Kamis, 01 April 2010

Shalat Jamak bagi Musafir

Aswb. Misalnya kita dalam perjalanan pulang dari safar dan tidak sempat shalat magrib. Saat tiba dirumah sudah masuk waktu shalat ‘isya. Apakah shalat magribnya tetap dijamak takhir walaupun sudah tiba dari safar? Syukron ustadz (Rendy, Banjarmasin)
Jawab
Wassalamu ‘alaikum wr. Wb akhi Rendy yang dirahmati Allah SWT.
Shalat adalah ibadah mahdhah yang telah Allah SWT tetapkan secara tauqifi (fixed) tatacaranya.


Salah satu adalah waktu pelaksanaannya. Waktu shalat (wajib) ini ditetapkan berdasarkan hadist-hadist mutawatir (ahkamu ash shalah hal.82). hal ini juga dipertegas dengan firman Allah:
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Artinya: Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.(QS. An Nisa: 103)
Berkenaan tentang ayat ini Ibnu ‘abbas menyatakan bahwa maksudnya adalah shalat wajib/mafrudhah (Ibnu Katsir 2/403).
Dengan melakukan pengkajian terhadap hadist-hadist Nabi maka ditetapkanlah waktu-waktu shalat wajib. Waktu shalat zhuhur bermula dari sejak matahari tergelincir dari titik tengah langit dan berakhir sampai bayang-bayang menyamai si empunya bayang-bayang tersebut, Waktu shalat ashar bermula sejak bayang-bayang sesuatu sama seukuran dengan -dan sedikit lebih panjang daripadanya-dan berakhir sampai bayang-bayang sesuatu seukuran dua kali panjangnya, Waktu shalat Maghrib bermula sejak matahari terbenam, Waktu shalat Isya’ bermula sejak awan merah tenggelam sampai fajar terbit dan Waktu shalat Shubuh bermula sejak fajar yang kedua terbit, yakni fajar shadiq di mana orang berpuasa sejak saat itu tidak diperbolehkan makan dan minum, smapai remang-remang siang.

Atas dasar inilah maka pengalihan waktu shalat pada waktu yang lain memerlukan dalil yang menjelaskannya. Termasuk dalam hal ini adalah pengabungan (jamak) dua shalat dalam satu waktu. Yaitu dzuhur dengan ashar dan magrib dengan isya. Maka dalam hal ini hanya ada 4 sebab yang memboleh dilakukan jamak (baik jamak taqdim maupun ta’khir). Empat sebab tersebut adalah: wuquf di Arafah, saat menghabiskan waktu sampai melewati tengah malam di Muzdalifah, ketika bepergian yang menempuh jarak yang memperbolehkan musafir mengqashar shalat, dan kala turun hujan.

Dalil yang menunjukkan, bahwa pada waktu wuquf di Arafah dan menghabiskan waktu sampai melewati tengah malam di Muzdalifah boleh menjama’ shalat adalah hadits yang meriwayatkan:
لأن النبي - صلى الله عليه وسلم - جمع في عرفة ومزدلفة
“Sesungguhnya Nabi saw. telah menjama’ shalat ketika beliau berada di Arafah dan di
Muzdalifah”.
Sedangkan dalil yang menunjukkan boleh menjama’ shalat ketika sedang bepergian, adalah dari Ibnu ‘Abbas:
كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يجمع في السفر بين صلاتي الظهر والعصر إذا كان على ظهر سير ويجمع بين المغرب والعشاء
“Rasulullah s.a.w.dalam suatu perjalanan telah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar bila beliau berada di atas hewan tunggangannya, dan beliau pun menjama’ antara shalat Maghrib dengan shalat Isya”.
Masih dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang diterima dari Nabi s.a.w.
dikemukakan :
كان في السفر إذا زاغت الشمس في منزلة جمع بين الظهر والعصر قبل أن يركب فإذا لم تزغ له في منزله سار حتى إذا حانت العصر نزل فجمع بين الظهر والعصر وإذا حانت له المغرب في منزلة جمع بينها وبين العشاء وإذا لم تحن في منزلة ركب حتى إذا كانت العشاء نزل فجمع بينهما
“Nabi s.a.w. pada waktu bepergian bilamana matahari telah condong (tergelincir) sedang beliau masih berada dirumahnya, maka sebelum beliau menaiki hewan tunggangannya terlebih dahulu beliau menjama’ antara shalat Zhuhur dengan Ashar. Maka bilamana matahari belum tergelincir sedang beliau masih berada di rumahnya, beliau pun berangkat sampai waktu shalat Ashar tiba, lalu beliau menjama’ antara shalat Zhuihur dengan shalat Ashar. Dan bilamana waktu shalat Maghrib tiba sedang beliau masih berada di rumahnya, maka beliau manjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya serta bilamana waktu shalat Maghrib belum tiba sedang beliau masih berada di rumahnya, maka beliau pun menaiki
hewan tunggangannya sampai ketika waktu shalat Isya tiba, turunlah beliau (dari kendaraannya) lalu menjama’ antara keduanya (Maghrib dan Isya)”.

Semua hadits ini membicarakan tentang shalat jama’ yang dihubungkan atau di latar-belakangi oleh adanya bepergian.

Adapun dalil yang menunjukkan boleh menjama’ shalat karena turun hujan adalah hadits yang meriwayatkan bahwa sesungguhnya Abu Salamah bin Abdurrahman berkata :
إن من السنة إذا كان يوم مطير أن يجمع بين المغرب والعشاء
“Sesungguhnya menjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya ketika hari turun hujan adalah
merupakan sunnah (Rasulullah s.a.w.)”. ( H. R. Al Atsram ).
Pernyataan Abu Salamah bin Abdurrahman merupakan sunnah maksudnya adalah sunnah Rasulullah s.a.w. Dengan demikian , maka pernyataan tersebut dianggap hadits Nabi s.a.w.
Hisyam bin ‘Urwah telah berkata :
رأيت ابان بن عثمان يجمع بين الصلاتين في الليلة المطيرة المغرب والعشاء، فيصليهما معه عروة بن الزبير وأبو سلمة بن عبد الرحمن وأبو بكر بن عبد الرحمن لا ينكرونه ولا يعرف لهم في عصرهم مخالف فكان إجماعاً
“Aku melihat Abban bin Utsman ketika malam turun hujan menjama’ antara dua shalat, Maghrib dan Isya. Maka ikut pula bersamanya mengerjakan kedua shalat tersebut ‘Urwah bin Az Zubair, Abu Salamah bin Abdurrahman , dan Abu Bakar bin Abdurrahman. Sedang mereka tidak mengikari apa yang dilakukannya dan bagi mereka pada masa itu tidak dikenal ada yang menyalahi (menentang ), sehingga hal tersebut menjadi konsensus”. ( Diriwayatkan oleh Al Atsram ).

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. dikemukakan :
أن النبي - صلى الله عليه وسلم - جمع في المدينة بين الظهر والعصر في المطر
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. di Madinah ketika turun hujan beliau telah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar “.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas dikemukakan pula :
أن النبي - صلى الله عليه وسلم - صلى بالمدينة سبعاً وثمانياً الظهر والعصر والمغرب والعشاء فقال أيوب لعله في ليلة مطيرة قال عسى
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah mengerjakan shalat di Madinah sebanyak tujuh dan delapan (rakaat), yakni : ( Empat rakaat ) shalat Zhuhur. ( empat rakaat ) shalat Ashar, ( tiga rakaat ) shalat Maghrib, dan ( empat rakaat ) shalat Isya. Maka Ayyub berkata : Kiranya beliau ( menjama’nya) pada malam ketika turun hujan. Dia berkata : Begitulah kiranya”* (H.R. Bukhari).

Pengertian tentang turun hujan seperti yang dikemukakan dalam hadits ini telah dinyatakan pula oleh Imam Malik sesudah dia meriwayatkan hadits tersebut. Semua dalil di atas menunjukkan , bahwa menjama’ shalat, baik taqdim maupun ta’khir, ketika turun hujan hukumnya boleh. Yang dimaksud dengan hujan di sini adalah semata-mata hujan yang dapat membasahi pakaian, tanpa pertimbangan ; apakah hujan tersebut menimbulkan kesulitan atau tidak, sebagaimana dikemukakan dalam sebuah hadits :
أن النبي - صلى الله عليه وسلم - جمع في المطر وليس بين حجرته والمسجد شيء
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah menjama’ shalat ketika turun hujan, sementara antara kamar rumah beliau dengan masjidnya tidak ada apa-apa”.

Ada sebagian ulama yang membolehkan jamak baik dengan alasan (latar belakang tertentu) ataupun tanpa alasan, asalkan tidak menjadi kebiasaan. Berkata Imam Nawawi ?rahimahullah: ?Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama? shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak di jadikan sebagai kebiasaan.? [Lihat syarh Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141.]

Dari Ibnu Abbas ?radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam menjama? antara dhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya? di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas ?radhiallahu anhuma beliau menjawab: Bahwa Rasulullah saw tidak ingin memberatkan ummatnya.?[ HR. Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070.]
Pendapat ini adalah pendapat yang lemah. pendapat ini bertentangan dengan nash-nash qath’I yang menetapkan waktu-waktu shalat fardhu. Padahal khabar (hadits) ahad bilamana berlawanan dengan Al Qur’an atau dengan hadits mutawatir, maka yang diambil adalah Al Qur’an atau hadits mutawatir serta hendaklah hadits ahad ditolak, karena hadits ahad bersifat zhanni sedang hadits mutawatir bersifat qath’i. selain itu nash-nash penetapan waktu shalat fardhu bersifat mutlak. Sesuatu yang mutlak hanya bisa dikhususkan dengan yang muqayyad seperti safar, hujan,dst. Sedangkan pembolehan menjamak shalat secara mutlak (tanpa batasan tertentu) jelas menimbulkan kontradiksi antara dua dalil.

