Kamis, 30 September 2010

Shalat Tahajjud Berjama'ah



Apa hukum shalat malam (tahajjud) berjama’ah? (pertanyaan jalsah munakh Unlam)
Jawab

Shalat tahajjud termasuk dalam qiyam al lail. Shalat tahajjud dapat dilakukan dengan sendirian (munfarid) maupun berjamaah, karena Nabi saw pernah melakukan keduanya.Meskipun lebih banyak secara munfarid (Ibnu Qudamah, al mughni1/811, Mahmud ‘Abdul lathif Uwaidhah dalam Tuntunan shalat berdasarkan quran dan hadist hal. 798).

Adapun dalil bolehnya shalat qiyam lail (termasuk tahajjud) secara berjama’ah adalah sebagai berikut:
1.        Hadist dari Hudzaifah, beliau menceritakan.
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ثُمَّ رَكَعَ فَجَعَلَ يَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ فَكَانَ رُكُوعُهُ نَحْوًا مِنْ قِيَامِهِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ قَامَ طَوِيلًا قَرِيبًا مِمَّا رَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ فَقَالَ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى فَكَانَ سُجُودُهُ قَرِيبًا مِنْ قِيَامِهِ
قَالَ وَفِي حَدِيثِ جَرِيرٍ مِنْ الزِّيَادَةِ فَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Pada suatu malam, saya shalat (Qiyamul Lail) bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau mulai membaca surat Al Baqarah. Kemudian saya pun berkata (dalam hati bahwa beliau) akan ruku' pada ayat yang ke seratus. Kemudian (seratus ayat pun) berlalu, lalu saya berkata (dalam hati bahwa) beliau akan shalat dengan (surat itu) dalam satu raka'at. Namun (surat Al Baqarah pun) berlalu, maka saya berkata (dalam hati bahwa) beliau akan segera sujud. Ternyata beliau melanjutkan dengan mulai membaca surat An Nisa` hingga selesai membacanya. Kemudian beliau melanjutkan ke surat Ali Imran hingga selesai hingga beliau selesai membacanya. Bila beliau membaca ayat tasbih, beliau bertasbih dan bila beliau membaca ayat yang memerintahkan untuk memohon, beliau memohon, dan bila beliau membaca ayat ta'awwudz (ayat yang memerintahkan untuk memohon perlindungan) beliau memohon perlindungan. Kemudian beliau ruku'. Dalam ruku', beliau membaca: "SUBHAANA RABBIYAL 'AZHIIM (Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung)." Dan lama beliau ruku' hampir sama dengan berdirinya. Kemudian beliau membaca: "SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Maha Mendengar Allah akan orang yang memuji-Nya)." Kemudian beliau berdiri dan lamanya berdiri lebih kurang sama dengan lamanya ruku'. Sesudah itu beliau sujud, dan dalam sujud beliau membaca: "SUBHAANA RABBIYAL A'LAA (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi)." Lama beliau sujud hampir sama dengan lamanya berdiri. Sementara di dalam hadits Jarir terdapat tambahan; Beliau membaca: "SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH RABBANAA LAKAL HAMDU (Allah Maha Mendengar akan orang yang memuji-Nya, Ya Tuhan kami bagi-Mu segala puji)." (HR. Muslim no. 1291)
Imam muslim telah memasukkan hadist ini dalam bab “disenangi (dianjurkan) memperpanjang bacaan dalam shalat malam (استحباب تطويل القراءة في صلاة الليل). Artinya hadist di atas dapat dijadikan dalil yang menunjukan bahwa Nabi mendiamkan (membolehkan) sahabat untuk mengikuti beliau (menjadi makmum) pada shalat malam yang beliau lakukan. Karena seandainya hal tersebut haram tentu Nabi akan melarangnya.
2.    Hadist dari Ibnu ‘Abbas, beliau menceritakan:
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَأْسِي مِنْ وَرَائِي فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى وَرَقَدَ فَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ وَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
"Pada suatu malam aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan aku berdiri di samping kirinya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian memegang kepalaku dari arah belakangku, lalu menempatkan aku di sebelah kanannya. Beliau kemudian shalat dan tidur setelahnya. Setelah itu datang mu'adzin kepada beliau, maka beliau pun berangkat shalat dengan tidak berwudlu lagi." (Hr. Bukhari no. 684)
Berdasarkan kedua hadist di atas jelaslah bahwa shalat tahajjud dapat dilakukan secara berjama’ah.
Perlu kami tambahkan disini, bahwa juga diperbolehkan melakukan shalat dhuha secara berjama’ah sebagaimana diperbolehkan secara munfarid )al jami’li ahkami ash shalah 2/399).  Hal ini berdasarkan hadist dari ‘Itban bin Malik yang meriwayatkan sebagai berikut:
أن رسول الله ^ صلى في بيته سُبحة الضحى، فقاموا وراءه فصلوا بصلاته
Bahwa Rasulullah saw melaksanakanshalat dhuha di rumahnya, lalu orang-orang berdiri di belakangnya dan mengikuti shalatnya. (Hr. Bukhari, Ahmad, Muslim, dan Ibnu Khuzaimah).
Yogyakarta, 30 September 2010/21 Syawwal 1431 H.
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan

Rabu, 29 September 2010

Istri menikah lagi



Ada pasangan suami istri yang telah dikaruniai anak , karena beban ekonomi suami merantau ke luar negeri. Sampai pada tahun ke-2 hubungan komunikasi lancar, tapi setelah tahun ke-3 komunikasi mereka terputus, berbagai upaya dilakukan istri untuk mencari suaminya tapi tidak berhasil , hingga seorang laki-laki datang untuk menikahi. Sang istri kemudian konsultasi dengan Kiai yang dipercaya dan Kiai tersebut memutuskan bahwa mereka bisa menikah setelah masa ‘iddah… setelah menikah lagi wanita tersebut hamil 5 bulan sang suami (yang merantau) datang  dan menuntut bahwa ia adalah suami wanita tersebut. Siapa yang salah? Bagaimana penyelesaiannya? (Ade, FH UII Yogyakarta)

Jawab
Adik Ade di Yogya, untuk persoalan ini perlu dirinci dulu. Apakah pada tahun ke-3 suami masih memenuhi kewajiban nafkah ataukah tidak? Jika kewajiban nafkah tidak dipenuhi oleh suami maka keputusan dari Kiai tempat perempuan tersebut berkonsultasi adalah keputusan yang tepat. Sehingga perempuan tersebut adalah istri yang sah dari suaminya yang kedua. Hal ini disebabkan pada kondisi tertentu seorang istri boleh menarik/ mencabut akan nikahnya (أن تفسخ عقد النكاح ). Diantara sebab syar’I yang menbolehkannya adalah perginya suami dan tidak menunaikan kewajiban nafkahnya, sedangkan dari pihak istri telah berusaha untuk mencarinya.  al ‘alamah asy syaikh Taqiyuddin an Nabhani menjelaskan di dalam kitab an nizham al ijtima’I fil islam hal 77, sebagai berikut:
إذا سافر الزوج إلى مكان، بعد أو قرب، ثم غاب وانقطعت أخباره وتعذر عليها تحصيل النفقة، فإن لها أن تطلب التفريق منه بعد بذل الجهد في البحث والتحري عليه وذلك لقول الرسول - صلى الله عليه وسلم - عن الزوجة تقول لزوجها "أطعمني وإلا فارقني" أخرجه الدارقطني وأحمد، فجعل عدم الإطعام علة للفراق

Jika sang suami melakukan perjalanan (safar) ke suatu tempat, baik dekat maupun jauh, lalu ia menghilang dan tidak ada kabar- beritanya, sementara isterinya terhalang untuk mendapatkan nafkahnya, maka isteri berhak menuntut pemisahan dari suaminya setelah berusaha keras mencari dan menemukan suaminya. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW berkenaan dengan seorang isteri yang berkata kepada suaminya: “Berilah aku makan (nafkah). Jika tidak, ceraikan aku.” (HR ad- Daruquthni dan Ahmad)
Maka, Nabi SAW menjadikan tidak adanya makanan sebagai ‘illat (sebab) bagi perceraian.

Juga dikarenakan ‘Umar RA pernah memberikan ketetapan mengenai suami-suami yang menghilang dan meninggalkan isteri-isterinya, ‘Umar memerintahkan mereka untuk memberi nafkah isteri-isterinya atau menceraikannya. Para sahabat mengetahui ketetapan tersebut dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Dengan demikian, ketetapan tersebut merupakanIjmak Sahabat.

Berdasarkan penjelasan di atas maka mantan suaminya tidak berhak mengklaim bahwa perempuan yang telah dinikahi suami kedua adalah istrinya. Demikian, wallahu a’lam bi shawab.

Yogyakarta, 29 September 2010/20 Syawwal 1431 H
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan

Hukum Menikahi wanita ahlul kitab


Hukum Menikahi wanita ahlul kitab
Dalam kitab an nizham al ijtima’I fil islam terdapat penjelasan sebagai berikut:
وبيانه أن الله سبحانه وتعالى أجاز للمسلم أن يتزوج المرأة الكتابية: يهودية، أو نصرانية، لأن الله تعالى يقول: {الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ } فالآية صريحة في أن المحصنات من الذين أوتوا الكتاب حلال للمسلمين، وأجورهن مهورهن، ويجوز للرجل المسلم أن يتزوج المرأة الكتابية، عملاً بهذه الآية. إذ ذكرت أن المحصنات من الذين أوتوا الكتاب حل للمسلمين، أي زواجهن حل لكم.
Penjelasannya adalah bahwa  Allah SWT telah memperbolehkan pria Muslim untuk mengawini wanita Ahlul Kitab, yaitu wanita Yahudi atau Nasrani, karena Allah SWT berfirman:
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (TQS al-Mâ’idah [5]: 5)

Ayat ini gamblang menyatakan bahwa wanita-wanita Ahlul Kitab yang senantiasa menjaga kehormatannya adalah halal untuk dikawini oleh pria Muslim. Makna ujûrahunna adalah muhûrahunna (mahar-mahar mereka). Maka seorang pria muslim boleh mengawini wanita Ahlul Kitab baik Yahudi maupun Nashrani, sebagai pelaksanaan ayat tersebut. Sebab, ayat tersebut telah menyebutkan bahwa wanita-wanita Ahlul Kitab yang senantiasa menjaga kehormatan adalah halal bagi pria Muslim. Artinya menikahi wanita-wanita Ahlul Kitab yang menjaga kehormatannya itu adalah halal bagi kalian.

Mengenai penafsiran  surah al maidah di atas, khususnya pada redaksi وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ berikut kami kutipkan pendapat beberapa mufassir.

Para ahli tafsir dan ulama berbeda pndapat pada firman Allah  (وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ ) apakah bermakna umum untuk seluruh kitabiyah (wanita ahlul kitab) yang menjaga kehormatan baik yang merdeka maupun budak? (Tafsir al quranil adhim Imam Ibnu Katsir juz 3 hal 42). Sebagian besar ulama hanya membolehkan menikahi ahlul kitab yang merdeka dan mengharamkan menikahi budaknya (tafsir ath thabari 9/58, Fathul qadhir 2/274, tafsir al Baghawi 3/19) . Alasanya karena Allah mensyaratkan menikahi budak beriman, Allah berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.( QS. An Nisa: 25)
وحكى ابن جرير عن طائفة من السلف أن هذه الآية تعمّ كل كتابية حرةّ أو أمة
Sedangkan sebagian yang lain menyataan bolehnya menikahi wanita ahlul kitab yang menjaga kehormatan, baik merdeka maupun budak, berdasarkan keumuman ayat 5 surah al maidah (tafsir ath thabari 9/584). Ibnu jarir menceritakan dari sekelompok ulama salaf yang menafsiri muhshanah dengan al’afifah (menjaga kehormatan). (Tafsir al quranil adhim Imam Ibnu Katsir juz 3 hal 42). Dalam fathul qadhir bahkan terdapat penegasan bahwa keumuman ayat ini berlaku terhadap seluruh wanita ahlul kitab baik merdeka maupun budak (fathul qadhir, 2/274)

Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud ahlul kitab adalah al israiliyat (orang-orang israil). Ini adalah pendapat mazhab syafi’ie (Tafsir al quranil adhim Imam Ibnu Katsir juz 3 hal 42). Abdullah bin ‘Umar tidak membolehkan menikahi wanita nasrani dengan alasan aku tidak mengetahui kesyirikan terbesar dari mengatakan bahwa tuhannya adalah ‘Isa (لا أعلم شركا أعظم من أن تقول: إن ربها عيسى ) , padahal Allah berfirman:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang musyrik hingga mereka beriman.(QS. Al Baqarah: 221)
Pendapat Ibnu ‘Umar ini adalah pendapat yang lemah karena beberapa alas an:
1.     Mengapa larangan hanya dikhususkan pada wanita nashrani. Padahal jika mengunakan alasan yang sama wanita Yahudi juga melakukan kesyirikan yang besar karena menganggap ‘Uzair anak Allah. Allah berfirman:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? (at Taubah:31)
2.     Surat al baqarah 221 telah ditakhshish oleh surah al maidah ayat 5 ini. Ibnu Abi Hatim berkata, ayahku telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hatim bin Sulaiman al Muaddib, telah menceritakan kepada kami al qaashim bin Malik, telah menceritakan Ismail bin Sami’ dari abi malik al ghifari dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: ketika turun ayat { وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ “dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman” . Ibnu ‘abbas menjelaskan: maka manusia (sahabat) menjauhi (dari menikahi) wanita-wanita musyrik hingga turun ayat sesudahnya وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ  “dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu”  maka manusia (sahabat) menikahi sebagian wanita ahlul kitab

Sungguh sekelompok sahabat telah menikahi wanita nasrani dan mereka tidak memandang ada masalah dalam hal tersebut. Mereka berargumen dengan ayat ke 5 dari surah al maidah ini. Mereka menjadikan ayat ini sebagai pengkhusus (takhshis) dari surah al baqarah ayat 221. (Tafsir al quranil adhim Imam Ibnu Katsir juz 3 hal 42).
3.     Allah terkadang membedakan antara ahli kitab dengan orang-orang musyrik. Berkenaan tentang hal ini Ibnu Katsir menyatakan:
Jika dikatakan masuknya wanita ahlul kitab pada keumuman, maka tidak ada pertentangan antara kedua ayat ini karena pada konteks yang lain ahlul kitab terkadang dibedakan dalam penyebutanya dari orang-orang musyrik. Sebagaimana firman Allah:
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (QS. surah al bayyinah ayat 1)
dan firman Allah:
وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالأمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا
Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk ( QS. ali ‘Imran: 20)

Dikatakan juga bahwa maksud ahlul kitab adalah ahlu dzimmah bukan yang al harbiyat (diperangi). Berdasarkan firman Allah:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِوَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS. At Taubah: 29).

Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, beliau menyatakan:
فمن أعطى الجزية حل لنا نساؤه ومن لم يعطها فلا يحل لنا نساؤه
Maka siapa saja yang membayar jizyah maka wanita-wanita halal bagi kita dan yang tidak membayar jizyah maka perempuannya tidak halal bagi kita (tafsir al Baghawi 3/19).

sedangkan sebagian ahli tafsir membolehkan menikahi wanita ahlul kitab secara umum, meskipun bukan ahlu dzimmah (tafsir al Baghawi 3/19). Alasannya karena zhahir ayat pada surah al maidah yang bersifat umum, yaitu berlaku bagi ahlul dzimmah maupum ahlul harbi (tafsir al alusi, 4/383)

lebih jauh tentang pengertian al muhshanat, dijelaskan Imam ath thabari mengutip pendapat Abu Ja’far yang menyatakan:
وهم اليهود والنصارى الذين دانوا بما في التوراة والإنجيل من قبلكم
Mereka adalah wanita yahudi dan nashrani yang dekat dengan apa yang ada dalam taurat dan injil sebelum kalian.(tafsir ath thabari, 9/581)
Sedangkan asy sya’bi menyatakan:
إحصان الكتابية أن تستعف من الزنا وتغتسل من الجنابة.
Wanita ahlul kitab yang menjaga kehormatan adalah yang menjaga diri dari berzina dan mandi dari janabah  (Al baghawi, 3/19)

Wallahu ‘alam bi shawab
Kalua, Tanjung, Kalsel 5 Syawwal 1431 H
Abu Syamil Ramadhan

Menasihati Penguasa


Hadist Menasihati Penguasa dengan sembunyi-sembunyi
Oleh: Wahyudi Abu Syamil Ramadhan
Pendahuluan
Menasihati penguasa adalah sebuah kewajiban yang agung. Banyak hadist shahih yang menjelaskannya. Hadist-hadist tersebut menerangkan kewajiban menasihati penguasa dalam bentuk yang mutlak, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Diantaranya adalah,hadist dari Jabir ra, berkata:
عن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم قال: "سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب، ورجل قام إلى إمام فأمره ونهاه فقتله". ( رواه الترمذي، والحاكم وقال: صحيح الاسناد )
Dari Nabi saw, beliau bersabda: penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa kemudian dia memerintahkan dan melarangnya, kemudian penguasa tersebut membunuhnya (Hr Tirmidzi, dan al Hakim mengatakan sanadnya shahih)
Sayangnya, ada beberapa orang bahkan kelompok yang yang mencoba menutup-nutupi kenyataan ini. Kemudian mereka mengemukakan wajibnya menasihati penguasa dengan sembunyi-sembunyi. Pandangan yang keliru ini dibantah secara panjang lebar oleh Syaikh Muhammad bin Abdullah al Masy’ary dalam kitab beliau Muhasabah al hukkam (menasihati penguasa). Diantara bantahan beliau adalah status hadist yang dijadikan landasan orang-orang atau kelompok salafy yang mewajibkan menasihati penguasa dengan sembunyi-sembunyi. Hadist tersebut adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ
جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّى غَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ  وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللَّهِ فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Al Mughiroh telah menceritakan kepada kami Shafwan telah menceritakan kepadaku Syuraih bin 'Ubaid Al Hadlromi dan yang lainnya berkata; 'Iyadl bin Ghonim mencambuk orang Dariya ketika ditaklukkan. Hisyam bin Hakim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga 'Iyadl marah. ('Iyadl Radliyallahu'anhu) tinggal beberapa hari, lalu Hisyam bin Hakim mendatanginya, memberikan alasan. Hisyam berkata kepada 'Iyadl, tidakkah kau mendengar Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: " Orang yang paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia?." 'Iyadl bin ghanim berkata; Wahai Hisyam bin Hakim, kami pernah mendengar apa yang kau dengar dan kami juga melihat apa yang kau lihat, namun tidakkah kau mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan, tapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima memang begitu, jika tidak maka dia telah melaksanakan kewajibannya", kamu Wahai Hisyam, kamu sungguh orang yang berani, jika kamu berani kepada penguasa Allah, kenapa kamu tidak takut dibunuh penguasa dan kau menjadi korban penguasa Allah subhanahu wata'ala?. (HR. AHMAD - 14792)
Hadist ini di riwayatkan dalam dua sanad[1],yaitu:
Jalur pertama                                                             Jalur kedua







 






Mengenai Iyadh bin Ghanim ia adalah Ibnu Zuhair bin Ab Syadad, Abu Sa’ad al fahri, Dia adalah shahabat[2]  yang baik. Dia termasuk orang yang berbaiat di baiat ar-ridwan, meninggal tahun 20 H di Syam. Sedangkan Hisyam bin Hakim bin Hizam bin Khuwailid al Qurasyi al asadi termasuk tabi’in[3], meninggal pada awal kekhilafahan mu’awiyah.
Sedangkan Syuraih bin ’Ubaid al hadhrami al hashimi adalah tabi’in yang tsiqah[4] (terpercaya) periwayatannya dari sahabat secara mursal. Sebagaimana disebutkan dalam kitab tahdzib al kamal: “Muhammad bin ‘Auf ditanya, apakah Syuraih mendengar hadist dari Abu Darda? Muhammad bin ‘Auf menjawab: tidak. Kemudian dikatakan padanya, apakah dia mendengar dari salah seorang sahabat nabi saw? Muhammad bin ‘Auf menjawab: aku kira tidak, karena dia tidak berkata tentang sesuatupun dari yang dia dengar, tetapi dia tsiqah (tahdzibul kamal juz 12 hal 447)
Ibnu Hajar al Atsqalani berkomentar: dia tsiqah tetapi yang memursalkan banyak karena tadlisnya (taqriibu at tahdzib juz 2 hal 265). Ibnu Abi Hatim berkata dalam kitabnya “al maraasiil” aku mendengar ayahku berkata: Syuraih tidak berjumpa dengan abu Umamah, al Harist bin Harist dan Miqdam. Aku mendengar dia berkata: Syuraih dari Abu Malik adalah mursal. [5]
Mengenai hal ini Muhammad bin Abdullah al Masy’ary memberi komentar: “Jika abu Umamah ra meninggal tahun 86 H, Miqdam al Ma’di ra meninggal tahun 87 H. sementara Syuraih bin ‘Ubaid tidak menemui keduanya maka tentulah dia juga tidak bertemu dengan Hisyam bin al Hakim yang meninggal pada awal masa kekhilafahan Mu’awiyah, lebih-lebih dengan ‘Iyadh bin Ghanim yang meninggal pada tahun 20 H yaitu pada masa amirul mukminin Umar bin Khaththab ra?” (Muhasabah al hukkam hal 41)
Kemudian beliau melanjutkan: “ demikianlah kami mencermati bahwa Syuraih bin ‘ubaid telah meriwayatkan cerita dengan memberi komentar sementara dia tidak pada masa itu, hal ini menunjukan dia tidak hadir (ada) pada peristiwa tersebut, tidak mendengar pada apa-apa yang dikatakan padanya. Oleh karena itu mestilah hukum terhadap hadist ini adalah terputus  untuk kedua sanad ini (انقطاع هذا الإسناد) [6]. (Muhasabah al hukkam hal 42)
Kalua, Tanjung Kalimantan selatan, 20 Ramadhan 1431 H




[1] Jalur periwayatan hadist
[2] Sahabat ialah orang yang bertemu rasulullah sahallahu'alaihi wa sallam dan ia seorang muslim sampai akhir hayatnya.
[3] Generasi setelah masa sahabat
[4] Terpercaya baik keadilannya maupun kekuatan hafalannya
[5] Mursal ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi langsung disandarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tanpa menyebutkan nama orang (sahabat) yang menceritakan kepadanya.]
[6] Munqathi' ialah hadits/berita yang di tengah sanadnya gugur/terputus seorang rawi atau beberapa rawi, tetapi tidak berturut-turut.