Madinah. Dan kami dulu dinamai para makelar (simsar). Lalu Rasulullah saw. datang kepada kami dan menamai kami dengan nama yang lebih baik dari nama yang kami berikan sendiri. Beliau berkata: “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini disertai omong kosong dan sumpah. Maka campurilah dia dengan sedekah.”

Dari pengakuan Rasul saw. terhadap pekerjaan para makelar dan perkataan beliau kepada mereka: “Wahai para pedagang”, menjadi jelas bolehnya pekerjaan makelar dan bahwa itu adalah bagian dari perdagangan. Ini adalah dalil bahwa pekerjaan makelar halal secara syar’i dan merupakan salah satu dari trasanksi yang boleh dalam syara’.

Kata simsar artinya adalah orang mengurusi dan menjaga sesuatu. Lalu kata ini digunakan untuk menunjuk orang menangani penjualan atau pembelian. Fuqaha’ telah mendefinisikan simsar sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan upah tertentu untuk melakukan penjualan dan pembelian. Definisi ini berlaku juga bagi juru lelang (dallal). [1] demikian pula syaikh ‘atho abu rasytah menyatakan: samsarah itu berada di antara penjual dan orang-orang yang diajaknya sebagai pelanggan[2]

Dengan menelaah fakta samsarah pada masa nabi saw dan definisi yang disampaikan fuqaha’ di atas maka kami menyimpulkan bahwa samsarah yang diakui/dibolehkan Nabi adalah samsarah satu level. Fakta dan dalil inilah yang mengkhususkan ayat di atas.

Adapun samsarah yang bertingkat-tingkat atau samsarah ‘ala samsarah yaitu seorang up line mendapat bonus/komisi dari down line yang tidak langsung dibawahnya.[3] Kami tidak menemukan dalil yang membolehkannya . wallahu ‘alam bi shawab. Karena tidak ada dalilnya maka kembali kepada dalil umum yang mengharamkan memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.

Dimanakah fakta memakan hak orang lain? Yaitu pada berkurangnya jatah komisi yang seharusnya didapat down line karena harus dibagi dengan up linenya. Dan hal ini pasti terjadi pada perusahaan yang menggunakan system pemasaran MLM. Bila demikian kenyataannya maka kami kembali bertanya kepada pihak yang membolehkan MLM. Atas dasar dan dalil anda membolehkan samsarah ‘ala samsarah? Karena kaidah yang kita adopsi adalah “al ashlu fil af’al at taqayyud bil hukmi syar’ie” hokum asal semua perbuatan adalah terikat dengan hokum syara. Artinya semuanya harus dikembalikan pada dalil.

Sebagai tambahan kita tidak mengadopsi kaidah “al ashlu fil mu’amalah al ibahah malam yarid dalilut tahriim” hokum asal dalam perkara muamalah adalah mubah hingga datang dalil yang mengharamkan.

IV. Adapun pertanyaan “bagaimana kalau bonus tersebut berasal dari perusahaan langsung dan bonus tersebut didapatkan karena seseorang berhasil mengembangkan jaringannya.?” Maka untuk menjawab pertanyaan ini kami kutipkan pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh ‘Atha abu Rasytah:

“Sebuah perusahaan perdagangan produk kesehatan melakukan muamalah dengan pelanggannya sebagai berikut: Jika pelanggannya membeli produk kesehatan darinya maka pelanggan itu memiliki hak untuk mendapatkan komisi dari dua orang pembeli yang dia ajak kepada perusahaan. Berikutnya, kedua orang yang diajak itu—dengan sekadar membeli produk kesehatan dari perusahaan—masing-masing juga memiliki hak untuk mengajak dua orang lagi dan berhak mendapatkan komisi dari dua orang yang diajak. Karena digabungkan kepada hak pembeli pertama maka dia pun mendapatkan komisi jaringan dari empat orang yang diajak oleh dua orang; yang keduanya itu diajak oleh pembeli pertama. Demikian seterusnya. Apakah hal itu dibolehkan?”

Dengan mencermati konteks pertanyaan diatas jelas bahwa yang memberikan komisi/bonus memang perusahaan. Dan apa jawaban beliau. Berikut kutipannya:

“Sesuai dengan pertanyaan: Dua orang yang diajak oleh pembeli pertama itu mengajak empat orang lagi (masing-masing orang mengajak dua orang pelanggan). Kemudian pembeli pertama itu pun mendapatkan komisi dari para pelanggan yang diajak oleh dua orang pelanggan yang diajaknya. Ini tidak sah. Sebab, samsarah itu berada di antara penjual dan orang-orang yang diajaknya sebagai pelanggan. Ini berarti, ujrah (upah) samsarah itu berasal dari pelanggan-pelanggan yang diajaknya, dan bukan dari orang-orang yang diajak oleh orang lain.”

Jadi ya memang yang memberikan bonus adalah perusahaan. Fakta inilah yang beliau nyatakan keharamannya. Hanya satu hal yang perlu dicatat bahwa perusahaan sejatinya memberikan bonus kepada upline adalah karena mengambil sebagian hak yang seharusnya dimiliki secara penuh oleh orang yang membeli produk atau merekrut member baru.

v. Apakah ini wilayah ijtihadi yang memungkinkan bolehnya terjadi beda pendapat? Jawabnya ya. Karena penjualan MLM (muta’adidatu ath-thabaqat atau at taswiiq as sabkii) adalah model transaksi yang baru yang belum pernah ada secara pada masa nabi saw. Demikian pula tidak terdapat dalil yang secara sharih mengharamkan. Misalnya “naha rasulullah saw ‘an at taswiiq as sabki” Rasul saw melarang jual beli bertingkat (MLM). Sehingga benar-benar harus dilakukan pengkajian terhadap fakta kemudian mengeksplorasi nash-nash yang terkait. Oleh karena itulah maka persoalan transaksi MLM ini telah terjadi khilaf di kalanga fuqaha. Ada yang mengharamkan dengan alasan riba, gharar, zhalim dsb termasuk 3 alasan yang disampaikan syaikh ‘Atha abu rasytah. Inilah pendapat jumhur ulama masa kini seperti yang difatwakan al lajnah ad daimah lil buhust wal ifta (semacam MUInya Saudi Arabi) dan al Majma al fiqhu al islami bi Sudan (semcam MUInya Sudan).Sedangkan ulama lain seperti Majlis fatwa Mesir menyatakan mubah dengan dalil tidak ada dalil yang secara tegas mengharamkannya sehingga hukumnya kembali kepada dalil umum tentang bolehnya jual beli (lih. QS al Baqarah: 257) dan kaidah hokum asal muamalah adalah mubah. [4] Wallahu ‘alam bi shawab

Yogyakarta, 20 Februari 2010

Wahyudi Abu Syamil Ramadhan



[1] Lih. Syakhshiyyah Islamiyyah juz II hal 311

[2] Lih. Pandangan beliau dalam posting ana sebelumnya

[3] Misalnya A merekrut B maka A boleh mendapatkan bonus dari pembelian si B atau mendapat bonus dari perusahaan atas jasa si A merekrut si B. kemudian si B merekrut C. apabila A mendapat bonus dari pembelian produk oleh si C maka inilah fakta samsarah ‘ala samsarah.

[4] Lih. At taswiq as sabki tahta mujahhar li Zaahir Saalim Balfaqiih

Senin, 08 Februari 2010

Seputar Barang Bajakan dan Hak Cipta

Apa hukum memperjual belikan barang bajakan?

Pendahuluan

Istilah bajakan yang dimaksud adalah memperjual belikan barang (baik berupa buku, kaset, cd soft ware dsb) tanpa ijin pemilik hak cipta. Sehingga istilah ini sebenarnya tidak pernah muncul kecuali setelah munculnya seperangkat aturan baik nasional maupun internasional tentang pengaturan hak kekayaan intelektual (HKI).

Kenyataanya banyak kaum muslimin yang ‘terperangkap’ pada pemikiran barat-kapitalis ini. Akibatnya, mereka melakukan kesalahan dalam menetapkan status hukum. Sebagai contoh seorang ustadz saat ditanya tentang status hokum menggunakan barang bajakan maka beliau mneyatakan:

Pada akhir-akhir ini sering terjadi pelanggaran terhadap hak cipta dalam bidang ilmu, seni, dan sastra (intelectual property). Pelanggaran pada hak cipta terutama yang berupa pembajakan buku-buku, kaset-kaset yang berisi musik dan lagu, dan film-film dari dalam dan luar negeri, sudah tentu menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, tidak hanya menimpa kepada para pemegang hak cipta (pengarang penerbit, pencipta musik/lagu, perusahaan film, dan perusahaan rekaman kaset, dan lain-lain), melainkan juga negara yang dirugikan, karana tidak memperoleh pajak penghasilan atas keuntungan yang diperoleh dari pembajak tersebut.

Pembajakan terhadap intelektual property (karya ilmiah, dan lain-lain) dapat mematikan gairah kreatifitas para pencipta untuk berkarya, yang sangat diperlukan untuk kecerdasan kehidupan bangsa dan akselerasi pembangunan negara. Demikian pula pembajakan terhadap hak cipta dapat merusak tatanan sosial, ekonomi dan hukum di negara kita. Karena itu tepat sekali diundangkannya undang-undang No.6 tahun 1982 tentang hak cipta yang dimaksudkan untuk melindungi hak cipta dan membangkitkan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di bidang ilmu, seni dan sastra.

