Rabu, 21 April 2010
Hukum Membujang
KOREKSI JAWABAN HUKUM MEMBUJANG UNTUK DAKWAH
Pada tanggal 20 April 2010 saya pernah menjawab pertanyaan seputar hokum membujang untuk berdakwah, selengkapnya tulisan saya tersebut adalah sebagai berikut:
Assalamu ‘alaikum. Bolehkah membujang dengan alasan untuk membaktikan sepenuhnya hidup untuk dakwah (085753124xxx)
Membujang (tabattul) hukumnya makruh. Berdasarkan hadist dari Qatâdah yang menuturkan riwayat dari al-Hasan, yang bersumber dari Samurah:
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ التَّبَتُّلِ
“Bahwa Nabi SAW telah melarang hidup membujang.” (HR Ahmad no. 19329)
Tabattul maknanya adalah memutuskan untuk tidak menikah (memutuskan untuk terus membujang) dan menjauhkan diri dari kenikmatan pernikahan, semata-mata untuk focus beribadah saja.(Sistem Pergaulan dalam Islam hal. 176, Faidhul qadhir 6/393)
Selain itu terdapat hadist dari Abu Yahya, Nabi bersada:
من كان موسرا لان ينكح فلم ينكح فليس منا
Artinya: siapa saja yang diberikan kemudahan (muusir) untuk menikah tapi dia tidak menikah maka di tidak termasuk golongan kami (HR. Baihaqi 7/78, al mu’jam al kabiir 22/366, al mua’jam al aushath 1/538)
Dalam hadist di atas memang terdapat kecaman “tidak termasuk golongan kami” dan bagi orang yang mampu namun tidak menikah. Namun kecaman ini tidak bersifat tegas (ghairu jazm) karena terdapat indikasi (qarinah) bahwa Nabi saw mendiamkan sebagain sahabat yang mampu namun tidak menikah. Maka dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa hokum membujang bagi orang yang mampu adalah makruh, tidak haram.(Taisirul wushuli ilal ushul hal. 18)
Ukuran mampu adalah kelonggaran ekonomi. Imam al baihaqi pada saat mensyarah hadist diatas menyatakan bahwa yang dimaksuh muusir adalah kaya dan memiliki kelonggaran harta (Syu’abul iman lil baihaqi 11/461, Ma’rifatu ash shahabah li Abi Nai’im 21/120).
Dari hadist ini juga dapat ditarik pemahaman sebaliknya (mafhum mukhalafah) bahwa bagi orang yang tidak memiliki kesiapan ekonomi (harta) maka baginya tidaklah makruh untuk membujang/tidak menikah. Karena pada hadist ini terdapat mafhun syarat berupa huruf syarat “man” barang siapa. Padahal mafhum syarat adalah salah satu bentuk mafhum mukhalafah (al wadhih fi ushulil fiqh hal. 303)
Dalam kontek inilah Nabi mensyaratkan mampu untuk dapat menikah sekaligus memberikan solusi praktis apabila tidak mampu menikah yaitu dengan berpuasa. Nabi saw bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: Wahai para pemuda siapasaja yang mampu dari kalian maka menikahlah dan jika tidak mampu (hendaklah) baginya berpuasa, karena puasa baginya adalah perisai (Hr. Bukhari no. 4677 dan Muslim no. 2486)
Atas dasar ini maka dakwah tidaklah dapat menjadi alasan mubahnya untuk membujang. Maka apabila seseorang pengemban dakwah yang mampu secara ekonomi namun tidak menikah maka dia telah melakukan kemakruhan. Sedangkan apabila memang dia tidak mampu untuk menikah maka mubah baginya untuk membujang.
Namun yang perlu diingat bahwa seseorang harus yakin bahwa Allah SWTlah yang Maha mengatur rizki. Bahkan Allah SWT berfirman:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS. An Nur [24]: 32)
Dan dari Abû Hurayrah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda:
ثلاثة حق على الله أن يعينهم : المكاتب الذي يريد الأداء ، والمجاهد في سبيل الله ، والناكح يريد أن يستعف
“Ada tiga golongan orang yang wajib bagi Allah untuk menolong mereka: mukâtab (budak yang mempunyai perjanjian dengan tuannya untuk menebus dirinya sehingga merdeka) yang ingin membayar tebusan dirinya, seorang mujahid (yang sedang berperang) di jalan Allah; orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan; dan (HR al-Hâkim dan Ibn Hibbân)
Yogyakarta, 20 April 2010
Abu Syamil Ramadhan (081251188553)
Pada kesempatan ini kami ingin mengoreksi jawaban tersebut.
Sebagaimana telah kami sampaikan bahwa definisi tabattul atau membujang adalah:
معنى التبتل الانقطاع عن النكاح وما يتبعه من الملاذ إلى العبادة
Tabattul maknanya adalah memutuskan untuk tidak menikah (memutuskan untuk terus membujang) dan menjauhkan diri dari kenikmatan pernikahan, semata-mata untuk focus beribadah saja.(Sistem Pergaulan dalam Islam hal. 176, Faidhul qadhir 6/393, Nailul Authar 6/488)
Berdasarkan definisi ini yang diharamkan dalam tabattul sebagaimana banyak ditegaskan dalam hadist Nabi adalah membujang untuk alasan menjalani dan mendapatkan kenikmatan ibadah. Tabattul seperti ini adalah tabattul yang dijalani para rahib yahudi dan pendeta Nasrani serta diikuti oleh para sufi yang mengklaim bahwa dengan tabattul mereka akan lebih dekat kepada Allah SWT. Menurut mereka mengekang kenikmatan-kemikmatan jasadiyah adalah cara untuk makrifat dan dapat bertemu dengan ruhul ‘ala (ruh yang tertinggi) (Lihat terjemahan kitab nasyul hadratil Islam karya Ustadz Ahmad al Qashash hal. 296) . Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang keliru karena Islam tidak pernah melarang umatnya untuk merasakan kenikmatan dunia asalnya tetap terikat dengan perintah dan larangan Islam. Bahkan nabi menyatakan: “dan dalam kemaluan salah seorang di antara kalian terdapat sedekah. Para sahabat kemudian bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana seorang diantara kami memuaskan syahwatnya sementara malah ia mendapat pahala?” Rasul saw menjawab:
أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
Bagiamana pendapat kalian, jika ia memuaskannya dalam perkara yang haram; apakah ia akan terkena dosa? Demikian pula, ketika ia memuaskannya dalam perkara yang halal, maka ia akan mendapat pahala (HR Muslim j. 2/697, kitab zakat, no hadist 1.006)
Atas dasar inilah maka membujang dengan alasan semata untuk mendapatkan kenikmatan ibadah hukumnya haram. Sedangkan dakwah adalah salah satu bentuk ibadah, maka haram hokumnya membujang dengan alasan untuk membaktikan hidup untuk dakwah.
Adapun mengenai pendapat Syaikh Atho’ Ibnu Khalil yang menyatakan membujang hukumnya makruh (Lihat Taisirul wushuli ilal ushul hal. 18) harus diartikan makruh jika membujang dengan alasan selain alasan untuk mendapatkan kenikmatan ibadah.
Wallahu ‘alam bi showab
Yogyakarta, 13 April 2011
Abu Syamil Ramadhan (081251188553)
n>
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar