Kamis, 14 Oktober 2010

soal jawab


Jawaban atas pertanyaan akh Faisal di BJM
1.     Apa hukum berdiri sendiri di belakang shaf yang sudah penuh…apa benar tidak sah?
2.     Apakah wawancara kerja yang dilakukan cuma berdua dengan antara  manajer dengan lawan jenis (calon karyawan/wati) terkategori khalwat?
3.     Apa hukum akhwat naik taksi argo yang sopirnya laki-laki?
4.     Tentang ijab qabul apakah sah dengan redaksi “tukar-jual”?
5.     Apa hukum kebiasaan di daerah kita dimana kita makan dulu, setelah makan baru kemudian berakad bayar?
6.     Apa hukum jual pulsa, pulsanya belum masuk tapi uangnya sudah dibayarkan?
7.     Apa hukum jual beli barang yang dibayar diawal sedang barangnya kemudian? Bagaimana redaksi akadnya?  

jawaban
Sebelumnya kami sampaikan bahwa jawaban ini baru sekedar kitab yang pernah saya baca tanpa sempat membandingkan dengan kitab-kitab lain. Bahkan pada sebagian jawaban saya taklid terhadap penulis kitab tersebut dan belum sempat mencarikan landasan dalilnya secara langsung.
1.     Jika shaf telah penuh maka boleh seseorang shalat sendirian tanpa harus menarik makmum yang ada didepannya. Alasannya adalah bahwa hadist-hadist yang memerintahkan mushalli yang sendirin untuk menarik seseorang dari shaf di depannya adalah dhaif atau kacau, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Sehingga ringkasnya, seorang mushalli yang shalat sendirin dan tidak mendapatkan celah dari shaf didepannya maka dimaafkan dan tidak berdosa serta shalatnya sah (Syaikh Mahmud ‘Abdul Lathif Uwaidhah dalam al jami’ li ahkami ash shalah 2/497).
Diantaranya adalah hadist berikut
 عَنْ وَابِصَةَ قَالَ : رَأَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً صَلَّى خَلْفَ الصُّفُوفِ وَحْدَهُ. فَقَالَ :« أَيُّهَا الْمُصَلِّى وَحْدَهُ أَلاَ وَصَلْتَ إِلَى الصَّفِّ أَوْ جَرَرْتَ إِلَيْكَ رَجُلاً فَقَامَ مَعَكَ أَعِدِ الصَّلاَةَ
Dari Wabishah, beliau berkata. Rasulullah saw. meyaksikan seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf-shaf. Kemudian beliau bersabda: wahai orang yang shalat sendirian, hendaklah engkau shalat dalam shaf atau engkau  tarik seseorang padamu (menemani) dan shalat bersamamu, maka ulangilah shalatmu. (HR. al Baihaqi no. 5416 dan Ath Thabrani)

Berkenaan dengan hadist ini Imam al Baihaqi berkomentar:

تَفَرَّدَ بِهِ السَّرِىُّ بْنُ إِسْمَاعِيلَ وَهُوَ ضَعِيف
As sarriyu bin Ismail menyendiri (dalam meriwayatkan hadist ini) dan hadist ini dhaif (sunan al Baihaqi 2/452)

Demikian pula riwayat dari Ibnu Abbas ra bahwa nabi bersabda:
إذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إلَى الصَّفِّ وَقَدْ تَمَّ فَلْيَجْذِبْ إلَيْهِ رَجُلًا يُقِيمُهُ إلَى جَنْبِهِ
Jika telah telah salah seorang diantara kalian tercegah untuk memasuki shaf karena shaf tersebut telah penuh maka hendaklah dia menarik seorang jama’ah untuk menemaninya shalat bersamanya (HR Thabrani).

Mengenai hadist ini Imam ash shan’ani mengutip pendapat pengarang kitab majma’ alzawaaid yang menyatakan dalam hadist ini terdapat as sariyu bin Ibrahim dan dia dhaif jiddan. (Imam ash shan’ani dalam Subulus salam 2/350)

Selain itu Ulama berbeda pendapat tentang hukum menarik jama’ah pada shaf yang telah penuh. Imam Syafi’ie, ‘atha dan Ibrahim an Nakha’I membolehkannya. Sedangkan mazhab Malik bin anas, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin rahuyah dan al auza’I mengharamkannya. (Syaikh Mahmud ‘Abdul Lathif Uwaidhah dalam al jami’ li ahkami ash shalah 2/497).
Kami lebih cenderung pada pendapat yang mengharamkannya berdasarkan dalil-dalil berikut.  Dari Ibnu ‘Umar bahwa nabi saw bersabda:
وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ
Barang siapa yang menyambung shaf maka Allah akan menyambungnya dan siapa yang memotong/memutuskannya shaf maka Allah akan memotong/memutusnya (HR Abu Dawud no. 666, an nasai, Ibnu Khuzaimah, dan al Hakim)
Sedangkan jika shaf belum penuh, sedangkan seseorang menyendiri di belakang shaf maka shalatnya tidak sah dan harus mengulang shalatnya, berdasarkan banyak hadist, diantaranya:
Dari wabishah bin Ma’bad:
أَنَّ رَجُلاً صَلَّى خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُعِيدَ الصَّلاَةَ
Bahwa seorang laki-laki shalat di belakang shaf sendirian, lalu rasul saw memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya (HR Tirmidzi no. 666, Ibnu Majah dan Ahmad)

2.     Seorang laki-laki tidak boleh berduaan dengan wanita yang bukan mahromnya di tempat khusus, meskipun hanya berkumpul (tanpa interaksi dan komunikasi), kecuali wanita tersebut disertai dengan mahromnya. Hal ini berdasarkan Hadist:
لا يخلونَّ رجل بامرأة إلا مع ذي محرم" أخرجه البخاري
Artinya: janganlah seoranga laki-laki berkhalwat dengan perempuan kecuali perempuan tersebut disertai mahramnya (Hr Bukhari)


Sedangkan jika terjadi interaksi antara laki-laki dan wanita di tempat umum maka perlu ditinjau jenis interaksi dan kondisinya. Jika jenis interaksinya adalah yang haram maka interaksi tersebut adalah interaksi yang haram. Jika interaksinya termasuk yang boleh seperti jual beli, maka hukumnya boleh. Sedangkan kondisi yang dimaksud adalah jika terlihat interaksinya sedemikian “intim” sehingga menyebabkan orang lain tidak dapat “nimbrum” di dalamnya maka hal ini termasuk khalwat yang diharamkan. Hal ini sesuai dengan definisi khalwat tersebut, yaitu:
الخلوة هي أن يجتمع الرجل والمرأة في مكان لا يمكِّن أحداً من الدخول عليهما إلا بإذنهما، كاجتماعهما في بيت، أو في خلاء بعيد عن الطريق والناس

khalwat adalah berkumpulnya seorang laki-laki dan seorang wanita disuatu tempat yang tidak memberikan kemungkinan seorangpun untuk masuk tempat itu kecuali dengan idzin kedua orang tadi, seperti misalnya berkumpul di rumah, atau tempat yang sunyi yang jauh dari jalan dan orang-orang.

Berkenaan dengan pertanyaan antum maka perlu didefinisikan dulu kategori tempatnya, jenis interaksinya, dan kondisinya.

3.     Hukum naik taksi  argo, hukumnya boleh karena taksi termasuk tempat umum (karena siapapun boleh masuk tanpa ijin khusus) dan jenis interaksinya boleh yaitu ijarah atas jasa transportasi.

4.     Redaksi akad adalah ungkapan timbal balik yang menunjukan kesepakatan dua pihak. Dengan kata lain, redaksi akad adalah  redaksi tekstual yang mengungkapkan keinginan kedua pihak yang berakad dalam melangsungkan akad. Redaksi akad inilah yang disebut ijab-qabul. (Bisnis Islami dan Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalis oleh Syaikh Yusuf as Sabatin hal. 38 ).
Secara lebih spesifik Syaikh Taqiyuddin an Nabhani menyatakan:
ويُشترط في البيع وجود الإيجاب والقبول بلفظ يدل على كل واحد منهما أو ما يقوم مقام اللفظ كإشارة الأخرس. والكتابة تعتبر من اللفظ
Disyaratkan dalam jual beli terwujudnya ijab dan qabul dengan redaksi yang menunjukan kesepakatan keduanya atau apapun yang setara dengan redaksi tersebut seperti isyarat bagi orang bisu dan tulisan yang dianggap (diakui) sebagai redaksi (lafadz).
Inilah definisi redaksi akad (shighah aqad). Definisi syar’ir termasuk dalam hukum syar’ie yang kulli (hukum syar’I yang dapat dijadikan landasan untuk menghukumi persoalan-persoalan cabang) (syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Ma’lumat li asy-syabab hal. 1).
Maka jika kita memcermati redaksi “tukar-jual”. Dapat kita simpulkan bahwa ini terkategori redaksi akad yang dapat difahami oleh kedua pihak dan bentuknya lampau (madhi). Kesimpulannya sah jual beli yang diakadkan dengan redaksi “tukar-jual”.
5.     Makan dulu lalu bayar hukum jual belinya sah. Jika hal tersebut dilakukan dengan saling ridha. Sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
Jual beli itu tidak lain hanya dengan sama-sama ridha (HR Ibnu Majah no. 2269 dari Abu Said al Khudri)

Selain itu kebiasaan ini adalah urf (adat) yang tidak bertentang dengan syariat. Dimana pada akad tetap terjadi, meski setelah mendapatkan manfaat dari barang yang dijual. Bahkan pada perkara yang kecil boleh tidak ditentukan redaksi akad tertentu. Syaikh Yusuf as sabatin menyatakan:
ففي الاشياء الصغيرة لا يشترط صيغة معينة والعرف هو الذي يحددها
Maka pada Sesuatu yang kecil maka tidak disyaratkan redaksi tertentu dan ‘urflah yang menentukannya (al buyu’ a; qadimah al mu’ashirah walburshat al mahaiyah wa ad duwaliyah hal. 42).

6.     Untuk pertanyaan 6 dan 7. Jual beli yang demikian termasuk dalam jual beli inden (bai’u as salam). Jual beli salam hukumnya boleh berdasarkan hadist Nabi:
من أسلم فليسلم في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم أخرجه الستة
Siapa saja yang melakukan salam (pesanan) hendaklah dalam takaran dan timbangan yang jelas hingga tempo yang jelas (HR Jama’ah/6 Imam)
Dan Hadist nabi:

من اسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم الى اجل معلوم
Siapa saja yang melakukan salam (pesanan) hendaklah dalam takaran dan timbangan yang jelas hingga tempo yang jelas (Hr. Bukhari dan muslim).
Berdasarkan dua hadist diatas barang yang dibolehkan disalam adalah barang yang dapat ditakar dan ditimbang dengan jelas serta dalam batas tempo waktu yang jelas. Apakah pulsa termasuk barang yang dapat ditakar dan ditimbang? Jawabnya jelas tidak. Namun menurut kami pulsa termasuk barang yang dapat dihitung. Sedangkan salam pada barang yang dapat dihitung hukumnya boleh berdasarkan ijma’shahabat. Ibnu Aufa ra berkata:
إِنَّا كُنَّا نُسْلِفُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ عَلَيْهِ السَّلاَم وَأَبِى بَكْرٍ، وَعُمَرَ فِى الْحِنْطَةِ، وَالشَّعِيرِ، وَالزَّبِيبِ، وَالتَّمْرِ
Sesungguhnya kami melakukan salaf pada masa Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar pada komoditi gandum, jewawut, kismis dan kurma. (HR. Bukhari dalam Syarah Ibnu Bathal 11/382).
Syaikh Yusuf Sabatin menyatakan:
فهذا يدل على ان السلم في الطعام جائز ، والطعام لا يخلو من كونه مكيلا او موزونا او معدودا
Hadist ini menunjukan bahwa salam pada komoditi makanan hukumnya boleh. Padahal makanan termasuk komoditi yang ditakar, ditimbang atau dihitung. (al buyu’ al qadimah al mu’ashirah wal burshat al mahaiyah wa ad duwaliyah hal. 53).
Perlu kami tambahkan tentang syarat salam
a.     Pada barang yang dipesan disyaratkan 1) harus terdeskripsi dengan spesifik, 2) dapat ditakar, ditimbang atau dihitung, 3) batas waktu penyerahan barang harus jelas misalnya satu hari, satu minggu dst
b.     Pada harga yang dibayar, disyaratkan: 1) harga harus jelas, 2) pembayaran harus kontan dimajelis akad, 3) tidak ada ghadbun fahsyi (mark up harga secara tidak wajar).
Maka agar akad pembelian pulsa tersebut termasuk salam, maka harus ditetapkan misalnya “maksimal 24 jam pulsa akan masuk, jika tidak maka uang bisa ditarik kembali”.
Wallahu ‘alam bi shawab

Yogyakarta, 13 Oktober 2010
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan









Tidak ada komentar: