Hukum Mengkreasikan Doa Qunut
Nazilah
Padahal tidak Ada Contohnya dari
Nabi saw
Apakah kita boleh berdoa qunut nazilah dengan doa
(yang redaksinya, penj) tidak dicontohkan Nabi saw, yakni dengan doa
yang tidak ma’tsur. Tetapi kita mengkreasikannya sendiri, misalnya: Ya
Allah laknatlah Islam karimov dan tentara-tentaranya(اللهم العن إسلام
كريموف وجنوده)?. Apakah doa semacam ini
bertentangan dengan sabda nabi saw:
إن هذه الصلاة لا يصلح
فيها شيء من كلام الناس إنما هي التسبيح والتكبيروقراءة القرآن
Sesungguhnya shalat ini tidak pantas didalamnya ada
perkataan manusia. Shalat hanyalah berisi tasbih, takbir, dan bacaan al qur’an.
HR. Ahmad, Muslim, an Nasaai, dan Abu Dawud?
Jawab
Boleh bagi siapa saja yang berdoa dalam shalat fardhu
dengan qunut nazilah (yang redaksinya, penj) tidak dicontohkan Nabi saw,
yakni berdoa dengan doa yang tidak ma’tsur dengan syarat doa tersebut
tidak bertentangan dengan doa-doa yang ma’tsur. Dalilnya adalah hadist
Rifa’ah bin wafi’, ia berkata: Aku shalat di belakang Rasulullah saw, kemudian
aku bersin dan mengucapkan, "ALHAMDULILAAHI HAMDAN KATSIRAN THAYYIBAN
MUBARAKAN FIHI, MUBARAKAN 'ALAIHI KAMA YUHIBBU RABBUNA WA YARDLA (Segala puji
bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik, diberkahi di dalamnya serta
diberkahi di atasnya, sebagimana Rabb kami senang dan ridla)." Maka ketika
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selesai shalat, beliau berpaling ke
arah kami seraya bersabda: "Siapa yang berbicara waktu shalat?" tidak
ada seorang pun yang menjawab, beliau lalu bertanya lagi untuk yang kedua
kalinya; "Siapa yang berbicara dalam shalat?" tidak ada seorang pun
yang menjawab, beliau lalu bertanya untuk yang ketiga kalinya: "Siapa yang
berbicara waktu shalat?" maka Rifa'ah bin Rafi' menjawab, "Saya wahai
Rasulullah, Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Demi
Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh ada tiga puluh lebih malaikat
saling berebut untuk membawa naik kalimat tersebut." (HR. An Nasaai dan at
Tirmidzi, Shahih)
Mengomentari hadist ini Imam Syaukani rahimahullahu
ta’ala menyatakan: “hadist ini dalil yang menunjukkan bolehnya mengkreasikan
dzikir/doa dalam shalat, meskipun dzikir/doa tersebut tidak ma’tsur,
dengan syarat jika dzikir/doa tersebut tidak bertentangan/menyelisihi yang ma’tsur
(Nailul authar hal. 472. Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2000)
Oleh karena itulah maka seorang mushalli (orang
yang shalat) yang berdoa dengan qunut nazilah padahal redaksinya tidak
dicontohkan Nabi saw, dengan kata lain dengan doa yang tidak ma’tsur
hukumnya boleh (laa syaia fiih). Akan tetapi kebolehan ini sebatas doa
yang tidak bertentangan doa-doa yang ma’tsur, karena terdapat larangan berdoa
dengan doa yang bertentangan dengan doa yang ma’tsur. Dari Abu Hurairah
dia berkata: "Rasulullah Shalallah 'Alaihi Wa Sallam berdiri untuk shalat
dan kami ikut berdiri dengannya, lalu ada seorang Badui yang berbicara dalam
shalat; 'Ya Allah, kasihanilah aku dan Muhammad, janganlah Engkau kasihani
seorangpun bersama kami! ' Setelah Rasulullah Shalallah 'Alaihi Wa Sallam
mengucapkan salam, beliau bersabda kepada orang Badui tersebut: 'Engkau telah
menyempitkan sesuatu yang luas! ' Maksudnya adalah rahmat Allah Azza wa
Jalla." (HR. Ahmad, Bukhari, abu Dawud an Nasaai)
Dalam hadist ini terdapat larangan berdoa yang
bertentangan dengan yang ma’tsur, karena jelas bahwa rahmat Allah itu
luas meliputi segala sesuatu dan tidak boleh seorangpun mempersempit apa saja
yang Allah telah meluaskannya dan mengkhususkan dengan doa tersebut dirinya
saja dan tidak mencakup saudaranya yang muslim.
Adapun sabda Nabi saw “Sesungguhnya shalat ini tidak
pantas didalamnya ada perkataan manusia. Shalat hanyalah berisi tasbih, takbir,
dan bacaan al qur’an”. Hadist ini menunjukkan mafhum mukhalafah (makna
kebalikan) tentang larangan berbicara/ucapan dalam shalat selain tiga hal ini
(tasbih, takbir, dan bacaan al quran). Akan tetapi pemahaman ini tidak berlaku
karena ada nash-nash yang menggugurkannya, diantara nash-nash ini adalah apa
yang telah kami paparkan sebelumnya dari hadist Rifa’ah bin wafi’ dan lainnya.
Sementara kaidah ushul menyatakan:
لا يعمل بمفهوم
المخالفة إذا ورد نص من الكتاب والسنة يعطله
Mafhum mukhalafah tidak berlaku jika terdapat nash
baik dari al qur’an dan as sunnah yang menggugurkannya (Taqiyuddin an Nabhani,
Asy Syakhshiyyah Islamiyyah 3/200)
Berdasarkan pemaparan di atas jelaslah, bahwa
mengkreasikan doa qunut nazilah dalam shalat fardhu dengan (redaksi) yang tidak
dicontohkan Nabi saw tetap dalam kebolehannya dengan syarat tidak bertentangan
dengan doa yang ma’tsur. Wallahu a’lam.
8 Juli 2011 bertepatan dengan 6 Sya’ban 1432H
KH. Muhammad Siddiq al Jawi
Penerjemah: Wahyudi
Abu Syamil Ramadhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar