Selasa, 29 Juni 2010

MENJADIKAN BARANG YANG DIBELI SEBAGAI JAMINAN, BOLEHKAH?

View Full Size ImageTanya:
Ustadz, bolehkah barang yang kita beli dijadikan jaminan? Misal, kita kredit motor lalu BPKB motor itu kita jadikan jaminan kepada penjual (dealer)? (Dewi, Malang)
Jawab:
Dalam jual beli kredit (bai’u at-taqsith) penjual boleh mensyaratkan jaminan/agunan (rahn) dari pembeli. (Adnan Sa’duddin, Bai’u At-Taqsith wa Tathbiqatuha al-Mu’ashirah, hal. 187). Namun jaminan ini wajib berupa barang lain, yaitu bukan barang objek jual beli. Karena menjadikan barang yang dibeli sebagai jaminan (rahn al-mabii’) tidak boleh secara syar’i.
Inilah pendapat fuqaha yang rajih menurut kami. Imam Syafi’i, seperti dikutip Imam Ibnu Qudamah, menyatakan jika dua orang berjual beli dengan syarat menjadikan barang yang dibeli sebagai jaminan atas harganya, jual belinya tidak sah. Sebab jika barang yang dibeli dijadikan jaminan (rahn), berarti barang itu belum menjadi milik pembeli. (Al-Mughni, 4/285).
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,"Tidak boleh jual beli dengan syarat menjaminkan barang yang dibeli." (Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, 2/287).
Imam Ibnu Hazm berkata,"Tidak boleh menjual suatu barang dengan syarat menjadikan barang itu sebagai jaminan atas harganya. Kalau jual beli sudah terlanjur terjadi, harus dibatalkan." (Al-Muhalla, 3/427).
Memang ada fuqaha yang membolehkan. Kata Imam Ibnu Qudamah,"Menurut Imam Ahmad, jaminan berupa barang yang dibeli sah." (Al-Mughni, 4/285; Al-Fiqh ‘ala Al-Mazhahib al-Arba’ah, 2/166). Imam Ibnul Qayyim berkata,"Boleh mensyaratkan jaminan berupa barang yang dibeli." (Ighatsah al-Lahfan, 2/53; I’lam al-Muwaqqi’in, 4/33).
Pendapat inilah yang diadopsi Majma’ Al-Fiqh Al-Islami bahwa,"Penjual tidak berhak mempertahankan kepemilikan barang di tangannya, tapi penjual boleh mensyaratkan pembeli untuk menjaminkan barang yang dibeli guna menjamin hak penjual memperoleh pembayaran angsuran yang tertunda." (Ali as-Salus, Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 605).
Namun menurut kami, pendapat ini tidak dapat diterima. Karena menjaminkan barang objek jual beli adalah syarat yang menyalahi konsekuensi akad (muqtadha al-‘aqad), yakni hak kepemilikan dan melakukan tasharruf (perbuatan hukum) seperti jual beli atau hibah oleh pembeli. Imam Taqiyudin an-Nabhani berkata,"Jika seseorang menjual suatu barang kepada orang lain, lalu mensyaratkan orang itu untuk tidak menjualnya kepada siapa pun, maka syarat itu tidak berlaku tapi jual belinya sah, karena syarat itu menafikan konsekuensi akad (muqtadha al-‘aqad), yakni kepemilikan barang dan melakukan tasharruf padanya." (al-Syakhshiyah al-Islamiyah, 3/52).
Syarat yang menyalahi hukum syara’ tidak dapat diterima, karena sabda Nabi SAW,"Syarat apa saja yang tidak ada dalam Kitabullah, maka ia batil, meski ada seratus syarat." (HR Bukhari dan Muslim). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/10).
Selain itu, syarat itu tertolak berdasar kaidah fiqih : Kullu syarthin khaalafa aw nafaa muqtadha al-‘aqad fahuwa baathil (Setiap syarat yang menyalahi atau meniadakan konsekuensi akad, adalah syarat yang batal). (M. Sa’id al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 8/418).
Kesimpulannya, tidak boleh menjadikan barang yang dibeli sebagai jaminan dalam jual beli kredit. Yang dibolehkan adalah jaminan berupa barang lain, bukan barang objek jual beli. Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 27 Mei 2010
Muhammad Shiddiq al-Jawi
( shiddiq_aljawi@yahoo.com )

Masbuk Berdiri Sendirian di Belakang Shaf

Masbuk Berdiri Sendirian di Belakang Shaf” ketegori Muslim. Bismillahirrahmaanirrahiim,Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Ustadz Ahmad yang ana hormati, ada pertanyaan yang pernah ana alami dan karena kurangnya pengetahuan tentang hal tersebut membuat ana tidak tenang dan ragu. Ana pernah terlambat mengikuti shalat ashar berjamaah . Begitu ana datang shaf depan sudah penuh jadilah ana sendirian di shaf kedua. Yang ana ingin tanyakan:
1. Apa yang seharusnya ana lakukan, apakah ana langsung ikut shalat dengan sendirian di shaf kedua?2. Kalau ana harus sendirian di shaf kedua bagaimana posisi ana apakah di tengah-tengah atau di ujung kiri atau kanan?3. Atau apakah ana harus menarik salah seorang jamaah untuk menemani ana di shaf kedua?
Demikian permasalahan ana, atas jawabannya ana ucapkan jazakumullah khairan katsir.
Jumain Al Islami
Jawaban
Assalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Seseorang tidak diperkenankan untuk berdiri sendirian dalam satu shaf. Minimal dia harus berdua. Bila tidak ada orang lain yang akan menemaninya dalam satu shaf, maka hendaklah dia menarik mundur salah seorang dari shaf yang ada di depannya, agar posisinya jadi berdua dalam satu shaf.
Larangan untuk sendirian dalam satu shaf ini muncul dari hadits berikut:
وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ ، فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيدَ الصَّلَاةَ رَوَاهُ أَحْمَدُ ، وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ
Dari Washibah bin Ma’bad ra berkata bahwa Rasulullah SAW melihat seseorang shalat di belakang shaf sendirian. Maka beliau memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya.
Ibrahim an-Nakha’i dan imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa dengan adanya hadits ini, maka hukum shalat orang yang sendirian dalam shafnya tidak sah dan harus diulangi lagi.
Attabrani menambahkan dari hadits ini
أَلَا دَخَلْت مَعَهُمْ أَوْ اجْتَرَرْت رَجُلًا ؟
Janganlah kami masuk kepada mereka atau kamu menarik seseorang .
Juga ada hadits lainnya yang mendukung larangan shalat sendirian dalam satu shaf:
عَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، وَزَادَ الطَّبَرَانِيُّ فِي حَدِيثِ وَابِصَةَ أَلَا دَخَلْت مَعَهُمْ أَوْ اجْتَرَرْت رَجُلًا ؟
Dari Thalq bin Ali ra. berkata, Tidak ada shalat bagi orang yang sendirian di belakang shaf.
Namun Imam Asy-Syafi’i tidak mendukung hal ini, maksudnya beliau tidak memandang bahwa shalat sendirian di belakang shaf sebagai sebuah larangan. Baginya, hal itu boleh terjadi dan shalatnya tetap sah. Lalu apa hujjah beliau dalam hal ini?
Hujjah beliau adalah hadits Rasulullah SAW yang masyhur dari riwayat Abi Bakrah berikut ini.
وَعَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ انْتَهَى إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَهُوَ رَاكِعٌ ، فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إلَى الصَّفِّ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: زَادَك اللَّهُ حِرْصًا ، وَلَا تَعُدْ } رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ ، وَزَادَ أَبُو دَاوُد فِيهِ: فَرَكَعَ دُونَ الصَّفِّ ، ثُمَّ مَشَى إلَى الصَّفِّ
Dari Abi Bakrah ra. bahwa dirinya datang kepada Nabi SAW ketika dalam keadaan ruku’. Lalu beliau ruku’ sebelum mencapai shaf. Beliau SAW lalu bersabda, Semoga Allah SWT menambah keutamaanmu dan jangan mengulanginya. .
Abu Daud menambahkan: Abu Bakrah ruku’ di belakang shaf lalu berjalan menuju shaf.
Dari segi perawi, hadits ini memang lebih tinggi derajatnya di bandingkan hadits sebelumnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari. Esensi yang bisa ditangkap adalah bahwa Rasulullah SAW membolehkan Abu Bakrah ra. shalat sendirian di belakang shaf dan tidak melarangnya.
Adapun komentar imam Asf-Syafi’i terhadap hadits Wabishah yang melarang seorang shalat sendirian di belakang shaf, bahwa hadits itu dhaif. Sedangkan perintah untuk mengulangi shalat itu hukumnya hanya sunnah saja.
Posisi untuk Memulai Shaf Baru
Posisi yang tepat untuk memulai shaf baru adalah di tengah-tengah. Dengan syarat bahwa shaf baru itu bukan hanya terdiri dari satu orang, melainkan minimal dua orang.
Pertama di tengah-tengah, lalu bila ada makmum baru, dia berdiri di sebelah kanannya. Kalau ada lagi makmum baru, dia berdiri di sebelah kirinya. Bila ada yang datang lagi, dia berdiri di sebelah kanan mereka dan bila datang lagi dia berdiri di sebelah kiri mereka.
Dan demikianlah konfigurasi pembentukan shaf baru hingga penuh ke kanan dan ke kiri.
Wallahu a’lam bishshawab wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber Masbuk Berdiri Sendirian di Belakang Shaf : http://assunnah.or.id

Shalat di daerah kutub


Bagaiamanakah waktu shalat di daerah kutub? (0857…..)
Memang benar, di daerah kutub terdapat perubahan musim yang sangat ekstrim. Ketika musim panas maka siang hari tanpa malam selama 6 bulan, sedangkan ketika musim dingin malam hari tanpa siang selama 6 bulan. Kadangkala matahari terbenam sebelum jam 10 pagi seperti daerah Bulgaria, atau siang hari selama 18 jam seperti negara Swedia atau masuk waktu isyak pada jam 11 malam seperti negara Denmark. Adakalanya pada suatu daerah terjadi waktu isya’ hanya dalam hitungan menit setelahnya langsung terbit fajar (waktu subuh), sehingga ada yang masih memungkinkan untuk menetapkan waktu shalat menjadi 5 waktu walaupun mempersulit mereka dalam mengerjakannya, dan bahkan ada yang hanya bisa menetapkan 4 waktu saja karena singkatnya waktu antara satu shalat dengan shalat yang lain.
Ulama berbeda pendapat dalam hal: apakah gugur kewajiban shalat pada daerah dengan fakta di atas? Apabila kewajiban shalat tidak gugur maka bagaimanakah penetapan waktu shalatnya?
Secara sederhana dapat kami sampaikan bahwa sebagian ulama mazhab hanafiyah, madzhab syafi’ie dan Maliki menyatakan bahwa kewajiban shalat 5 waktu tidak gugur bagi penduduk muslim yang tinggal di daerah kutub. Lantas bagaimana penetapan waktu shalatnya? Jawabannya: dengan diperkirakan. Jika musim panas yang tidak ada malamnya maka waktu shalat magrib dan isya diperkirakan dengan patokan Negara terdekat. Demikian pula jika musim dingin yang tidak didapati siang maka shalat dilakukan dengan memperkirakan waktu shalat subuh, dhuhur dan ashar. (Mausu’ah al fiqhiyah 2/2577, Qadhaya al fiqhi wal fikri al mu’aashirah hal 31-34)
Dalilnya adalah dengan menqiyaskan dengan hadist tentang masa munculnya dajjal sebagai tanda akan terjadinya kiamat.
« ذكر النّبيّ صلى الله عليه وسلم الدّجّال ولبثه في الأرض أربعين يوماً : يوم كسنةٍ ، ويوم كشهرٍ ، ويوم كجمعةٍ ، وسائر أيّامه كأيّامكم.
قال الرّاوي قلنا : يا رسول اللّه : أرأيت اليوم الّذي كالسّنة ، أتكفينا فيه صلاة يومٍ ؟ قال : لا ، ولكن اقدروا له
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah perihal lamanya dajjal di dunia, maka Rasulullah menjawab :” masa dajjal hanya 40 hari, hari pertama seperti satu tahun, hari kedua seperti satu bulan, hari ketiga seperti satu minggu, lalu hari-hari berikutnya seperti hari-hari kalian (24 jam). Kami lalu bertanya :” Ya Rasulullah, apakah satu hari seperti satu tahun lamanya cukup bagi kami mengerjakan shalat satu hari saja (5 waktu dalam hari yang lamanya setahun) ?, Nabi menjawab :” tidak, akan tetapi perirakanlah sesuai waktu shalat kalian dalam hari-hari biasa !”. (H.R. Muslim dan Ahmad).
Sementara sebagian ulama hanafiyah yang lain menyatakan gugur kewajiban shalat bagi penduduk yang di kutub dimana tidak didapati siang atau malam, atau daerah yang pergantian harinnya sangat cepat dimana matahari telah terbit disaat matahari baru saja tenggelam. Alasannya shalat adalah kewajiban yang terkait dengan sebab tertentu yaitu waktu pelaksanaannya. Sementara waktu shalat telah ditetapkan waktu-waktunya. Sebagaimana firman Allah SWT:
إن الصلاة كانت على المؤمين كتاباً موقوتا
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa[4] : 103)
Apabila sebab yang menghantarkan musabab pelaksaan shalat tidak ada maka musababnya (pelaksanaan shalat) juga tidak dapat diwujudkan. Sebaliknya pelaksanaan shalat yang belum masuk waktunya adalah tidak sah atau batal. (Mausu’ah al fiqhiyah 2/2577, al jami’li ahkami ash shalah hal.16, Qadhaya al fiqhi wal fikri al mu’aashirah hal 31-34 )
Menurut kami, harus dibedakan antara kewajiban shalat dengan kapan shalat harus dilaksankan shalat. Dalam konteks ushul fikih dua hal ini juga dibedakan. Wajibnya shalat terkait dengan khitab taklifi sedangkan peredaran matahari  yang menjadi sebab atau tanda kapan dilaksanakannya shalat termasuk dalam pembahasan khitab wadh’i. selain itu, dalil yang digunakan juga berbeda. Wajibnya shalat antara lain berdasarkan firman Allah:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
Dan dirikanlah shalat (QS al Baqarah[2]: 43)
Sedangkan dalil sebab atau tanda kapan pelaksaan shalat antara lain:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir (QS al Isra [17]:78)
Berdasarkan ayat ini sebab atau tanda kapan waktu shalat (dzuhur) dilaksanakan adalah saat matahari telah tergelincir. Demikian waktu-waktu shalat yang lain sebagaimana telah dijelaskan dalam banyak hadist.
Berkenaan dengan sebab inilah berlaku kaidah:
إن السبب يترتب علئ وجود ه و وجود الحكم و علئ عدمه عدم الحكم
Inna as-sababa yatarattabu ‘ala wujudihi wa wujudi al hukmi wa ‘ala ‘adamihi ‘adamu al hukmi (sesungguhnya keberadaan sebab berimplikasi pada adanya/terwujudnya hokum sedangkan tidak adanya sebab berimplikasi pada tidak adanya/terwujudnya hukum) (taisirul wushuli ilal ushuli hal 31, al wadhih fi ushulil fiqhi hal 235, )
Sehingga jika kaidah ini kita berlakukan untuk konteks shalat di daerah kutub. Misalnya  daerah yang selama enam bulan selalu malam maka sebab jatuhnya pelaksanaan shalat subuh, dzuhur dan ashar tidak ada maka kewajiban pelaksaan shalat juga tidak ada. Justru batal jika dilaksakan shalat sementara sebab dilaksakan shalat tidak ada. Tapi bukan berarti kewajiban shalat gugur atasnya karena wajibnya shalat telah ditetapkan dengan dalil yang lain sebagaimana kami sebutkan di atas.
Lebih dari itu pengunaan hadist masa dajjal tidaklah tepat, karena hadist ini berlaku untuk satu peristiwa tertentu yaitu datangnya dajjal. Sehingga hadist ini tidak berlaku untuk fakta waktu shalat di kutub (lihat kumpulan nasyrah tanggal 21/1/1969)
Adapun daerah kutub atau dekat dengan kutub yang masih mendapatkan siang maupun malam meskipun sedikit maka wajib mengikuti ketetapan pelaksanaan waktu shalat sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadist. Misal tenggelamnya matahari adalah tanda masuknya waktu magrib dst. Karena memang tidak terdapat dalil yang mengkhususkan untuk daerah seperti ini. (al jami’li ahkami ash shalah hal.16)
Wallahu ‘alambi shawab
Al faqir ilaLLAH: Abu Syamil Ramadhan (081251188553)
Yogyakarta, 29 Juni 2010 pukul 23: 58 WIB




hukum jual beli oleh anak kecil



Apa hukum jual beli yang dilakukan anak kecil? (Faisal di Banjarmasin)
Jawab
Diantara rukun jual beli adalah adanya dua pihak yang berakad (al ‘aaqidaani). Al ‘aaqidaani ini adalah pihak yang menjual dan pihak yang membeli. Al ‘aaqidaani ini disyaratkan telah memahami sifat dan konsekuensi dari jual beli. Oleh karena itu maka tidak sah (batal) jual beli yang dilakukan oleh anak kecil. (Al buyu’ alqadimah wal mu’ashirah hal. 17, al ba’iu fil fiqhi al islami hal. 11, al fiqhu ‘ala mazhahabil arba’ah 2/145).
Hanya saja ulama berbeda pendapat bagi anak yang telah mumayyiz dengan yang belum. Jumhur ulama menyatakan anak yang belum mumayyiz maka jual belinya tidak sah. Dan sah jika sudah mumayyiz. Menurut kami inilah pendapat yang lebih kuat.(Al buyu’ alqadimah wal mu’ashirah hal. 17, al ba’iu fil fiqhi al islami hal. 11, al fiqhu ‘ala mazhahabil arba’ah 2/145).
Ulama hanabilah menyatakan anak yang belum mumayyiz sah melakukan jual beli jika barang yang diperjualbelikan adalah barang yang ringan.berdasarkan riwayat bahwa abu Darda pernah membeli burung pipit dari seorang ana kecil. Tapi jika barang yang diperjualbelikan dalam jumlah yang banyak maka tidak sah jual belinya, meskipun mendapat idzin dari walinya. (al fiqhu ‘ala mazhahabil arba’ah 2/145).
Sedangkan ulama Syafi’iyyah menyatakan bahwa jual beli yang dilakuan anak kecil tidak sah baik belum mumayyiz maupun telah mumayyiz. (al fiqhu ‘ala mazhahabil arba’ah 2/145).
Mumayyiz adalah anak atau orang yang telah memahami sifat jual beli dan konsekuensi dari jual beli tersebut, yaitu terjadinya peralihan hak kepemilikan karena adanya akad jual beli.  Usia mumayyiz tidaklah sama satu anak dengan anak yang lain. Ada yang sudah mumayyiz pada usia empat tahun. Tapi secara umum anak sudah mumayyiz saat memasuki usia tujuh tahun (Nasyrah Hizbut Tahrir tanggal 20 dzul qa’dah tahun 1388 H)
Yogyakarta, 15 Rajab 1431 H/27 Juni 2010
Al Faqir ilallah: Wahyudi Abu Syamil Ramadhan


10 SOLUSI ISLAM UNTUK INDONESIA BERSIH DARI PORNOGRAFI, PORNOAKSI DAN SEKS BEBAS
Oleh: Wahyudi Abu Syamil Ramadhan (Rais Lajnah Tsaqafiyah HTI DPD I DIY)
Heboh beredarnya video porno para pesohor atau selebritis Tanah Air menunjukkan: Pertama, betapa praktek seks bebas di kalangan selebritis sudah demikian parah. Bukan kali ini saja video porno dari kalangan mereka terungkap. Tapi sebenarnya praktek seks bebas tidak hanya dilakukan di  kalangan pesohor, tapi juga di kalangan lain, mulai dari kalangan pelajar, mahasiswa,  guru atau dosen, pegawai negeri sampai politisi. Pendek kata, hampir di semua kalangan skandal seks bebas pernah terungkap ke tengah masyarakat. Itu semua membuktikan bahwa seks bebas seolah telah menjadi bagian dari hidup masyarakat, meski sejauh ini masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Kedua, betapa teknologi informasi benar-benar bagaikan pisau bermata dua. Satu sisi banyak sekali memberikan manfaat, tapi di sisi lain juga bisa mengundang mudharat yang sangat besar. Beredarnya rekaman video porno para pesohor dengan sengat cepat di tengah masyarakat merupakan bukti sisi buruk dari teknologi itu. Tanpa kendali efektif, niscaya teknologi informasi itu akan menjadi salah satu sarana penghancur moral masyarakat yang sangat dahsyat.
Ketiga, betapa perangkat hukum yang ada sangatlah rapuh. Terbukti meski sudah sangat jelas siapa pelaku dari video porno itu, dan menurut para ahli IT semua rekaman itu asli, tidak ada rekayasa sedikitpun, termasuk para pelakunya adalah juga asli, yakni figur-figur selebritis yang selama ini telah dikenal masyarakat, tapi tak satupun Undang-Undang, baik KUHP, UU Pornografi maupun UU ITE, mampu menjerat mereka sebagai pelaku kejahatan. Menurut KUHP, pelaku tidak bisa dikategorikan zina, karena zina menurut KUHP merupakan delik aduan. Jadi mereka baru bisa dikatakan berzina bila ada yang mengadukan. Juga tidak bisa disebut melanggar UU Pornografi bila perbuatan itu tidak dimaksudkan untuk konsumsi masyarakat, serta tidak bisa disebut melanggar UU ITE bila mereka tidak bermaksud mengedarkannya.
Solusi Islam
Di disini saya memaparkan 10 solusi Islam yang jika diterapkan maka insyaAllah Indonesia akan terbebas dari pornografi, pornoaksi dan seks bebas. 9 diantaranya bersifat pencegahan dan hanya satu bersifat kuratif.
1.      Kewajiban menutup aurat
Aurat laki-laki adalah apa yang berada di antara pusat dan lututnya, sedangkan aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya.  Punggungnya adalah aurat, rambutnya juga aurat meskipun cuma selembar, bagi orang yang bukan mahram rambut wanita dilihat dari sisi manapun adalah aurat.  Seluruh (tubuh) apa yang dikecualikan, berupa wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup.  Hal ini berlandaskan firman Allah SWT:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya."  (QS An Nur: 31)

Yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan.  Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi saw sedangakan beliau mendiamkannya.  Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat.  Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah saw., yaitu di masa masih turunnya ayat Al Quran.  Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah saw.:
"المرأة عورة"
"(Seluruh tubuh) wanita itu adalah aurat." (Hr Ibnu Hibban dari Ibnu Mas’ud)
"إن الجارية إذا حاضت لم يصلح أن يرى منها إلا وجهها ويداها إلى المفصل"
"Apabila seorang wanita telah baligh maka tidak boleh ia menampakkan (tubuhnya) kecuali wajahnya dan selain ini digenggamnya antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya." (Hr Abu Dawud)

2.      Larangan berkhalwat.
Definisi khalwat adalah:
الخلوة هي أن يجتمع الرجل والمرأة في مكان لا يمكِّن أحداً من الدخول عليهما إلا بإذنهما، كاجتماعهما في بيت، أو في خلاء بعيد عن الطريق والناس

khalwat adalah berkumpulnya seorang laki-laki dan seorang wanita disuatu tempat yang tidak memberikan kemungkinan seorangpun untuk masuk tempat itu kecuali dengan idzin kedua orang tadi, seperti misalnya berkumpul di rumah, atau tempat yang sunyi yang jauh dari jalan dan orang-orang.

Berkenaan dengan khalwat ini nabi bersabda:
لا يخلونَّ رجل بامرأة إلا مع ذي محرم" أخرجه البخاري
Artinya: janganlah seoranga laki-laki berkhalwat dengan perempuan kecuali perempuan tersebut disertai mahramnya (Hr Bukhari)

Khalwat adalah pintu masuknya godaan syaithan. Nabi bersabda:
"لا يخلون رجل بامرأة إلا ومعها ذو محرم منها، فإن ثالثهما الشيطان"
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah jangan melakukan khalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai muhrim, karena sesungguhnya yang ketiga itu adalah syaithan." (Hr Muslim dari Ibnu Abbas)


3.      Peran wanita lebih utama sebagai ummum wa rabbatu al bait (Ibu dan pengatur rumah tangga), dengan demikian maka wanita tidak banyak yang bekerja pada sektor publik (meski bekerja pada setor publik tidaklah haram secara mutlak). Islam bahkan melarang  istri keluar dari rumahnya jika dilarang  oleh suaminya
Ibnu Baththah telah meriwayatkan dalam kitab Ahkaam An Nisaa dari Anas ra bahwa seorang laki-laki bepergian seraya melarang isterinya keluar, kemudian ayahnya sakit, lalu wanita itu meminta ijin Rasulullah saw agar dibolehkan menjenguk ayahnya, maka Rasulullah saw menjawab:
"Takutlah engkau kepada Allah, dan janganlah melanggar (pesan) suamimu."  Tidak lama kemudian ayahnya meninggal, lau kembali wanita itu meminta ijin kepada Rasulullah  agar dibolehkan melayat jenazahnya, maka beliaupun bersabda:  "Takutlah engkau kepada Allah, dan janganlah melanggar (pesan) suamimu." Allah SWT kemudian menurunkan wahyu kepada Nabi saw:  "Sungguh Aku telah mengampuni wanita itu karena ketaatan kepada suaminya."

4.      Perintah untuk menundukan pandangan
Allah berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (an Nur: 30)
Demikian pula Allah memerintahkan kepada wanita yang beriman agar menundukan pandangannya. Allah berfirman:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, (An Nur: 31)
Yang dimaksudkan dengan perintah menundukan pandangan pada kedua ayat ini adalah pandangan yang diharamkan dan yang dapat mengahantarkan pada keharaman. Redaksi “min”pada ayat ini menunjukan li tab’id (untu menunjukan sebagian). Maka pandangan yang diperbolehkan oleh syariat hukumnya tidaklah haram. Seperti memandang wajah dan telapak tangan, memandang selain wajah dan telapak tangan dalam proses peminangan, demikian pula pandangan pertama yang tidak disertai dengan syahwat.
Adapun memandang selain wajah dan telapak tangan, memandang dengan syahwat meskipun yang dipandang hanya wajah maka hukumnya haram.
Dari Jabir bin Abdillah, dia berkata:
"سألت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - عن نظر الفجاءة فأمرني أن أصرف بصري"
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai pandangan yang tiba-tiba (tidak disengaja). Maka Beliau menyuruhku untuk memalingkan pandanganku.” (HR Muslim).

Juga hadis yang diriwayatkan dari ‘Alî RA, ia menuturkan:
“Rasulullah SAW telah bersabda kepadaku:
"لا تتبع النظرة النظرة فإنما لك الأولى وليس لك الآخرة
“Janganlah engkau ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Karena pandangan pertama adalah untukmu, sedangkan pandangan berikutnya bukanlah untukmu” (HR Ahmad, dari jalur Buraidah).

Kedua hadits di atas berkenaan dengan pandangan pria terhadap wanita, bukan pandangan wanita terhadap pria. Yang dimaksud oleh hadits pertama adalah pandangan terhadap selain wajah dan kedua telapak tangan dengan dalil adanya kebolehan untuk melihat keduanya. Sedangkan yang dimaksud oleh hadits kedua adalah larangan untuk mengulang-ulang pandangan yang dapat membangkitkan syahwat, bukan larangan dari pandangan yang biasabiasa saja tanpa maksud syahwat.

5.        Anjuran untuk segera menikah, dengan mahar dan prosesi yang dipermudah.Nabi bersabda:
"يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغضّ للبصر، وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم، فإنه له وجاء"
Wahai para pemuda barang siapa yang telah mampu untuk menikah maka menikahlah. Karena pernikahan dapat menundukan pandangandan menjaga kemaluan. Barang siapa yang tidak mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa adalah perisai (Hr Mutafaq ‘alaih)

 Bahkan Allah menjanjikan Jika mereka miskin maka Allah yang mengayakannya. Allah berfirman
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (an Nur: 32)

Selain itu Islam membolehkan  poligami sebagai jalan mencegah terjadinya perselingkuhan. Allah berfirman:
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja (An nisa: 3)
6.      Larangan penyebaran materi pornografi . Islam melaknat laki-laki dan perempuan yang menceritakan adegan ranjangnya meskipun itu dilakukan oleh suami istri. Dalam hadist Muslim dari Abu Saaid al Khudri Nabi bersabda.
إن من أشر الناس عند الله منزلة يوم القيامة الرجل يفضي إلى امرأته وتفضى إليه ثم ينشر سرها
Sesunguhnya manusia yang pang buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mengauli istrinya dan istrinya melayani suaminya. Tapi laki-laki tersebut kemudian menyebarkan rahasia istrinya.
Termasuk dalam menyebarkan rahasia adalah merekam dan kemudian menyebarkannya sehingga menjadi konsumsi publik.

7.      Islam mewajibkan Pemisahan kehidupan laki-laki dan perempuan. Kecuali dalam aturan khusus yang diperbolehkan seperti jualbeli, pengajaran, peradilan dsb
8.      Islam melarang kaum wanita melakukan tabarruj, sebagaimana firman Allah :

"Dan perempuan-perempuan tua yang telah berhenti dari haidl serta mengandung, yang tidak ingin kawin lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasannya (bertabarruj)."  (QS. An-Nur : 60)
Larangan terhadap kaum wanita yang sudah tua untuk melakukan tabarruj dengan mengyaratkan terhadap pakaian yang dikenakannya agar ditanggalkan, meskipun tidak terdapat di dalamnya tindakan tabarruj, mensyaratkan pemahaman tentang larangan tabarruj. Apabila terhadap kaum wanita yang sudah tua dilarang melakukan tabarruj, maka terlebih lagi hal itu bila dilakukan oleh wanita biasa. Firman Allah SWT :

"Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan." (QS. An-Nur : 31)
Pemisalan yang tertera dalam ayat ini dianggap sebagai tindakan bertabarruj. Yang dimaksud dengan tabarruj adalah menampakkan perhiasan dan kecantikannya  terhadap orang yang bukan muhrim. Jadi jika dikatakan bahwa seorang wanita bertabarruj, maka berarti telah menampakkan perhiasan dan kecantikannya terhadap orang yang bukan muhrim. Banyak hadits-hadits yang melarang setiap perbuatan yang dianggap sebagai tabarruj. Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari seraya berkata : bahwasannya Rasulullah bersabda :

"Siapapun wanita yang memakai wewangian kemudian melewati suatu kaum agar mereka mencium baunya, maka ia telah melakukan zina."
Dengan kata lain ia dianggap sebagaimana layaknya pezina yang terperosok dalam dosa. Dalam riwayat lainnya Rasulullah bersabda :

"Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tak pernah menduga, (yaitu) sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti ummat manusia. Dan wanita yang membuka auratnya seraya berpakaian tipis merangsang, berlenggak-lenggok serta banyak lagak. Mereka tidak dapat masuk surga dan tidak dapat mencium baunya (padahal bau surga dapat tercium dari jarak yang relatif jauh)."

9.      Islam melarang, baik laki-laki maupun wanita, melakukan amal perbuatan yang dapat membahayakan akhlak, atau yang dapat merusak jama'ah. Seorang wanita dilarang melakukan kesibukan dalam setiap pekerjaan yang menampakkan kewanitaannya. Diriwayatkan dari Rafi' bin Rafa'ah seraya berkata: Nabi saw telah melarang kami melakukan pekerjaan kecuali dengan menggunakan kedua tangannya. Beliau berkata : "Seperti inilah jari-jemarinya yang kasar sebagai mana halnya tukan roti, pemintal, atau pengukir. Dengan demikian Seorang wanita dilarang untuk melakukan kesibukan (bekerja) di tempat-tempat penjualan untuk menarik pengunjung, melakukan pekerjaan di kantor-kantor diplomatik dan konsulat atau yang sejenisnya dengan maksud untuk mengeksploitisir kewanitaannya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan politik, bekerja sebagai pramugari di pesawat-pesawat terbang, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang mengeksploitisir kewanitaannya
10.  Sanksi hukum yang tegas dan memberikan efek jera, tidak hanya bagi pihak yang menyebaran tapi pelaku perzinahan. Karena penyebaran tidak mungkin terjadi apabila tidak ada yang melakuan. Perzinahan adalah tindak criminal yang pelaku dirajam hingga mati bagi penzina muhshan (telah menikah) dan cambuk sebanyak 100 kali bagi yang belum menikah.  . Kedengarannya mengerikan. Tapi ada beberapa hal yang penting untuk dicatat:
a.       Hukuman/sanksi adalah pintu terakhir setelah sembilan pintu preventif yang kami sebutkan dilanggar
b.      Sanksi ini memberikan efek jera, sehingga efektif untuk mencegah perzinahan
c.       Hukuman ini menjamin ampunan dosa bagi yang melakukan perzinahan.
Untuk meraih itu, Ma’iz mengakui perzinaannya, kemudian ia dirajam hingga mati.  Demikian pula Ghamidiyyah, ia mengakui perzinaannya kemudian dirajam hingga mati.  Seorang wanita dari suku Juhainah mengaku zina, lalu dirajam hingga mati.  Rasulullah saw berkomentar tentang mereka,
لقد تابت توبة لو قسمت بين سبعين من أهل المدينة لوسعتهم
“Sungguh ia telah bertaubat, seandainya dibagi antara 70 penduduk Medinah, sungguh akan mencakup semuanya.” 

Yogyakarta, 26 Juni 2010
(materi ini merupakan materi Khutbah di Masjid al Ikhlas Karang Asem Yogyakarta dengan penambahan dan penyempurnaan)

Ayat Mutasyabihat


Dalil naqli yang terlihat bertentangan dengan science, apa kita anggap saja mutasyabihat?(Asraf di Yogyakarta)
Sebelumnya harus difahami dulu apa makna mutasyabihat. Menurut Al Amidi, ‘Ali al Hasan, ad Dahlawi  sebgaimana dikutip Hafidz Abdurrahman (2004; 195) menyebutkan Mutasyabihat merupakan kebalikan muhkam, yaitu  ayat yang berpotensi untuk dispekulasikan atau mempunyai lebih dari satu makna. (Ulumul quran Praktis hal. 195)
Ada beberapa factor yang dapat menjadi penyebab terjadinya mutasyabihat.menurt ad Dahlawi, bisa dikembalikan pada:
1.       Spekulasi kembalinya kata ganti pada dua marja’ (tempat kembali). Seperti firman Allah SWT:
إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ
Kecuali jika istri-istrimu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah (al Baqarah: 237)
Kata ganti hi (dhamir muzdakkar ghaib) pada redaksi biyadihi memiliki dua penafsiran. Apakah kembali pada suami ataukah wali nika perempuan.

2.      Makna yag berbeda pada kata yang sama (makna musytarak). Seperti firman Allah SWT:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Dan wanita-wanita yang diceraikan hendaklah menahan diri mereka sela tiga quru (QS al Baqarah: 228)
Kata quru pada ayat ini menurut pemahaman bahasa arab dapat bermakna suci, tapi juga dapat berarti suci.

3.      Spekulasi athaf (kata sambung) kepada yang dekat atau jauh. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki (QS Al Maidah: 6)
Jika redaksi wa arjulakum diathafkan pada bi ruusikum maka kedua kaki cukup diusap saja karena perintahnya imsahuu (usap/sapulah). sedangkan jika diathafkan pada wujuuhakum maka harus dibasuh. Karena perintahnya ighsiluu (basuhlah).
4.      Spekulasi mulai dan berhenti. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ
Padahal, tidak ada tidak ada yang mengetahui takwilnya selain Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya (Qs ali Imran: 7)
Berhenti setelah bacaan Allah atau bacaan وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ memiliki implikasi yang berbeda. Jika berhenti pada bacaan اللَّهُ , konotasinya hanya Allah saja yang Maha mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat. Jika berhenti pada bacaan وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ berarti konotasinya Allah SWT dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui takwil ayat mutasyabihat.

Dengan memahami definisi ayat mutasyabihat dan factor penyebabnya maka dapat saya simpulkan bahwa mutasyabihat hanya disebabkan oleh factor redaksi ayat, bahasa arab dan pemahaman ulama terhadap ayat-ayat tersebut. Pemahaman ulama yang saya maksud juga terbatas pada konteks pemahaman terhadap makna ayat dan bahasa arab. Sehingga science bukanlah factor yang mempengaruhi muhkam atau mutasyabihnya ayat.

Selain itu al quran bukanlah kitab science. Kalaupun dalamal quran ada sebagian ayat yang menjelaskan tentang phenomena kehidupan, penciptaan manusia, alam semesta dan sebagainya. Tujuan utama penjelasan ayat-ayat tersebut adalah agar manusia mau berfikir, membuka kesadarannya dan akhirnya beriman kepada Allah SWT. Tentu kebenaran sains yang ada dalamal quran bersifat mutlak. Sebagai contoh: proses penciptaan manusia, dari pertemuan dua sel, menjadi zygote, Embrio, Bayi dan seterusnya.

Sedangkan penafsiran ulama bukanlah alquran itu sendiri. Seperti penafsiran bahwa matahari mengelilingi bumi sebagaimana pemahaman geosentris. Padahal kenyataannya bumi mengelilingi matahari (Heliosentris). Dalam konteks inilah penafsiran al quran yang berbasis sains harus dikritik.

Mengapa? Karena kebenaran sains bersifat relative dan berubah apabila ada penemuan mutkahir yang lebih mendekati kebenaran. Bahkan penemuan yang sekarang sudah mapan tidak menutup kemungkinan akan terbantah pada masa yang akan datang. Contohnya: teori geosentri diatas yang dimentahkan oleh terori heliosentris. Contoh lain: dahulu dikatakan bahwa atom adalah bagian terkecil dari suatu benda. Tapi, dikemudian hari diketahui bahwa dalam atom masih terdapat lintasan-lintasan berupa neutron, proton dan electron.bahkan ada inti atom. Artinya ada bagaian yang lebih kecil dari atom yaitu inti atom.

Demikianlah, sebagai kesimpulan maka dalil naqli yang bertentangan dengan sains tidak otomatis mutasyabihat. Mutasyabihat hanya terjadi karena ayat itu sendiri dan factor bahasa arab. Kemudian kebenaran sains bukanlah satu hal yang final. Sehingga jika kesan bertentangan maka harus dikaji lebih mendalam lagi. Wallahu alam bi shawab

Yogyakarta, 15 Rajab 1431 H/27 Juni 2010
alFaqir ilaLLAH:Wahyudi Abu Syamil Ramadhan

Lanjutan pembahasan tentang Illat


Lanjutan pembahasan tentang Illat (penanya: 085754035xxx)
Berikut saya kutipkan dari nsakah buku Ensiklopedi Hewan Halal dan Haram karya saya, semoga dapat terbit dalam waktu dekat. Mohon doanyanya.

Tidak ada ‘illat berkaitan dengan makanan (hewan) sebagaimana tidak ada ‘illat yang berkaitan dalam ibadah, akhlak, dan pakaian tidak boleh dikaitkan dengan ‘illat sama sekali. Sebab, hukum-hukum semacam ini tidak mengandung ‘illat. Hukum seperti ini diambil sesuai dengan apa yang terdapat dalam nash saja, tanpa dikaitkan sama sekali dengan ‘illat, seperti halnya shalat, shaum, haji, zakat, tata cara shalat, bilangan raka’at shalat, manasik haji, nishab zakat, dan yang sejenisnya, diambil secara tauqifi sebagaimana adanya, dan diterima dengan penuh kepasrahan tanpa melihat aspek ‘illat-nya. Bahkan, tidak mencari-cari ‘illat-nya.

Begitu pula pengharaman memakan bangkai, daging babi, dan yang sejenisnya, sekali-kali tidak dicari-cari ‘illat-nya. Bahkan termasuk suatu kesalahan yang cukup berbahaya apabila mencari ‘illat bagi hukum-hukum tadi. Sebab, apabila ada usaha untuk mencari ‘illat bagi suatu hukum atas perkaraperkara tersebut, tentu implikasinya adalah apabila hilang ‘illat-nya, hukumnya pun akan hilang, sebab “‘illat itu senantiasa mengikuti ma’lulnya, ada atau tidaknya (al ‘illatu tadurru ma’al ma’lul wujudan wa ‘adaman).” (Mafaahim Hizbut-Tahrir hal. 56-57)
Yogyakarta, 15 Rajab 1431 H/27 Juni 2010
Al Faqir ilallah: Wahyudi Abu Syamil Ramadhan

BILANGAN YANG MENGHASILKAN ILMU (MUTAWATIR)


BILANGAN YANG MENGHASILKAN ILMU (MUTAWATIR)

            Telah terjadi perbedaan pendapat—diantara para ulama'--dalam menentukan jumlah terkecil yang menghasilkan ilmu, sebagian mereka menyatakan jumlah minimal lima, yang lain menyatakan bahwa jumlah minimal dua belas, sebagian yang lain menyatakan jumlah minimal dua puluh, sebagian yang lain lagi empatpuluh bahkan sebagian yang lain lagi tujuhpuluh, yang lain lagi tigaratus tiga belas dst… Inilah   pendapat secara keseluruhan, dan semua pendapat yang menyatakan jumlah tertentu tersebut sama sekali tidak ada pijakannya baik dari dalil naqli maupun aqli, karena memang tidak ada nash yang menentukan jumlah tertentu, dan akal juga tidak menentukan jumlah tertentu. Yang  diperhatikan dalam khabar mutawattir adalah dihasilkannya ilmu yang bersifat yakin dan bukan riwayat pada bilangan tertentu, maka bersamaan dengan bilangan tersebut ada indicator yang menunjukkan kekuatan serta lemahnya suatu berita. Kadangkala  suatu berita diriwayatkan oleh sejumlah bilangan tertentu yang riwayat mereka tidak menghasilkan ilmu yang bersifat yakin. Kadangkala  berita tersebut diriwayatkan oleh jama’ah yang lain yang bilangan mereka tertentu  sebagaimana bilangan yang pertama dan menghasilkan ilmu yang bersifat yakin dengan periwayatan mereka, karena perbedaan pandangan terhadap khabar adalah seiring dengan perbedaan indikatornya, meski dari segi jumlah sama. Karena itu, maka hadits mutawattir yang menghasilkan ilmu harus diriwayatkan oleh jama’ah, bukan bilangan tertentu, dan hendaknya bilangan jama’ah tersebut serta jauhnya jarak tempat tinggal mereka, mustahil adanya kesepakatan untuk berdusta. Maka  yang dijadikan pedoman adalah bilangan yang memustahilkan adanya kesepakatan untuk berdusta atas khabar tersebut. Maka  tidak bisa tidak hadits tersebut harus diriwayatkan oleh jama’ah, dan hendaknya bilangan mereka mencapai bilangan yang dapat mengeliminir adanya kesepakatan mereka untuk berdusta, dan hal tersebut berbeda-beda tergantung pada  perbedaan orang yang menyampaikan berita, fakta serta indokator-indikatornya. (Syakhsyiyyah Islamiyah juz 3 hal. 82 -83)

Mutawatir terhimpun dalam empat perkara,
yaitu:
1. Para perawi harus berbilang dan terdiri dari sekumpulan orang. Tidak terbatas pada jumlah tertentu. Setiap yang tergolong pada bilangan dari suatu kumpulan dianggap sebagai mutawatir apabila memenuhi syarat-syarat lain.
2. Menurut adat kebiasaan mustahil mereka sepakat untuk berbohong. Hal ini berbeda-beda tergantung perbedaan individuindividunya maupun tempat-tempatnya. Lima orang seperti Ali bin Abi Thalib cukup dianggap sebagai khabar mutawatir. Namun, orang yang lain tidak cukup. Selain itu lima orang yang berasal dari tempat-tempat yang berbeda-beda dan mereka tidak saling bertemu kadangkala khabarnya dianggap sebagai khabar yang mutawatir, karena mereka tidak saling bertemu pada suatu tempat sehingga tidak memungkinkan adanya kesepakatan mereka (untuk berdusta-pen). Namun terkadang khabar (yang berasal dari orang semacam itu) didalam satu negeri tidak cukup (untuk dianggap sebagai hadits mutawatir).
3. Diriwayatkan oleh orang semisal mereka dari awal hingga akhir, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka sepakat untuk berbohong, meskipun jumlah mereka belum sampai, yaitu harus tercapai dua syarat yang pertama (diatas) pada semua tingkatan perawi.
4. Sandaran akhir mereka adalah panca indera, berupa pendengaran dan lain-lain. Penetapan dengan akal (tidak diterima), karena akal mungkin saja memicu terjadinya kesalahan jika tidak disandarkan kepada indera, sehingga tidak menghasilkan keyakinan.
(Terjemah Syahshiyyah Islamiyah juz hal I. 477-478)

Dalam kitab Taisir wushul ilal ushul karya amir Atha bin Khalil pada pasal as sunnah hal 73 – 74 yang membahas secara ringkas tentang hadist mutawatir juga tidak menyebutkan jumlah minimal perawi hadist mutawatir.

Melafazkan Niat Shalat


Melafazkan Niat Shalat (Sebelum Takbir) Dan Niat (Bersamaan Dgn Takbir ula)
A. Hukum Dalam Shalat
- Melafazdkan Niat dengan lisan (Sebelum Takbir= sebelum shalat) adalah sunnah (tidak wajib) menurut madzab syafei, hambali dan habafi.
Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri).
- Niat (dalam hati bersamaan dengan takiratul ula) adalah wajib.
B. Tujuan melafadzkan niat
Tujuan dari talafudz binniyah menurut kitab-kitab fiqh ahlusunnah adalah :
1. Liyusaa’idallisaanul qalbu (“ Agar lidah menolong hati”)
2. Agar menjauhkan dari was-was
3. Keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya
C. Ayat – ayat Al-qur’an Dasar Talaffudz binniyah (melafadzkan niat sebelum takbir)
- Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan (Al-qaf : 18).
Dengan demikian melafadzkan niat dgn lisan akan dicatat oleh malaikat sebagai amal kebaikan.
- Kepada Allah jualah naiknya kalimat yang baik (Al-fathir : 10).
Malsudnya segala perkataan hamba Allah yang baik akan diterima oleh Allah (Allah akan menerima dan meridhoi amalan tersebut) termasuk ucapan lafadz niat melakukan amal shalih (niat shalat, haji, wudhu, puasa dsb).
D. Hadits-Hadist dasar Dasar Talaffudz binniyah (melafadzkan niat sebelum takbir)
1. Diriwayatkan dari Abu bakar Al-Muzani dari Anas Ra. Beliau berkata :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ
يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا
“Aku pernah mendengar rasulullah Saw. Melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan : “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melaksanakan haji dan umrah”.
”. (Hadith riwayat Muslim – Syarah Muslim Juz VIII, hal 216)).
Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah Saw. Mengucapkan niat atau talafudz binniyah diwaktu beliau melakukan haji dan umrah.
Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam Tuhfah, bahawa Usolli ini diqiyaskan kepada haji. Qiyas adalah salah satu sumber hukum agama.
2. Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq :”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah “sengaja aku umrah didalam haji”. (Hadith Sahih riwayat Imam-Bukhari, Sahih BUkhari I hal. 189 – Fathul Bari Juz IV hal 135)
Semua ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia tetap dengan nash juga bias tetap dengan qiyas.
3. Diriwayatkan dari aisyah ummul mukminin Rha. Beliau berkata :
“Pada suatu hari Rasulullah Saw. Berkata kepadaku : “Wahai aisyah, apakah ada sesuatu yang dimakan? Aisyah Rha. Menjawab : “Wahai Rasulullah, tidak ada pada kami sesuatu pun”. Mendengar itu rasulullah Saw. Bersabda : “Kalau begitu hari ini aku puasa”. (HR. Muslim).
Hadits ini mununjukan bahwa Rasulullah Saw. Mengucapkan niat atau talafudz bin niyyah di ketika Beliau hendak berpuasa sunnat.
4. Diriwayatkan dari Jabir, beliau berkata :
“Aku pernah shalat idul adha bersama Rasulullah Saw., maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor kambing lalu beliau menyembelihnya sambil berkata : “Dengan nama Allah, Allah maha besar, Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat berkurban diantara ummatku” (HR Ahmad, Abu dawud dan turmudzi)
Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah mengucapkan niat dengan lisan atau talafudz binniyah diketika beliau menyembelih qurban.
E. Pendapat Imam-Imam ahlu sunnah (sunni) mengenai melafadzkan niat
1. Didalam kitab Az-zarqani yang merupakan syarah dari Al-mawahib Al-laduniyyah karangan Imam Qatshalani jilid X/302 disebutkan sebagai berikut :
“Terlebih lagi yang telah tetap dalam fatwa para shahabat (Ulama syafiiyyah) bahwa sunnat melafadzkan niat (ushalli) itu. Sebagian Ulama mengqiyaskan hal tersebut kepada hadits yang tersebut dalam shahihain yakni Bukhari – Muslim.
Pertama : Diriwayatkan Muslim dari Anas Ra. Beliau berkata :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ
يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً
“Aku pernah mendengar rasulullah Saw. Melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan : “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melaksanakan haji dan umrah”.
Kedua, Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq :”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah “sengaja aku umrah didalam haji”.
Semua ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia tetap dengan nash juga bias tetap dengan qiyas.”
2. Berkata Ibnu hajar Al-haitsami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12
“Dan disunnahkan melafadzkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan dapat menolong hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syaz yakni menyimpang. Kesunatan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji”.
3. Berkata Imam ramli dalam Nihayatul Muhtaj Jilid I/437 :
“Dan disunnatkan melafadzkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan menolong hati dank arena pelafadzan itu dapat menjauhkan dari was-was dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya.”
4. DR. Wahbah zuhaili dalam kitab Al-fiqhul islam I/767 :
“Disunnatkan melafadzkan niat menurut jumhur selain madzab maliki.”
Adapun menurut madzab maliki  diterangkan dalam kitab yang sama jilid I/214 bahwa :
“Yang utama adalah tidak melafadzkan niat kecuali bagi orang-orang yang berpenyakit was-was, maka disunnatkan baginya agar hilang daripadanya keragu-raguan”.
F. Niat sebagai Rukun syahnya  Shalat
Rukun-rukun Shalat 13 (tiga belas) perkara dengan menjadikan segala thuma’ninah yang di empat rukun itu lazimnya satu rukun, adapun jikalau dijadikan tiap-tiap thuma’ninah yang di empat rukun itu bahwa ia rukun sendiri-sendiri, maka jadilah bilangan rukun Shalat itu 17 (tujuhbelas) perkara, yaitu:
  1. Niat di dalam hati ketika mengucapkan takbiratul ihram (اَللهُ اَكْبَرُ)
Apabila Shalat Fardhu maka:
  1. wajib qashad, artinya “sengaja aku Shalat”.
  2. wajib ta’ridh lilfardhiyah, artinya menyebut kata “fardhu”
  3. wajib ta’yin, artinya menentukan waktu “Zhuhur” atau “Ashar” atau lainnya.
Adapun jikalau Shalat Sunnat yang ada waktunya atau ada sebabnya, maka wajib qashad dan wajib ta’yin saja. Sedangkan jikalau Shalat Sunnat yang tidak ada waktu dan tidak ada sebabnya, yaitu nafal muthlaq maka wajib qashad saja, sebagian lagi mengatakan wajib maqarinah ‘arfiyah yaitu wajib mengadakan qashad ta’ridh ta’yin di dalam hati ketika mengucapkan اَللهُ اَكْبَرُ (takbiratul ihram).
Artinya maqarinah ‘arfiyah yakni dengan mengucapkan ketiga-tiganya itu di dalam hati seluruhnya, atau beraturan maka jangan ada yang keluar daripada masa mengucapkan اَللهُ اَكْبَرُ.
Adapun jikalau Shalat berjama’ah maka wajib hukumnya atas ma’mum menambah lagi niat مَأْمُوْمًا (artinya mengikuti imam)
Adapun jikalau Shalat Jum’at maka wajib hukumnya atas imam menambah niat اِمَامًا artinya menjadi imam.
Sedangkan pada Shalat yang lain seperti Shalat Zhuhur atau Ashar atau lainnya, maka hukumnya Sunnah bagi imam niat اِمَامًا.
G. Kesimpulan
Lihatlah bagaimana fatwa dari imam mujtahid dari madzab syafei, hambali dan hanafi bahwa melafadzkan niat adalah sunnah. Sedangkan menurut madzab maliki disunnahkan bagi orang yang berpenyakit was-was.
Hati-hati dengan ucapan fitnah pemecah barisan sunni yakni golongan anti madzab wahhaby yang menebarkan isu khilafiah dan mereka mengambil fatwa bertentangan dengan pegangan majority ummat sunni agar ummat terjauh dari mengikuti ulama yang haq dan terjauh dari kitab imam –imam sunni.
Rujukan :
- Al –ustadz Haji Mujiburrahman, Argumentasi Ulama syafei’yah terhadap tuduhan bid’ah, mutiara ilmu Surabaya.
- DR. Wahbah zuhaili, kitab Al-fiqhul islam,  Jilid I/214
- DR. Wahbah zuhaili, kitab Al-fiqhul islam,  Jilid I/767
- Imam ramli,  KitabNihayatul Muhtaj,  Jilid I/437
- Ibnu hajar Al-haitsami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12
- Imam Qatshalani, Kitab Az-zarqani, jilid X/302
- Imam bukhari, Kitab Shahih Bukhary, Jilid I/189
- Imam Muslim, Kitab Shahih Muslim, Jilid VIII/216
Abu Haidar, Alumni Ponpes Darussa’adah, Gunung Terang, Bandar Lampung
 Untuk akh Rendy, maaf ana belum sempat menulis sendiri pandangan ana tentang talafudz binniyah (melafazkan niat sebelum shalat). Tapi berikut ana postingkan tulisan dari http://salafytobat.wordpress.com. Semoga bermanfaat.
Yogyakarta, 15 Rajab 1431 H/27 Juni 2010
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan