Rabu, 21 April 2010

Fakta MLM HPA

ass. karena banyaknya pertanyaan yang masuk kepada kami tentang hukum MLM HPA. maka kami minta bantuan kepada teman2 yang pernah bersentuhan langsung, yang pernah ditawari bahkan kalau perlu top leader MLM HPA dimanapun antum berada untuk dapat memberikan fakta tentang MLM HPA. sebagai panduan maka kami mengajukan 4 pertanyaan kritis berikut ini:
pertama, Apakah terjadi mark up harga yang tidak lazim berdasarkan harga pasar pada umumnya (ghabn fâhisy)?. T

Kedua, Apakah pembelian produk menjadi syarat dicairkan/mendapatkan bonus perekrutan down line? dan apakah pembelian produk menjadi syarat diterimanya seseorang sebagai member?

3. Ketiga, Misalkan A up line merekrut B. kemudian A mendapat bonus maka ini boleh. Selanjutnya B merekrut C. kemudian A mendapat bonus karena B merekrut C, maka bonus ini haram karena termasuk samsarah ‘ala samsarah. Apakah fakta ini terjadi pada HPA?

4. Keempat, Berkaitan dengan point 3, apakah bonusnya bersifat mengikat (ada aturan khusus)?
syukron
Yogyakarta, 22 April 2010
Wahyudi


P

Hukum Membujang

KOREKSI JAWABAN HUKUM MEMBUJANG UNTUK DAKWAH Pada tanggal 20 April 2010 saya pernah menjawab pertanyaan seputar hokum membujang untuk berdakwah, selengkapnya tulisan saya tersebut adalah sebagai berikut: Assalamu ‘alaikum. Bolehkah membujang dengan alasan untuk membaktikan sepenuhnya hidup untuk dakwah (085753124xxx) Membujang (tabattul) hukumnya makruh. Berdasarkan hadist dari Qatâdah yang menuturkan riwayat dari al-Hasan, yang bersumber dari Samurah: أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ التَّبَتُّلِ “Bahwa Nabi SAW telah melarang hidup membujang.” (HR Ahmad no. 19329) Tabattul maknanya adalah memutuskan untuk tidak menikah (memutuskan untuk terus membujang) dan menjauhkan diri dari kenikmatan pernikahan, semata-mata untuk focus beribadah saja.(Sistem Pergaulan dalam Islam hal. 176, Faidhul qadhir 6/393) Selain itu terdapat hadist dari Abu Yahya, Nabi bersada: من كان موسرا لان ينكح فلم ينكح فليس منا Artinya: siapa saja yang diberikan kemudahan (muusir) untuk menikah tapi dia tidak menikah maka di tidak termasuk golongan kami (HR. Baihaqi 7/78, al mu’jam al kabiir 22/366, al mua’jam al aushath 1/538) Dalam hadist di atas memang terdapat kecaman “tidak termasuk golongan kami” dan bagi orang yang mampu namun tidak menikah. Namun kecaman ini tidak bersifat tegas (ghairu jazm) karena terdapat indikasi (qarinah) bahwa Nabi saw mendiamkan sebagain sahabat yang mampu namun tidak menikah. Maka dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa hokum membujang bagi orang yang mampu adalah makruh, tidak haram.(Taisirul wushuli ilal ushul hal. 18) Ukuran mampu adalah kelonggaran ekonomi. Imam al baihaqi pada saat mensyarah hadist diatas menyatakan bahwa yang dimaksuh muusir adalah kaya dan memiliki kelonggaran harta (Syu’abul iman lil baihaqi 11/461, Ma’rifatu ash shahabah li Abi Nai’im 21/120). Dari hadist ini juga dapat ditarik pemahaman sebaliknya (mafhum mukhalafah) bahwa bagi orang yang tidak memiliki kesiapan ekonomi (harta) maka baginya tidaklah makruh untuk membujang/tidak menikah. Karena pada hadist ini terdapat mafhun syarat berupa huruf syarat “man” barang siapa. Padahal mafhum syarat adalah salah satu bentuk mafhum mukhalafah (al wadhih fi ushulil fiqh hal. 303) Dalam kontek inilah Nabi mensyaratkan mampu untuk dapat menikah sekaligus memberikan solusi praktis apabila tidak mampu menikah yaitu dengan berpuasa. Nabi saw bersabda: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ Artinya: Wahai para pemuda siapasaja yang mampu dari kalian maka menikahlah dan jika tidak mampu (hendaklah) baginya berpuasa, karena puasa baginya adalah perisai (Hr. Bukhari no. 4677 dan Muslim no. 2486) Atas dasar ini maka dakwah tidaklah dapat menjadi alasan mubahnya untuk membujang. Maka apabila seseorang pengemban dakwah yang mampu secara ekonomi namun tidak menikah maka dia telah melakukan kemakruhan. Sedangkan apabila memang dia tidak mampu untuk menikah maka mubah baginya untuk membujang. Namun yang perlu diingat bahwa seseorang harus yakin bahwa Allah SWTlah yang Maha mengatur rizki. Bahkan Allah SWT berfirman: وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS. An Nur [24]: 32) Dan dari Abû Hurayrah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: ثلاثة حق على الله أن يعينهم : المكاتب الذي يريد الأداء ، والمجاهد في سبيل الله ، والناكح يريد أن يستعف “Ada tiga golongan orang yang wajib bagi Allah untuk menolong mereka: mukâtab (budak yang mempunyai perjanjian dengan tuannya untuk menebus dirinya sehingga merdeka) yang ingin membayar tebusan dirinya, seorang mujahid (yang sedang berperang) di jalan Allah; orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan; dan (HR al-Hâkim dan Ibn Hibbân) Yogyakarta, 20 April 2010 Abu Syamil Ramadhan (081251188553) Pada kesempatan ini kami ingin mengoreksi jawaban tersebut. Sebagaimana telah kami sampaikan bahwa definisi tabattul atau membujang adalah: معنى التبتل الانقطاع عن النكاح وما يتبعه من الملاذ إلى العبادة Tabattul maknanya adalah memutuskan untuk tidak menikah (memutuskan untuk terus membujang) dan menjauhkan diri dari kenikmatan pernikahan, semata-mata untuk focus beribadah saja.(Sistem Pergaulan dalam Islam hal. 176, Faidhul qadhir 6/393, Nailul Authar 6/488) Berdasarkan definisi ini yang diharamkan dalam tabattul sebagaimana banyak ditegaskan dalam hadist Nabi adalah membujang untuk alasan menjalani dan mendapatkan kenikmatan ibadah. Tabattul seperti ini adalah tabattul yang dijalani para rahib yahudi dan pendeta Nasrani serta diikuti oleh para sufi yang mengklaim bahwa dengan tabattul mereka akan lebih dekat kepada Allah SWT. Menurut mereka mengekang kenikmatan-kemikmatan jasadiyah adalah cara untuk makrifat dan dapat bertemu dengan ruhul ‘ala (ruh yang tertinggi) (Lihat terjemahan kitab nasyul hadratil Islam karya Ustadz Ahmad al Qashash hal. 296) . Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang keliru karena Islam tidak pernah melarang umatnya untuk merasakan kenikmatan dunia asalnya tetap terikat dengan perintah dan larangan Islam. Bahkan nabi menyatakan: “dan dalam kemaluan salah seorang di antara kalian terdapat sedekah. Para sahabat kemudian bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana seorang diantara kami memuaskan syahwatnya sementara malah ia mendapat pahala?” Rasul saw menjawab: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ Bagiamana pendapat kalian, jika ia memuaskannya dalam perkara yang haram; apakah ia akan terkena dosa? Demikian pula, ketika ia memuaskannya dalam perkara yang halal, maka ia akan mendapat pahala (HR Muslim j. 2/697, kitab zakat, no hadist 1.006) Atas dasar inilah maka membujang dengan alasan semata untuk mendapatkan kenikmatan ibadah hukumnya haram. Sedangkan dakwah adalah salah satu bentuk ibadah, maka haram hokumnya membujang dengan alasan untuk membaktikan hidup untuk dakwah. Adapun mengenai pendapat Syaikh Atho’ Ibnu Khalil yang menyatakan membujang hukumnya makruh (Lihat Taisirul wushuli ilal ushul hal. 18) harus diartikan makruh jika membujang dengan alasan selain alasan untuk mendapatkan kenikmatan ibadah. Wallahu ‘alam bi showab Yogyakarta, 13 April 2011 Abu Syamil Ramadhan (081251188553) n>

Sabtu, 17 April 2010

Hukum Bermain Catur

Hukum Bermain Catur
Bermain catur (اللّعب بالشّطرنج) hukumnya haram apabila tercampur dengan yang haram seperti taruhan/judi, ada unsur kebohongan ataupun menghantarkan pada dharar seperti permusuhan dsb. Termasuk yang menyebabkan keharamannya adalah apabila melalaikan dari melaksanakan yang wajib seperti melalaikan shalat. Pendapat seperti ini telah menjadi kesepakatan para ulama (Al mausu’ah al fiqhiyah juz 2 hal 12946, halal haram dalam Islam hal.375, fiqhul islam wa adillatuhu 4/212)


Hal ini dapat difahami karena terdapat kaidah ushul fikih yang menyatakan: al washilah ila haram fahuwa haramun (sarana yang menghantarkan pada keharam maka sarana tersebut hukumnya haram). Selain itu juga terdapat kaidah fikih yang menyatakan: idza ijtma’a al halal wal haram faghulib al haram (jika terkumpul antara yang halal dengan yang haram maka yang dimenangkan adalah yang haram) (Abdul karim Zaidan, 100 kaidah fikih)
Bagaimana hokum bermain catur apabila tidak tercampur dengan yang haram dan tidak melalaikan dari kewajiban?
Dalam hal ini ada tiga pendapat antara mubah, makruh dan haram. (Al mausu’ah al fiqhiyah juz 2 hal 12946, halal haram dalam Islam hal.374)
Mazdhab Maliki, Hanafi dan sebagian Ulama Syafi’iyyah menyatakan haram secara mutlak. Semikian pula sebagian sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, Sa’id bin Musayyab dll. Mereka radhiyallhu ‘anhum berdalil dengan satu atsar dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya beliau berjalan melewati sekelompok orang yang sedang bermain catur. Kemudian beliau menegur dengan menyatakan:
ما هذه التّماثيل الّتي أنتم لها عاكفون ؟ لأن يمسّ جمراً حتّى يطفى خير من أن يمسّها
Bukankah patung ini (catur) yang kalian dilarang (memainkanya). Karena menyentuh kerikil hingga tawaf adalah lebih baik dari menyentuhnya.
Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau menjadi wali harta anak yatim kemudian beliau menemukan catur maka beliau membakarnya.
Dalil lain pengharaman catur adalah diqiyas pada keharaman dadu. Padahal catur lebih menyibukan fikiran dari pada dadu dan dapat melalaikan dari mengingat Allah. (Al mausu’ah al fiqhiyah juz 2 hal 12946)
Sedangkan madzab hanafi, Syafi’I dan sebagian ulama malikyyah menyatakan bahwa hukumnya makruh. Dalilnya adalah hadist dari Jabir bin Amir dari nabi saw, beliau bersabda:
كل شيءٍ ليس من ذكر اللّه عزّ وجلّ فهو لهوٌ أو سهوٌ إلا أربع خصالٍ : مشي الرّجل بين الغرضين ، وتأديبه فرسه ، وملاعبة أهله ، وتعلم السّباحة
Segala sesuatu yang bukan terkategori mengingat Allah maka ia adalah hiburan atau melenakan kecuali empat kebiasaan: laki-laki yang berjalan antara dua tujuan, menunggang kuda, bersendagurau dengan keluarganya, dan belajar berenang.
Dan hadist dari uqbah bin Amir, Nabi saw bersabda:
ليس من اللّهو ثلاثة : تأديب الرّجل فرسه ، وملاعبته زوجه ، ورميه بنبله عن قوسه
Tidak termasuk dalam lahwun (hiburan yang dilarang) pada tiga hal: laki-laki yang belajar menunggang kuda, bercumburayu dengan dengan istri dan memanah.

Sedangkan pendapat ketiga menyatakan mubah. Ini adalah pendapat Abu Yusuf dan sebagian ulama madzhab Syafi’I dan Maliki. Hal ini juga merupakan pendapat dari Syaikh Yusuf al Qardhawi al ustadz Dr. Wahbah az Zuhaili. Alasannya adalah kaidah:
الأصل الإباحة ولم يرد بتحريمه نص ولا هو في معنى المنصوص عليه
Hokum asal (benda) adalah mubah sebelum ada dalil yang mengharamkannya
Kaidah ini serupa dengan kaidah:
الأصل في الأشياء الإباحة ما لم يرد دليل التحريم
Hokum asal benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkan
Menurut kami pendapat yang rajih adalah yang menyatakan mubah. Karena beberapa alasan:
1. Pendapat sahabat selama tidak menjadi ijma (konsensus) sahabat maka statusnya bukanlah dalil tapi pendapat pribadi sahabat. Sehingga berdalil dengan pendapat Imam Ali ataupun Ibnu Abbas tidaklah tepat karena pendapat keduanya bukanlah dalil.
2. Tentang pendapat menyatakan makruh maka hadist-hadist diatas tidaklah menunjukan pelarangan yang lainnya. Hal ini dapat difahami apabila kita mengumpulkan dua hadist diatas. Hadist pentama menyatakan: Segala sesuatu yang bukan terkategori mengingat Allah maka ia adalah hiburan atau melenakan kecuali empat kebiasaan: laki-laki yang berjalan antara dua tujuan, menunggang kuda, bersendagurau dengan keluarganya, dan belajar berenang). Tapi nyatanya dalam hadist yang lain menyatakan anjuran untuk belajar memanah. Padahal memanah tidak termasuk dalam empat hal yang disebutkan dalam hadist diatas.
3. Bermain catur tidak bisa diqiyas pada bermain dadu. Karena dua hal: dadu lebih dekat pada al azlam (mengundi nasib) dan dalam permaian catur terdapat pelajaran tentang taktik perang hal ini serupa dengan memanah dan menunggang kuda (Al mausu’ah al fiqhiyah juz 2 hal 12946, halal dan haram dalam islam oleh Syaikh Yusuf al Qardhawi hal. 375)
Kalau ada yang mengatakan. Bukankah dalam catur ada unsur hadharahnya yaitu bentuk salib pada makkota raja. Maka menurut kami bentuk mahkota raja bukanlah bentuk salib karena apabila itu bentuk salib tentulah para sahabat dan ulama mengharamkannya secara mutlak dengan alasan adanya unsur kukufuran. Sebagaimana nabi saw melarang sahabat Adi bin Hatim yang berkata:
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ يَا عَدِيُّ اطْرَحْ عَنْكَ هَذَا الْوَثَنَ
Aku pernah datang kepada Nabi saw., sementara di leherku bergantung salib yang terbuat dari emas. Nabi saw. Lalu bersabda, “Wahai Adi, campakkan berhala itu dari tubuhmu!” (Sunan at Tirmidzi 10/361).
Tapi kenyataannya tidak satupun ulama yang menyatakan haram atau makruh beralasan bahwa haram atau makruhnya karena ada unsure kekufuran yaitu salib. Hal ini menunjukan bahwa bentuk mahkota raja bukanlah salib tapu tanda kros (tambah) biasa.

Yogyakarta, 17 April 2010
Al Faqir ilaLLAH Wahyudi Abu Syamil Ramadhan











Sabtu, 10 April 2010

hukum bermain kartu Yu-Gi-Oh

Apa hukum bermain kartu Yu-Gi-Oh? (Robby)
Jawab:
Sekilas Fakta Yu-Gi-Oh
Yu-Gi-Oh! adalah sebuah manga karya Kazuki Takahashi yang muncul sejak tahun 1996, yang menceritakan sebuah petualangan seorang anak lelaki penyendiri yang jago dalam sebuah game bernama Yugi Mutou. Suatu hari ia diberi hadiah oleh kakeknya sebuah kotak yang berisi kepingan-kepingan Puzzle kuno, yang disebut Millenium Puzzle.

Setelah bertahun tahun kemudian Yugi berhasil menyusunnya dan roh yang berada di dalam permainan itu berhasil keluar dari kartu dan merasuki tubuh Yugi. Ini menyebabkan Yugi punya “pendamping” dan mengubah anak tersebut menjadi pribadi yang baru yang disebut Yami Yugi, atau The Dark Yugi.
Setiap pemain Yu-Gi-Oh! akan memburu Kartu Dewa (Divines Cards) yang jumlahnya bervariasi. Wikipedia menyebut jumlah nama dalam kartu dewa ada delapan yakni:
Sky God Dragon - Osiris (juga dikenal dengan nama Sliffer The Sky Dragon)
The God of Obelisk (disebut juga Obelisk The Tormentor)
The Winged Dragon of Ra
The Creator God of Light, Horakhty (Merupakan fusion dari Ra, Obelisk, dan Osiris)
The Devils Dread Roots (Yu-Gi-Oh!R)
The Devils Avatar (Yu-Gi-Oh!R)
The Devils Eraser (Yu-Gi-Oh!R)
Zorc Necrophades
Dalam Yu-Gi-Oh!, terdapat satu kartu yang berisi sebuah simbol yang mungkin paling populer bagi kita semua, yakni simbol Pentagram atau Bintang David. Kartu ni termasuk dalam kelompok Spell Card, dengan nama Master Ritual, atau Ritual Tertinggi. Dalam ritual Kabbalah, simbol Pentagram ini memang merupakan syarat utama dan simbol paling suci. Bukan tanpa alasan jika Zionis Yahudi menggunakan simbol ini sebagai simbol gerakannya.
Mengapa permainan Yu-Gi-Oh! yang sarat dengan simbol-simbol ritual Mesir Kuno Kabbalah (dan kemudian diadopsi oleh Bani Israel sebagai ritual keagamaannya) bisa muncul dari tanah Jepang? Bukankah orang Jepang memiliki kepercayaannya sendiri yang diberi nama Shintoisme dan orang-orang Israel juga memiliki kepercayaannya sendiri yang dinamakan Agama Yahudi dengan kitab Talmudnya? Mengapa keduanya bisa bertemu dalam Yu-Gi-Oh! Game?
Pertanyaan ini menemukan sebuah jawaban menarik dari dua peneliti sejarah Jepang-Yahudi yakni Pendeta Arimasa Kubo dan Joseph Eidelberg. Kedua bangsa yang sepertinya beda, Jepang dan Yahudi, ternyata memiliki banyak kesamaan dalam tradisi kunonya, bahkan diyakini masih satu hubungan darah.
Arimasa Kubo melakukan penelitian mendalam atas tradisi asli bangsa Jepang dan Yahudi. Dia menemukan banyak kemiripan antara keduanya hingga meyakini jika leluhur bangsa Jepang sebenarnya masih berdarah Yahudi dari suku yang hilang. Hasil penelitiannya ini dituangkan dalam banyak artikel dan buku. Salah satunya buku berjudul “Israelites Came o Ancient Japan”.
Sedangkan Joseph Eidelberg yang merupakan peneliti berdarah Yahudi yang menulis buku “The Biblical Hebrew Origin of the Japanese People”. (eramuslim.com)

Hukum Syara bermain kartu Yu-Gi-Oh
Setelah mengkaji fakta diatas maka dapat disimpulkan bahwa permainan kartu Yu-gi-oh bukanlah permainan yang bebas nilai. Didalamnya memuat keyakinan bangsa tertentu dalam hal ini bangsa yahudi. Bisa jadi permainan ini adalah alat penjajahan yang mereka gunakan untuk melenakan umat Islam sekaligus menanamkan doktrin mereka pada umat Islam. Atas dasar ini maka dapat disimpulkan bahwa bermain kartu ini hukumnya haram berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
Pertama, Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan hadis dari jalan Adi bin Hatim yang berkata:
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ يَا عَدِيُّ اطْرَحْ عَنْكَ هَذَا الْوَثَنَ
Aku pernah datang kepada Nabi saw., sementara di leherku bergantung salib yang terbuat dari emas. Nabi saw. Lalu bersabda, “Wahai Adi, campakkan berhala itu dari tubuhmu!” (Sunan at Tirmidzi 10/361).

Hadist ini menunjukan bahwa setiap benda yang mengandung hadharah kufur wajib untuk dijauhkan atau dicampakan. Maka menggunakan permaianan yang ada unsur hadharah kufurnya haram hukumnya.
Kedua, menggunakan permainan tersebut berarti telah membantu penyebarluasan kekufuran. Padahal Allah SWT berfirman:
ولا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
"dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS Al-Maidah [5] : 2)
Ayat ini telah melarang perbuatan tolong-menolong (at-ta'awun) dalam dosa (al-itsm), yaitu maksiat (al-ma'ashiy) atau kekufuran (al-kufr) (Tafsir Al-Baghawi, 2/9). Maka memainkan permainan yang mengandung unsur hadharah (peradaban) kufur jelas tidak dibolehkan, karena termasuk perbuatan tolong-menolong dalam kekufuran.
Termasuk yang diharamkan dalam hal ini adalah memperjual-belikan permaian ini. Karena jual-beli dari permainan yang mengandung keharaman untuk mengunakan adalah sarana yang menghantarkan pada keharaman. Maka dalam hal ini berlaku kaidah al washilah ilal haram fahuwa haramun (sarana apa saja yang menghantarkan pada keharaman maka hukum sarana tersebut haram). Selain itu terdapat kaidah khusus yang menjelaskan haramnya memperjualbelikan sesuatu yang diharamkan.
كل ما حُرّم على العباد فبيعه حرام
Artinya: setiap yang diharamkan atas hamba maka memperjualbelikannya hukumnya haram (syakhshiyyah Islamiyah II/288)
Wallahu a’lam
Yogyakarta, 9 April 2010
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan

Senin, 05 April 2010

Bid’ahkah berzikir dengan biji tasbih?

Bid’ahkah berzikir dengan biji tasbih? (Rendy, Banjarmasin)

Jawab
Memang benar bahwa Nabi saw memerintahkan berzikir dengan menggunakan jari. Sebagaimana perintah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada para istri dan kaum wanita dari kalangan sahabatnya.

Beliau bersabda:


وَاعْقُدَنَّ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلَاتٌ وَمُسْتَنْطَقَاتٌ.

“Hitunglah (dzikir) itu dengan ruas-ruas jari karena sesungguhnya (ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan akan dijadikan dapat berbicara (pada hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud: 1345, dishohihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi, dihasankan oleh an-Nawawi dan al-Hafizh, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/186)


Makna الأَنَامِلُ Qotadah berkata bahwa maksudnya adalah ujung-ujung jari. Sedangkan Ibnu Mas’ud, as-Suddiy, dan Robi’ bin Anas berkata, الأَنَامِلُ adalah jari-jemari itu sendiri (Tafsir al-Qur‘anil Azhim kar. Ibnu Katsir 2/108).

Demikian pula riwayat berikut ini:

بِيَمِيْنِهِ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ.عُمَرَ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ
Dari Abdullah bin Umar Radhiallahu’anhu, dia berkata: “Saya melihat Rasulullah bertasbih dengan (jari-jari) tangan kanannya.”
[304] HR. Abu Dawud (2/81), At-Tirmidzi (5/521), dan lihat Shahihul Jami’ (4/271, no. 4865).

Namun, tidak berarti bahwa menggunakan tasbih (alat bantu berdzikir) adalah perkara yang bid’ah. Karena terdapat hadist yang menunjukan taqrir (persetujuan) Nabi terhadap penggunaan alat yang lain selain jari. Sebagaimana disebutkan dalam hadist berikut:

عن صفية رضي الله عنها قالت : دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين يدي أربعة آلاف نواة أسبح بهن ، فقال : « يا بنت حيي ما هذا ؟ » قلت : أسبح بهن ، قال : « قد سبحت منذ قمت على رأسك أكثر من هذا » قلت : علمني يا رسول الله ، قال : « قولي سبحان الله عدد ما خلق من شيء » . « هذا حديث صحيح الإسناد ولم يخرجاه . وله شاهد من حديث المصريين بإسناد أصح من هذا »

Artinya: Dari Shofiyyah yang mengatakan: “Bahwa pada suatu saat Rasulullah saw. datang kerumahnya. Beliau melihat empat ribu butir biji kurma yang biasa digunakan oleh Shofiyyah untuk menghitung dzikir. Beliau saw. bertanya; ‘Hai binti Huyay, apakah itu ?‘ Shofiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunakan untuk menghitung dzikir’. Beliau saw. berkata lagi; ‘Sesungguhnya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu’. Shofiyyah menyahut; ‘Ya Rasulallah, ajarilah aku’. Rasulallah saw. kemudian berkata; ‘Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya’ ” (Hadist Shahih dalam al mustadrak ‘ala shahihain 1/732 karya al Hakim no. 1966)
Hadist ini adalah hadist yang shahih. Perhatikan pernyataan al hakim “hadist ini adalah yang sanadnya shahih meskipun tidak dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim”.
Apabila ada sebagian kalangan yang melemahkan dalil ini. Misalnya syaikh nashiruddin al albani (Lihat Silsilah Dho’ifah no. 83). Maka dapat kita simpulkan bahwa telah terjadi khilaf dikalangan ulama tentang hadist ini. Maka sikap kita adalah dapat boleh mengunakan hadist diatas selama masih ada ulama hadist yang menyatakan shahih maupun hasan.
Mengambil dalil dengan hadits apapun dibolehkan selama keberadaannya dianggap (diterima) oleh sebagian ulama hadits, mencukupi atau memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan, dan hal itu dianggap sebagai dalil syara’, sehingga dengan sendirinya berarti telah berhukum dengan hukum syara’. (Syakhshiyyah Islamiyah I/350)

Riwayat lain menyatakan:
عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ سَعْدِ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ عَنْ أَبِيهَا أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ « أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ ». فَقَالَ « سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى الأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ. وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مِثْلُ ذَلِكَ. وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ »
Dari Aisyah binti Sa’ad bin Abi Waqqash ra.dari ayahnya (maksudnya Sa’ad bin Abi Waqqash) yang mengatakan:
“Bahwa dia bersama Rasulallah saw. masuk dirumah seorang wanita. Beliau melihat banyak batu kerikil yang dipergunakan oleh wanita itu untuk menghitung dzikir. Beliau bertanya; ‘Maukah engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih afdhal/utama ?’ Sebut sajalah kalimat-kalimat sebagai berikut : : ‘Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dilangit, Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dibumi, Maha suci Allah sebanyak makhluk ciptaan-Nya. (sebutkan juga) Allah Maha Besar, seperti tadi, Puji syukur kepada Allah seperti tadi, Tidak ada Tuhan selain Allah, seperti tadi dan tidak ada kekuatan kecuali dari Allah, seperti tadi !’ “. (Sunan Abu Dawud 5/15 no. 1502, Sunan Tirmidzi 13/108 no. 3916)

Syaikh Mahmud Abdul lathif uwaidhah menyatakan:”boleh hukumnya berdzikir dengan alat tertentu apasaja jenisnya misalnya kerikil, biji-bijian, akan tetapi lebih disukai (sunnah) dengan ruas-ruas jari karena jari-jari tersebut akan ditanyai pada hari kiamat” ( Jami’ li ahkami ash shalah 2/258)

Demikianlah penjelasan kami. Maka kesimpulannya adalah mengunakan biji tasbih bukanlah perkara yang bid’ah. Karena masih dibangun berdasarkan dalil syar’i. sehingga hal ini masih kita anggap sebagai pendapat yang islami meskipun terdapat khilaf didalamnya. Wallahu ‘alam bi shawab

Yogyakarta, 6 April 2020 jam 12. 54 WIB
Abu Syamil Ramadhan



TEORI BELAJAR TOKOH DAN PRINSIFNYA

TEORI BELAJAR TOKOH DAN PRINSIFNYA
Oleh: Wahyudi

Secara garis besar teori pembelajaran dapat dikelompokan dalam dua aliran besar. Yaitu aliran Tingkah laku atau behaviorisme dan aliran kognitif atau konstruksivisme.
I. TEORI BELAJAR TINGKAH LAKU ATAU BEHAVIORISME

Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar.

Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping


Tokoh beserta pandangannya pada aliran ini adalah:
1. Edward Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi anatara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut teori “connectionism”. Eksperimen yang dilakukan adalah dengan kucing yang dimasukkan pada sangkar tertutup yang apabila pintunya dapat dibuka secara otomatis bila knop di dalam sangkar disentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori Trial dan Error. Ciri-ciri belajar dengan Trial dan Error Yaitu : adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap berbagai situasi, adal eliminasai terhadap berbagai respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan. Thorndike menemukan hukum-hukum. Thorndike menemukan hukum-hukum.


Hukum kesiapan (Law of Readiness)

Jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosaiasi cenderung diperkuat.

Hukum latihan

Semakin sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin kuat.

Hukum akibat

Hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibanya tidak memuaskan.

2. Ivan Petrovich Pavlo (1849-1936)

Pavlo terkenal dengan teori belajar klasik. Ia mengadakan percobaan terhadap anjing. Dalam percobaan ini anjing di beri stimulus bersarat sehingga terjadi reaksi. Stimulusnya adalah pembiasaan membunyikan bel saat menjelang waktu makan. Setelah pembiasaan yang berulang-ulang ternyata anjing tersebut akan mengeluarkan liurnya saat dibunyikan bel meskipun belum waktunya makan.

Belajar menurut teori ini adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang menimbulkan reaksi.Yang terpenting dalam belajar menurut teori ini adalah adanya latihan dan pengulangan atau pembiasaan. Agar siswa belajar dengan baik maka harus dibiasakan dengan PR, biasakan memeriksan, menjelasakn dsb.

3. Burhus Frederic Skinner (1904-1990).
Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses belajar. Gajaran merupakan respon yang sifatnya mengembirakan dan merupakan tingkah laku yang sifatnya subyektif. Sedangkan penguatan merupakan suatu yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respond an lebih mengarah pada hal-hal yang sifatnya dapat diamati dan diukur.
Menurut Skinner, penguatan terdiri penguatan positif dan negative. Penguatan dapat dianggap sebagai stimulus positif, jika penguatan tersebut meningkatkan perilaku anak dalam melakukan pengulangan perilakunya.
Skinner menambahkan bahwa jika respon siswa baik maka harus segera diberi penguatan posistif agar respon siswa bisa lebih baik lagi atau minimal dipertahankan.

4. Robert Gagne ( 1916-2002).
Menurut Gagne, dalam belajar matematika ada dua obyek yang dapat diperoleh siswa, yaitu obyek langsung dan tak langsung. Obyek tak langsung antara lain kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah, belajar mandiri, bersikap positif terhadap matematika, dan tahu bagaimana semestinya belajar. Sedangkan obyek langsung berupa fakta, keterampilan, konsep dan aturan.

Fakta adalah obyek matematika yang tinggal menerimanya seperti lambang bilangan, sudut, dan notasi matematika lainnya. Keterampilan berupa kemampuan memberikan jawaban dengan cepat dan tepat. Sedangkan konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan kita dapat mengelompokan obyek ke dalam ke dalam contoh dan non contoh. Misalnya keonsep bujur sangkar, bilangan prima, himpunan dan vektor. Aturan yang paling abstrak yang berupa sifat atau teorema.

Menurut Gagne, belajar dapat dikelompokan menjadi 8 tipe belajar, yaitu belajar isyarat, stimulus respon, rangkaian gerak, rangkaian verbal, membedakan, pembentukan konsep, pembentukan aturan, dan pemecahan masalah.

5. Albert Bandura (1925-sekarang)


Teori belajar Bandura adalah teori belajar social atau kognitif social serta efikasi diri yang menunjukkan pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku, sikap dan emosi orang lain. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi tingkah laku timbale balik yang berkesinambungan antara kognitine perilaku dan pengaruh lingkungan. Factor-faktor yang berproses dalam observasi adalah perhatian, mengingat, produksi motorik, motivasi.

Bandura menyatakan bahwa siswa belajar melalui meniru. Meniru disini bukan berarti menyontek. Tetapi meniru hal-hal yang dilakukan orang lain terutama guru.

6. Teori Ausabel

Teori ini dikenal dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Ia membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima.

Ausabel menyatakan bahwa metode penemuan dan metode ceramah bisa menjadi belajar menerima atau belajar bermakna tergantung situasinya. Dia juga menyatakan bahwa ekspositori adalah metode mengajar yang paling baik dan bermakna.


II. ALIRAN KOGNITIF ATAU KONSTRUKSIVISME
Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan.
Implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Tokoh beserta pandangannya pada aliran ini adalah:

1. Teori Jean Piaget
Jean Piaget menyebutkan bahwa struktur kognitif sebagai schemata, yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami dan memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjaya schemata ini. Schemata ini berkembang secara kronologis, sebagai interaksi antara individu dengan lingkungan. Schemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam fikiran anak. Makin baik kualitas skema ini makin baik pula pola penalaran anak.
Proses terjadinya adaptasi dari schemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru ditentukan dengan dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label "burung" adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak.
Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Dalam contoh di atas, melihat burung unta dan mengubah skemanya tentang burung sebelum memberinya label "burung" adalah contoh mengakomodasi binatang itu pada skema burung si anak.
2. Teori Jerome Bruner
Jerome Bruner menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan pada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur.
Bruner mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya anak melewati 3 tahap yaitu:
a. Tahap Enaktif; anak langsung melihat dan memanipulasi (mengotak-atik) objek.
b. Tahap ikonik; kegiatan yang dilakukan anak berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasi.
c. Tahap simbolik; dalam tahap ini anak memanipulasi symbol-simbol atau lambing dari objek tertentu.
Bruner mengadakan pegamatan di sekolah-sekolah. Hasil dari pengamatan berupa dalil-dalil yaitu: dalil penyusunan (contruction theorem), dalil notasi (notation theorem), dalil kekontrasan dan keananekaragaman (contras and variation theorem) dan dalil pengaitan (connectivity theorem)
3. Lev Vygotsk
Vigotsky memandang bahwa sistem sosial sangat penting dalam perkembangan kognitif anak. Orangtua, guru dan teman berinteraksi dengan anak dan berkolaborasi untuk mengembangkan suatu pengertian. Jadi belajar terjadi dalam konteks sosial, dan muncul suatu istilah zona Perkembangan Proksimal (ZPD). ZPD diartikan sebagai daerah potensial seorang anak untuk belajar.
Konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya.
4. Teori Zoltan P. Dienes
Dasat teori Dienes adalah teori yang dikembangkan Piaget. Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisahkan hubungan diantara struktur dan mengakategorikan hubungan-hubungan di dalam struktur.
Dienes mengemukakan bahwa konsep atau prinsip matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat difahami dengan baik. Bentuk konkret yang dimaksud Dienes adalah permainan, alat peraga dsb.
Menurut Dienes konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6 tahap, yaitu:
Permainan Bebas (Free Play)
Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. Misalnya dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsep-konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi.
Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)
Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan pengalaman itu. Contoh dengan permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian membentuk kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya. Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang tipis (tebal), atau tidak merah (biru, hijau, kuning).
Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang tebal, anak diminta
mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut (anggota kelompok).
Permainan Representasi (Representation)
Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak, Dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak untuk menemukan banyaknya diagonal poligon (misal segi dua puluh tiga) dengan pendekatan induktif seperti berikut ini.
Segitiga Segiempat Segilima Segienam Segiduapuluhtiga
0 diagonal 2 diagonal 5 diagonal ….. diagonal ……. diagonal
Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak.
Permainan dengan Formalisasi (Formalization)
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu
merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut. Contohnya, anak didik telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema tersebut.
Pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya. Misalnya bilangan bulat dengan operasi penjumlahan peserta sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya elemen identitas, dan mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem matematika. Dienes menyatakan bahwa proses pemahaman (abstracton) berlangsung selama belajar. Untuk pengajaran konsep matematika yang lebih sulit perlu dikembangkan materi matematika secara kongkret agar konsep matematika dapat dipahami dengan tepat. Dienes berpendapat bahwa materi harus dinyatakan dalam berbagai penyajian (multiple embodiment), sehingga anak-anak dapat bermain dengan bermacam-macam material yang dapat mengembangkan minat anak didik. Berbagai penyajian materi (multiple embodinent) dapat mempermudah proses pengklasifikasian abstraksi konsep.

5. Teori Van Hiele
Van Hiele adalah seorang pakar pendidikan khususnya geometri. Dalam belajar geometri Hiele menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak. Ada tiga unsur dalam pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran.
Hiele menyatakan ada 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi, dan tahap akurasi.


Jumat, 02 April 2010

Istiqamah

Menumbuhkan dan Menjaga Istiqamah
Istiqâmah adalah mashdar dari istaqâma–yastaqîmu–istiqâmah. Secara bahasa artinya adalah i’tidâl (lurus). Istiqamah adalah lawan dari i’wijâj (kebengkokan). Al-Hafizh al-Jurjani di dalam At-Ta’rifât menjelaskan bahwa istiqamah itu adalah keberadaan suatu garis yang memenuhi semua bagian yang diperlukan sebagian atas sebagian yang lain, di atas semua keadaan.



Al-Quran menyatakan kata mustaqîm sebanyak 37 kali (kata al-mustaqîm lima kali, mustaqîman enam kali dan mustaqîmun 26 kali) yang semuanya menggunakan makna bahasanya, yaitu lurus. Kata ini 33 kali di-idhâfah-kan pada kata shirâth (jalan), satu kali pada kata tharîq (jalan) dan satu kali pada kata hudan (petunjuk). Jalan yang lurus (tharîq atau shirâth al-mustaqîm) itu hanya satu, yaitu Islam yang meliputi akidah dan syariahnya, sebagaimana firman Allah SWT:
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa (QS al-An’am [6]: 153).
Ibn Mas’ud menuturkan,
خَطَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم خطًا بيده، ثم قال: "هذا سَبِيل الله مستقيما". وخط على يمينه وشماله، ثم قال: "هذه السُّبُل ليس منها سبيل إلا عليه شيطان يدعو إليه"
“Rasul saw. menggambar garis untuk kami, kemudian beliau bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah.’ Kemudian beliau membuat garis di kiri dan kanannya centang perenang dan beliau bersabda, ‘Ini jalan-jalan lain, di masing-masingnya ada setan yang mengajak padanya.’” (HR Ahmad, an-Nasai dan ad-Darimi).
Sikap istiqamah adalah sikap yang diperintahkan Allah SWT
فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka (QS. asy-Syura [42]: 15).
Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi pernah meminta kepada Rasul saw. pesan suatu ucapan tentang perkara di dalam agama ini yang bisa dia jadikan pegangan dan dia tidak perlu bertanya tentang yang lain kepada seseorang setelah beliau. Rasul saw. lalu menjawab:
قُلْ: آمَنْتُ بِاللهِ، ثُمَّ استَقِمْ
Katakan, “Aku beriman kepada Allah,” kemudian beristiqamahlah (HR Ahmad dan Muslim)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali asy-Syaikh di dalam bukunya Syarh al-Arba’în an-Nawawiyah menjelaskan bahwa istiqâmah menggunakan wazan istaf’ala, maknanya bisa thalab (permintaan), misal istaghfara artinya thalab al-gufrân (meminta ampunan); bisa juga bermakna luzûm al-washfi wa katsratu al-ittishâfi bihi wa ‘azhmu al-ittishâfi bihi (keharusan satu sifat dan banyak serta besarnya menyifati diri dengannya. Kata istiqâmah menurut makna yang kedua ini.
Jadi, dalam konteks ini istiqâmah maknanya memiliki sifat iqâmah (menegakkan, meluruskan atau mengerjakan), banyak memiliki sifat itu dan menetapinya, tidak berubah dan tidak berganti darinya. Karena itu, istiqamah maknanya adalah tegak dan lurus di atas keimanan dan agama Islam, banyak menyifati diri dengan itu dan menetapinya. Ringkasnya, istiqamah adalah ats-tsabât ‘alâ ad-dîn (teguh secara kontinu di atas agama).
Imam an-Nawawi di dalam Riyâdh ash-Shâlihîn mengatakan, “Para ulama berkata, ‘Istiqamah adalah luzûm ath-thâ’ah (menetapi ketaatan).’”
Ibn Rajab al-Hanbali di dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam menjelaskan bahwa istiqamah adalah bertindak sesuai dengan jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus (Islam) tanpa menyimpang ke kiri atau ke kanan, dan hal itu mencakup semua aktivitas ketaatan lahir maupun batin, dan meninggalkan semua yang dilarang.
Mula Ali al-Qari di dalam Mirqat al-Mafâtîh Syarh Misyhkah al-Mashâbâh juga menjelaskan bahwa istiqamah adalah melaksanakan semua yang diperintahkan dan menjauhi semua yang dilarang, termasuk di dalamnya aktivitas hati dan badan berupa iman, Islam dan ihsan; sebab istiqamah tidak terealisasi beriringan dengan suatu kebengkokan.
Di dalam Hasyiyah as-Sindi ‘alâ Sunan Ibn Mâjah disebutkan bahwa istiqamah adalah mengikuti kebenaran dan menegakkan keadilan serta menetapi manhaj yang lurus dengan melaksanakan semua yang diperintahkan dan menjauhi semua yang dilarang. Hal itu merupakan perkara agung yang tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang yang hatinya disinari oleh cahaya suci dan membebaskan diri dari kegelapan manusiawi serta mendapat pertolongan dari sisi Allah.
Dengan demikian, istiqamah yang sempurna dalam segala hal adalah tegak dan lurus di atas keimanan yang benar dan sempurna, melaksanakan dan menetapi semua bentuk ketaatan serta menjauhi semua bentuk kemaksiatan lahir maupun batin dalam semua keadaan dan kesempatan.
Keistiqamahan yang sempurna seperti itu jelas merupakan sesuatu yang sangat berat. Bahkan diisyaratkan bahwa seorang hamba tidak akan mampu merealisasi keistiqamahan yang sempurna dalam segala perkara sepanjang waktu dan yang bisa merealisasinya adalah seorang nabi yang ma’shûm. Karenanya, Allah SWT berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya dan mohonlah ampun kepadaNya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (QS Fushshilat [41]: 6)
Dalam ayat ini setelah Allah SWT memerintahkan untuk istiqamah, lalu memerintahkan kita untuk memohon ampunan. Artinya, seorang hamba yang berusaha sungguh-sungguh untuk istiqamah, ia masih mungkin melakukan kebengkokan, karenanya diperintahkan untuk beristighfar. Rasul saw. juga bersabda:
اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا …
Beristiqamahlah kalian dan kalian tidak akan mampu (melakukannya secara sempurna) (HR Ahmad, Ibn Majah, ad-Darimi dan Malik).
Karenanya, beliau dalam kesempatan lain bersabda:
سَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا
Beristiqamahlah secara hakiki dan berusahalah mendekati keistiqamahan yang hakiki itu (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kaidah yang harus dijadikan pegangan adalah sabda Rasul saw.:
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah dan jika aku memerintahkan suatu perkara maka lakukan sesuai kemampuan kalian (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, al-Baihaqi dan Ibn Hibban)
Jadi, kita harus sungguh-sungguh berusaha semaksimal mungkin untuk istiqamah; yaitu menetapi keimanan, tauhid dan akidah Islam yang benar dan lurus; serta menetapi ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT. Hal ini pada dasarnya adalah hakikat ketakwaan itu sendiri.
Para ulama menjelaskan, agar bisa tetap istiqamah, setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama: mewujudkan keimanan yang benar, lurus dan berpengaruh. Keimanan harus senantiasa diperbarui. Di antaranya dengan me-refresh metode meraih keimanan; me-refresh bukti, dalil dan argumentasinya yang pasti dan terus dijaga dan dipertegas; terus diingat dalam hati, diucapkan dengan lisan dan menghadirkan makna-makna keimanan yang syar’i; menghadirkan kesan di dalam benak atas kenikmatan surga, pedihnya siksa neraka dan apa saja yang wajib diimani; juga terus menghadirkan kesadaran akan murâqabah Allah dan bahwa Allah Mahatahu. Semua itu merupakan dorongan terbesar untuk bersikap istiqamah. Keistiqamahan akan berbanding lurus dengan benar dan lurusnya keimanan serta tingkat pengaruh keimanan itu dalam diri kita. Dalam hal ini amal-amal ibadah dan zikir sangat besar faedahnya.
Kedua: menjaga keikhlasan semata karena Allah dan untuk meraih ridha-Nya. Sebab, setan tidak akan bisa menggoda hamba-Nya yang ikhlas. Allah berfirman:
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (39) إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
Iblis berkata : "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka". (QS al-Hijr: 39-40)
Ketiga: menuntut ilmu syariah, ilmu tentang halal dan haram. Sebab, seseorang tidak mungkin berlaku lurus tanpa mengetahui apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang. Kemudian berpegang pada kaidah amal, yaitu berpikir dan mencari tahu hukumnya, baru memutuskan untuk mengambil dan melakukannya atau tidak.
Keempat: senantiasa membina kesabaran dalam segala keadaan saat mendapat kenikmatan maupun ketika tertimpa musibah; terus membangun sikap qanâ’ah (rasa syukur dan merasa cukup) atas pemberian dari Allah SWT.
Kelima: teman dan lingkungan yang salih dan kondusif untuk istiqamah. Sebab, orang-orang Mukmin saling tolong-menolong di antara mereka di dalam keimanan dan ketaatan. Rasul juga bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Seseorang itu sesuai dengan agama temannya. Karena itu, hendaklah siapapun dari kalian memperhatikan dengan siapa ia berteman (HR Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Di sinilah pentingnya berjamaah. Para ulama memperingatkan bahwa setan lebih mudah memperdaya orang yang sendirian dan jauh dari orang yang berjamaah.
Keenam: senantiasa instrospeksi diri sendiri sehingga dengan cepat akan bisa tahu dan sadar akan terjadinya penyimpangan. Jadi, ‘alarm’ pendeteksi kemaksiatan dan penyimpangan harus selalu on dalam diri kita.
Ketujuh: berdoa memohon kepada Allah perlindungan dari kebengkokan dan memohon taufik, pertolongan dan bantuan Allah untuk bisa istiqamah. Nabi bersabda:
يَا مُثَبِّتَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى دِينِكَ
Wahai Dzat yang Maha menetapkan hati, teguhkanlah hati-hati kami atas agama Engkau (HR. Ahmad)
Allâhummâ ânta rabbunâ farzuqnâ al-istiqâmah.
Yogyakarta, 2 April 2010 Disampaikan oleh Wahyudi Abu Syamil Ramadhan
Diolah dari tulisan Ustadz Yahya Abdurrahman dengan sedikit penambahan dan pengurangan.
Disampaikan dalam Kajian mingguan Mahasiswa Pascasarjana UNY Pendidikan Matematika


Kamis, 01 April 2010

Shalat Jamak bagi Musafir

Aswb. Misalnya kita dalam perjalanan pulang dari safar dan tidak sempat shalat magrib. Saat tiba dirumah sudah masuk waktu shalat ‘isya. Apakah shalat magribnya tetap dijamak takhir walaupun sudah tiba dari safar? Syukron ustadz (Rendy, Banjarmasin)
Jawab
Wassalamu ‘alaikum wr. Wb akhi Rendy yang dirahmati Allah SWT.
Shalat adalah ibadah mahdhah yang telah Allah SWT tetapkan secara tauqifi (fixed) tatacaranya.


Salah satu adalah waktu pelaksanaannya. Waktu shalat (wajib) ini ditetapkan berdasarkan hadist-hadist mutawatir (ahkamu ash shalah hal.82). hal ini juga dipertegas dengan firman Allah:
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Artinya: Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.(QS. An Nisa: 103)
Berkenaan tentang ayat ini Ibnu ‘abbas menyatakan bahwa maksudnya adalah shalat wajib/mafrudhah (Ibnu Katsir 2/403).
Dengan melakukan pengkajian terhadap hadist-hadist Nabi maka ditetapkanlah waktu-waktu shalat wajib. Waktu shalat zhuhur bermula dari sejak matahari tergelincir dari titik tengah langit dan berakhir sampai bayang-bayang menyamai si empunya bayang-bayang tersebut, Waktu shalat ashar bermula sejak bayang-bayang sesuatu sama seukuran dengan -dan sedikit lebih panjang daripadanya-dan berakhir sampai bayang-bayang sesuatu seukuran dua kali panjangnya, Waktu shalat Maghrib bermula sejak matahari terbenam, Waktu shalat Isya’ bermula sejak awan merah tenggelam sampai fajar terbit dan Waktu shalat Shubuh bermula sejak fajar yang kedua terbit, yakni fajar shadiq di mana orang berpuasa sejak saat itu tidak diperbolehkan makan dan minum, smapai remang-remang siang.

Atas dasar inilah maka pengalihan waktu shalat pada waktu yang lain memerlukan dalil yang menjelaskannya. Termasuk dalam hal ini adalah pengabungan (jamak) dua shalat dalam satu waktu. Yaitu dzuhur dengan ashar dan magrib dengan isya. Maka dalam hal ini hanya ada 4 sebab yang memboleh dilakukan jamak (baik jamak taqdim maupun ta’khir). Empat sebab tersebut adalah: wuquf di Arafah, saat menghabiskan waktu sampai melewati tengah malam di Muzdalifah, ketika bepergian yang menempuh jarak yang memperbolehkan musafir mengqashar shalat, dan kala turun hujan.

Dalil yang menunjukkan, bahwa pada waktu wuquf di Arafah dan menghabiskan waktu sampai melewati tengah malam di Muzdalifah boleh menjama’ shalat adalah hadits yang meriwayatkan:
لأن النبي - صلى الله عليه وسلم - جمع في عرفة ومزدلفة
“Sesungguhnya Nabi saw. telah menjama’ shalat ketika beliau berada di Arafah dan di
Muzdalifah”.
Sedangkan dalil yang menunjukkan boleh menjama’ shalat ketika sedang bepergian, adalah dari Ibnu ‘Abbas:
كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يجمع في السفر بين صلاتي الظهر والعصر إذا كان على ظهر سير ويجمع بين المغرب والعشاء
“Rasulullah s.a.w.dalam suatu perjalanan telah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar bila beliau berada di atas hewan tunggangannya, dan beliau pun menjama’ antara shalat Maghrib dengan shalat Isya”.
Masih dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang diterima dari Nabi s.a.w.
dikemukakan :
كان في السفر إذا زاغت الشمس في منزلة جمع بين الظهر والعصر قبل أن يركب فإذا لم تزغ له في منزله سار حتى إذا حانت العصر نزل فجمع بين الظهر والعصر وإذا حانت له المغرب في منزلة جمع بينها وبين العشاء وإذا لم تحن في منزلة ركب حتى إذا كانت العشاء نزل فجمع بينهما
“Nabi s.a.w. pada waktu bepergian bilamana matahari telah condong (tergelincir) sedang beliau masih berada dirumahnya, maka sebelum beliau menaiki hewan tunggangannya terlebih dahulu beliau menjama’ antara shalat Zhuhur dengan Ashar. Maka bilamana matahari belum tergelincir sedang beliau masih berada di rumahnya, beliau pun berangkat sampai waktu shalat Ashar tiba, lalu beliau menjama’ antara shalat Zhuihur dengan shalat Ashar. Dan bilamana waktu shalat Maghrib tiba sedang beliau masih berada di rumahnya, maka beliau manjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya serta bilamana waktu shalat Maghrib belum tiba sedang beliau masih berada di rumahnya, maka beliau pun menaiki
hewan tunggangannya sampai ketika waktu shalat Isya tiba, turunlah beliau (dari kendaraannya) lalu menjama’ antara keduanya (Maghrib dan Isya)”.

Semua hadits ini membicarakan tentang shalat jama’ yang dihubungkan atau di latar-belakangi oleh adanya bepergian.

Adapun dalil yang menunjukkan boleh menjama’ shalat karena turun hujan adalah hadits yang meriwayatkan bahwa sesungguhnya Abu Salamah bin Abdurrahman berkata :
إن من السنة إذا كان يوم مطير أن يجمع بين المغرب والعشاء
“Sesungguhnya menjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya ketika hari turun hujan adalah
merupakan sunnah (Rasulullah s.a.w.)”. ( H. R. Al Atsram ).
Pernyataan Abu Salamah bin Abdurrahman merupakan sunnah maksudnya adalah sunnah Rasulullah s.a.w. Dengan demikian , maka pernyataan tersebut dianggap hadits Nabi s.a.w.
Hisyam bin ‘Urwah telah berkata :
رأيت ابان بن عثمان يجمع بين الصلاتين في الليلة المطيرة المغرب والعشاء، فيصليهما معه عروة بن الزبير وأبو سلمة بن عبد الرحمن وأبو بكر بن عبد الرحمن لا ينكرونه ولا يعرف لهم في عصرهم مخالف فكان إجماعاً
“Aku melihat Abban bin Utsman ketika malam turun hujan menjama’ antara dua shalat, Maghrib dan Isya. Maka ikut pula bersamanya mengerjakan kedua shalat tersebut ‘Urwah bin Az Zubair, Abu Salamah bin Abdurrahman , dan Abu Bakar bin Abdurrahman. Sedang mereka tidak mengikari apa yang dilakukannya dan bagi mereka pada masa itu tidak dikenal ada yang menyalahi (menentang ), sehingga hal tersebut menjadi konsensus”. ( Diriwayatkan oleh Al Atsram ).

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. dikemukakan :
أن النبي - صلى الله عليه وسلم - جمع في المدينة بين الظهر والعصر في المطر
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. di Madinah ketika turun hujan beliau telah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar “.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas dikemukakan pula :
أن النبي - صلى الله عليه وسلم - صلى بالمدينة سبعاً وثمانياً الظهر والعصر والمغرب والعشاء فقال أيوب لعله في ليلة مطيرة قال عسى
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah mengerjakan shalat di Madinah sebanyak tujuh dan delapan (rakaat), yakni : ( Empat rakaat ) shalat Zhuhur. ( empat rakaat ) shalat Ashar, ( tiga rakaat ) shalat Maghrib, dan ( empat rakaat ) shalat Isya. Maka Ayyub berkata : Kiranya beliau ( menjama’nya) pada malam ketika turun hujan. Dia berkata : Begitulah kiranya”* (H.R. Bukhari).

Pengertian tentang turun hujan seperti yang dikemukakan dalam hadits ini telah dinyatakan pula oleh Imam Malik sesudah dia meriwayatkan hadits tersebut. Semua dalil di atas menunjukkan , bahwa menjama’ shalat, baik taqdim maupun ta’khir, ketika turun hujan hukumnya boleh. Yang dimaksud dengan hujan di sini adalah semata-mata hujan yang dapat membasahi pakaian, tanpa pertimbangan ; apakah hujan tersebut menimbulkan kesulitan atau tidak, sebagaimana dikemukakan dalam sebuah hadits :
أن النبي - صلى الله عليه وسلم - جمع في المطر وليس بين حجرته والمسجد شيء
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah menjama’ shalat ketika turun hujan, sementara antara kamar rumah beliau dengan masjidnya tidak ada apa-apa”.

Ada sebagian ulama yang membolehkan jamak baik dengan alasan (latar belakang tertentu) ataupun tanpa alasan, asalkan tidak menjadi kebiasaan. Berkata Imam Nawawi ?rahimahullah: ?Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama? shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak di jadikan sebagai kebiasaan.? [Lihat syarh Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141.]

Dari Ibnu Abbas ?radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam menjama? antara dhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya? di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas ?radhiallahu anhuma beliau menjawab: Bahwa Rasulullah saw tidak ingin memberatkan ummatnya.?[ HR. Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070.]
Pendapat ini adalah pendapat yang lemah. pendapat ini bertentangan dengan nash-nash qath’I yang menetapkan waktu-waktu shalat fardhu. Padahal khabar (hadits) ahad bilamana berlawanan dengan Al Qur’an atau dengan hadits mutawatir, maka yang diambil adalah Al Qur’an atau hadits mutawatir serta hendaklah hadits ahad ditolak, karena hadits ahad bersifat zhanni sedang hadits mutawatir bersifat qath’i. selain itu nash-nash penetapan waktu shalat fardhu bersifat mutlak. Sesuatu yang mutlak hanya bisa dikhususkan dengan yang muqayyad seperti safar, hujan,dst. Sedangkan pembolehan menjamak shalat secara mutlak (tanpa batasan tertentu) jelas menimbulkan kontradiksi antara dua dalil.

Atas penjelasan ini, maka sikap yang seharusnya di ambil untuk kasus akhi Rendi adalah:
1.Melaksanakan shalat margib diperjalanan, kemudian shalat isya setelah sampai tujuan (rumah)
2.Menjamak shalat magribnya dengan dengan shalat isya diwaktu shalat magrib (jamak taqdim). Apabila sudah masuk waktu shala isya maka dapat melakukan jamak takhir di masjid terdekat dari rumahnya sebelum sampai (masuk) ke rumah. Karena selama seseorang musafir belum sampai dirumahnya maka statusnya masih safar. Apabila sampai di rumah diwaktu ‘isya maka tidak perlu lagi melaksanakan shalat isya. (ahkamu ash shalah hal 81)
Apa bila tidak sempat melakukan salah satu dari keduanya, yaitu untuk kasus akhi Rendy. Maka hak rukhsah atas perjalanan yang dia lakukan telah berakhir dengan sampainya sang musafir di rumahnya. Maka dalam hal ini yang harus dia lakukan adalah mengqadha’ shalat magribnya yang tertinggal. Caranya yaitu dengan melaksanakan shalat yang ditinggalkan (magrib, Tentu dengan niat qadha) dan dilanjutkan dengan shalat isya. Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan dari Jabir r.a. dikemukakan
يا رسول الله ما كدت أصلي العصر حتى كادت الشمس تغرب، فقال النبي - صلى الله عليه وسلم - والله ما صليتها، فقمنا إلى بطحان فتوضأ للصلاة وتوضأنا لها فصلى العصر بعدما غربت الشمس ثم صلى بعدها المغرب
“Sesungguhnya Umar bin Khaththab r.a. pada waktu perang Khandaq dia baru tiba (bergabung kepada satuannya ) setelah matahari tenggelam karena dia (terlena) memaki kaum kuffar Quraisy. Dan (setelah itu) ia berkata : Ya Rasulullah ! Hampir saja aku tidak shalat Ashar, sehingga matahari pun hampir tenggelam. Maka Nabi s.a.w. bersabda : Demi Allah ! Aku pun belum mengerjakan shalat Ashar. Maka kami pergi ke tempat yang luas dan beliau pun wudhu untuk shalat, lalu kami juga wudhu untuk shalat. Sesudah itu beliau shalat Ashar sesudah matahari terbenam baru kemudian beliau shalat Maghrib”.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’ad r.a. dikemukakan :
حبسنا يوم الخندق عن الصلاة حتى كان بعد المغرب يهوي من الليل كفينا: وذلك قول الله عز وجل: { وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ وَكَانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزًا } . قال فدعا رسول الله - صلى الله عليه وسلم - بلالاً فأقام الظهر فصلاها فأحسن صلاتها كما كان يصليها في وقتها، ثم أمره فأقام العصر فصلاها فأحسن صلاتها كما كان يصليها في وقتها، ثم أمره فأقام المغرب فصلاها كذلك
“Pada waktu perang Khandak kami tertahan dari mengerjakan shalat sehingga kami baru
menghindar sesudah Maghrib, ketika malam mulai beranjak gelap. Dan hal itu sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah : ( Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan . Dan Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa ).Dan berkata : Kemudian Rasulullah s.a.w. memanggil Bilal (agar menyeru orang-orang untuk shalat), lalu dia iqomah Zhuhur dan beliau pun shalat Zhuhur serta membaguskannya sama seperti ketika beliau mengerjakan shalat Ashar pada waktunya. Kemudian beliau menyuruh dia agar iqomah Maghrib dan beliau pun shalat Maghrib”.
Yogyakarta, 1 April 2010
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan