Kamis, 17 Mei 2012

BEBERAPA CATATAN BUKU MEMBONGKAR PROYEK KHILAFAH ALA HT DI INDONESIA (BAGIAN PERTAMA) Wahyudi Abu Syamil Ramadhan Pada bagian pengantar penulis hlm. xviii penulis menyatakan: “pada akhir-akhir menjelang kembali “pulang”, penulis mulai merasakan adanya dimensi “ketidakmenerimaan” atas apa yang dilakukan para ikhwan dan pengurus HTI dalam memperjuangkan cita-cita puncak mereka: Negara Islam…”. Tanggapan: Penulis yang mengaku pernah menjadi hizbiyyin tentu tahu persis bahwa tujuan HT adalah melanjutkan kehidupan Islam (isti’naful hayati al islamiyyah), sedang khilafah (Negara Islam) adalah metodenya (bi thariqati iqaamatil khilafah). Maka jelas tujuan puncak HT adalah melanjutkan kehidupan Islam yang terputus sejak runtuhnya khilafah Ustmaniyyah pada tahun 1924. Selanjutnya penulis mengutip tulisan di majalah al wa’ie tentang apakah HT Wahabi? “…Penegakkan khilafah untuk mengembalikan ke daulatan di tangan Allah lebih penting dan lebih utama untuk direalisasikan daripada masalah akidah” (hlm. 40) Tanggapan: Kalimat di atas jika tidak ditulis secara utuh berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. Berikut kami kutipkan redaksi lengkap dari tulisan yang dikutip penulis: Pandangan ini, menurut Hizb, sebagaimana disebutkan dalam kitab Nidâ’ al-Hâr, tidak proporsional. Betul, bahwa ada masalah dalam akidah umat Islam, tetapi tidak berarti mereka belum berakidah Islam. Bagi Hizb, umat Islam sudah berakidah Islam. Hanya saja, akidahnya harus dibersihkan dari kotoran dan debu, yang disebabkan oleh pengaruh kalam dan filsafat. Karena itu, Hizb tidak pernah menganggap umat Islam ini sesat. Hizb juga menganggap, bahwa persoalan akidah ini, meski penting, bukanlah masalah utama. Bagi Hizb, masalah utama umat Islam adalah tidak berdaulatnya hukum Allah dalam kehidupan mereka. Karena itu, fokus perjuangan Hizb adalah mengembalikan kedaulatan hukum Allah, dengan menegakkan kembali Khilafah. Bagi Hizb, akidah umat harus dibersihkan agar bisa menjadi landasan yang kokoh dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara. Setelah itu, akidah yang hidup di dalam diri umat ini akan mampu membangkitkan mereka dari keterpurukan, dan akhirnya mendorong mereka untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah dan hukum Allah di muka bumi. Pada halaman 59 penulis mengutip Zeyno Baran dalam hal menyamakan HT dengan Bolshevik: “ HT sangat mirip dengan Bolshevik. Yang sama-sama mempunyai utopian ultimate goal (Communism vs. Chaliphate) dan sama-sama tidak menyukai liberal democracy dan sama-sama berupaya menegakkan mythical just society…”. Tanggapan: Apa maksud dari kutipan di atas? Padahal penulis sedang menjelaskan bahwa diantara metode HT untuk meraih tujuannya adalah nirkekerasan. Apakah kalimat di atas sengaja dikutip untuk menggambarkan HT sebagai monster yang membahayakan atau setidaknya melabelkan bahaya laten. Padahal di halaman 172-173 penulis mengakui kemungkinan tegakkan khilafah, sekecil apapun kemungkinan itu. Jadi, menafikan kemungkinan terwujudnya khilafah adalah sikap gegabah dan terburu-buru, seperti kesimpulan yang disampaikan oleh Abd. Moqsith Ghazali dan Farish A. Noor, pengamat politik dan HAM Malaysia (hlm. 172). Potensi kea rah tegaknya khilafah memang kecil, tetapi bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan (hlm. 173) Lebih dari itu eksistensi khilafah bukanlah suatu hal yang utopia. Khilafah adalah realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Berbeda dengan masyarakat komunisme yang belum pernah ada realitasnya. Di halaman 60, ditulis: “Kekerasan apa pun bentuknya jelas dilarang-kecuali dalam kondisi tertentu- sebagaimana dijelaskan dalam satu hadist Nabi: Kami tidak akan merebut perkara (kepemimpinan) dari ahlinya. Nabi bersabda, kecuali kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian bisa membuktikan di hadapan Allah (HR. Bukhari) Namun demikian, terdapat paradox dalam salah satu karya an-Nabhani yang menjelaskan kewajiban memerangi penguasa yang menampakkan kekufuran secara nyata dengan menerapkan hukum kufur” Tanggapan Saya heran dan binggung dengan apa yang dimaksud paradoks. Bukankah tidak terdapat paradoks antara hadist yang dikutip dalam kitab afkaru siyasiyah dengan kesimpulan yang dikutip penulis dalam kitab Mitsaq al-Ummah dan kitab asy syakhshiyyah al islamiyyah juz II. Jelas bahwa kondisi tertentu yang dibolehkan memerangi penguasa yang Nampak darinya kekufuran yang nyata. Diantara kekufuran yang nyata adalah mengubah sistem Islam yang diterapkan suatu Negara dengan sistem selain Islam. Di halaman 63 penulis menulis: “ Demikian pula anggota HTI diharamkan mendirikan organisasi sosial/yayasan sosial, pesantren, sekolah, koperasi, kantor tenaga kerja, balai latihan kerja. Namun, bukankah sebagian anggota HTI tahun 2000-an mendirikan lembaga pendidikan di Surabaya (SBI dan STIES) dan lembaga kursus computer”. Tanggapan: Mengapa pernyataan di atas (kalimat pertama) tidak didasarkan referensi atau catatan kaki sedikit pun?. Padahal penulis mengklaim bahwa penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Bagaimana membangun kontradiksi sementara kontradiksi tersebut dibangun berdasarkan asumsi. Fatalnya lagi asumsi tersebut tidak benar. Di kitab mutabannat atau nasyrah HT mana yang melarang syabab HT (sebagai individu) membangun sekolah, pesantren, dan lembaga usaha? Pada halamana 69 penulis menyatakan: Setelah mengutip hadist di atas (HR. Ahmad tentang fase umat Islam dan kembalinya khilafah rasyidah), mereka menambahkan dengan surah an-nur ayat 55 yang berisi janji Allah kepada orang-orang yang beriman. Lalu mereka menjelaskan bahwa إننا في حزب التحرير نؤمن بوعد الله و نصدق بشري رسول الله (kami di hizbut tahrir mengimani janji Allah dan membenarkan kabar gembira Rasulullah). Menariknya, hadist di atas yang bukan hadist mutawatir, dijadikan sebagai “iming-iming” yang diyakini dan dibenarkan.” Tanggapan: Penulis saya kira terbalik saat menyatakan “Setelah mengutip hadist di atas, mereka menambahkan dengan surah an-nur ayat 55…”. Yang benar adalah ayat 55 dari surah an-Nur dikutip lebih awal, baru hadist di atas. Jika penulis jeli dari kitab di atas, pilihan kata yang digunakan juga sangat jelas. Bahwa untuk janji Allah mengunakan redaksi kami mengimani (نؤمن) sedang terhadap hadist digunakan redaksi kami membenarkan (نصدق). نؤمن adalah redaksi untuk menunjukkan pemenaran yang bersifat pasti (at tashdiq al jazm), sedang redaksi نصدق tanpa tambahan jazm menunjukkan tashdiq atau pembenaran secara umum. Sehingga clear sikap HT terhadap hadist di atas membenarkan hanya saja tidak dengan pembenaran yang bersifat pasti. Dimana tidak konsistennya? Adapun jika ucapan khilafah pasti akan berdiri, karena khilafah merupakan janji Allah. Padahal Allah SWT pasti terwujud karena Allah tidak pernah menyelisihi janji-Nya. Mengomentari ayat 55 dari surah an-Nur Imam Ibnu Katsir menyatakan: هذا وعد من الله لرسوله صلى الله عليه وسلم . بأنه سيجعل أمته خلفاء الأرض، أي: أئمةَ الناس والولاةَ عليهم، وبهم تصلح البلاد، وتخضع لهم العباد Ini adalah janji dari Allah SWT bagi Rasul-Nya saw. Bahwa Allah akan menjadikan umat Nabi saw pemimpin-pemimpin di bumi, yaitu: pemimpin manusia dan wali-wali mereka, dan negeri-negeri menjadi baik, dan tunduklah hamba-hamba. Di halaman 80 penulis menyatakan: “adapun yang berkewajiban meengangkat atau membai’at khalifah adalah seluruh kaum muslimin. …hal yang sama berlaku pada tokoh-tokoh kaum muslimin, yang dalam bahasa Zallum disebut ahl al hall wa al ‘aqd” Tanggapan: Redaksi “…yang dalam bahasa Zallum disebut ahl al hall wa al ‘aqd”. Menyiratkan seolah-olah istilah ahl al hall wa al ‘aqd adalah istilah baru yang dimunculkan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum. Padahal istilah ini bukanlah istilah yang baru. Imam al Mawardi dalam kitab al ahkam as sulthaniyah berulang kali menggunakan istilah ini, diantaranya: فَأَمَّا انْعِقَادُهَا بِاخْتِيَارِ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ Adapun sahnya (terwujudnya) Akad imamah adalah dengan pilihan (tanpa paksaan) dari ahlu al hall wa al ‘aqd . Pada halaman 83. Penulis menyatakan: “Hizb al-Tahrir memaknai wazir dalam hadist di atas sebagai pembantu dalam sengala urusan pemerintahan. Tampaknya pemaksaan tersebut sengaja diformulasikan agar memiliki legalitas eksistensi dan fungsi seorang wazir.” Tanggapan: memang benar pada masa Nabi mengangkat dua wazir (pembantu). Umar untuk urusan zakat dan Abu Bakar untuk urusan haji. Abu Bakar mengangkat Umar sebagai pembantu di bidang peradilan (qadha). Demikian juga Ali dan Utsman pada masa Umar. Kenyataan ini berlanjut hingga pada masa Abu Bakar ketika peran Umar sebagai mu‘âwin Abu Bakar sangat menonjol dalam wewenang yang bersifat umum dan perwakilan sampai pada tingkat di mana sebagian Sahabat pernah berkata kepada Abu Bakar, “Kami tidak tahu, apakah Umar yang menjadi khalifah ataukah engkau.” Meskipun demikian, Abu Bakar telah menugasi Umar untuk menangani masalah qadhâ’ (peradilan) dalam beberapa waktu tertentu, sebagaimana riwayat yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang dikuatkan oleh al-Hafizh. Atas dasar ini, faedah yang bisa diambil dari sirah Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin yang datang sesudah Beliau adalah bahwa Mu‘âwin diberi wewenang dan otoritas yang Mu’âwin at-Tafwîdh bersifat umum sebagai wakil. Akan tetapi, mu‘âwin boleh dikhususkan untuk posisi atau tugas tertentu. Hal itu seperti yang dilakukan Nabi saw. terhadap Abu Bakar dan Umar, juga seperti yang dilakukan Abu Bakar terhadap Umar. Hal senada diungkapkan oleh Imam al Mawardi saat menjelaskan tentang wewenag wuzara tafwidl, beliau menyatakan: وَالْوَزَارَةُ عَلَى ضَرْبَيْنِ : وَزَارَةُ تَفْوِيضٍ وَوَزَارَةُ تَنْفِيذٍ . فَأَمَّا وَزَارَةُ التَّفْوِيضِ فَهُوَ أَنْ يَسْتَوْزِرَ الْإِمَامُ مَنْ يُفَوِّضُ إلَيْهِ تَدْبِيرَ الْأُمُورِ بِرَأْيِهِ وَإِمْضَاءَهَا عَلَى اجْتِهَادِهِ ، وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ جَوَازُ هَذِهِ الْوَزَارَةِ ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حِكَايَةً عَنْ نَبِيِّهِ مُوسَى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ : { وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي هَارُونَ أَخِي اُشْدُدْ بِهِ أَزْرِي وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي } . ( الأحكام السلطانية للماوردي ص. 36) Pembantu khalifah itu ada 2, yaitu: wuzara tafwidl dan wuzara tanfidz. Adapun wuzara tafwidl ialah yang membantu khalifah untuk membantu tugas-tugas pemerintahan berdasarkan pendapatnya dan ijtihadnya. Pengangkatan wuzara semacam ini boleh (absah). Allah berfirman mengenai kisah Nabi Musa as. “Dan jadikanlah untuk seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudarku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku. Dan Jadikanlah dia sekutu dalam urusanku (QS. Thaha: 29-32) Pada halaman 106 penulis menyatakan: “Bagi HT, kewajiban menegakkan khilafah merupakan mahkota dari segala kewajiban yang dibebankan Allah kepada umat Islam. Menurut mantan Ketua Umum DPP HTI, menegakkan khilafah merupakan kewajiban paling agung dalam agama. Sementara pihak-pihak yang tidak berniat menegakkannya maka mereka berdosa, bahkan sebagai perbuatan maksiat yang paling besar”. Untuk mendukung pernyataannya penulis kemudian mengutip buku khilafah adalah solusi, terbitan Pustaka Thariqul Izzah,hlm. 28-29. Tanggapan: tentang wajibnya menegakkan khilafah, bahkan kewajiban yang paling agung, sesungguhnya pendapat ini bukan hanya pendapat HT. Ulama terdahulu telah lebih dahulu mengungkapkannya. Diantaranya adalah: اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب ، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله “Ketahuilah juga bahwa para sahabat telah berijma’ bahwa mengangkat Imam setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya kewajiban paling penting karena mereka menyibukkan diri dengannya dengan menunda penguburan Rasulullah.” Sedang dosa bagi orang yang tidak mau berjuang menegakkan khilafah juga telah diutarakan oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani saat mengomentari hadist : ومن مات وليس في عنقه بيعة فقد مات ميتة جاهلية Barang siapa meninggal sedang tidak ada bai’at (imam) di pundaknya maka dia mati dalam kondisi seperti mati jahiliyah (menanggung dosa) (HR.Muslim no. 1851) Beliau menyatakan: والمراد بالميتة الجاهلية وهي بكسر الميم حالة الموت كموت أهل الجاهلية على ضلال وليس له امامٌ مطاعٌ لأنهم كانوا لا يعرفون ذلك وليس المراد أنه يموت كافرا بل يموت عاصيا “Yang dimaksud dengan kematian jahiliyah [dengan mim dibaca kasroh] adalah keadaan kematiannya seperti kematian masyarakat jahiliyyah di atas kesesatan dan tidak memiliki seorang pemimpin yang ditaati, karena mereka belum mengenal hal tersebut. Bukan dimaksudkan mati dalam keadaan kafir, melainkan mati dalam keadaan bermaksiat.” [Ibn Hajar, Fathu-l-baariy, 13/7] Penulis mengakui bahwa konstruksi filosofis HT memiliki kesamaan dengan konsep para pemikir politik Muslim klasik dan abad pertengahan seperti al Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Khaldun (hlm. 117) Tanggapan: apa yang salah dari pemikiran (ijtihad) mereka? Jika HT memiliki kesamaan pandangan dengan ulama-ulama terdahulu karena memang berangkat dari landasan yang sama, yaitu dalil-dalil syariat. Jika penulis mengakui kesamaan pandangan HT dengan ulama klasik semisal Imam al Mawardi lantas mengapa penulis sedemikain sembrono mengambil kesimpulan bahwa ide khilafah tidak memiliki landasan normatif atau landasan normatifnya tidak relevan?. Lebih lancang lagi penulis menyatakan khilafah adalah proyek politik dengan tameng agama. Apakah penulis juga sedang menuduh semua ulama yang menyatakan wajibnya khilafah/imamah sedang mengada-ada dan memiliki motif politik dengan tameng agama? Pada halaman 122, setelah mengekplorasi dalil wajibnya khilafah berdasarkan al quran dalam kitab ajhizah daulah khilafah fil hukmi wal idarah, penulis berkomentar bahwa penafsiran yang dibangun dalam kitab ini menggunakan model berpikir jumping to conclusion. Jumping atau loncat pada penafsiran kata hakim pada khalifah. Seakan ingin menguatkan pendapatnya penulis kemudian kesimpulan Qamaruddin Khan, seperti yang dikutip Khalid Ibrahim JIndan, bahwa Imam Ibnu Taimiyah meragukan validitas pendapat tentang ke-khilafah-an yang berasal dari al quran dan hadist, atau bahkan latar belakang sejarah khulafa rasyidin…”. (hlm. 123) Tanggapan: perhatikan bagaimana penulis mengutip sebuah pendapat. Pengutipan tingkat tiga seperti ini sangat memungkinkan terjadinya bias pemahaman atau bahkan kesalahan. apakah karya Imam Ibnu Taimiyah sedemikian sulit untuk didapatkan?. Sehingga harus mengutip kesimpulan Qamaruddin Khan dalam Khalid Ibrahim Jindan. Lebih dari itu kesimpulan Khalid Ibrahim Jindan nampaknya terlalu gegabah. Ibnu Taimiyah telah menegaskan akan wajibnya imarah islamiyah bedasarkan al-hadist, diantaranya saat beliau mengambil kesimpulan tentang wajibnya imarah (kepemimpinan) beliau menyatakan يجب أن يعرف أن ولاية الناس من أعظم واجبات الدين بل لا قيام للدين إلا بها، فإن بني آدم لا تتم مصلحتهم إلا بالاجتماع لحاجة بعضهم إلى بعض، ولا بد لهم عند الاجتماع من رأس، حتى قال النبي صلى الله عليه وسلم {إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم} ، رواه أبو داود، وروى الإمام أحمد في المسند عن عبد الله بن عمرو، أن النبي قال: {لا يحل لثلاثة يكونون بفلاة من الأرض إلا أمروا عليهم أحدهم} فأوجب صلى الله عليه وسلم تأمير الواحد في الاجتماع القليل العارض في السفر، تنبيها على سائر أنواع الاجتماع، ولأن الله - تعالى - أوجب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ولا يتم ذلك إلا بقوة وإمارة Pada halaman 123-124 penulis mengutip pendapat Husayn Haikal yang menyatakan Al Quran dan al Hadist tidak mempunyai hubungan langsung dengan sistem pemerintahan. Lebih berani lagi pendapat Qamaruddin Khan yang menyatakan bahwa konsep Negara sama sekali tidak ada dalam al quran. Ditambah pendapat ‘Ali ‘Abd al-Raziq yang menyakan bahwa Islam tidak tidak memiliki konsep sistem pemerintahan, semuanya diserahkan pada akal manusia menurut eksperimentasi umat terdahulu dan berdasarkan ilmu politik. Tanggapan: Penulis mengetahui persis bahwa pendapat yang dikutip tidaklah popular dan keluar dari mainstrim pemikiran Islam. Penulis pada catatan kaki mengetahui persis bahwa buku-buku yang dia jadikan rujukan telah mendapat kritik dari banyak ulama. Tapi anehnya penulis tidak mempertimbangkan sama sekali padangan ulama yang mengkritik buku yang ia kutip, khususnya buku al islam wa ushul al hukm karya ‘Ali ‘Abd al-Raziq. Inikah sikap ilmiah seorang peneliti?. Semestinya penulis memaparkan pendapat mereka juga. Baru kemudian mengambil kesimpulan. Meski kesimpulan tidak penulis sampaikan pada halaman-halaman ini. Namun pemaksaan ide penggiringan opini ini jelas nampak pada bagian penutup, bahwa khilafah tidak memiliki landasan normatif baik al quran, as sunnah, dan ijma shahabat. Saya tambahkan bahwa ‘Ali ‘Abd ar-Raziq karena buku yang ditulisnya telah dikeluarkan dari Univ. al Azhar Kairo Mesir, semua gelar akademiknya dicabut. keputusan ini diputuskan oleh semua panitia yang terdiri dari 24 ulama Besar al Azhar pada hari Rabu, 15 Muharram 1344 H bertepatan Agustus 5 Agustus 1925. Mengenai hubungan Islam dan Negara. Prof. Dhiyau ad diin ar raiis mengutip pendapat beberapa ahli sejarah barat yang secara jujur mengatakan bahwa islam adalah agama yang memiliki konsep politik termasuk Negara . Berikut saya kutipkan sebagiannya: Prof. C. A. Nallino menyatakan: Sungguh Muhammad telah meletakkan dasar agama dan Negara secara bersamaan (Encyclopaedia of Social Sciences. Vol. VIII p. 333) Dr. Schacht menyatakan: …sejumlah pendapat menyatakan bahwa Islam adalah sistem yang sempurna yang mencakup agama sekaligus Negara (The Encyclopaedia of Islam, IV, p. 350) Prof. R. Strothmann: Islam jelas ssebuah agama dan politik… (Development of Muslim Theology, Jurisprudence, and Constitutional Theory. (New York 1903) p. 67) Prof. D. B. Macdonal: di Madinah terbentuklah Negara Islam pertama, disana diletakkan prinsif-prinsif dasar bagi perundangan yang Islami. (The Caliphate. Oxford 1924, p. 30) Sir. Thomas Arnold: Nabi saw. Pada waktu yang bersamaan adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin Negara (Muhammedanism. 1924, p. 3) Jika ilmuwan dan peneliti Barat dengan jujur mengakui bahwa Islam memiliki konsep politik kenegaraan, mengapa justru penulis justru memilih pendapat yang aneh dan nyeleneh ala ‘Ali ‘Abd al Raziq? Yang aneh lagi adalah, kaum liberal sering mengkritik kalangan yang mereka istilahkan sebagai kelompok fundamentalis sebagai penganut mazdhab literalis-tektualis. Tetapi saat mereka menafsirkan ayat-ayat al quran tentang wajibnya imamah mereka lebih-lebih sangat literalis-tekstual. Memang benar tidak ada ayat yang secara tekstual menyebutkan “aqimuu al khilafah” atau ayat “kutiba ‘alaikum al khilafah” akan tetapi banyak ayat yang memerintahkan untuk menerapkan hukum-hukum hudud, jihad, dsb. Hukum-hukum ini tidak akan terlaksana tanpa institusi pelaksananya. Hadist-nabi kemudian menjelaskan bahwa nama sistem pelaksana (sistem pemerintahan) yang digariskan Islam adalah khilafah. Jadi clear, bahwa al quran mewajibkan adanya sistem pemerintahan yang menerapkan hukum-hukum Allah kemudian hadist menjelaskan bahwa sistem itu adalah khilafah. Pandangan literalis-teklualis dan cenderung parsial dalam memahami nash juga Nampak pada saat penulis mengomentari dalil wajibnya khilafah berdasarkan hadist Nabi saw (hlm 126). Jelas untuk mengambil kesimpulan tidak cukup hanya mendasarkan pada satu hadist. Pada saat HT menjelaskan tentang wajibnya membai’at imam berdasarkan hadist: ومن مات وليس في عنقه بيعة فقد مات ميتة جاهلية Barang siapa meninggal sedang tidak ada bai’at (imam) di pundaknya maka dia mati dalam kondisi seperti mati jahiliyah (menanggung dosa) (HR. Muslim no. 1851) Lalu HT mengambil kesimpulan bahwa imam yang dimaksud adalah khalifah, karena Nabi juga menjelaskan bahwa imam yang dimaksud adalah khalifah. Diantara dalilnya adalah: إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخَرَ مِنْهُمَ Jika dibait dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya (HR. Muslim dari Abu Sa’id al Khudri). Ibnu Hajar saat mengomentari hadist ini (HR. Muslim no. 1851) juga menegaskan bahwa yang dimaksud dalam hadist ini adalah bai’at terhadap imam/khalifah sebagaimana yang saya kutip di atas. Selanjutnya mengenai bai’at kepada khalifah. Penulis sependapat dengan pendapat Murtadha al ‘Askari yang menyatakan bahwa bai’at ada beberapa bentuk dan tidak hanya terbatas pada bai’at pengangkatan khalifah (hlm 127). Tanggapan: nampaknya penulis menyelisihi pendapat ahlu sunnah dalam hal hukum bai’at. Mengapa? karena para fuqaha ahlu sunnah telah berijma bahwa bai’at adalah akad antara umat dengan khalifah (hakim). Syaikh Dr. Ahmad Fuad ‘Abdul Jawad dengan mengutip pendapat Ibnu Khaldun menyatakan: و من هنا جاء إجماع فقهاء أهل السنة علئ أن البيعة عقد بين الأمه و بين الخليفة (الحاكم), و سمي عقد الخلافة (الحكم) Dari sini terdapat ijma fuqaha ahlu sunnah bahwa bai’at adalah akad antara ummat dengan khalifah (al haakim) dan dinamakan akad khilafah (alhukm) Bai’at terhadap nabi jelas untuk pegangkatan beliau sebagai kepala negara bukan sebagai Nabi. Buktinya Nabi tidak melalukan bai’at pada masa-masa awal Islam kepada shahabat yang masuk Islam. Jika ada yang berhujjah saat itu syariat bai’at belum diturunkan. Jika asumsi ini benar. Mengapa tidak dilakukan bai’at terhadap sahabat yang telah beriman lebih awal?. Pendapat yang benar adalah keimanan terhadap risalah yang beliau bawa dan atas kenabian beliau cukup dengan dengan syahadatain, sebagaimana dijelaskan dalam banyak riwayat. Adapun adanya bai’at aqabah I dan II yang penulis nyatakan bukan bai’at untuk pengangkatan Nabi sebagai kapala negara dengan alasan Rasul belum hijrah dan negara Islam belum berdiri (hlm. 127). Tanggapan: justru karena negara islam belum berdiri itulah ahlu nushrah (suku Aus dan Khazraj) membai’at Nabi saw sebagai pemimpin mereka. Atas jaminan mereka pada bai’at aqabah II itulah maka Rasul hijrah ke Madinah. Penulis sendiri mengakui dengan mengutip pendapat Murtadha al ‘Askari bahwa peristiwa ini (bai’at Aqabah II) adalah wujud bai’at untuk menegakkan Daulah islamiyyah (hlm 127-128). Jadi, bagaimana bias seorang peneliti mengambil kesimpulan yang berbeda dengan referensi yang dikutipnya? Adapun bai’at aqabah I sejatinya adalah bai’at persiapan menuju bai’at Aqabah II. Mengapa? karena 12 orang yang berbai’at pada bai’at ini adalah yang juga berbai’at pada bai’at Aqabah II. Dengan kata lain bai’at Aqabah I disempurnakan dengan bai’at Aqabah II, karena belum ada jaminan keamanan untuk melindungi Nabi sebagai kepala Negara. Dalam bai’at II ini juga jelas bahwa Nabi akan hijrah ke Madinah setelah ada jaminan dari ahlu nushroh (suku Aus dan Khazraj). Selanjutnya penulis mempersoakan ijma sahabat dalam peristiwa Saqifah Bani Sa’idah. Perbedaan pendapat di kalangan sahabat mengenai siapa penganti Nabi dieksplorasi sedemikian rupa oleh penulis untuk membantah bahwa shahabat telah berijma (hlm. 131-135). Tanggapan: kekeliruan penulis nampak fatal disini. HT mentabanni bahwa sahabat telah berijma tentang wajibnya mengangkat pengganti Nabi dalam perkara kepemimpinan politik. Sebagaimana yang diungkapkan Imam Ibnu Hajar al Haitsami: اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب ، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله “Ketahuilah juga bahwa para sahabat telah berijma’ bahwa mengangkat Imam setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya kewajiban paling penting karena mereka menyibukkan diri dengannya dengan menunda penguburan Rasulullah.” Perbedaan pendapat yang terjadi diantara shahabat adalah siapa yang akan menjadi imamnya. Imam/khalifah yang akan menggantikan Rasulullah. Karena dalam pandangan sunni tidak ada dalil yang menjelaskan penetapan orang tertentu sebagai khalifah. Pada saat mengomentari hadist desakan sebagian shahabat kepada Umar agar menunjuk penggantinya, Umar lalu menolaknya, Imam an Nawawi menyatakan: وَفِي هَذَا الْحَدِيث : دَلِيل أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَنُصّ عَلَى خَلِيفَة ، وَهُوَ إِجْمَاع أَهْل السُّنَّة وَغَيْرهَا Pada hadist ini terdapat petunjuk bahwa Nabi saw tidak menetapkan khalifah (personnya). Ini adalah kesepakatan ahlu sunnah dan yang lainnya. Pendapat ini juga merupakan pendapat HT. Syaikh Taqiyuddin dalam bab yang paling panjang dalam kitab asy syakhshiyyah Islamiyyah juz II menuliskan judul: لم يعين الشرع شخصاً معيناً للخلافة Syariat tidak menetapkan person tertentu bagi khilafah Tentang terjadinya perpecahan di kalangan shahabat menjadi tiga faksi yaitu faksi Ansharpimpinan Sa’ad bin ‘Ubadah, Faksi pimpinan Abu Bakar dan Umar, dan faksi pimpinan ‘Ali bin Abi Thalib (hlm. 133). Tanggapan: kalangan Anshar dalam peristiwa Saqifah setelah mendapat penjelasan dari Umar akhirnya menbai’at Abu Bakar hanya Sa’ad bin ‘Ubadah yang tidak mau membai’atnya. Imam as Sututhi mengutip riwayat Imam an Nasaai, Abu Ya’la dan al Hakim –ia menyataka keshahihahnnya- meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dia berkata: قبض رسول الله صلى الله عليه وسلم قالت الأنصار منا أمير ومنكم أمير فأتاهم عمر بن الخطاب رضي الله عنه فقال يا معشر الأنصار ألستم تعلمون أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد أمر أبا بكر أن يؤم الناس فأيكم تطيب نفسه أن يتقدم أبا بكر فقالت الأنصار نعوذ بالله أن نتقدم أبا بكر. ”Tatkala Rasulullah telah dipanggil Allah ke hadirat-NYa, orang-orang Anshar berkata: ‘Dari kami ada seorang pemimpin dan dari kalian ada seorang pemimpin. Kemudian Umar mendatangi mereka dan berkata,’Wahai kaum Anshar tidakkah kalian tahu bahwa Rasulullah telah memerintahkan Abu Bakar menjadi Imam shalat pada saat hidupnya. Lalu siapa di antara kalian yang merasa dirinya berhak untuk maju mendahului Abu Bakar?’ Orang-orang Anshar berkata,’kami merlindung kepada Allah untuk maju mendahului Abu Bakar’ Mengenai Ali yang tidak terlibat dalam perdebatan di Saqifah. Bukan berarti Ali berada pada faksi yang berbeda. Justru Ali marah karena tidak dilibatkan dalam perdebatan tersebut. Ali juga menegaskan seandainya ia dilibatkan tentu ia akan membai’at Abu Bakar. Ali dan Zubair berkata,” Dan kemarahan kami tidak lain karena kami tidak dilibatkan dalam musyawarah. Sesungguhnya kami memandang bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berhak untuk memangku jabatan khalifah. Karena sesungguhnya ia adalah teman Rasulullah di dalam gua dan kami mengetahui kemualiaannya. Rasulullah telah memerintahkannya menjadi Imam shalat saat beliau masih hidup Selanjutnya penulis mempersoalkan gelar khalifatu rasulillah bagi Abu Bakar. Menurutnya gelar tersebut tidak ada hubungannya dengan persoalan politik atau kepemimpinan. Tetapi hanya terkait tentang keutamnaan Abu Bakar sebagai khalifah Rasul ‘ala shalat (hlm. 137) Tanggapan: Istilah khalifah rasulillah juga dipakai dalam kontek kepemimpinan. Setelah terbai’atnya Abu Bakar, dia kemudian naik ke atas mimbar untuk berkhutbah, namun ia tidak melihat Zubair. Maka beliau memerintahkan untuk memanggilnya. Setelah Zubair datang Abu Bakar berkata: ”Engkau adalah anak bibi Rasulullah dan seorang hawari Rasulullah apakah engkau ingin mengoyak-ngoyak kesatuan kaum muslimin?”. Zubair menjawab: لا تثريب يا خليفة رسول الله فقام فبايعه Tidak wahai khalifah rasulillah, ia lalu berdiri dan membai’at Abu Bakar Saat Abu Bakar tidak melihat Ali maka ia mengutus orang untuk memanggilnya dan menanyakan hal sama seperti pada Zubair. Ali lalu menjawab: لا تثريب يا خليفة رسول الله فبايعه. Tidak wahai khalifah rasulillah, ia lalu berdiri dan membai’at Abu Bakar Kesimpulan KEWAJIBAN MENEGAKKAN KHILAFAH MEMILIKI LANDASAN NORMATIF BAIK AL QUR’AN, AS SUNNAH, DAN IJMA’ SHAHABAT Bersambung ke bagian kedua Banjarmasin, 26 Jumadil Akhir 1433 H Al Faqir ila ALLAH Wahyudi Abu Syamil Ramadhan [1] http://hizbut-tahrir.or.id/2009/07/29/hizbut-tahrir-wahabi/ [2] Dikutip penulis dari kitab afkaru siyasiyah hlm. 132 [3] Dikutip penulis dari kitab Mitsaq al-Ummah, pembahasan serupa bisa didapatkan dalam kitab asy syakhshiyyah al islamiyyah juz II [4] Hizbut Tahrir, Ajhizah daulah khilafah (fi al hukmi wa al idarah), hlm. 7 [5]Tafsir Ibnu Katsir, 2/416 [6] al ahkam as sulthaniyah, hlm. 6 [7] Imam Ibn Hajar Haitami, Ash Shawaiqul Muhriqah, h. 7 [8] As-Siyasah asy-Syar’iyyah hlm. 33 [9] Diantara yang mengkritik buku ini adalah naqdhu ‘ilmiy li kitab al islam wa ushul al-hukmi karya al ‘allamah asy syaikh Muhammad ath thahir ibn ‘aasyur dan kitab an nazhriyyat as siyasiyah al islamiyah karya syaikh dhiyau ad diin ar raiis beliau adalah Profesor dan ketua Jurusan Sejarah Islam di Fakultas Darul ‘Uluum Univ. Kairo [10] Buku yang berjudul al Islam wa ushul al hukmi. Buku ini pertama kali terbit pada bulan April 1925. Saya sebut buku ini tidak popular dan keluar dari mainstrim pemikiran Islam karena pada tahun yang sama umat sedunia akan berkumpul di Kairo Mesir untuk mengembalikan Khilafah yang baru saja diruntuhkan oleh Penjajah khususnya Inggris melalui anteknya Mustafa Kamal. Di tengah suasana gegap gempita untuk mengembalikan khilafah itulah justru ‘Ali ‘Abdur al-Raziq menerbitkan buku itu. [11] Lihat raddu haiah kibar al ulama ‘ala kitab al islam wa ushul al hukmihlm. 7 [12] an nazhriyyat as siyasiyah al islamiyah hlm. 29 [13] Al Bai’at ‘inda mufakkiri ahli sunnah wal ’aqdu al ijtima’I fil fikri as siyasiy al hadiist hlm. 17 [14] Bai’at Aqabah I disebut juga bai’at an nisa karena belum disyariatkannya perang [15] Tsaqifah adalah tempat diputuskan persoalan-persoalan penting bagi penduduk Madinah, persis seperti daar an Nadwah di Makkah [16] Imam Ibn Hajar Haitami, Ash Shawaiqul Muhriqah, h. 7 [17] Bebeda dengan pandangan Syiah yang menyatakan bahwa Syariat telah menetapkan orang tertentu sebagai khalifah [18] An-Nawawi, Syarhu al Muslim , 6/291 [19] Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz II hlm. 54 [20] An Nazdriayat as Siyasah al Islamiyah hlm. 42 [21] Tarikh Khulafa’, hlm. 26 (maktabah syamilah) [22] Ibid, hlm. 27 [23] Ibid , hlm 26

Sabtu, 12 Mei 2012

SIMULASI PEMASUKAN NEGARA DARI BATUBARA Simulasi ini dibuat dengan beberapa asumsi sebagai berikut: 1. Total produksi adalah untuk semua jenis batubara dengan kandungan kalori yang berbeda-beda, yaitu: 7000 kkal/kg, 6700 kkal/kg, 6200 kkal/kg, 5700 kkal/kg, 5400 kkal/kg, 5000 kkal/kg dan kurang dari 5000 kkal/kg. Produksi batubara pada tahun 2012 sebesar 332 juta ton adalah asumsi dari kementrian ESDM. 2. Harga jual yang digunakan adalah Harga Batubara Acuan (HBA) yang ditetapkan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba)-Kementerian ESDM. HBA adalah harga batubara dengan acuan kandungan kalori 6322 kkal/kg. (lihat Peraturan Ditjen Minerba No. 515.K/32/DJB/2011 tentang Formula Untuk Penetapan Harga Patokan Barubara) 3. Biaya produksi di Indonesia termasuk yang rendah di dunia. Sebagai contoh untuk tahun 2009 biaya produksi per ton barubara adalah US $ 20 /ton. Indonesia hanya kalah dari Venezuela yang ongkos produksi me-nambangnya sekitar US$ 18 per ton. Hal ini wajar karena batubara di Indonesia adalah batubara permukaan, berbeda dengan Cina yang berada jauh di dalam tanah. Tetapi pada tahun 2012 terjadi peningkatan biaya produksi menjadi US $ 40 /ton. Menurut Sandiaga (Pendiri Saratoga Capital Sandiaga Salahudin Uno), ongkos produksi batubara tersebut terdiri atas sejumlah komponen, yaitu penambangan, biaya umum plus administrasi, dan transportasi darat Selain itu, masuk kategori ongkos produksi adalah pemrosesan batubara, royalti plus pajak produksi, dan ongkos pelabuhan plus terminal batubara 4. Keperluan dalam negeri (domestik) berdasarkan realisasi tahun 2011 adalah 25 %, sedang sisanya di ekspor. Selanjutnya yang dihitung hanyalah batubara yang di ekspor, karena politik energi dalam sistem Islam adalah mendahulukan keperluan dalam negeri. Itupun tidak berorientasi pada laba. Meskipun negara boleh menjualnya kepada perusahaan negara yang mengkonversi batubara ke bentuk yang lain (mis: listrik), tetapi sekedar untuk ganti ongkos produksi. 5. Berdasarkan empat asumsi di atas didapat tolal batubara yang diekspor, selanjutnya dikalikan dengan dengan HPA, lalu dikurangkan biaya produksi, didapatlah laba bersih. Simulasi sektor batubara untuk tahun 2011 dan 2012 disajikan dalam Tabel 1 berikut: Tabel 1. Perhitungan Penerimaan Negara Sektor Batubara Uraian Perhitungan 2011 2012 Total Produksi 327 juta ton 332 Juta Ton Harga Batubara acuan (HBA) US$ 122, 43/ton US$ 127, 05 per Ton Biaya Produksi US$ 40 /ton US$ 40 /ton Keperluan Domestik 81, 75 juta ton 83 juta ton Total Ekspor 245, 25 juta ton 249 juta ton Penerimaan Ekspor US$ 30 M US$ 31, 63 M Biaya Produksi US$ 9, 81 M US$ 9, 96 M Laba Bersih Rp 190 T Rp 204 T (diolah dari berbagai sumber) Dari Tabel 1 terlihat bahwa penerimaan dari batubara saja sudah sangat signifikan untuk penerimaan APBN Indonesia yaitu mencapai hampir 15 % keperluan APBN tahun 2012. Jika perhitungan di atas digunakan untuk perhitungan pemasukan di Provinsi Kalimantan selatan yang memproduksi 30 % dari total produksi di Indonesia maka pemasukan Kalsel dari batubara saja sudah mencapai Rp 61,2 triliyun. Pemasukan sebesar ini adalah 20 kali lipat dari kepeluan APBD Kalsel pada tahun 2012 yaitu Rp 3,1 T. Hanya saja, perhitungan ini berlaku jika asumsi yang mensyaratkan dijalankan, yaitu jika barubara ini dikelola oleh negara dan tidak diserahkan pada swasta seperti yang terjadi saat ini. Al Faqiir ila ALLAH Wahyudi Ibnu Yusuf (LKU HTI Kalsel) Banjarmasin, 13 Mei 2012

Selasa, 03 Januari 2012

RINTANGAN-RINTANGAN MENEGAKKAN KHILAFAH



Wahyudi Ibnu Yusuf
Pendahuluan
Khilafah PASTI akan berdiri. Banyak alasan yang menguatkan keyakinan tersebut. Mulai dari landasan I’tiqadi yaitu janji Allah (an-nur: 55) dan bisyarah Rasulillah melalui banyak hadistnya yang mencapai derajat mutawatir bil ma’na yang diriwayatkan 29 sahabat, 39 tabi’in dan 63 tabi’ut tabi’in. beragam survei baik dalam dan luar negeri juga semakin menegaskan akan terwujudnya janji Allah SWT tersebut. Terlebih peristiwa penggulingan penguasa diktator di beberapa Negara Timur Tengah di sisi lain masyarakat Eropa sendiri telah muak dengan para kapitalis dan sistem kapitalisme yang selama ini telah mereka emban. Bandul sejarah sedang akan mengarah pada perubahan besar dan mendasar yang lahir dari akidah Islam dan sistem paripurna dari penguasa Alam, Allah rabbul ‘alamiin.
Berdirinya khilafah rasyidah yang kedua jelas akan mengguncang dunia. Sebagai mana saat pertama berdirinya. Syaikh Hamdan Fahmi dalam bukunya al-Khilafah ar-Rasyidah al-Mau’udah wa at-Tahadiyat (Khilafah Rasyidah yang telah dijanjikan dan tantangan-tantangannya) menyatakan:
“Peristiwa paling agung dalam sejarah umat manusia sejak nabi Adam as hingga awal tahun pertama sejak hijrahnya Nabi Muhammad saw ke Madinah al munawwarah adalah peristiwa berdirinya Daulah Islamiyah. Karena peristiwa itu merupakan hentakan yang sangat kuat yang gaungnya menguncang dunia beserta umat manusia yang ada di dalamnya”.
Ibnu Hisyam dalam kitab sirohnya menceritakan bahwa saat nabi berbaiat dengan ahlu nusroh yaitu 75 orang dari suku ‘Aus dan Khajraz di bukit ‘Aqabah maka syaitan berteriak memprovokasi musuh-musuh Allah untuk menghalangi tegaknya daulah nabawiyah kala itu. Ka’ab bin Malik menceritakan: “Setelah kami membaiat Rasul saw. Syaitan berteriak dari atas bukit ‘aqabah dengan teriakan yang keras yang bisa aku dengar. Wahai penduduk Jubajib, ketahuilah bahwa mudzammim dan orang murtad yang mengikutinya telah berkumpul untuk memerangi kalian”
Hal yang sama tentu juga akan dilakukan oleh siapapun yang tidak senang tersebarnya cahaya hidayah ini di seluruh alam. Mereka tentu akan menggunakan beragam cara untuk menghalangi tegaknya khilafah. Mulai dari cara yang halus hingga yang kasar. Baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Dalam tulisan singkat ini akan dipaparkan rintangan-rintangan yang menghambat tegaknya khilafah ats-tsaniyah tersebut.
Rintangan Tegaknya Khilafah
Secara garis besar rintangan menegakkan khilafah dapat dibagi menjadi dua yaitu rintangan internal umat Islam dan eksternal dari Negara kafir penjajah yang tidak ingin kepentingan politik-ekonomi mereka terganggu. Termasuk rintangan eksternal adalah antek-antek Negara kafir penjajah yang sengaja di tanam di tubuh kaum muslimin untuk melanggengkan penjajahan mereka. Pada kenyataannya baik rintangan internal maupun ekternal keduanya saling berhubungan. Masuknya ide-ide Barat ke tubuh kaum muslimin diantaranya disebabnya lemahnya pemahaman dan pengamalan sistem Islam. Selain itu Barat juga secara massif telah menginjeksi ide-idenya ketubuh kaum muslimin.
1. Bercokolnya pemikiran yang tidak Islami
Pemikiran adalah sesuatu yang sangat menentukan mafahim, maqayis, dan qanaah seseorang. Demikian pula pemikiran adalah salah satu faktor pembentuk masyarakat. Selanjutnya pemikiran jelas sangat menentukan arah kebijakan satu Negara. Barat memahami betul bahwa penjajahan secara fisik tidak akan melanggengkan penjajahan mereka di dunia Islam. Oleh karena itulah mereka mengubah strategi penjajahan mereka dengan penjajahan non fisik yaitu perang pemikiran (ghazwu al-fikri). Diantara pemikiran/ide yang paling menjadi penghalang tegaknya khilafah adalah sekularisme, demokrasi, pluralisme-sinkritisme, dan nasionalisme. Sekularisme adalah paham yang memisahkan urusan keduniaan dengan agama. Sehingga urusan kenegaraan harus steril dari pengaruh agama. Dari paham inilah lahir anggapan tidak ada Negara hindu, Negara budha, bahkan Negara Islam. Ide Negara agama dianggap sebagai ide kampungan. Padahal anggapan seperti ini jelas lahir dari paham sekularisme sekaligus kesesatan dalam melakukan generalisasi. Jika tidak ada Negara hindu, Negara budha, Negara Kristen, atau secara umum Negara agama maka hal tersebut tidak berlaku untuk Islam. Islam adalah satu-satunya agama sekaligus ideologi yang memiliki sistem kehidupan yang paripurna. Demokrasi juga terlanjur dipuja-puja dan diangungkan sedemikian rupa. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai agama baru. Demokrasi dianggap sebagai sistem politik terbaik sebagai antithesis dari otoriarisme. Para akademisi tidak jarang meniliai sistem politik secara dikotomis; jika tidak demokratis maka pasti otoriter. Jika dikatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi dari sisi bahwa kedaulatan berada ditangan syara atau dari sisi tidak ada pembagaian wewenang khalifah maka langsung saja mereka mengatakan bahwa khilafah adalah sistem yang otoriter. Pluralisme-sinkritisme memandang semua agama adalah sama. Maka tidak boleh ada klaim kebenaran (truth claim). Semua orang memiliki hak yang sama untuk memimpin. Sehingga tidak boleh ada satu agama pun yang berhak memimpin umat agama lain. Bahkan, jika salah satu syarat khalifah adalah muslim. Maka menurut mereka jelas ini adalah sistem yang bertentangan dengan ide pluralisme-sinkritisme. Dengan ide kebangsaan (nasionalisme) lah khilafah ustmaniyah tercerai berai. Nasionalisme ini pulalah yang menjadikan penghalang unifikasi (penyatuan) negeri-negeri Islam saat ini. Nasionalisme yang diwujudkan dalam bentuk Negara bangsa (nation state) telah menjadikan kaum muslimin di Indonesia tidak peduli dengan invasi AS ke negeri negeri Islam seperti Irak dan Afganistan atau penjajahan Israel terhadap saudara kita di Palestina. Mereka mengatakan “untuk apa jauh-jauh mengurusi warga Palestina padahal masih banyak rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan”. Saat ada sebagian kaum muslimin yang ingin berjihad ke Irak dan Afghanistan dihalangi sedemikian rupa.
2. Adanya program-program pendidikan yang dibangun berdasarkan asas yang telah ditetapkan penjajah, disertai metode yang digunakan untuk menerapkan kurikulum tersebut di sekolah dan perguruan tinggi. Dimana sekolah dan perguruan tinggi tersebut meluluskan orang-orang yang akan mengatur persoalan-persoalan pemerintahan, menjalankan birokrasi, pengadilan, pendidikan, kedokteran, dan semua persoalan kehidupan dengan pola piker yang khas sesuai keinginan penjajah. Dalam konteks Indonesia program ini dimulai sejak pemerintah Hindia-Belanda menerapkan politik etis. Selain itu Belanda juga membangun sekolah-sekolah untuk menyaingi pengaruh pesantren. Selanjutnya lulusan sekolah-sekolah Belanda tersebut dipekerjakan di kebun-kebun atau perusahaan milik Belanda. Sedangkan alumni pesantren dipersulit untuk mendapatkan pekerjaan.
Pengiriman pelajar dan mahasiswa hingga kini menjadi strategi jitu untuk mengubah pola pikir pemuda-pemuda Islam. Perguruan tinggi-perguruan tinggi seperti: Berkeley, Cornell, MIT (Massachusetts Institute of Technology), Harvard dan lain-lain menjadi sarang dan dapur CIA untuk mencekokkan ilmu-ilmu liberal dan meng-amerika-kan para mahasiswa yang datang dari berbagai negeri itu (termasuk Indonesia) serta menggemblengnya menjadi agen dan kaki tangannya yang setia. Bahkan banyak badan-badan pendidikan dan perikemanusiaan itu sekedar dijadikan kedok semata-mata untuk kepentingan CIA. Alumni dari kampus-kampus inilah yang kemudian disebut Mafia Berkeley. Diantaranya adalah Soemitro Djojohadikusumo, Emil Salim, Boediono dan Sri Mulyani. Merekalah yang banyak menentukan arah kebijakan ekonomi Indonesia hingga saat ini.
Liberalisasi di bidang agama juga dilakukan dengan sedemikian massif. Dengan target utama kampus Islam. Bermula dari seorang Harun Nasution (alumni McGill University) yang berhasil mengarahkan agar buku tulisannya yang sarat dengan ide leberalisme-sekularisme agar menjadi buku wajib mata kuliah pengantar Agama Islam di IAIN seluruh Indonesia. Selanjutnya Nur Khalis Majid melanjutkan menarik gerbong liberalisme di Indonesia.

3. Adanya pensakralan terhadap ilmu-ilmu sosial (ekonomi, hukum, politik, pemerintahan, budaya, pendidikan, psikologi dsb) dan menganggapnya sebagai sains yang bebas nilai.
Ilmu-ilmu sosial tidaklah sama dengan sains. Ilmu-ilmu sosial terkategori tsaqafah yaitu pengetahuan yang digali dari penginformasian dan pengalian dengan pengamatan secara terus menerus. Sedangkan sains adalah pengetahun yang digali dengan percobaan/eksperimen dan pengamatan dengan metode ilmiah . Saat Barat bangkit dan meraih kemajuan di bidang sains. Orang-orang yang silau dengan kemajuan Barat kemudian mengadopsi peradaban Barat tanpa mampu berpikir kritis bahwa tidak ada satu peradaban pun yang bebas nilai.
Menurut Syaikh Taqiyuddin tsaqafah Barat yang paling mempengaruhi para sarjana muslim adalah dibidang sosiologi, psikologi, dan pendidikan. Sebagai contoh di bidang sosiologi, para sosiolog memandang bahwa masyarakat hanya terbentuk oleh individu. Selanjutnya dari individu membentuk keluarga. Keluarga membentuk masyarakat. Masyarkat membentuk Negara. Ringkasnya menurut mereka masyarakat hanya terbentuk dari individu-individu. Padahal kenyataannya tidak demikian. Kumpulan individu semata tidak otomatis akan membentuk masyarakat. Kumpulan penontong bola antara LA Galaxy vs TimNas selection tidak otomatis disebut masyarakat. Demikian pula penumpang kapal dari Banjarmasin-Suarabaya tidaklah layak disebut masyarakat. Masyarakat terbentuk atas individu yang melakukan interaksi secara terus menerus. Sementara interaksi yang terus menerus hanya akan terbentuk jika terdapat kesamaan pemikiran, perasaan, dan sistem yang disepakati bersama. Kesimpulannya masyarakat terbentuk oleh individu, pemikiran, perasaan, dan sistem/aturan.
Definisi yang keliru terhadap masyarakat ini juga membawa dampak bagi metode dakwah yang diadopsi sejumlah kelompok dakwah. Mereka berfokus pada memperbaiki individu tanpa menyentuh aspek sistem sama sekali karena beranggapan bahwa masyarakat hanya terbentuk oleh individu. Kenyataan ini justru akan menjauhkan tercapainya tujuan, yaitu terwujudnya masyarkat Islam dalam naungan daulah Islam.
4. Masyarakat di dunia Islam berada di tengah-tengah kehidupan yang tidak Islami
Ini adalah kenyataan yang sedemikian terang benderang. Kenyataan bahwa umat Islam berada pada kehidupan yang tidak Islami menjadikan kendala tersendiri untuk menegakkan khilafah Islam. Umat Islam hidup pada sebuah masyarakat yang sangat rendah yang belum pernah ada sebelumnya. Istilah Muhammad Qutub kondisi saat ini adalah masa jahiliyah modern. Umat Islam telah terjerumus dalam perangkap 3 S (sex, song, dan sport) serta 3 F (food, fun, dan fashion) yang dipasang musuh-musuh Islam.
5. Jauhnya gambaran umat mengenai kehidupan Islam dalam bingkai khilafah Islam
Barat tidak berhenti sampai meruntuhkan khilafah, akan tetapi mereka juga bersungguh-sungguh untuk menghapus gambaran mengenai khilafah dari benak kaum muslimin. Buku-buku sejarah dibuat untuk mengaburkan kenyataan sejarah. Khilafah digambarkan dengan sistem monarki yang pernuh dengan pertumpahan darah. Dalam konteks Indonesia, tidak satu buku sejarah pun yang secara tegas menyatakan hubungan yang sangat erat baik secara akidah maupun politis antara kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara dengan kekhilafahan Islam yang eksis pada saat itu. Padahal kenyataannya keberadaan kesultanan-kesulatan Islam di Nusantara tidak terlepas dari dakwah yang dilakukan khilafah Islam dengan mengirimkan para dai (para wali) ke Nusantara. Kesultanan nusantara adalah setingkat dengan kabupaten atau keresidenan yang berada di bawah kontrol wali (setingkat Gurbernur) di mekkah.
6. Keberadaan para penguasa yang menjadi antek penjajah
Keberadaan penguasa-penguasa dhalim yang menjadi antek penjajah menjadi kendala tersendiri dalam upaya menegakkan khilafah. Kebanyakan dari para penguasa ini adalah orang yang dididik oleh penjajah untuk melanggengkan penjajahan. Selanjutnya mereka memimpin sesuai dengan skenario penjajah. Mereka meloloskan produk UU pesanan penjajah, mereka membuat perjanjian yang merugikan kaum muslimin, mereka membuat opini yang menyudutkan dakwah dan pengemban dakwah Islam, bahkan tidak segan-segan mereka menangkap hingga membunuh aktivis Islam.

7. Intervensi Langsung Negara Penjajah
Barat paham betul bahwa kepentingan mereka akan terganggu dengan tegaknya khilafah. Oleh karena itulah mereka senantiasa berupaya untuk menghalangi kembalinya kekuatan utama kaum muslimin ini. Fakta mutakhir mereka senantiasa menghalangi penggulingan rezim-rezim diktator di Timur Tengah. Namun saat gelombang revolusi tidak dapat dibendung lagi, mereka membajak dengan membelokkan revolusi pada arah yang tidak membahayakan kepentingan mereka. Berbagai cara digunakan Barat untuk membajak arah perubahan ini. Yang terpenting ada 5 (lima) cara, yaitu : Pertama, memanfaatkan politisi boneka. Kedua, memberi bantuan ekonomi (utang). Ketiga, melakukan intervensi militer. Keempat, mempropagandakan Islam moderat. Kelima, mengendalikan media massa guna mempengaruhi opini publik.
Penutup
Demikianlah sebagian rintangan yang akan kita hadapi dalam upaya menegakkan institusi khilafah. Setiap rintangan di atas mesti kita jawab dengan keikhlasan, pengorbanan, dan keistiqamahan dakwah sesuai dengan sunnah Nabi SAW. Ide-ide asing yang bercokol di benak kaum muslimin harus dijelaskan kekeliruannya dengan lugas, jelas, dan terang-terangan. Program pendidikan yang sesuai arahan penjajah harus kita jawab dengan membina pemuda-pemuda Islam dan umat dengan pembinaan-pembinaan di luar sekolah dengan program halqoh intensif. Islam adalah kurikulumnya dan kitalah guru dan dosennya. Selain itu umat harus dijelaskan mengenai kekeliruan penyamaan antara sains dan tsaqafah dengan penjelasan yang memuaskan serta menyentuh kekeliruan metodelogi berpikirnya. Masyarakat juga diarahkan untuk memiliki ketundukan terhadap syariat Islam dan memberikan gambaran yang benar mengenai Negara khilafah baik mengenai konsepnya (struktur khilafah) maupun sejarah yang benar tentang khilafah Islam. Selanjutnya umat mesti dicerdaskan dengan pemahaman politik bahwa pemimpin-pemimpin mereka telah bekerja untuk kepentingan penjajah. Oleh karena itulah maka menjelaskan konspirasi penguasa antek penjajah harus dilakukan secara terus menerus di tengah umat. Jelas resiko dari aktivitas ini SANGAT BESAR & BERAT. Akan tetapi bukankah aktivitas ini adalah setinggi-tinggi jihad di jalan Allah yang pahalanya setara dengan syahidnya penghulu para syuhada, Hamzah bin ‘Abdul Muthalib. Maka, sambutlah seruan Allah dan Rasul-Nya. Wallahu ‘alam bi shawab
Alalak, 30 Muharram 1433 H/24 Desember 2011

NATAL BERSAMA DAN TAHUN BARU Sejarah, Hukum, dan Solusinya



Pendahuluan
Dari Abu Hurairah r.a , Rasulullah saw bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ القُرُونِ قَبْلَهَا، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ»، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَفَارِسَ وَالرُّومِ؟ فَقَالَ: وَمَنِ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ
“Hari kiamat tak bakalan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, seperti Persi dan Romawi?” Nabi menjawab: “Manusia mana lagi selain mereka itu?” (HR. Bukhory no. 7319)
Dalam riwayat dari Abu Sa’id al Khudri Rasulullah bersabda:
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ» ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اليَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: «فَمَنْ
“Sungguh, engkau akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, hingga kalaulah mereka masuk liang biawak, niscaya kalian mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, Yahudi dan nasranikah?” Nabi menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Bukhory no. 7320)
Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Fathul Bariy, menerangkan bahwa hadist no 7319 berkaitan dengan tergelincirnya umat Islam mengikuti mereka dalam masalah tata negara dan pengaturan urusan rakyat, sedangkan hadist no 7320 berkaitan dengan tergelincirnya umat Islam mengikuti mereka dalam masalah aqidah dan ibadah.
Apa yang telah Nabi saw sampaikan pada dua hadist di atas benar-benar telah terjadi. Di bidang tata Negara dan pengaturan urusan rakyat umat Islam saat ini tidak lagi mengambil sistem pemerintahan yang dicontohkan Nabi, sebaliknya mereka mengadosi demokrasi sistem kufur yang merampas kedaulatan Allah SWT dalam menetapkan hukum. Di bidang akidah dan ibadah umat Islam juga telah terjerumus dalam perangkap Yahudi. Diantaranya adalah perayaan Natal dan tahun Baru. Dengan dalih toleransi dan pluralisme serta kerukunan antar umat Bergama umat Islam menghadiri perayaan natal, mengucapkan selamat, menanti pergantian tahun di jalan-jalan dengan ikhtilath (campur baur) antara laki-laki dan perempuan dsb. Ironisnya lagi pendangkalan akidah ini dipertontokan dan dituntunkan oleh tokoh-tokoh umat dan pejabat-pejabat Negara. Kondisi ini persis seperti apa yang dikabarkan Nabi.
دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا
(di masa keburukan) akan ada para penyeru yang mengajak pada pintu-pintu neraka jahannam. Siapa saja yang membenarkan mereka, maka mereka akan menjerumuskan pada neraka jahannam tersebut (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Sejarah Natal dan Tahun Baru
Tradisi natal sejatinya bukan asli kepunyaan umat nasrani—bukan ajaran Bibel. Perayaan ini berasal dari kebiasaan masyarakat penyembah berhala yang kemudian dikembangkan oleh gereja Roma. Menurut Catholic Encyclopedia tahun 1911 dibawah judul “Christmas” diterangkan: “natal bukanlah salah satu upacara gereja, upacara ini berasal dari Mesir yang dilakukan pada zaman penyembah berhala. Dari sumber yang sama, Origen, yang merupakan pelopor pendirian lembaga kepasturan mengakui bahwa : “… didalam kitab suci tidak ada seorangpun yang mengadakan perayaan besar-besaran untuk memperingati hari kelahirannya, hanya para penguasa kafir saja—yakni Fir’aun dan Herod—yang berpesta pora merayakan hari kelahiran mereka. Keterangan ini semakna dengan Encyclopedia Brittanica terbitan 1944. Begitu pula menurut analisa geografis dan geofisika, dikota Bethlehem pada tanggal 25 Desember sedang terjadi musim salju. Namun dalam Lukas 2:8 (lebih lengkap dalam Injil Lukas pasal 2 ayat 1 – 20, dan Injil Matius ayat 1-23) dikatakan bahwa pada saat Yesus lahir, para gembala sedang menggembalakan binatangnya. Jadi menurut Al Kitab sendiri Yesus jelas tidak lahir pada musim salju, karena tidak akan ada rumput-rumputan tumbuh pada musim salju.
Mengenai tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.
Januari dijadikan sebagai awal tahun karena diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua ini, satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru.
Tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.
Dalam perayaan tahun baru juga sarat dengan kemaksiatan. Laki-laki dan perempuan bercampur baur hingga pesta seks. Na’udzubillah.
Hukum Mengikuti Perayaan Natal Bersama (PNB) dan Tahun Baru
Haram hukumnya umat Islam mengikuti PNB dan tahun baru. Tidak peduli apakah dia pejabat atau rakyat jelata. Keharaman menghadiri PNB dan tahun baru menurut syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kembali kepada dua dalil. Yaitu dalil umum dan dalil khusus. Dalil umum adalah larangan menyerupai tradisi/kebiasaan dan ibadah orang kafir. Diantara dalilnya adalah:
من تشبه بقوم فهو منهم
”Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud)
Menurut Syaikhul Islam, Hadîts ini berkonsekuensi akan haramnya menyerupai kaum kuffâr secara mutlak [Iqtidhâ` ash-Shirâthal Mustaqîm].
Selain itu dalam banyak kesempatan Nabi senantiasa memerintahkan umat Islam untuk menyelisi kebiasaan orang kafir. Diantaranya Nabi bersabda:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
”Selisihilah orang musyrikin, potonglah kumis dan biarkan jenggot kalian.” [HR Muslim].
Ibnu Hajar al atsqalani menyebutkan bahwa terdapat 30 perintah Nabi untuk menyelisihi kebiasaan orang kafir (Fathur Baari)
Sedang dalil khususnya diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, firman Allah dalam QS. Al Furqan ayat 72 yang menyatakan salah satu sifat hamba Allah (‘Ibâdur Rahmân)
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ …
“dan (hamba-hamba Allah itu) tidak menyaksikan kepalsuan…”
Jumhur mufassirin menafsirkan az zur dengan perayaan kaum musyrikin. Berikut kami kutipkan beberapa penafsiran mengenai ayat ini.
{ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ } وقال أبو العالية، وطاوس، ومحمد بن سيرين، والضحاك، والربيع بن أنس، وغيرهم: هي أعياد المشركين
Abūl ’Âliyah, Thôwus, Muhammad bin Sîrîn, adh-Dhohhâk, Rabî’ bin Anas dan selain mereka, mengatakan bahwa maksud Lâ yasyhadūna biz Zūr adalah (tidak menghadiri) perayaan kaum musyrikîn. [Lihat : Tafsîr Ibnu Katsîr VI/130; lihat pula Iqtidhâ` I/80]
Ketika menafsirkan ayat ini Imam Al Qurthubi (w. 671 H) menyatakan:
لَا يَحْضُرُونَ الْكَذِبَ وَالْبَاطِلَ وَلَا يُشَاهِدُونَهُ. وَالزُّورُ كُلُّ بَاطِلٍ زُوِّرَ وَزُخْرِفَ، وَأَعْظَمُهُ الشِّرْكُ وَتَعْظِيمُ الْأَنْدَادِ.
tidak menghadiri dan menyaksikan setiap kebohongan dan kebathilan. Dan az zûr adalah setiap kebathilan yang dihiasi dan dipalsukan, dan zûr yang paling besar adalah syirik dan pengagungan kepada berhala.
Menghadiri perayaan natal jelas menghadiri kebatilan. Karena menghadiri perayaan pengakuan bahwa Nabi Isa as adalah anak Tuhan. Padahal keyakinan seperti ini adalah keyakinan batil. Sebagaimana firman Allah Allah:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Maidah [5]: 73-74).
Kedua, Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَهَذَا عِيْدُنَا
“Sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan ini (Idul Adha dan Idul Fitri) adalah hari raya kita” (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.).
Dalam hadist lain, Dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ’anhu beliau berkata : Rasūlullâh Shallâllâhu ’alahi wa Sallam tiba di Madînah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, ”dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.” Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam mengatakan :
قَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
”Sesungguhnya Allôh telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhhâ dan idul fithri.” [Shahîh riwayat Imâm Ahmad, Abū Dâwud, an-Nasâ`î dan al-Hâkim.]
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu berkata :
فوجه الدلالة أن اليومين الجاهليين لم يقرهما رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ولا تركهم يلعبون فيهما على العادة، بل قال إن الله قد أبدلكم بهما يومين آخرين، والإبدال من الشيء يقتضي ترك المبدل منه، إذ لا يجمع بين البدل والمبدل منه.
”Sisi pendalilan hadîts di atas adalah, bahwa dua hari raya jahiliyah tersebut tidak disetujui oleh Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam dan Rasūlullâh tidak meninggalkan (memperbolehkan) mereka bermain-main di dalamnya sebagaimana biasanya. Namun beliau menyatakan bahwa sesungguhnya Allôh telah mengganti kedua hari itu dengan dua hari raya lainnya. Penggantian suatu hal mengharuskan untuk meninggalkan sesuatu yang diganti, karena suatu yang mengganti dan yang diganti tidak akan bisa bersatu.”
Ketiga, Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab, beliau juga telah melarang kaum muslim merayakan hari raya orang-orang kafir. Imam Baihaqiy telah menuturkan sebuah riwayat dengan sanad shahih dari ‘Atha’ bin Dinar, bahwa Umar ra pernah berkata,
لَا تَعَلَّمُوا رَطَانَةَ الْأَعَاجِمِ وَلَا تَدْخُلُوا عَلَى الْمُشْرِكِينَ فِي كَنَائِسِهِمْ يَوْمَ عِيدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ
“Janganlah kalian menmempelajari bahasa-bahasa orang-orang Ajam. Janganlah kalian memasuki kaum Musyrik di gereja-gereja pada hari raya mereka. Sesungguhnya murka Allah swt akan turun kepada mereka pada hari itu.” (HR. Baihaqiy).
Umar bin al-Khaththtab ra juga mengatakan:
اجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ اللَّهِ فِي عِيدِهِمْ
“Jauhilah musuh-musuh Allah pada di hari raya mereka.”
Hukum Mengucapkan Natal dan Tahun Baru
Mengucapkan natal dan tahun baru berarti mengakui esensi dari dua kegiatan tersebut yaitu kebatilan dan kemusyrikan. Oleh karena itulah syaikh Abdullah bin baz dengan mengutip pendapat Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa mengucapkan selamat natal hukumnya haram dan telah menjadi kesepakatan ulama. Hanya saja ada sebagian ulama diantaranya syaikh Yusuf al Qardhawi yang menyatakan boleh. Beliau menyatakan:
Aku (Yusuf Al-Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti: kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk di dalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah SWT namun dicintai-Nya sebagaimana Dia SWT mencintai berbuat adil. Firman Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“…Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (Qs Al-Mumtahanah 8 )
Terlebih lagi jika mereka mengucapkan selamat Hari Raya kepada kaum muslimin. Firman Allah SWT:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (Qs An Nisa’ 86)
Pendapat yang rajih (kuat) menurut kami adalah pendapat yang mengharamkan karena dua alasan:
Pertama, syaikh Yusuf al Qardhawi menggunakan dalil umum (Qs Al-Mumtahanah 8 ) untuk membangun argumentasi atas pendapatanya. Padahal terdapat dalil-dalil khusus yang melarang kaum muslim melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup aktivitas: mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. sementara dalam kaidah ushul disebutkan al khashshah muqaddamatun ‘ala al ‘amm (dalil yang khusus dimenangkan atas dalil yang umum).
Kedua, mengenai QS An Nisa’ 86 maka ayat ini berkenaan tentang mengucapkan salam. Imam Nawawi dalam al-adzkar telah mengutip ayat ini dalam pembahasan tata cara membalas salam. Padahala terdapat riwayat dari Abu Hurairah r.a:
لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ
Janganlah kalian mendahului mengucapkan salam kepada orang-orang yahudi dan nashrani … (HR. Muslim)
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ
Jika ahlul kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah “wa’alaikum” (demikian juga dengan anda) (HR. Muslim dari Anas bin Malik)
Jika mengucapkan salam pada orang kafir yang berisi doa tidak dibenar oleh syariat. Tentu ucapan yang berisi pengakuan atas perayaan mereka juga tidak dibenarkan. Wallahu ‘alam.
Adapun hukum menerima hadiah. Dalam hal ini dibedakan antara non muslim yang hidup dan tunduk dalam sistem hukum Islam (ahludz dzimmah) dengan kafir harbi.
Untuk kafir dzimmiy/ahludz dzimmah dibolehkan memenuhi undangan mereka pada hari raya mereka dan menerima hadiah (yang tidak diharamkan Islam) dari mereka, selama acara yang dihadiri bukan acara ritual dan makanan yang disajikan bukanlah sembelihan untuk persembahan kepada Al Masih atau disajikan di gereja. Begitu pula kegiatan jual beli dengan kafir dzimmi adalah halal. Yang diharamkan adalah menjual atau juga membelikan benda-benda yang terkait dengan syi’ar agama Nasrani, termasuk disini menjual bahan-bahan untuk ritual agama mereka semisal salib dst. Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits tentang kebolehan bermuamalah dengan mereka. Bahkan kegiatan ritual mereka sama sekali tidak boleh diganggu oleh umat Islam, dalam sebuah hadist dikatakan bahwa mengganggu mereka sama dengan mengganggu Rasulullah SAW.
Diriwayatkan dari Ibnu Syaibah dalam kitab Al Mushannaf bahwa seorang wanita telah bertanya kepada Aisyah r.a. . Wanita itu berkata : “Sesungguhnya orang-orang Majusi (penyembah api) berlaku baik kepada kami dan pada hari raya mereka, mereka memberi hadiah kepada kami”. Maka ‘Aisyah menjawab : “Adapun yang disembelih untuk hari raya mereka, maka janganlah kalian makan, tetapi makanlah apa yang berasal dari pohon-pohon mereka (buah-buahan)”.
Dengan demikian tidaklah apa-apa menerima hadiah dari kafir dzimmi pada hari raya mereka. Dan hukumnya sama saja dengan selain hari raya karena bukan termasuk kedalam syi’ar agama
Solusi Tuntas Pendangkalan Akidah Umat Lewat Natal dan Tahun Baru
Perayaan natal bersama adalah persoalan klasik. Beragam himbauan, ceramah bahkan fatwa telah dikeluarkan untuk menjelaskan kepada umat akan keharaman menghadiri PNB ini. MUI pada 7 Maret 1981 telah mengkaji secara seksama dan mengeluarkan fatwa haramnya PNB ini. Buya Hamka bahkan sampai memilih keluar dari MUI saat diancam untuk mencabut fatwa tersebut. Akan tetapi ajang pendangkalan akidah ini terus berlangsung bahkan dipertontonkan dan dituntunkan oleh para pejabat Negara tidak terkecuali presiden dan wakilnya.
Sejatinya masalah PNB adalah satu dari sekian banyak pelecehan terhadap hukum-hukum Allah. Akar masalahnya adalah karena negeri ini menerapkan sistem sekular dengan pluralisme, sinkritisme, demokrasi, HAM, dsb sebagai turunannya. Sistem inilah yang menerapkan sistem pendidikan materialistik yang melahirkan peserta didik yang tidak paham agamanya dan liar perilakunya, sistem inilah yang melahirkan sistem penyiaran yang mendewakan kebebasan sehingga lahirlah beragam program yang mendangkalkan akidah umat, sistem ini pula yang melahirkan pemimpin pemimpin yang tidak taat pada Allah dan Rasul-Nya dan mencampakkan syariat-Nya.
Solusi total persoalan ini dalah mengganti sistem rusak ini dengan sistem Islam secara tolal dengan mengangkat pemimpin yang senantiasa mengajak dirinya dan rakyatnya untuk taat kepada Allah. Sebagaimana Umar yang melarang rakyatnya yang muslim untuk mengikuti perayaan umat agama lain. Ringkasnya dengan sulthon-lah Islam akan tegak sempurna. Sebagaimana pernyataan Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah:
يجب أن يُعرف أن ولاية أمر الناس من أعظم واجبات الدين، بل لا قيام للدين إلا بها
Wajib diketahui bahwa wilayatu amri an-nas (kekuasaan) adalah a’dzomu wajibati ad-din (kewajiban agama yang paling agung), karena agama tidak akan tegak tanpa kekuasaan (al-Siyasah al-Syar'iyyah)