Dari ‘keterjebakan’ ini kemudian ditetapkan status hokum dengan menggunakan dalil-dalil antara lain:

1. al-Qur’an Surat Al-Baqoroh:188 “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil….”

2. Hadits Nabi riwayat Daruqutni dari Anas (hadits marfu’) : “tidak halal harta milik seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.”

3. Hadits Nabi:
“Nabi bertanya, ‘apakah kamu tahu siapakah orang yang bangkrut (muflis, Arab) itu?’ jawab mereka (sahabat): ‘orang yang bangkrut di kalangan kita ialah orang yang sudah tidak punya uang dan barang sama sekali’. Kemudian Nabi bersabda: ‘sebenarnya orang bangkrut (bangkrut amalnya) dari umatku itu ialah orang yang pada hari kiamat nanti membawa berbagai amalan yang baik, seperti shalat, puasa dan zakat. Ia juga membawa berbagai amalan yang jelek, seperti memaki-maki, menuduh-nuduh, memakan harta orang lain, membunuh dan memukul orang. Lalu amalan-amalan baiknya diberikan kepada orang-orang yang pernah dizalimi/dirugikan dan jika hal ini belum cukup memadai, maka amalan-amalan jelek dari mereka yang pernah dizalimi itu ditransfer kepada si zalim itu, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka’.”

Intinya berdasarkan dalil-dalil tadi “beliau-beliau” ingin menyatakan bahwa melanggar hak kepemilikan seseorang yang dijamin berdasarkan undang-undang kekayaan intelektual adalah haram. Pelanggaran yang dimaksud adalah memperbanyak, menggunakan dan memperjual-belikannya.

Sekilas tentang HKI

Perlindungan hak cipta adalah ide yang berasal dari ideologi kapitalisme. Negara-negara kapitalis–industri telah membuat konvensi Paris pada tahun 1883 dan konvensi Bern pada tahun 1886, tentang perlindungan hak cipta. Selain kesepakatan-kesepakatan tersebut, mereka juga membuat beberapa kesepakatan lain yang jumlahnya tidak kurang dari 20 kesepakatan. Kemudian terbentuklah Lembaga Internasional untuk Hak Cipta yang bernama WIPO (World Intellectual Property Organization), yang bertugas mengontrol dan menjaga kesepakatan tersebut. Pada tahun 1995, WTO telah mengesahkan adanya perlindungan hak cipta, dan WIPO menjadi salah satu bagiannya. WTO mensyaratkan bagi negara-negara yang ingin bergabung dengannya, harus terikat dengan perlindungan hak cipta, dan membuat undang-undang terkait guna mengatur perlindungan hak cipta.

Undang-undang Hak Cipta yang dilegalisasi oleh negara-negara tersebut, harus memberikan hak kepada individu untuk melindungi hasil ciptaannya, serta melarang orang lain untuk memanfaatkan ciptaan tersebut kecuali dengan izinnya. Negara harus menjaga hak tersebut dan memberikan sanksi bagi setiap orang yang melanggarnya dengan sanksi penjara puluhan tahun, baik ketika (penciptanya) masih hidup atau telah mati. Undang-undang yang dilegalisasi juga harus mencakup undang-undang perlindungan (bagi) perusahaan-perusahaan pemegang hak patent.

Maksud dari karya cipta adalah, pemikiran atau pengetahuan yang diciptakan oleh seseorang, dan belum ditemukan oleh orang lain sebelumnya. Bagian terpenting dari karya-karya cipta tersebut adalah pengetahuan yang bisa dimanfaatkan dalam perindustrian serta produksi barang dan jasa, dan apa yang saat ini dinamakan dengan 'teknologi'.

Dengan demikian, orang-orang kapitalis menganggap bahwa pengetahuan-pengetahuan individu sebagai 'harta' yang boleh dimiliki, dan bagi orang yang mengajarkan atau mempelajari pengetahuan tersebut tidak diperbolehkan memanfaatkannya, kecuali atas izin pemegang patent dan ahli warisnya, sesuai dengan standar-standar tertentu. Jika seseorang membeli buku, 'disket' atau 'kaset', yang mengandung pemikiran baru, maka ia berhak memanfaatkan sebatas apa yang dibelinya saja, dalam batas-batas tertentu, seperti membaca atau mendengarkan. Dia dilarang, berdasarkan Undang-undang Perlindungan Hak Cipta, untuk memanfaatkannya dalam perkara-perkara lain, seperti mencetak, dan menyalin untuk diperjualbelikan atau disewakan.

