Apa hukum menjual obat-obatan kimiawi sintetik yang dapat menghantarkan pada dharar dalam jangka panjang?
Jawab
Perlu difahami dulu kaidah Dharar (mudharat) ada dua macam, yaitu:
1. Dharar yang datang dari sesuatu itu dan tidak ada seruan pembuat syara' yang menunjukkan adanya tuntutan untuk mengerjakan, meninggalkan atau memilih. Maka keberadaan sesuatu tersebut sebagai yang berbahaya adalah merupakan dalil atas pengharamannya, karena pembuat syara' telah mengharamkan yang berbahaya. Dan kaedahnya adalah:
الأصل في المضار التحريم
“hukum asal sesuatu yang membahayakan adalah haram”
dalilnya adalah sabda beliau Alaihis-shalatu wassalam:
لا ضرر ولا ضِرار في الإسلام
"tidak ada yang berbahaya dan yang membahayakan di dalam Islam". Hadits dikeluarkan oleh Ath Thabarani.
Dan hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dari hadits Abi Shirmah Malik bin Qais Al Anshari berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda:
من ضارّ أضر الله به، ومن شاق شاق الله عليه
"barang siapa yang membahayakan maka Allah akan membahayakan dia, dan barang siapa yang menyulitkan (saudaranya) maka Allah akan menyulitkan orang tersebut".
2. Dharar yang berlaku secara spesifik dan tidak berlaku umum. Asy Syari telah membolehkan sesuatu secara umum, tapi pada salah satu bagian dari sesuatu yang mubah tersebut ditemukan adanya bahaya. Maka keberadaan bagian yang berbahaya atau mengantarkan pada yang membahayakan tersebut merupakan dalil untuk mengharamkannya. Sebab pembuat syara' memang mengharamkan salah satu bagian dari perkara-perkara yang mubah ketika bagian tersebut berbahaya atau mengantarkan pada yang berbahaya. Kaedahnya adalah:
3. كل فرد من أفراد المباح إذا كان ضاراً أو مؤدياً إلى ضرر حُرم ذلك الفرد وظل الأمر مباحاً
“bahwa setiap bagian dari sesuatu yang mubah apabila bagain itu berbahaya atau mengantarkan pada yang berbahaya maka bagian tersebut adalah haram sedangkan sisa sisanya tetap mubah”
Dalil atas kaidah ini adalah:
“ketika Rasulullah SAW melewati (sumur) Al Hijr lalu beliau berhenti dan manusia mau melepas dahaga dengan air sumur tersebut. Ketika mereka istirahat maka Rasulullah SAW bersabda: "kalian jangan meminum airnya dan kalian jangan berwudhu dengan airnya untuk shalat, dan adonan yang telah kalian buat berikan pada onta. Jangan kalian makan dari adonan tersebut, dan salah satu dari kalian jangan keluar malam kecuali dengan teman”. Maka manusia mengerjakan sebabagaimana yang telah Rasulullah SAW perintahkan kecuali dua orang laki-laki dari Bani Sa'adah salah satu dari kedua orang tersebut keluar untuk menunaikan hajatnya sedangkan yang lain mencari untanya. Adapun yang pergi untuk menunaikan hajatnya, dia tercekik lehernya sedangkan yang pergi mencari untanya, dia diterbangkan angin sampai di gunung Thayyi'. Maka hal tersebut diberitahukan pada Rasulullah SAW, beliaupun bersabda: "bukankah aku telah melarang kalian agar salah seorang dari kalian tidakl keluar kecuali dengan teman". Maka beliaupun mendoakan yang tercekik dan sembuh, sedangkan yang lain yang jatuh di gunung Thayyi', sungguh orang Thayyi' menyerahkan pada Rasulullah SAW ketika beliau sampai di Madinah. Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam Sirahnya.