Atas penjelasan ini, maka sikap yang seharusnya di ambil untuk kasus akhi Rendi adalah:
1.Melaksanakan shalat margib diperjalanan, kemudian shalat isya setelah sampai tujuan (rumah)
2.Menjamak shalat magribnya dengan dengan shalat isya diwaktu shalat magrib (jamak taqdim). Apabila sudah masuk waktu shala isya maka dapat melakukan jamak takhir di masjid terdekat dari rumahnya sebelum sampai (masuk) ke rumah. Karena selama seseorang musafir belum sampai dirumahnya maka statusnya masih safar. Apabila sampai di rumah diwaktu ‘isya maka tidak perlu lagi melaksanakan shalat isya. (ahkamu ash shalah hal 81)
Apa bila tidak sempat melakukan salah satu dari keduanya, yaitu untuk kasus akhi Rendy. Maka hak rukhsah atas perjalanan yang dia lakukan telah berakhir dengan sampainya sang musafir di rumahnya. Maka dalam hal ini yang harus dia lakukan adalah mengqadha’ shalat magribnya yang tertinggal. Caranya yaitu dengan melaksanakan shalat yang ditinggalkan (magrib, Tentu dengan niat qadha) dan dilanjutkan dengan shalat isya. Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan dari Jabir r.a. dikemukakan
يا رسول الله ما كدت أصلي العصر حتى كادت الشمس تغرب، فقال النبي - صلى الله عليه وسلم - والله ما صليتها، فقمنا إلى بطحان فتوضأ للصلاة وتوضأنا لها فصلى العصر بعدما غربت الشمس ثم صلى بعدها المغرب
“Sesungguhnya Umar bin Khaththab r.a. pada waktu perang Khandaq dia baru tiba (bergabung kepada satuannya ) setelah matahari tenggelam karena dia (terlena) memaki kaum kuffar Quraisy. Dan (setelah itu) ia berkata : Ya Rasulullah ! Hampir saja aku tidak shalat Ashar, sehingga matahari pun hampir tenggelam. Maka Nabi s.a.w. bersabda : Demi Allah ! Aku pun belum mengerjakan shalat Ashar. Maka kami pergi ke tempat yang luas dan beliau pun wudhu untuk shalat, lalu kami juga wudhu untuk shalat. Sesudah itu beliau shalat Ashar sesudah matahari terbenam baru kemudian beliau shalat Maghrib”.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’ad r.a. dikemukakan :
حبسنا يوم الخندق عن الصلاة حتى كان بعد المغرب يهوي من الليل كفينا: وذلك قول الله عز وجل: { وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ وَكَانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزًا } . قال فدعا رسول الله - صلى الله عليه وسلم - بلالاً فأقام الظهر فصلاها فأحسن صلاتها كما كان يصليها في وقتها، ثم أمره فأقام العصر فصلاها فأحسن صلاتها كما كان يصليها في وقتها، ثم أمره فأقام المغرب فصلاها كذلك
“Pada waktu perang Khandak kami tertahan dari mengerjakan shalat sehingga kami baru
menghindar sesudah Maghrib, ketika malam mulai beranjak gelap. Dan hal itu sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah : ( Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan . Dan Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa ).Dan berkata : Kemudian Rasulullah s.a.w. memanggil Bilal (agar menyeru orang-orang untuk shalat), lalu dia iqomah Zhuhur dan beliau pun shalat Zhuhur serta membaguskannya sama seperti ketika beliau mengerjakan shalat Ashar pada waktunya. Kemudian beliau menyuruh dia agar iqomah Maghrib dan beliau pun shalat Maghrib”.
Yogyakarta, 1 April 2010
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan





2 komentar:

Hendra Madjid mengatakan...

Bagaimana hukum MLM dan adakah MLM Syariáh dalam Islam
Salam ustadz...
Dulu, saya sering ditawari oleh teman-teman saya untuk mengikuti Multi Level Marketing (MLM). Rata-rata mereka menawarkan produk kesehatan. Ketika itu, tawaran tersebut saya tolak dengan 2 alasan. Adanya samsarah ‘ala samsarah (makelar memaklari makelar) dan adanya bayiatain (akad ganda) dalam MLM tersebut. Sehingga secara akad bathil dan sistem yang digunakannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Saya mengetahui pendapat ini dari makalah yang ditulis dan disajikan oleh ustad Hafidz Abdurrahman.

Belakangan, timbul istilah baru. Istilah itu adalah MLM Syariah (MLMS). Produk yang dijual adalah produk halal dan thoyyib. Dan ketika kita mengikuti MLMS ini, kita dibekali juga dengan kemampuan medik berupa hijamah (bekam), akupresur, akupunktur, refleksi, hipnoterapi dan lain-lain. Selain tentu saja cara-cara dan metode untuk melakukan rekruitmen dalam MLMS tersebut.

Di dalam MLMS itu, ada peringkat yang diberikan kepada setiap anggota. Dengan ketentuan nilai mata (semacam point) dan prestasi untuk menaiki setiap pangkat/ jabatan (jenjang). Setiap jenjangpun akan mendapatkan ju’alah/ point reward (bonus). Di antaranya jika anggota berhasil menjual sekian banyak nilai mata atau mengikutkan 3 orang untuk mengikuti pelatihan bisnis, dia akan langsung naik ke jenjang di atasnya. Tapi apabila jumlah tersebut 6 atau 24 orang, maka jenjang yang akan dinaiki akan lebih tinggi lagi. Bahkan, seorang downline bisa melebihi upline-nya, jika prestasi menghadirkan peserta lebih besar. Selain itu, setiap leader (upline) wajib memberikan pembinaan kepada downline-nya agar memiliki prestasi yang merata. Jika prestasi itu merata (maksudnya jika berhasil menjual banyaknya nilai mata yang ditentukan atau merekrut orang untuk diikutkan dalam pelatihan bisnis MLMS), maka anggota tersebut berhak naik pangkat (menaiki jenjang yang lebih tinggi). Jika prestasi itu tidak merata, maka anggota tersebut tidak mendapatkan bonus dari perusahaan.

Ketika calon anggota mendaftar jadi anggota dan mengikuti pelatihan bisnis, mereka sudah berhak untuk mendapat pangkat (jenjang) di dalam perusahaan itu. Berarti dia sudah berhak atas bonus yang diberikan.

Untuk produk, setiap anggota berhak mendapatkan harga anggota (harga yang sudah sudah dikurangi atau lebih rendah dari harga pasaran). Dengan ketentuan-ketentuan tertentu, ada bonus yang diberikan untuk pembelian/ penjualan produk.
Apakah fakta yang saya sebutkan di atas termasuk samsarah ‘ala samsarah atau bayiatain? Atau seperti apa pandangan syaríát terhadap fakta di atas? Apakah sudah bersesuaian? Karena mereka juga melampirkan pandangan dewan syari’ah mereka di buku panduan yang diberikan dalam pelatihan bisnis tersebut. Bagaimanapula dengan hanya menjadi member untuk mendapatkan potongan harga dalam membeli produk perusahaan tersebut? Beberapa makalah ustadz soal MLM belum lengkap rasanya untuk menjawab pertanyaan seputar MLMS ini. Mohon jawaban dan penjelasan ustadz. Mungkin secara fakta, apa yang kami sampaikan belum lengkap. Karena baru beberapa hari lalu saya ditawari dan mengikuti pelatihan bisnisnya. Beberapa ustadz secara tegas menyatakan MLM bentuk ini (MLMS) adalah haram tetapi ada juga ustad yang menyatakan bahwa MLM bentuk ini adalah syar’ie atau mubah untuk diikuti dan dijalankan.

Jazakallah khayran jaza atas jawaban ustadz. wassalam

Napak Tilas Jalan Kemuliaan mengatakan...

syukron atas infonya. akan kami pelajari. mohon dikaji dan ditanyakan beberahal berikut:
Pertama, Apakah terjadi mark up harga yang tidak lazim berdasarkan harga pasar pada umumnya (ghabn fâhisy)?. Tapi sepertinya fakta ini tidak terjadi karena produk HPA adalah tidak diproduksi oleh pihak lain selain HPA. ghabn fâhisy ini juga akan berubah hukumnya menjadi sah bila kita tahu harga pasar kemudian kita ridha.

Kedua, Apakah pembelian produk menjadi syarat dicairkan/mendapatkan bonus perekrutan down line? Bila iya maka ini jelas termasuk shafqataini fi shaqah (dua transaksi dalam satu transaksi) dan hukumnya haram.

3. Ketiga, Misalkan A up line merekrut B. kemudian A mendapat bonus maka ini boleh. Selanjutnya B merekrut C. kemudian A mendapat bonus karena B merekrut C, maka bonus ini haram karena termasuk samsarah ‘ala samsarah. Apakah fakta ini terjadi pada HPA? Bila terjadi maka hukumnya haram.

4. Keempat, Berkaitan dengan point 3, apakah bonusnya bersifat mengikat (ada aturan khusus)? Bila mengikat maka hukumnya haram.
syukron