Kamis, 12 Agustus 2010

Makalah Diskusi Tematik Kemerdekaan


MENGISI KEMERDEKAAN DENGAN PERJUANGAN
PENEGAKAN SYARIAH DAN KHILAFAH[1]
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan[2]

Pendahuluan: Tinjauan Historis
"Utusan tersebut tidak untuk mengadakan diskusi tentang persoalannya. Hanya menyampaikan satu peringatan. Titik! Tak perlu bicara lagi. Terserah apakah pesan itu diterima atau tidak. Asal tahu apa konsekuensinya. Itu berupa ultimatum. Ultimatum, bukan saja terhadap warga negara yang beragama Islam di Indonesia. Tetapi pada hakikatnya terhadap Republik Indonesia sendiri yang baru berumur 24 jam itu. Hari 17 Agustus adalah Hari Proklamasi hari raya kita. Hari Raya 18 Agustus adalah hari ultimatum dari umat Kristen Indonesia bagian timur. Kedua-dua peristiwa itu adalah peristiwa sejarah. Kalau yang pertama kita rayakan, yang kedua sekurang-kurangnya jangan dilupakan. Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus kita beristighfar. Insyaallah, umat Islam tidak akan lupa."
Pernyataan di atas adalah ucapan M. Natsir, menyikapi ancaman pemisahan diri umat kristaiani di belahan Indoensia timur. Diceritakan, datanglah seorang utusan dari Indonesia bagian timur melalui opsir Tentara Jepang yang waktu itu masih berwenang di Jakarta. Utusan tersebut menyampaikan pesan kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Opsir Jepang itu mengaku membawa pesan dari umat Kristen di Indonesia bagian timur. Isi pesan itu pendek saja, "Ada tujuh kata yang tercantum dalam Mukaddimah UUD 1945 yang harus dicabut. Kalau tidak, Umat Kristen di Indonesia sebelah timur tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan. Tujuh kata yang harus dicoret itu adalah dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi seluruh pemeluk-pemeluknya."
Padahal piagam Jakarta adalah hasil kompromi antara pihak Islam di satu pihak dengan pihak Nasionalis-sekular dan Kristen di pihak yang lain. Kalangan Islam yang diwakili K.H. Abdoel Wachid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyoso, H. Agoes Salim, Abdoel Kahar Moezakkir yang menginginkan agar Negara yang akan berdiri berlandaskan syariat Islam bagi seluruh penduduknya. Namun cita-cita luhur ini mendapatkan penentangan dari pihak nasionalis sekular yang diwakili  Ir. Soekarno sebagai ketua, Dr. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Yamin, Mr. Achmad Subardjo yang berkolaborasi dengan pihak Kristen yang diwakili oleh Mr. A.A. Maramis. [3]
Gentlement agreement yang sangat luhur dan disepakati pada tanggal 22 Juni 1945 kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Kesepakatan jantan yang merupakan hasil kompromi inipun ternyata akhirnya ditelikung hanya oleh seorang perwakilan Indonesia timur yang masih belum jelas asal usulnya. Ane, begitu mudahnya kesepakatan yang melalui diskusi dan perdebatan yang panjang harus berubah hanya ultimatum seorang yang belum jelas kontribusinya untuk bangsa dan negara ini. Akhirnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Inilah awal pengkhianatan atas perjuangan umat Islam, pengkianatan atas perjuangan Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Kiai Mojo, dan seluruh kaum muslimin yang paling banyak mengalirkan darah, harta, dan air mata untuk kemerdekaan bangsa ini. Inipula awal malapetaka dan kesengsaraan yang harus dipikul bangsa ini.
Demikianlah, bangsa ini pernah menjadi Bangsa yang secara konstitusional menerapkan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, meskipun hanya satu hari. Dan hari-hari selanjutnya mulai 18 Agustus 1945 hingga hari ini 15 Agustus 2010 bangsa ini tidak pernah lagi menerapkan syariat Islam. Rezim datang dan pergi silih berganti. Tapi syariat tak kunjung diterapkan.
Di era Soekarno, melalui Dekrit 5 Juli ’59 Bung Karno menindaklanjuti dengan langkah-langkah politik; Membubarkan Konstituante, membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dan menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur pembentukan kabinet. Lalu terbentuklah Kabinet Gotong Royong dan melibatkan PKI dalam Kabinet. Kemudian membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) disusul berbagai langkah politik yang repressif. Pancasila diperas menjadi Tri Sila, dari Tri Sila diperas menjadi Eka Sila: Gotong Royong dan Poros Nasakom. Lalu digelorakanlah jargon: Nasakom jiwaku, hancurkan kepala batu! Jadilah negeri ini menerapkan sistem demokrasi terpimpin ala Soekarno. Di era Orba Soeharto meneruskan dengan jargon Demokrasi Pancasila. Akan tetapi karena pancasila adalah visi kenegaraan yang tidak memiliki sistem yang komprehensif, akhirnya ruang kosong ini diisi oleh sistem dari Idiologi Kapitalime. Selanjutnya, Rezim ORBA tumbang dan berganti dengan era reformasi. Tapi  ternyata yang berubah hanya rezimnya sementara sistem kapitalisme masih kokoh bahkan semakin liberal.
Akibatnya, Negara ini semakin terpuruk. Dalam konteks akidah kita masih menyaksikan maraknya aliran sesat dan kristenisasi, dalam konteks ekonomi kemelaratan terjadi dimana-mana, BUMN semakin banyak yang dilego kepada asing, dalam konteks sosial-budaya telah terjadi degradasi moral yang sangat mengkhawatirkan, dalam bidang perundang undangan kita tidak tunduk kepada yang berhak mengatur manusia, tapi malah menyerahkannya ada wakil-wakil rakyat yang kerjaannya 4 D dan 4 B, tidak jarang bahkan perundangan kita adalah pesanan dari pihak asing.
Kemerdekaan Hakiki
Jadi sudahkah kita merdeka? Secara fisik mungkin sudah. Atas kemerdekaan fisik ini kita patut bersyukur kepada Allah SWT. Karena hanya berkat rahmat-Nyalah kita bisa merdeka. Tapi bila menilik pada cita-cita pendiri bangsa ini. Nyatalah perjuangan ini belum berakhir. Penjajahan masih kita rasakan dibidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan pendidikan. Penjajahan idiologi kapitalisme liberal yang diterapkan di negeri ini. Idiologi transnasional yang lahir dari peradaban Barat yang menempatkan Tuhan hanya pada ruang-ruang privat, sembari melarang agama mengatur sektor publik. Idiologi yang membenarkan perbudakan (penghambaan) pada manusia.
Padahal kemerdekaan hakiki adalah pada saat manusia hanya menghamba kepada pihak yang layak dan pantas manusia menghambakan diri, pihak yang menjadi pencipta manusia sekaligus alam semesta. Dialah Allah SWT. Berkenaan tentang hal ini terdapat kisah menarik dari sahabat Nabi pada masa Khalifah Umar Ibnu Khattab. Pada saat akan pecah perang Qadisiyah, Rustum Panglima Romawi meminta Sa’ad bin Abi Waqqash mengirimkan utusan yang bisa berdialog dengannya. Kemudian Sa’ad mengirim Ruba’I bin Amir. Ruba’i menghadap Panglima Rustum, dengan tombaknya masuk hamparan permadani. Dan seketika itu pula hamparan itu koyak-koyak. Mereka bertanya, “Apakah yang mendorongmu masuk daerah kami?” beliau menjawab:
الله ابتعثنا والله جاء بنا لنخرج من شاء من عبادة العباد إلى عبادة الله ومن ضيق الدنيا إلى سعتها ومن جور الأديان إلى عدل الإسلام
“Allah SWT telah mengutus kami untuk membebaskan manusia dari memperhambakan diri kepada selain Allah, dan melepaskan belenggu duniawi menuju dunia bebas, dan dari agama yang sesat menuju keadilan Islam.”  (Tarikh ath Thabari 2/401)
Dalam redaksi lain disebutkan:
وإخراج العباد من عبادة العباد إلى عبادة الله
Dan mengeluarkan (membebaskan) hamba dari penghambaan pada manusia pada penghambaan hanya kepada Allah (al Bidayah wan nihayah 7/39)
Pernyataan ini adalah refleksi keimanan seorang hamba kepada Allah, karena makna لا إله إلا الله adalah معبود بحق إلا الله, artinya tidak ada pihak yang pantas disembah/diibadahi kecuali Allah. Maknanya juga adalah tidak ada yang berhak menetapkan hukum kecuali Allah. Dalam konteks ini pula Allah berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka (orang Yahudi dan Nashrani) menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah (QS. At taubah: 31)
Pada saat ayat ini turun, Adi bin Abi Hatim, seorang sahabat yang baru masuk Islam protes kepada Nabi bahwa mereka orang Yahudi dan Nasrani tidak menyembah rahib dan pendeta mereka (إنهم لم يعبدوهم). Nabi kemudian bersabda:
بلى، إنهم حرموا عليهم الحلال، وأحلوا لهم الحرام، فاتبعوهم، فذلك عبادتهم إياهم"
Benar, tapi mereka (para pendeta dan rahib) mengharankan yang halal bagi mereka dan menghalalkan yang haram bagi mereka, kemudian mereka mengikutinya. Maka demikianlah bentuk persembahan mereka (Yahudi dan Nashrani) kepada mereka (pendeta dan Rahib). (HR. Tirmizdi)
Isi Kemerdekaan dengan Penerapan Syariah dan Tegakkan Khilafah
Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa secara historis, normatif dan empiris bahwa kemerdekaan hakiki hanya akan dicapai jika negeri ini menerapkan syariat Islam. Secara historis, landasan Negara ini adalah Negara yang berkomitmen menerapkan Syariat Islam dan merupakan cita-cita para pendiri bangsa ini. Secara normatif penerapan Syariat Islam adalah konsekuensi keimanan kita kepada Allah yang jika diterapkan secara totalitas (kaffah) maka keberkahan akan meliputi penduduk negeri ini (surah al ‘araf: 96), bahkan kerahmatan yang akan didapatkan bagi seluruh alam, termasuk muslim dan non muslim (surah al anbiya: 107). secara Empiris negeri ini sudah menerapkan system buatan manusia, tapi terbukti gagal melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan ketertiban dunia. Sedang islam sejak bangsa ini merdeka baru diberi kesempatan satu hari untuk memimpin. Saatnyalah, giliran islam yang memimpin dan mari kita buktikan janji Allah akan tersebarnya kerahmatan keseluruh alam. insyaALLAH
Demikian pula penegakan Khilafah Islam. Menegakannya adalah sebuah kemestian untuk mengisi kemerdekaan, baik secara historis, normatif maupun empiris. Secara historis karena Indonesia (Nusantara) pernah menjadi bagian dari Khilafah Islam, Negara bersyariah atau khilafah ini pula yang dituntut oleh pendiri bangsa ini, khilafah ini pula yang dipertahankan oleh Buya Hamka dalam Sidang Konstituante. [4] Secara normatif khilafah adalah bagian dari syariah Islam. Maka jika menerima syariat islam maka otomatis kita juga harus menerima khilafah. Haram hukumnya kita menerima syariat islam tapi bentuk negaranya demokrasi, kerajaan, republic dsb. Karena hal ini termasuh memilih-milih hokum Allah dengan mengikuti hawa nafsu (surah al Baqarah: 85). Bahkan khilafah adalah satu-satunya institusi yang akan menerapkan syariah Islam. Khilafah adalah sunnah nabawiyah dan sunnah Khulafa Rasyidin. Tanpa khilafah syariat Islam tidak bisa diterapkan secara kaffah. Dalam konteks inilah hujjatul Islam imam al Ghazali menyatakan:
الدين والسلطان توأمان... الدين أس والسلطان حارس وما لا أس له فمهدوم وما لا حارس له فضائع
“Agama dan kekuasaan bagaikan saudara kembar… Agama adalah asas dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tak ada asasnya akan hancur, dan apa saja yang tak ada  penjaganya akan lenyap.” (Imam Ghazali, Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad, hal. 76)
Demikian pula secara empiris menunjukan bahwa khilafah adalah keniscayaan. Tanpa khilafah umat islam tercerai berai, terjajah, tertindas dan dianiaya musuh-musuh Islam. Oleh karena itulah diperlukan persatuan yang kokoh dibawah naungan Khilafah.
Penutup
Bulan ramadhan adalah bulan kemenangan. Banyak pertempuran yang dimenangkan oleh kaum muslimin dan itu terjadi di bulan ramadhan. Diantaranya perang Badar pada 17 Ramdhan tahun ke-2 Hijrah, Fathu Mekah tahun ke-8 Hijrah, dan Ma’rakah (perang) ‘Ain Jalut tahun 658 H.
Rahasia kemenangan umat islam dalam pertempuran-pertempuran tersebut adalah keimanan, keyakinan akan pertolongan dan janji Allah, persatuan, keteladanan, kecintaan pada jihad dan mati syahid sebagaimana orang kafir mencintai kehidupan, dan yang tak kalah penting kebaradaan Khalifah yang mereka bai’at untuk menegakkan hokum-hukum Allah dan meyerukan Jihad. Simaklah perkataan shabat Nabi Abdullah bin Rawahah panglima ketiga perang Mu’tah:
وما نقاتل الناس بعدد ولا قوة ولا كثرة، ما نقاتلهم إلا بهذا الدين الذي أكرمنا الله به، فانطلقوا فإنما هي إحدى الحسنيين، إما ظهور، وإما شهادة
Tidaklah kita memerangi musuh karena jumlah, bukan pula karena kekuatan, bukan juga karena banyaknya, tidaklah kita memerangi mereka kecuali karena agama ini yang Allah muliakan kita dengannya. Maka berangkatlah (berjihad) karena sesungguhnya padanya terdapat dua kebaikan: kemenangan atau syahid (ad daulah al islamiyah 1 /80)
Rahasia kemenangan ini pula yang harus kita miliki. Kita harus yakin akan janji Allah dan pertolongan Allah bahwa Allah pasti akan menolong hambanya yang menolong agama-Nya (surah Muhammad: 7), bahwa Allah akan menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal shalih sebagai pemimpin di muka bumi (surah an Nur: 55). Demikian pula kita harus berjuang siang dan malam untuk mewujudkan kabar gembira dari Nabi SAW mengenai akan kembalinya kemenangan Islam dengan Khilafah ‘ala minhaji an nubuwwah ats tsani (Hr. Ahmad).  MAKA MARI KITA JADIKAN RAMADHAN SEBAGAI BULAN PERJUANGAN. ALLAHU AKBAR!!!



[1] Makalah ini disampaikan dalam Diskusi Tematik yang diselenggarakan oleh HTI Chapter UNY pada hari Ahad, 15 Agustus 2010 dengan tema Meraih Kemerdekaan Hakiki dengan Syariah dan Khilafah; Refleksi 65 tahun kemerdekaan Indonesia
[2] Ketua Lajnah Tsaqafiyah HTI DIY
[3] Lihat buku Piagam Jakarta 22 Juni 1945 karya Endang Saifuddin. GIP: Jakarta
[4] Dalam pidatonya Hamka membantah pandangan AA Maramis (tokoh Kirsten) yang menyatakan “bahwa khilafah berdarah-darah, bahkan tiga khalifah rasyiidin mati terbunuh”. Buya Hamka membantah dengan menyatakan: “Jika penolakan khilafah didasarkan pada terbunuhnya khalifah, maka mengapa ada agama yang diterima padahal nabinya mati dengan disalib?

Kajian Jelang Ramadhan


Idul Fitri Serentak dengan Khilafah
Secara astronomi, sangat mungkin kaum muslimin melaksanakan puasa pada hari yang sama, meski berbeda jam memulainya. Hal ini dengan catatan bahwa satu wilayah dengan wilayah lain masih berada pada malam yang sama. Sebagai contoh seandainya hilal (bulan baru) berhasil dilihat di Senegal. Asumsikan hilal terlihat pada jam 6 sore waktu setempat. Karena Indonesia lebih awal 10 maka di Indonesia sudah jam 4 dini hari. Meski demikian jika informasinya cepat  maka saat itu pula kaum muslimin dapat berniat puasa untuk besok hari sekaligus makan sahur. Maka penyatuan awal ramadhan satu hal sangat mungkin dalam perspektif astronomi. Lain halnya jika hilal berhasil dilihat di wilayah Amerika. Jika bulan terlihat jam 6 sore maka di Indonesia sudah jam 6 pagi, maka pada hari itu kaum muslimin tidak bisa berpuasa, karena tidak sempat berniat puasa. Lain halnya jika yang terihat adalah hilal  untuk bulan syawal, maka umat Islam sangat mungkin merayakan idul fitri pada hari yang sama. Kembali kepada contoh di atas jika hilal terlihat di wilayah terjauh (misalnya Amerika) yang terpaut 12 jam. Maka pagi hari kaum muslimin yang sebelumnya telah berniat puasa tinggal membatalkan puasanya dan melaksanakan sholat idul fitri secara serentak di seluruh belahan bumi.
