Senin, 11 Juli 2011


Hukum Mengkreasikan Doa Qunut Nazilah
Padahal tidak Ada Contohnya dari Nabi saw
Apakah kita boleh berdoa qunut nazilah dengan doa (yang redaksinya, penj) tidak dicontohkan Nabi saw, yakni dengan doa yang tidak ma’tsur. Tetapi kita mengkreasikannya sendiri, misalnya: Ya Allah laknatlah Islam karimov dan tentara-tentaranya(اللهم العن إسلام كريموف وجنوده)?. Apakah doa semacam ini bertentangan dengan sabda nabi saw:
إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء من كلام الناس إنما هي التسبيح والتكبيروقراءة القرآن
Sesungguhnya shalat ini tidak pantas didalamnya ada perkataan manusia. Shalat hanyalah berisi tasbih, takbir, dan bacaan al qur’an. HR. Ahmad, Muslim, an Nasaai, dan Abu Dawud?
Jawab
Boleh bagi siapa saja yang berdoa dalam shalat fardhu dengan qunut nazilah (yang redaksinya, penj) tidak dicontohkan Nabi saw, yakni berdoa dengan doa yang tidak ma’tsur dengan syarat doa tersebut tidak bertentangan dengan doa-doa yang ma’tsur. Dalilnya adalah hadist Rifa’ah bin wafi’, ia berkata: Aku shalat di belakang Rasulullah saw, kemudian aku bersin dan mengucapkan, "ALHAMDULILAAHI HAMDAN KATSIRAN THAYYIBAN MUBARAKAN FIHI, MUBARAKAN 'ALAIHI KAMA YUHIBBU RABBUNA WA YARDLA (Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik, diberkahi di dalamnya serta diberkahi di atasnya, sebagimana Rabb kami senang dan ridla)." Maka ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selesai shalat, beliau berpaling ke arah kami seraya bersabda: "Siapa yang berbicara waktu shalat?" tidak ada seorang pun yang menjawab, beliau lalu bertanya lagi untuk yang kedua kalinya; "Siapa yang berbicara dalam shalat?" tidak ada seorang pun yang menjawab, beliau lalu bertanya untuk yang ketiga kalinya: "Siapa yang berbicara waktu shalat?" maka Rifa'ah bin Rafi' menjawab, "Saya wahai Rasulullah, Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh ada tiga puluh lebih malaikat saling berebut untuk membawa naik kalimat tersebut." (HR. An Nasaai dan at Tirmidzi, Shahih)
Mengomentari hadist ini Imam Syaukani rahimahullahu ta’ala menyatakan: “hadist ini dalil yang menunjukkan bolehnya mengkreasikan dzikir/doa dalam shalat, meskipun dzikir/doa tersebut tidak ma’tsur, dengan syarat jika dzikir/doa tersebut tidak bertentangan/menyelisihi yang ma’tsur (Nailul authar hal. 472. Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2000)
Oleh karena itulah maka seorang mushalli (orang yang shalat) yang berdoa dengan qunut nazilah padahal redaksinya tidak dicontohkan Nabi saw, dengan kata lain dengan doa yang tidak ma’tsur hukumnya boleh (laa syaia fiih). Akan tetapi kebolehan ini sebatas doa yang tidak bertentangan doa-doa yang ma’tsur, karena terdapat larangan berdoa dengan doa yang bertentangan dengan doa yang ma’tsur. Dari Abu Hurairah dia berkata: "Rasulullah Shalallah 'Alaihi Wa Sallam berdiri untuk shalat dan kami ikut berdiri dengannya, lalu ada seorang Badui yang berbicara dalam shalat; 'Ya Allah, kasihanilah aku dan Muhammad, janganlah Engkau kasihani seorangpun bersama kami! ' Setelah Rasulullah Shalallah 'Alaihi Wa Sallam mengucapkan salam, beliau bersabda kepada orang Badui tersebut: 'Engkau telah menyempitkan sesuatu yang luas! ' Maksudnya adalah rahmat Allah Azza wa Jalla." (HR. Ahmad, Bukhari, abu Dawud an Nasaai)
Dalam hadist ini terdapat larangan berdoa yang bertentangan dengan yang ma’tsur, karena jelas bahwa rahmat Allah itu luas meliputi segala sesuatu dan tidak boleh seorangpun mempersempit apa saja yang Allah telah meluaskannya dan mengkhususkan dengan doa tersebut dirinya saja dan tidak mencakup saudaranya yang muslim.
Adapun sabda Nabi saw “Sesungguhnya shalat ini tidak pantas didalamnya ada perkataan manusia. Shalat hanyalah berisi tasbih, takbir, dan bacaan al qur’an”. Hadist ini menunjukkan mafhum mukhalafah (makna kebalikan) tentang larangan berbicara/ucapan dalam shalat selain tiga hal ini (tasbih, takbir, dan bacaan al quran). Akan tetapi pemahaman ini tidak berlaku karena ada nash-nash yang menggugurkannya, diantara nash-nash ini adalah apa yang telah kami paparkan sebelumnya dari hadist Rifa’ah bin wafi’ dan lainnya. Sementara kaidah ushul menyatakan:
لا يعمل بمفهوم المخالفة إذا ورد نص من الكتاب والسنة يعطله
Mafhum mukhalafah tidak berlaku jika terdapat nash baik dari al qur’an dan as sunnah yang menggugurkannya (Taqiyuddin an Nabhani, Asy Syakhshiyyah Islamiyyah 3/200)
Berdasarkan pemaparan di atas jelaslah, bahwa mengkreasikan doa qunut nazilah dalam shalat fardhu dengan (redaksi) yang tidak dicontohkan Nabi saw tetap dalam kebolehannya dengan syarat tidak bertentangan dengan doa yang ma’tsur. Wallahu a’lam.
8 Juli 2011 bertepatan dengan 6 Sya’ban 1432H
KH. Muhammad Siddiq al Jawi
Penerjemah: Wahyudi Abu Syamil Ramadhan

Tidak ada komentar: