Sabtu, 16 Juli 2011

RISALAH SYA’BAN Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang amalan khusus di malam dan hari ke-15 di bulan sya’ban. Pangkal perbedaan disebabkan perbedaan pendapat tentang absahkah penggunaan hadist lemah (dhaif) untuk perkara targhib wa tarhib (motivasi dan ancaman). Mengenai pembahasan ini ulama hadist berselisih menjadi tiga pendapat, yaitu: Pendapat pertama Hadist lemah tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah aqidah, hukum-hukum syar’i, targhib wa tarhib, fadhilah ’amal (keutamaan amal) ataupun sekedar untuk kehati-hatian. Ini adalah pendapat Imam Yahya bin Ma’in, Abu Bakr ibnul Arabi, Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm, Abu Syamah, Syaukani, Shiddiq Hasan Khan. Dan pada zaman kita sekarang syaikh Ahmad Syakir, Imam al-Albani dan lainnya. Mereka berhujjah dengan tiga alasan, yaitu: pertama, bahwa masalah fadhilah amal itu sama dengan hukum halal dan haram karena semua itu adalah bagian dari syari’at Islam. kedua, hadist hasan dan shahih sudah cukup untuk beramal dalam agama sehingga tidak perlu hadist lemah. Ketiga, Hadist lemah hanya memberi faedah persangkaan yang lemah (dzan marjuh) padahal tidak boleh berhujjah dengan persangkaan yang lemah (lihat QS. An Najm [53]: 28). Pendapat kedua Hadist lemah bisa diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah penetapan halal, haram, wajib, sunnah, dan lainnya, akan tetapi harus memenuhi tiga syarat: 1. tidak ada hadist lain serta tidak ada fatwa sahabat dalam masalah ini 2. hadist itu tidak sangat lemah, karena hadist yang sangat lemah wajib ditinggalkan 3. tidak bertentangan dengan hadist lain Pendapat ini dinukil dari Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud dan Abu Hanifah. Dalil yang mereka gunakan adalah bahwa hadist lemah itu masih ada kemungkinan benar, apalagi jika tidak ada satupun yang menentangnya. Selain itu hadist tentu lebih utama ketimbang pendapat seseorang. Pendapat ketiga Hadist lemah bisa diamalkan dalam fadhilah amal, nasihat, kisah, targhib wa tarhib dan yang semisalnya. Adapun dalam masalah aqidah, hukum halal haram, wajib, sunnah dan yang semisalnya maka tidak sah menggunakn hadist lemah. Menurut Imam an Nawawi inilah pendapat jumhur ulama (lihat al Adzkar hlm. 5) Di anatara yang berpendapat demikian ini adalah Imam Ahmad, Ibnu Ma’in Ibnu Mubarak, ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Ibnu Sayyidin Nas, al-Iraqi, as-Sakhawi, Zakariya al –Anshary, as-Syuyithi, Ali al-Qari, al Khatib al-Bagdhadi dan lainnya. Ibnu Hajar as-Qalani termasuk yang yang membolehkan berhujjah dengan hadist dhaif dengan beberapa syarat, yaitu: 1. Hadist itu lemahnya ringan, bukan yang berat. 2. Hadist tersebut harus selaras dengan keumuman sebuah hadist lain yang shahih 3. Saat mengamalkan hadist itu harus meyakini bahwa hadis itu lemah dan tidak shahih dari rasul saw. Sehingga mengamalkannya sekedar untuk kehati-hatian. Adapun dalil yang digunakan untuk menguatkan pendapat ketiga ini adalah: Dalil pertama: Dari Jabir bin Abdillahdari Rasulullah saw bersabda: ” Barang siapa yang sampai kepadanya kabar dari Allah tentang sebuah keutamaan lalu dia mengimaninya dengan mengharapkan pahalanya, maka Allah akan memberinya pahala, meskipun sebenarnya bukan demikian (diriwayatkan oleh Hasan bin Arafah1/100, al-Khatib al Baghdadi dalam tarikh al Baghdadi 8/296) Dalil kedua: Diriwayatkan dari Rasulullah saw: ”Barang siap yang sampai kepadanya kabar dari Allah tentang sebuah keutamaan, lalu ia mengambilnya maka Allah akan memberikannya, meskipun yang menceritakan hadist itu adalah seorang pendusta (Diriwayatkan olehn Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi 1/22, al Baghawi 4/1, Ibnu Asyajir dalam at-Tajrid 4/2) Inilah kiranya peta perbedaan di kalanagn ulama hadist. Adapun pembahasan keutamaan bulan sya’ban dan keutamaan shalat dan berpuasa padanya akan banyak berkutat seputar status hadist lemah ini. Berikut penjelasanya. Dalil Tentang Keutamaan Bulan Sya'ban dan Khususnya Nisfu Sya'ban Dalil-dalil yang diperselisihkan oleh para ulama tentang level keshahihannya itu antara lain adalah hadits-hadits berikut ini: "إن الله عز وجل ينزل إلى السماء الدنيا ليلة النصف من شعبان فيغفر لأكثر من شَعْرِ غَنَمِ بني كلب، وهي قبيلة فيها غنم كثير"رواه أحمد والطبراني.وقال الترمذي: إن البخاري ضعفه Sesungguhnya Allah 'Azza Wajalla turun ke langit dunia pada malam nisfu sya'ban dan mengampuni lebih banyak dari jumlah bulu pada kambing Bani Kalb (salah satu kabilah yang punya banyak kambing). (HR At-Tabarani dan Ahmad) Namun Al-Imam At-Tirmizy menyatakan bahwa riwayat ini didhaifkan oleh Al-Bukhari. Selain hadits di atas, juga ada hadits lainnya yang meski tidak sampai derajat shahih, namun oleh para ulama diterima juga. عائشة ـ رضي الله عنها ـ قام رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ من الليل فصلى فأطال السجود حتى ظننت أنه قد قُبِضَ، فَلَمَّا رفع رأسه من السجود وفرغ من صلاته قال, "يا عائشة ـ أو يا حُميراء ـ ظننت أن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ قد خَاسَ بك"؟ أي لم يعطك حقك. قلت: لا والله يا رسول الله ولكن ظننت أنك قد قبضتَ لطول سجودك، فقال, "أَتَدْرِينَ أَيُّ ليلة هذه"؟ قلت: الله ورسوله أعلم، قال "هذه ليلة النصف من شعبان، إن الله عز وجل يطلع على عباده ليلة النصف من شعبان، فيغفر للمستغفرين ، ويرحم المسترحِمِينَ، ويُؤخر أهل الحقد كما هم" رواه البيهقي Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata bahwa Rasulullah SAW bangun pada malam dan melakukan shalat serta memperlama sujud, sehingga aku menyangka beliau telah diambil. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan selesai dari shalatnya, beliau berkata, "Wahai Asiyah, (atau Wahai Humaira'), apakah kamu menyangka bahwa Rasulullah tidak memberikan hakmu kepadamu?" Aku menjawab, "Tidak ya Rasulallah, namun Aku menyangka bahwa Anda telah dipanggil Allah karena sujud Anda lama sekali." Rasulullah SAW bersabda, "Tahukah kamu malam apa ini?" Aku menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau bersabda, "Ini adalah malam nisfu sya'ban (pertengahan bulan sya'ban). Dan Allah muncul kepada hamba-hamba-Nya di malam nisfu sya'ban dan mengampuni orang yang minta ampun, mengasihi orang yang minta dikasihi, namun menunda orang yang hasud sebagaimana perilaku mereka." (HR Al-Baihaqi) Al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini lewat jalur Al-'Alaa' bin Al-Harits dan menyatakan bahwa hadits ini mursal jayyid. Hal itu karena Al-'Alaa' tidak mendengar langsung dari Aisyah ra. Ditambah lagi dengan satu hadits yang menyebutkan bahwa pada bulan Sya'ban amal-amal manusia dilaporkan ke langit. Namun hadits ini tidak secara spesifik menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada malam nisfu sya'ban. روى النسائي عن أسامة بن زيد ـ رضي الله عنهما ـ أنه سأل النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ بقوله: لم أَرَكَ تصوم من شهر من الشهور، ما تصوم من شعبان قال "ذاك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان، وهو شهر تُرفع فيه الأعمال إلى رب العالمين، وأحب أن يُرفع علمي وأنا صائم Dari Usamah bin Zaid ra bahwa beliau bertanya kepada nabi SAW, "Saya tidak melihat Anda berpuasa (sunnah) lebih banyak dari bulan Sya'ban." Beliau menjawab, "Bulan sya'ban adalah bulan yang sering dilupakan orang dan terdapat di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan itu adalah bulan diangkatnya amal-amal kepada rabbul-alamin. Aku senang bila amalku diangkat sedangkan aku dalam keadaan berpuasa." (HR An-Nasai) Dari tiga hadits di atas, kita bisa menerima sebuah gambaran para para ahli hadits memang berbeda pendapat. Dan apakah kita bisa menerima sebuah riwayat yang dhaif, juga menjadi ajang perbedaan pendapat lagi. Sebab sebagian ulama membolehkan kita menggunakan hadits dhaif (asal tidak parah), khususnya untuk masalah fadhailul a'mal, bukan masalah aqidah dan hukum halal dan haram. Anggaplah kita meminjam pendapat yang menerima hadits-hadits di atas, maka kita akan mendapati bahwa memang ada kekhususan di bulan sya'ban khususnya malam nisfu sya'ban. Di antaranya adalah Allah SWT mengampuni dosa-dosa yang minta ampun. Dan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat di malam itu dan memperlama shalatnya. Dan bahwa bulan Sya'ban adalah bulan diangkatnya amal-amal manusia. Namun semua dalil di atas belum sampai kepada bagaimana bentuk teknis untuk mengisi malam nisfu sya'ban itu. Ritual Khusus Malam Nisfu Sya'ban Yang menjadi pertanyaan, adakah anjuran untuk berkumpul di masjid-masjid membaca doa-doa khusus di malam itu? Dan sudahkah hal itu dilakukan di zaman nabi SAW? Ataukah ada ulama di masa lalu yang melakukannya di masjid-masjid sebagaimana yang sering kita saksikan sekarang ini? Anjuran untuk berkumpul di malam nisfu sya'ban memang ada, namun dari segi dalilnya, apakah terkoneksi hingga Rasulullah SAW, para ulama umumnya menilai bahwa dalil-dalil itu dhaif. Di antaranya hadits berikut ini: عن علي ـ رضي الله عنه ـ مرفوعًا ـ أي إلى النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ "إذا كانت ليلة النصف من شعبان فقوموا لَيْلَهَا وصُوموا نهارها، فإن الله تعالى ينزل فيها لغروب الشمس إلى السماء الدنيا فيقول: ألا مستغفر فأغفر له،ألا مسترزق فأرزقه، ألا مُبْلًى فأعافيه، ألا كذا ألا كذا حتى يطلع الفجر."ابن ماجة في سننه بإسناد ضعيف Dari Ali bin Abi Thalib secara marfu' bahwa Rasululah SAW bersabda, "Bila datang malam nisfu sya'ban, maka bangunlah pada malamnya dan berpuasalah siangnya. Sesungguhnya Allah SWT turun pada malam itu sejak terbenamnya matahari ke langit dunia dan berkata, "Adakah orang yang minta ampun, Aku akan mengampuninya. Adakah yang minta rizki, Aku akan memberinya riki.Adakah orang sakit, maka Aku akan menyembuhkannya, hingga terbit fajar. (HR Ibnu Majah dengan sanad yang dhaif) Sedangkan pemandangan yang seperti yang kita lihat sekarang ini di mana manusia berkumpul untuk berdzikir dan berdoa khusus di malam nisfu sya'ban di masjid-masjid, belum kita temui di zaman Rasulullah SAW maupun di zaman shahabat. Kita baru menemukannya di zaman tabi'in, satu lapis generasi setelah generasi para shahabat. Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa para tabiin di negeri Syam seperti Khalid bin Mi'dan dan Makhul telah ber-juhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nisfu sya'ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan. Namun disebutkan terdapat kisah-kisah Israiliyat dari mereka. Sehingga hal itu diingkari oleh para ulama lainnya, terutama ulama dari hijaz, seperti Atho' bin Abi Mulkiyah, termasuk para ulama Malikiyah yang mengatakan bahwa hal itu bid'ah. Al-Qasthalany kemudian meneruskan di dalam kitabnya bahwa para ulama Syam berbeda pendapat dalam bentuk teknis ibadah di malam nisfu sya'ban. 1. Bentuk Pertama Dilakukan di malam hari di masjid secara berjamaah. Ini adalah pandangan Khalid bin Mi'dan, Luqman bin 'Amir. Dianjurkan pada malam itu untuk mengenakan pakaian yang paling baik, memakai harum-haruman, memakai celak mata (kuhl), serta menghabiskan malam itu untuk beribadah di masjid. Praktek seperti ini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih dan beliau berkomentar tentang hal ini, "Amal seperti ini bukan bid'ah." Dan pendapat beliau ini dinukil oleh Harb Al-Karamani dalam kitabnya. 2. Bentuk kedua Pendapat ini didukung oleh Al-Auza'i dan para ulama Syam umumnya. Bentuknya bagi mereka cukup dikerjakan saja sendiri-sendiri di rumah atau di mana pun. Namun tidak perlu dengan pengerahan masa di masjid baik dengan doa, dzikir maupun istighfar. Mereka memandang hal itu sebagai sesuatu yang tidak dianjurkan. Jadi di pihak yang mendukung adanya ritual ibadah khusus di malam nisfu sya'ban itu pun berkembang dua pendapat lagi. Al-Imam An-Nawawi Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, seorang ahli fiqih kondang bermazhab Syafi'i yang punya banyak karya besar dan kitabnya dibaca oleh seluruh pesantren di dunia Islam (di antaranya kitab Riyadhusshalihin, arba'in an-nawawiyah, al-majmu'), punya pendapat menarik tentang ritual khusus di malam nisfu sya'ban. Beliau berkata bahwa shalat satu bentuk ritual yang bid'ah di malam itu adalah shalat 100 rakaat, hukumnya adalah bid'ah. Sama dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak dilakukan di bulan Rajab, juga shalat bid'ah. Keduanya tidak ada dalilnya dari Rasulullah SAW. Beliau mengingatkan untuk tidak terkecoh dengan dalil-dalil dan anjuran baik yang ada di dalam kitab Ihya' Ulumiddin karya Al-Ghazali, atau kitab Quut Al-Qulub karya Abu Talib Al-Makki. Ustadz 'Athiyah Shaqr Beliau adalah kepala Lajnah Fatwa di Al-Azhar Mesir di masa lalu. Dalam pendapatnya beliau mengatakan bahwa tidak mengapa bila kita melakukan shalat sunnah di malam nisfu sya'ban antara Maghrib dan Isya' demi untuk bertaqarrub kepada Allah. Karena hal itu termasuk kebaikan. Demikian juga dengan ibadah sunnah lainnya sepanjang malam itu, dengan berdoa, meminta ampun kepada Alla. Semua itu memang dianjurkan. Namun lafadz doa panjang umur dan sejenisnya, semua itu tidak ada sumbernya dari Rasulullah SAW. Dr. Yusuf al-Qaradawi Ulama yang sering dijadikan rujukan oleh para aktifis dakwah berpendapat tentang ritual di malam nasfu sya'ban bahwa tidak pernah diriwayatkan dari Nabi SAW dan para sahabat bahwa mereka berkumpul di masjid untuk menghidupkan malam nisfu Sya'ban, membaca doa tertentu dan shalat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam. Juga tidak ada riwayat untuk membaca surah Yasin, shalat dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in). Pendapat syaikh Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah Bahwa memperbanyak puasa di bulan sya’ban adalah bagian dari sunnah nabi. Baik itu diseparuh awal maupun separoh akhir bulan sya’ban. Hal ini karena banyaknya hadist yang menjelaskan keutamaan berpuasa di bulan sya’ban. Antara lain hadist dari Usamah bin Zaid di atas. Sekaligus beliau membantah pendapat yang menyatakan haramnya berpuasa di paruh kedua dari bulan sya’ban. Dari Abu Hurairah dia berkata: “telah bersabda Nabi saw: { إذا كان النصف من شعبان فلا صومَ حتى يجيء رمضان } Separuh dari bulan sya’ban maka tidak ada puasa hingga bertemu bulan ramadhan ( HR. Ibnu Majah, An Nasa’I, Abu dawud, Tarmidzi, Ibnu Hibban, Ahmad, ad Darimi). Ibnu Hazm, Tarmidzi dan Ibnu Abdil Bar menshahihkannya. Hadist ini hanya melalui satu jalur periwatatan yaitu ‘Ila bin Abduuraahman. Tentang ‘Ila bin Abduuraahman, Ibnu ma’in menggapnya lemah, demikian juga al Baihaqi, ath-Thahawi dan Abdurrahman bin Muhdi. Imam Ahmad dan Yahya bin Ma’in bahkan menyebutnya sebagai hadist yang munkar. Selain itu hadist ini juga bertentangan dengan hadist yang shahih tentang banyaknya frekuensi puasa nabi di bulan sya’ban. Hadist yang dimaksud adalah: Dari Ibunda Aisyah RA, beliau berkata: “ Rasulullah saw.berpuasa hingga kami mengatakan beliau tidak meninggalkan puasa , dan beliau tidak berpuasa hingga kami mengatakan belaiu tidak akan berpuasa. Aku tidak pernah melihat Rasuullah saw menyempurnakan puasa satu bulan penuh selain puasa ramadhan, dan aku tidak melihat beliau lebih banayk berpuasa daripada –bulan ramadhan selain- bulan sya’ban (HR Bukhari no. 1969) Dari Abu Salamah bahwa Aisyah RA menceritakan kepadanya, dia berkata: “ Nabi saw tidak pernah berpuasa (sunnah) pada bulan melebihi bulan sya’ban , bahkan beliau biasa berpuasa penuh di bulan sya’ban. Beliau bersabda: “ Kerjakanlah amal-amal apapun yang kalian mampu, sesungguhnya Allah tidak bosan hingga kalian bosan’ ……….. (HR. Bukhari no. 1970). Kesimpulan akhir Memperbanyak puasa di bulan sya’ban hukumnya sunnah, termasuk di tanggal 15 sya’ban dengan bersandar pada hadist-hadist yang shahih di atas, tanpa mengkhususkan puasa di tanggal 15 Sya’ban. Wallahu ’alam Banjarmasin, 21 Agustus 2008 Al Faqir ilaLLAH Wahyudi Ibnu Yusuf

Tidak ada komentar: