Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan tentang MLM, maka berikut kami sampaikan beberapa hal yang terkait. Semoga dapat memberikan pencerahan dan kejelasan. Nas’alullaha min taufiqihi wa hidayatihi. Amiin
I. Mengenai Buku yang berjudul “Siapa bilang MLM haram” buku ini menurut salah seorang teman dijadikan pembenaran akan mubahnya MLM. Maka tanggapan kami: mungkin orang yang menjadikan pembenaran berdasarkan buku tersebut belum membaca keseluruhan buku tersebut. Setelah kami mengkaji buku tersebut secara seksama ternyata kesimpulan penulis menyatakan bahwa MLM hukumnya haram. Hal ini diperkuat oleh fatwa al-lajnah ad-daimah lil buhust wal ifta (semacam MUI Arab Saudi)
II. Mengenai dua akad. Maka akad ini dapat berupa:
1. Apabila disyaratkan bahwa bonus (baik bonus penjualan produk maupun rekrutmen) hanya dicairkan apabila membeli sejumlah produk. Istilah ini sering disebut tutup point.
2. Apabila pembelian produk menjadi syarat diterimanya seseorang sebagai member (istilah fiqihnya simsar).
3. Apabila disyaratkan bahwa seseorang dapat membeli produk dengan syarat harus menjadi member dulu
III. Mengenai dalil haramnya samsarah ‘ala samsarah (mekelar bertingkat). Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.(An-Nisaa:29). Ayat ini berisi larangan untuk memakan/mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syara’. Keumuman ayat ini akan tidak berlaku apabila ada dalil khusus yang mentakhshisnya. Kaidah fiqh menyatakan “al ‘am yabqa’ fi umumihi malam yarid dalilun yukhashishu bihi” sesuatu yang umum akan tetap dalam keumumannya sebelum datang dalil yang mengkhususkannya. Apabila terdapat dalil yang mengkhususkannya maka dalil tersebut tidak dapat dipakai untuk konteks yang dikhususkan akan tetapi tetap berlaku untuk perkara yang diluar yang dikhususkan.
Diantara dalil yang mengkhususkan adalah tentang kebolehan samsarah (perdagangan perantara).
Ahmad meriwayatkan dari Qais bin Abu Gharazah Al-Kinani, dia berkata: Kami dulu berdagang muatan di Madinah. Dan kami dulu dinamai para makelar (simsar). Lalu Rasulullah saw. datang kepada kami dan menamai kami dengan nama yang lebih baik dari nama yang kami berikan sendiri. Beliau berkata: “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini disertai omong kosong dan sumpah. Maka campurilah dia dengan sedekah.”
Dari pengakuan Rasul saw. terhadap pekerjaan para makelar dan perkataan beliau kepada mereka: “Wahai para pedagang”, menjadi jelas bolehnya pekerjaan makelar dan bahwa itu adalah bagian dari perdagangan. Ini adalah dalil bahwa pekerjaan makelar halal secara syar’i dan merupakan salah satu dari trasanksi yang boleh dalam syara’.
Kata simsar artinya adalah orang mengurusi dan menjaga sesuatu. Lalu kata ini digunakan untuk menunjuk orang menangani penjualan atau pembelian. Fuqaha’ telah mendefinisikan simsar sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan upah tertentu untuk melakukan penjualan dan pembelian. Definisi ini berlaku juga bagi juru lelang (dallal). [1] demikian pula syaikh ‘atho abu rasytah menyatakan: samsarah itu berada di antara penjual dan orang-orang yang diajaknya sebagai pelanggan[2]
Dengan menelaah fakta samsarah pada masa nabi saw dan definisi yang disampaikan fuqaha’ di atas maka kami menyimpulkan bahwa samsarah yang diakui/dibolehkan Nabi adalah samsarah satu level. Fakta dan dalil inilah yang mengkhususkan ayat di atas.
Adapun samsarah yang bertingkat-tingkat atau samsarah ‘ala samsarah yaitu seorang up line mendapat bonus/komisi dari down line yang tidak langsung dibawahnya.[3] Kami tidak menemukan dalil yang membolehkannya . wallahu ‘alam bi shawab. Karena tidak ada dalilnya maka kembali kepada dalil umum yang mengharamkan memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
Dimanakah fakta memakan hak orang lain? Yaitu pada berkurangnya jatah komisi yang seharusnya didapat down line karena harus dibagi dengan up linenya. Dan hal ini pasti terjadi pada perusahaan yang menggunakan system pemasaran MLM. Bila demikian kenyataannya maka kami kembali bertanya kepada pihak yang membolehkan MLM. Atas dasar dan dalil anda membolehkan samsarah ‘ala samsarah? Karena kaidah yang kita adopsi adalah “al ashlu fil af’al at taqayyud bil hukmi syar’ie” hokum asal semua perbuatan adalah terikat dengan hokum syara. Artinya semuanya harus dikembalikan pada dalil.
Sebagai tambahan kita tidak mengadopsi kaidah “al ashlu fil mu’amalah al ibahah malam yarid dalilut tahriim” hokum asal dalam perkara muamalah adalah mubah hingga datang dalil yang mengharamkan.
IV. Adapun pertanyaan “bagaimana kalau bonus tersebut berasal dari perusahaan langsung dan bonus tersebut didapatkan karena seseorang berhasil mengembangkan jaringannya.?” Maka untuk menjawab pertanyaan ini kami kutipkan pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh ‘Atha abu Rasytah:
“Sebuah perusahaan perdagangan produk kesehatan melakukan muamalah dengan pelanggannya sebagai berikut: Jika pelanggannya membeli produk kesehatan darinya maka pelanggan itu memiliki hak untuk mendapatkan komisi dari dua orang pembeli yang dia ajak kepada perusahaan. Berikutnya, kedua orang yang diajak itu—dengan sekadar membeli produk kesehatan dari perusahaan—masing-masing juga memiliki hak untuk mengajak dua orang lagi dan berhak mendapatkan komisi dari dua orang yang diajak. Karena digabungkan kepada hak pembeli pertama maka dia pun mendapatkan komisi jaringan dari empat orang yang diajak oleh dua orang; yang keduanya itu diajak oleh pembeli pertama. Demikian seterusnya. Apakah hal itu dibolehkan?”
Dengan mencermati konteks pertanyaan diatas jelas bahwa yang memberikan komisi/bonus memang perusahaan. Dan apa jawaban beliau. Berikut kutipannya:
“Sesuai dengan pertanyaan: Dua orang yang diajak oleh pembeli pertama itu mengajak empat orang lagi (masing-masing orang mengajak dua orang pelanggan). Kemudian pembeli pertama itu pun mendapatkan komisi dari para pelanggan yang diajak oleh dua orang pelanggan yang diajaknya. Ini tidak sah. Sebab, samsarah itu berada di antara penjual dan orang-orang yang diajaknya sebagai pelanggan. Ini berarti, ujrah (upah) samsarah itu berasal dari pelanggan-pelanggan yang diajaknya, dan bukan dari orang-orang yang diajak oleh orang lain.”
Jadi ya memang yang memberikan bonus adalah perusahaan. Fakta inilah yang beliau nyatakan keharamannya. Hanya satu hal yang perlu dicatat bahwa perusahaan sejatinya memberikan bonus kepada upline adalah karena mengambil sebagian hak yang seharusnya dimiliki secara penuh oleh orang yang membeli produk atau merekrut member baru.
v. Apakah ini wilayah ijtihadi yang memungkinkan bolehnya terjadi beda pendapat? Jawabnya ya. Karena penjualan MLM (muta’adidatu ath-thabaqat atau at taswiiq as sabkii) adalah model transaksi yang baru yang belum pernah ada secara pada masa nabi saw. Demikian pula tidak terdapat dalil yang secara sharih mengharamkan. Misalnya “naha rasulullah saw ‘an at taswiiq as sabki” Rasul saw melarang jual beli bertingkat (MLM). Sehingga benar-benar harus dilakukan pengkajian terhadap fakta kemudian mengeksplorasi nash-nash yang terkait. Oleh karena itulah maka persoalan transaksi MLM ini telah terjadi khilaf di kalanga fuqaha. Ada yang mengharamkan dengan alasan riba, gharar, zhalim dsb termasuk 3 alasan yang disampaikan syaikh ‘Atha abu rasytah. Inilah pendapat jumhur ulama masa kini seperti yang difatwakan al lajnah ad daimah lil buhust wal ifta (semacam MUInya Saudi Arabi) dan al Majma al fiqhu al islami bi Sudan (semcam MUInya Sudan).Sedangkan ulama lain seperti Majlis fatwa Mesir menyatakan mubah dengan dalil tidak ada dalil yang secara tegas mengharamkannya sehingga hukumnya kembali kepada dalil umum tentang bolehnya jual beli (lih. QS al Baqarah: 257) dan kaidah hokum asal muamalah adalah mubah. [4] Wallahu ‘alam bi shawab
Yogyakarta, 20 Februari 2010
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan
[1] Lih. Syakhshiyyah Islamiyyah juz II hal 311
[2] Lih. Pandangan beliau dalam posting ana sebelumnya
[3] Misalnya A merekrut B maka A boleh mendapatkan bonus dari pembelian si B atau mendapat bonus dari perusahaan atas jasa si A merekrut si B. kemudian si B merekrut C. apabila A mendapat bonus dari pembelian produk oleh si C maka inilah fakta samsarah ‘ala samsarah.
[4] Lih. At taswiq as sabki tahta mujahhar li Zaahir Saalim Balfaqiih
1 komentar:
Saya telah membaca dan mengkaji tulisan anda, dan saya merasa anda belum memahami apa itu MLM, apa bedanya dengan money game. Banya diantara orang2 yang faham tentang hukum islam tetapi dalam menetapkan hukum perdagangan modern, MLM misalnya, tidak memahami betul (mungkin bertanya pada org yg belum paham atau mungkin mengkaji sendiri dari bosur yang dikeluarkan suatu MLM). Mohon untuk mengkaji dan menanyakan kepada org2 yg betul2 faham tentang MLM bukan Money game.
Posting Komentar