Konsep copyright ada sejalan dengan ditemukannya mesin cetak. Sebelum penemuan mesin cetak oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang sama dengan proses pembuatan karya aslinya karena sama-sama melalui penulisan tangan. Tetapi setelah adanya mesin cetak pembuatan salinan lebih mudah, lebih cepat dan relatif murah. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin. Sehingga pada awal keberadannya hak cipta diberikan hanya kepada penerbit untuk menjual karya cetaknya tanpa perantara kepada penulisnya.

Di Indonesia sendiri, banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi terhadap perundang-undangan tentang hak cipta. Perubahan undang-undang ini tidak akan terlepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara terutama dengan negara adidaya Amerika Serikat. Pada tahun 1958, menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern atau dengan nama lain Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works (Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra). Konvensi yang diadakan pada tahun 1886 ini merupakan konvensi pertama tentang masalah hak cipta di antara negara-negara yang berdaulat. Keluarnya indonesia dari konvensi bern dengan tujuan agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti. Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan mengeluarkan Undang-undang Hak Cipta (UUHC) yang pertama kali diatur dalam Undang-undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.

Bila dikatakan bahwa pengaturan hak intelektual adalah untuk menumbuhkembangkan dan menjaga kreativitas hingga lahir beragam inovasi. Tapi justru dalam beberapa kasus, hak cipta yang menghasilkan hak paten justru akan menghambat inovasi. Sejak 1875, perusahaan AT&T mengumpulkan paten untuk mengamankan monopolinya dalam bidang telepon. AT&T memperlambat pengenalan radio selama sekira 20 tahun. Di Jepang, 45% perusahaan mendaftarkan paten dalam rangka mencegah pengembangan, pembuatan, dan penjualan produk sejenis; 41% perusahaan mendaftarkan paten untuk kepentingan defensif, yaitu paten terhadap teknologi-teknologi yang perusahaan tersebut sendiri tidak punya rencana untuk menggunakannya, tapi hanya ingin mencegah perusahaan lain agar tidak menggunakannya; 10% perusahaan mendaftarkan paten dengan harapan mendapat keuntungan dari pengaturan lisensinya.

Konsep HKI sesungguhnya cara penjajahan Barat. Agar kaum muslimin tetap tertinggal dalam bidang sain dan teknologi. Dan Penjajah Barat dapat terus memperkaya diri dengan kedok HKI. Sebagai contoh, Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadhilah Supari menulis buku berjudul “Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung”. Buku tersebut mengkritisi ketidakadilan rezim sharing virus yang telah dikembangkan WHO. Indonesia yang menjadi Negara pengirim sampel virus flu burung tidak mendapatkan bagian sepeserpun dari penjulan vaksin sebaliknya harus membeli vaksin yang harganya mahal. Padahal bahan pembuatan vaksin (yaitu virus) diambil dari Indonesia.

HKI dalam Tinjauan Islam

Islam telah mengatur kepemilikan individu dengan suatu pandangan bahwa kepemilikan tersebut merupakan salah satu penampakkan dari naluri mempertahankan diri (gharizah baqa'). Atas dasar itu, Islam mensyariatkan bagi kaum Muslim 'kepemilikan' untuk memenuhi naluri ini, yang akan menjamin eksistensi dan kehidupan yang lebih baik. Islam membolehkan bagi seorang Muslim untuk memiliki harta sebanyak-banyaknya, seperti: binatang ternak, tempat tinggal, dan hasil bumi. Di sisi lain Islam mengaharamkan seorang Muslim untuk memiliki barang-barang, seperti: khamr, daging babi, dan narkoba. Islam telah mendorong seorang Muslim untuk berfikir dan menuntut ilmu, begitu juga Islam membolehkan seorang Muslim untuk mengambil upah karena mengajar orang lain. Islam juga telah mensyariatkan bagi seorang muslim sebab-sebab yang dibolehkan untuk memiliki suatu barang, seperti: jual-beli, perdagangan, dan waris; dan mengharamkan seorang Muslim sebab-sebab (kepemilikan, penerj.) lain (yang bertentangan dengan Islam, penerj.), seperti: riba, judi, dan jual beli valas (tidak secara tunai dan langsung-penerj).

Kepemilikan dalam Islam, secara umum diartikan sebagai ijin Syaari' (Allah) untuk memanfaatkan barang. Sedangkan kepemilikan individu adalah hukum syara' yang mengatur barang atau jasa yang disandarkan kepada individu; yang memungkinkannya untuk memanfaatkan barang dan mengambil kompensasi darinya. Kepemilikan individu dalam Islam tidak ditetapkan kecuali atas dasar ketetapan hukum syara' bagi kepemilikan tersebut, dan penetapan syara' bagi sebab kepemilikan tersebut. Karena itu, hak untuk memiliki sesuatu tidak muncul dari sesuatu itu sendiri, atau manfaatnya; akan tetapi muncul dari ijin Syaari' untuk memilikinya dengan salah satu sebab kepemilikan yang syar'iy, seperti jual-beli dan hadiah.

Islam telah memberikan kekuasaan kepada individu atas apa yang dimilikinya, yang memungkinkan ia dapat memanfaatkannya sesuai dengan hukum syara'. Islam juga telah mewajibkan negara agar memberikan perlindungan atas kepemilikan individu dan menjatuhkan sanksi bagi setiap orang yang melanggar kepemilikan orang lain.

Mengenai kepemilikan atas Pemikiran Baru, mencakup dua jenis dari kepemilikan individu. Pertama, sesuatu yang terindera dan teraba, seperti merk dagang dan buku. Kedua, sesuatu yang terindera tetapi tidak teraba, seperti pandangan ilmiah dan pemikiran jenius yang tersimpan dalam otak seorang pakar.

Apabila kepemilikan tersebut berupa kepemilikan jenis pertama, seperti merk dagang yang mubah, maka seorang individu boleh memilikinya, serta memanfaatkannya dengan cara mengusahakannya atau menjual-belikannya. Negara wajib menjaga hak individu tersebut, sehingga memungkinkan baginya untuk mengelola dan mencegah orang lain untuk melanggar hak-haknya. Sebab, dalam Islam, merk dagang memiliki nilai material, karena keberadaanya sebagai salah satu bentuk perniagaan yang diperbolehkan secara syar'iy. Merk dagang adalah Label Product yang dibuat oleh pedagang atau industriawan bagi produk-produknya untuk membedakan dengan produk yang lain, yang dapat membantu para pembeli dan konsumen untuk mengenal produknya. Definisi ini tidak mencakup merk-merk dagang yang sudah tidak digunakan lagi, sebagaimana oleh sebagian undang-undang didefinisikan sebagai: “Merk apapun yang digunakan atau merk yang niatnya hendak digunakan.” Sebab, nilai merk dagang dihasilkan dari keberadaanya sebagai bagian dari aktivitas perdagangan secara langsung. Seseorang boleh menjual merk dagangnya. Jika ia telah menjual kepada orang lain, manfaat dan pengelolaannya berpindah kepada pemilik baru.

Adapun mengenai kepemilikan fikriyyah, yaitu jenis kepemilikan kedua, seperti pandangan ilmiah atau pemikiran briliant, yang belum ditulis pemiliknya dalam kertas, atau belum direkamnya dalam disket, atau pita kaset, maka semua itu adalah milik individu bagi pemiliknya. Ia boleh menjual atau mengajarkannya kepada orang lain, jika hasil pemikirannya tersebut memiliki nilai menurut pandangan Islam. Bila hal ini dilakukan, maka orang yang mendapatkannya dengan sebab-sebab syar'iy boleh mengelolanya tanpa terikat dengan pemilik pertama, sesuai dengan hukum-hukum Islam. Hukum ini juga berlaku bagi semua orang yang membeli buku, disket, atau pita kaset yang mengandung materi pemikiran, baik pemikiran ilmiah ataupun sastra. Demikian pula, ia berhak untuk membaca dan memanfaatkan informasi-informasi yang ada di dalamnya. Ia juga berhak mengelolanya, baik dengan cara menyalin, menjual atau menghadiahkannya, akan tetapi ia tidak boleh mengatasnamakan (menasabkan) penemuan tersebut pada selain pemiliknya. Sebab, pengatasnamaan (penisbahan) kepada selain pemiliknya adalah kedustaan dan penipuan, di mana keduanya diharamkan secara syar'iy. Oleh karena itu, hak perlindungan atas kepemilikan fikriyyah merupakan hak yang bersifat maknawi, yang hak pengatasnamaannya dimiliki oleh pemiliknya. Orang lain boleh memanfaatkannya tanpa seijin dari pemiliknya. Jadi, hak maknawi ini hakekatnya digunakan untuk meraih nilai akhlaq.

Adapun, syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum-hukum positif, yang membolehkan pengarang buku, atau pencipta program, atau para penemu untuk menetapkan syarat-syarat tertentu atas nama perlindungan hak cipta, seperti halnya hak cetak dan proteksi penemuan (patent), merupakan syarat-syarat yang tidak syar'iy, dan tidak wajib terikat dengan syarat-syarat tersebut. Sebab, berdasarkan akad jual-beli dalam Islam, seperti halnya hak kepemilikan yang diberikan kepada pembeli, pembeli juga diberi hak untuk mengelola apa yang ia miliki (yang telah ia beli, penej.). Setiap syarat yang bertentangan dengan akad (syar'iy) hukumnya haram, walaupun pembelinya rela meski dengan seratus syarat. Dari 'Aisyah ra:

“Barirah mendatangi seorang perempuan, yaitu seorang mukatab yang akan dibebaskan oleh tuannya jika membayar 9 awaq (1 awaq=12 dirham=28 gr). Kemudian Barirah berkata kepadanya, “Jika tuanmu bersedia, aku akan membayarnya untuk mereka jumlahnya, maka loyalitas [mu] akan menjadi milikku.” Mukatab tersebut lalu mendatangi tuannya, dan menceritakan hal itu kepada mereka. Kemudian mereka menolak dan mensyaratkan agar loyalitas [budak tersebut] tetap menjadi milik mereka. Hal itu kemudian diceritakan 'Aisyah kepada Nabi saw. Rasulullah saw bersabda: “Lakukanlah.” Kemudian Barirah melaksanakan perintah tersebut dan Rasulullah saw berdiri, lalu berkhutbah di hadapan manusia. Beliau segera memuji Allah dan menyanjung namaNya. Kemudian bersabda: “Tidak akan dipedulikan, seseorang yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam Kitabullah.” Kemudian beliau bersabda lagi:

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ كِتَابُ اللَّهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللَّهِ أَوْثَقُ وَالْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ

“Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka syarat tersebut adalah bathil. Kitabullah lebih berhak, dan syaratnya (yang tercantum dalam Kitabullah) bersifat mengikat. Loyalitas dimiliki oleh orang yang membebaskan.” (HR. Ibnu Maajah)

Mantuq (teks) hadist ini menunjukkan bahwa syarat yang bertentangan dengan apa yang tecantum dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul, tidak boleh diikuti. Dan selama syarat perlindungan hak cipta menjadikan barang yang dijual (disyaratkan) sebatas pada suatu pemanfaatan tertentu saja, tidak untuk pemanfaatan yang lain, maka syarat tersebut adalah batal dan bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Sebab, keberadaannya bertentangan dengan ketetapan aqad jual-beli syar'iy yang memungkinkan pembeli untuk mengelola dan memanfaatkan barang dengan cara apapun yang sesuai syar'iy, seperti jual-beli, perdagangan, hibah, dan lain-lain. Syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal adalah syarat yang batil, berdasarkan sabda Rasulullah saw:

وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Kaum Muslim terikat atas syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal dan menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi no 1403)

Oleh karena itu, secara syar'iy tidak boleh ada syarat-syarat hak cetak, menyalin, atau proteksi atas suatu penemuan. Setiap individu berhak atas hal itu (memanfaatkan produk-produk intelektual). Pemikir, ilmuwan, atau penemu suatu program, mereka berhak memiliki pengetahuannya selama pengetahuan tersebut adalah miliknya dan tidak diajarkan kepada orang lain. Adapun setelah mereka memberikan ilmunya kepada orang lain dengan cara mengajarkan, menjualnya, atau dengan cara lain, maka ilmunya tidak lagi menjadi miliknya lagi. Dalam hal ini, kepemilikinnya telah hilang dengan dijualnya ilmu tersebut, sehingga mereka tidak berwenang melarang orang lain untuk memanfaatkannya; yaitu setelah ilmu tersebut berpindah kepada orang lain dengan sebab-sebab syar'iy, seperti dengan jual-beli atau yang lainnya.

Adapun peringatan yang tercantum pada beberapa 'disket komputer', yakni tidak diperbolehkan mengcopy program; di mana pemiliknya telah melarang orang lain untuk mengcopinya kecuali atas izinnya; berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

Kaum Muslim terikat atas syarat-syarat mereka dan sabda Beliau :

لا يحل مال أمرئ مسلم إلا بطيب نفسه

“tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dirinya”, (Hr. Daruquthni)

juga sabdanya :

“barang siapa mendapatkan paling awal sesuatu yang mubah, maka ia adalah orang yang paling berhak”.