Banjarmasin, 5 Shafar 1433 H
Wahyudi Ibnu Yusuf (081351661981/08565362242)

Wawancara Serambi Ummah



Tentang pergantian kelamin baik perempuan ke laki laki kini makin marak. Terutama yang terjadi si kota Kota Besar, lalu bagai mana di Kalsel? Untuk itu Serambi Ummah menghubungi Gugus Tugas Ulama HTI Kalsel, Wahyudi Ibnu Yusuf M.Pd

+Bagai mana fakta ganti kelami ini di Kalsel?

Ganti jenis kelamin secara medis dilakukan dengan operasi. Operasi ganti kelamin ini sudah banyak dilakukan di beberapa daerah. Setahu saya di Kalsel juga pernah dilakukan. Mengenai data lengkapnya saya belum memiliki.
+ Apa faktor yang menyebabkan seseorang menganti kelaminnya?
Ada dua factor utama, faktor bawaan dan faktor lingkungan. Faktor bawaan yang saya maksud adalah seseorang sejak lahir telah memiliki alat kelamin dan alat reproduksi ganda (laki-laki sekaligus perempuan). Sedang faktor lingkungan misalnya seorang anak laki-laki yang sejak kecil telah biasa memakai pakaian perempuan, mainan perempuan dan seterusnya dia merasa nyaman menjadi perempuan dan akhirnya memutuskan untuk menjadi perempuan. Faktor lingkungan ini juga bisa disebabkan trauma psikologis, misalnya seorang anak laki-laki yang melihat sosok ayahnya yang kasar, akhirnya dia benci laki-laki, akhirnya memilih berperilaku seperti perempuan selanjuntnya memutuskan untuk berganti kelamin.


+Lalu bagaimana hukumnya dalam Islam?

Hukum Islam mengenai ganti kelamin bebeda sesuai faktor yang mendasarnya. Bila Faktornya adalah faktor bawaan maka hukum operasi ganti kelamin untuk menentukan satu jenis kelamin tertentu hukumnya wajib. Mengapa? Karena Islam hanya mengenal dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan tidak ada jenis kelamin ketiga misalnya tidak laki-laki dan tidak perempuan atau laki-laki sekaligus perempuan. Kejelasan jenis kelamin ini adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam karena akan berkaitan dengan banyak hukum Islam, misalnya pentuan imam dan makmun shalat, posisi shaf shalat, hukum-hukum pergaulan, pernikan, perwalian, pembagian waris, dan sebagainya. Jika dengan operasi kelamin menjadi jelas pelaksaan hukum Islam atasnya maka operasi kelamin tersebut hukumnya wajib. Sesuai dengan kaidah fikih “tidak sempurna suatu kewajiban karena susuatu maka sesuatu itu hukumnya wajib”
Sedangkan operasi kelamin karena faktor kedua maka sepakat ulama bahwa hukumnya haram karena termasuk merubah ciptaan Allah (taghayyur khalqillah). Padahal mengubah ciptaan Allah termasuk bujuk rayu syaitan untuk menjerumuskan anak cucu nabi Adam. Sebagaimana firman Allah SWT. “dan akan aku (syaithan) suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya". Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (QS. An Nisa: 119). Padahal Allah SWT telah melaknat siapa saja yang merubah ciptaan-Nya. dari Ibrahim dari 'Alqamah dari Abdullah ia berkata, "Allah melaknat Al Wasyimaat (wanita yang mentato) dan Al Mutawatasyimaat (wanita yang meminta untuk ditato), Al Mutanammishaat (wanita yang mencukur alisnya), serta Al Mutafallijaat (merenggangkan gigi) untuk keindahan, mereka merubah-rubah ciptaan Allah. (HR. Bukhari no. 4507)


*Lalu bagaimana solusi Islam terhadap masalah ganti kelamin ini?
Islam mencegah seseorang ganti kelamin. Islam melarang laki-laki menyerupai perempuan dan sebaliknya. Nabi melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan sebaliknya (HR. Ahmad no. 5391). Yang maksud menyerupai dalam hadist ini adalah menyerupai dalam hal cara bicara, berpakaian, berjalan, dan bertingkah laku. Sehingga Islam tidak pernah membiarkan adanya kontes waria, pemilihan waria tercantik dsb. Bahkan Nabi saw dan diikuti para khalifah sesudahnya seperti Abu Bakar dan Umar bin Khaththab telah memberikan hukuman kepada waria dengan mengusir mereka. Untuk kontek sekarang hukumannya dengan diisolasikan agar tidak ditiru oleh yang lain.
Selain itu, secara Psilokogis kelainan perilaku laki-laki yang seperti perempuan dan sebaliknya ini dapat sembuhkan dengan terapi-terapi tertentu. Maka semestinya pemerintah menyediakan tempat rehabilitasi khusus bagi orang-orang yang mengalami kelainan psikologis ini.
Hukum-hukum Islam mengenai hal ini harus terus disosialisasikan. Jika telah disosialisasikan namun masih saja terjadi perlanggaran, maka pemerintah semestinya memberikan sanksi hukum yang tegas dan memberikan efek jera, tentunya sesuai hukum Islam yang ditetapkan diputuskan pemimpin.
(Nurholis Huda, Serambi Ummah)