Ulasan di atas disampaikan oleh ustadz DR. Andang Widi Harto, MT dosen Fakultas Teknik UGM sekalgus ketua Gugus Tugas Intelektual HTI DIY dalam Kajian Jelang Ramadhan yang digelar HTI Daerah DIY dengan tema: Penetapan awal-akhir Ramadhan: tinjauan astronomi dan fikih Islam. Acara ini dilaksanakan pada hari Ahad, 1 Juli 2010 dengan mengambil tempat di Masjid Nurul Ashri jl Deresan 2. Ustadz Wahyudi Abu Syamil sebagai moderator sekaligus Ketua Lajnah Tasqafah HTI DIY menyampaikan bahwa tujuan digelarnya acara ini adalah untuk mencari solusi perbedaan mengawali ramadhan dan mengakhirinya.  
Tampak hadir dalam acara ini jamaah masjid Nurul Ashri dan masyarakat sekitar. Mereka terlihat antusias dengan melontarkan banyak pertanyaan. Salah seoarang peserta bahkan menyatakan penjelasan dalam tinjauan astronomi ini sangat logis dan bisa diterima.

Pada sesi kedua al Ustadz KH Siddiq al Jawi, MSI  menyampaikan materi “Penentuan Awal Bulan Kamariah:Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia”. Beliau memaparkan bahwa metode syar’I untuk menetapkan bulan baru adalah rukyat (melihat), bukan hisab. Karena hadist-hadist Nabi memerintahkan demikian. Hadist-hadist Nabi ini harus difahami dengan benar. Berdasarkan kaidah ushul “al ashlu fil kalami al haqiqah , laa yusharrifu ilal majaazi illa bi qarinatin” makna asal dari sebuah kalam adalah makna hakikat dan tidak tidak boleh dialihkan pada makna majas kecuali dengan indikasi tertentu (qarinah). Sehingga makna rukyat dalam hadist nabi harus difahami dengan rukyat bil ‘ain (melihat dengan mata) dan tidak dapat dialihkan ke makna majas misalnua rukyat bil ‘ilmi (melihat dengan ilmu astronomi) karena tidak terdapat qarinah yang dapat mengalihkan makna tersebut. Hanya saja rukyat yang diadopsi HTI adalah rukyat global sebagaimana pendapat jumhur ulama. Yaitu jika telah terlihat hilal di satu wilayah maka berlaku bagi seluruh kaum muslimin.

Sebagaimana pada sesi pertama, pada sesi kedua ini juga banyak pertanyaannya yang disampaikan oleh peserta. Salah satunya bertanya tentang sebab ketidakseragaman kaum muslimin dalam menetapkan awal dan akhir ramadhan. KH Siddiq al Jawi menjelaskan bahwa hal ini disebabkan oleh tiga sebab, yaitu sebab pemahaman dari mazhab-mazhab yang ada, sebab ilmu pengetahuan dan teknologi dengan perbedaan penetapan derajat kapan penetapan bulan baru, dan yang ketiga sebab politis yaitu faham nasionalisme. Beliau kemudian menegaskan untuk menyelesaikan sebab pertama kaum muslimin harus mentarjih pendapat yang terkuat, solusi untuk sebab kedua dengan melakukan pelelitian yang akurat sehingga didapatkan patokan umum pada derajat berapa biasanya hilal dapat dilihat dan solusi untuk sebab kedua adalah dengan mencerabut ide nasionalisme dari dada kaum muslimin dan menegakan khilafah. Khilafahlah yang akan menyatukan kaum muslimin termasuk menyatukan perbedaan penetapan awal dan akhir bulan kamariah. (WASR LTS)