Maka kesalahan 'peringatan' tersebut terletak pada pengumuman yang menggunakan lafazd 'syarat-syarat mereka', tanpa ada pengecualian sebagaimana yang telah dikecualikan oleh Rasul dengan sabdanya, “…kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal…”. Dua hadits terakhir tidak sesuai dengan manath kasus tersebut, sebab hadits, '…tidak halal harta seseorang …”, manath-nya adalah harta milik orang lain, sedangkan 'disket komputer' telah menjadi milik pembeli. Adapun hadits, “barang siapa mendapatkan paling awal sesuatu yang mubah, maka ia orang yang paling berhak,” manath-nya adalah harta milik umum, sebagaimana hadits, “(Kota) Mina menjadi hak bagi siapa saja yang datang lebih dahulu (untuk menempatinya)”. Sedangkan 'disket komputer' tergolong kepemilikan individu.

Kesimpulan

1. Istilah bajakan yang terkait HKI adalah sebuah istilah yang menyesatkan dan dibangun atas paradigm barat-sekuler

2. Boleh hukumnya memamfaatkan (mengcopy, memperbanyak, menjual, menyewakan dsb) barang yang telah kita beli dengan cara syar’I tanpa harus terikat dengan syarat-syarat batil yang ditetapkan oleh UU HKI.

3. Betapa penjajahan yang dilakukan Barat-Imperialis sudah begitu mengakar berurat ditubuh kaum muslimin hingga mereka tidak sadar bahwa mereka hakikatnya sedang terjajah tapi irorisnya mereka ‘menikmati’ penjajahan tersebut. Saatnya bangki dengan mabda Islam, Terapkan Syariah Tegakan Khilafah

Wallahu ‘alam

Wahyudi Abu Syamil Ramadhan (081251188553)

Yogyakarta, 8 Februari 2010

Maraji’: Nasyrah Hizbut Tahrir dan beberapa Referensi pendukung lain

Rabu, 03 Februari 2010

Pembahasan Tentang Kafir, Dzalim dan Fasiq dalam Al Qur’an

Pembahasan Tentang Kafir, Dzalim dan Fasiq dalam Al Qur’an

Ayat-ayat yang dimaksud adalah:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al maidah : 44)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah : 45)

Serta ayat;

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah : 47)

Ada beberapa point yang penting untuk dicatat dalam pembahasan ayat-ayat ini:

1. Meski sebab turunnya ayat ini mengenai orang-orang kafir; yahudi (QS:5:44 dan 45) dan Nashrani (QS:4:47) akan tetapi ayat ini juga berlaku bagi kaum muslimin. Karena redaksi مَنْ (barang siapa) berlaku bagi siapa saja termasuk kaum muslimin. Dalam konteks inilah maka kaidah “al ‘ibratu bi ‘umumil lafdzi laa bi khususi sabab” (Sebuah pengertian diambil dari keumuman lafadz bukan dari kekhususan sebab).

2. Berdasarkan point (1) maka ayat-ayat ini juga berlaku bagi siapa saja yang termasuk dalam obyek seruan ayat ini. Tidak hanya penguasa (Negara) tapi juga individu dan juga jama’ah.

3. Ketiga ayat ini berbicara tentang hukum bukan pembahasan aqidah. Maka pada saat pada ayat 44 disebutkan status kafir maka yang dimaksud adalah kafir (mengingkari) terhadap perkara syariah yang qath’i tsubut maupun qath’I dilalah atau dengan kata lain mengingkari perkara agama yang telah jelas (ma’lumun minaddiin bin dharurah). Bukan pengingkaran terhadap perkara yang ijtihadi. Hal ini juga dapat difahami dari sebab turun ayat ini (QS:5:44), yaitu pengingkaran orang-orang yahudi terhadap hukum rajam bagi penzina muhshan. Padahal status haramnya zina telah ditetapkan dengan dalil yang qath’i tsubut maupun qath’I dilalah. Dari sabab nuzul ini pula dapat difahami bahwa pengingkaran yang dilakukan adalah terhadap had Allah (jenis sanksi yang menjadi hak Allah SWT seperti mencuri, minum khamar dll, lihat nizham al-uqubat, Syaik Abdurrahman al maliki). Perkara lain yang menjadi syarat kafirnya seseorang karena menolak hokum Allah SWT adalah hal ini dilakukan secara penuh keyakinan (I’tiqadi) bukan karena malas atau pertimbangan maslahat dan alasan-alasan lain. Hal ini dapat difahami antara lain bahwa Nabi tidak menghukimi kafir pada Mais al salami dan Ghaimidiyah yang telah berzina. Padahal pelanggaran zina jelas pelanggaran terhadap syariat yang besar (Lihat Taisiru ashuli at tafsir, Syaikh ‘Atha abu Rasythah). Demikian pula jumhur ‘ulama menyatakan tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat yang tidak didasari I’tiqad (misalnya mengungkari wajibnya shalat). Padahal terdapat hadist yang menerangkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Antara lain:

عن أبي سفيان قال سمعت جابرا يقول: سمعت النبي صلى الله عليه و سلم يقول إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة

Artinya: dari Abu Sufyan ra ia berkata; aku mendengar Jabir berkata: Aku mendengar nabi saw bersabda “sesungguhnya yang membedakan antara seorang muslim dengan syirik dan kafir adalah meninggalkan shalat (HR. Muslim no. 134)

4. Sedangkan dzalim adalah melampaui batas yang telah disyariatkan khususnya pelanggaran terhadap hak-hak manusia. Tapi pelanggaran syariat ini tidak atas dasar keyakinan (misalnya karena belum mampu, malas dsb dst). Dalam konteks ini sebenarnya sebenarnya antara dzalim dengan fasiq memilki kesamaan yaitu sama-sama melanggar syariat tapi bukan atas dasar I’tiqadi. Seperti penyataan Ibnu Abbas berikut ini:

من جحد ما أنزل الله فقد كفر. ومن أقر به ولم يحكم فهو ظالم فاسق

Artinya: barang siapa mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah maka sungguh dia telah kafir dan barang siapa yang masih mengakui hokum Allah tapi dia tidak berhukum dengannya maka dia dzalim yang fasiq (lihat tafsir Ibnu Katsir)

Hanya saja definisi fasiq lebih umum. Seperti yang dinyatakan Imam Ibnu katsir dalam kitab tafsirnya saat menafsirnya redaksi faasiquun beliau menyatakan:

الخارجون عن طاعة ربهم، المائلون إلى الباطل، التاركون للحق أي:

Artinya: yaitu oaring-orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah, cenderung pada kebatilan dan meninggalkan kebenaran.

Berdasarkan definisi ini maka fasiq lebih umum untuk semua bentuk pelanggaran. Sedangkan dzalim lebih khusus untuk pelanggaran hak-hak manusia dan pelanggaran hak itu disebabkan karena tidak berhukum dengan hokum Allah. Sebagaimana kita sekarang kita didzalimi oleh penguasa bejat dan system kapitalisme yang mencengram kita. Pemahaman seperti dapat kita lihat apabila kita membaca ayat ini secara utuh, yaitu:

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya : “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah : 45)

Tambahan

Berikut saya tambahkan penjelasan kata kafir, dzalim dan fasiq dari beberapa kitab tafsir dan lughah.

Al Fakhrurozi (wafat 606 H) menyebutkan lima jawaban, diantaranya adalah apa yang dikatakan oleh Ikrimah, yaitu : bahwa hukum kafir adalah untuk orang yang mengkufuri dan mengingkari. Adapun seorang mukmin yang menghukum dengan hukum Allah akan tetapi orang itu melanggarnya maka ia telah berbuat maksiat. Dia mengatakan bahwa kufur adalah mengurangi hak Allah swt sedangkan zhalim adalah mengurangi hak jiwa.

Al Baidhowi (wafat. 685 H) menyebutkan bahwa kekufuran mereka adalah karena pengingkaran mereka, kezhaliman mereka adalah karena menghukum dengan menyalahinya sedangkan kefasikan mereka adalah karena keluar darinya.

Az Zamakhsyari (wafat 528 H) mengatakan bahwa barangsiapa yang mengingkari hukum Allah adalah kafir, barangsiapa yang tidak menghukum dengannya sedangkan dirinya meyakini—hukum tersebut—maka ia adalah zhalim fasik.

Al Alusiy (wafat 1270 H) mengatakan bahwa bisa jadi disifatkannya mereka dengan tiga sifat yang berbeda-beda itu adalah bahwa barangsiapa yang mengingkarinya maka mereka disifatkan dengan orang-orang kafir, jika mereka meletakkan hukum Allah bukan pada tempat yang sebenarnya maka mereka disifatkan dengan orang-orang zhalim sedangkan jika mereka keluar dari kebenaran maka mereka disifatkan dengan orang-orang fasiq. (Fatawa al Azhar juz VIII hal 2)

Kafir adalah siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad saw atau mengingkari perkara syariat yang telah difahami secara umum (ma’lumun minaddiin bid dharurah) atau dengan sengaja mengurangi ketetapan Allah atau risalah Islam (Mu’jam lughah al fuqaha hal 286). Dzalim adalah mengambil hak manusia secara semena-mena (Mu’jam lughah al fuqaha hal 335). Fasiq adalah orang yang melakukan dosa besar atau membiasakan dosa kecil (Mu’jam lughah al fuqaha hal 257)

Wallahu ‘alam

Yogyakarta, 2 Februari 2010

Wahyudi Abu Syamil Ramadhan