pada kisah ini bisa diperhatikan bagaimana Rasul mengharamkan salah satu hal yang mubah, maka minum air itu adalah mubah. Tapi Rasul SAW mengharamkan atas mereka meminum air dari sumur Hijr bahkan beliau mengharamkan atas mereka berwudhu dengan air tersebut. Bahwa keluarnya seseorang pada waktu malam sendirian adalah suatu hal yang mubah tapi Rasul mengharamkan atas mereka pada malam tersebut kecuali dengan teman, kemudian beliau menjelaskan bahwa haramnya air tersebut adalah karena ada dharar, dan haramnya keluar sendirian juga karena ada dharar. Jadi adanya dharar pada sesuatu tertentu itulah yang merupakan sebab pengharamannya. Maka hal tersebut seakan-akan merupakan illat. Maka adanya dharar pada sumur Tsamud menyebabkan haramnya air sumur Tsamud tersebut, sedangkan air itu sendiri tetap mubah. Adanya dharar ketika seseorang keluar sendirian pada malam itu dan dari tempat tersebut adalah menyebabkan haramnya keluarnya seseorang sendirian di sana pada malam itu. Tapi keluarnya seseorang sendirian di tempat yang lain dan bukan pada malam itu tetaplah mubah. Maka adanya dharar itu tidak mengharamkan apa yang dimubahkan oleh syara'. Namun adanya dharar pada salah satu bagian dari bagian-bagian yang mubah menjadikan salah satu bagian tersebut mubah sedangkan yang lain tetaplah mubah baik itu perbuatan maupun benda.
Dalil lainnya diriwayatkan:
“bahwa Rasulullah SAW bermukim di Tabuk kira-kira sepuluh malam tidak lebih. Kemudian rombonganpun kembali ke Madinah.Ketika di jalan ada air yang keluar dari wasyal[1] yang disampaikan oleh seorang, dua atau tiga orang yang berkendaraan, pada sebuah lembah yang disebut dengan lembah Musyaqqaq. Maka rasulullah SAW bersabda: “maka barangsiapa mendahului kita pada lembah itu maka jangan meminum sesuatu sampai kita datang pada mata air tersebut”. Lalu yang meriwayatkan berkata: sekelompok kecil orang-orang munafiq mendahului beliau lalu mereka meminumnya, maka ketika Rasulullah SAW sampai maka beliaupun tidak melihat apapun. Lalu beliau bertanya: “siapa yang mendahului kita atas air ini?” Lalu dikatakan pada beliau: wahai Rasulullah si fulan, si fulan, maka beliaupun bersabda: “bukankaah aku melarang mereka untuk minum dari air tersebut sampai aku datang” kemudian Rasulullah SAW melaknat mereka dan mendo’akan buruk atas mereka”. Hadits diriwayatkan Ibnu Hisyam di dalam Sirahnya.
Pada hadits ini Rasul mengharamkan meminum air yang sedikit tersebut. Sebab itu bisa mengakibatkan pasukan kehausan. maka sesungguhnya beliau bersabda:
من سَبَقَنا إلى ذلك الوادي فلا يستقين منه شيئاً حتى نأتيه
“barangsiapa yang mendahului kami pada lembah tersebut maka jangan meminum airnya sampai kami sampai pada lembah tersebut”
Laknat beliau pada dua orang yang meminum air tersebut adalah merupakan dalil haramnya meminum air sampai beliau tiba di tempat tersebut. Maka (sebenarnya) minum air itu adalah mubah, dan menimum air dari lembah tersebut bukan merupakan suatu yang dharar, tapi meminum air sebelum tibanya Rasul dan sebelum membagi air tersebut diantara para tentara dapat mengakibatkan kesulitan pada pasukan, yakni mengantarkan pada bahaya. Maka diharamkannya meminum (air) dari lembah tersebut sampai beliau tiba karena itu akan mengantarkan pada bahaya. Maka kondisi meminum yang mengakibatkan pada bahaya itulah yang mengharamkan meminum (air) dari lembah tersebut maka itu seakan-akan merupakan illat, maka hal itu layaknya illat. Maka keberadaan meminum air dari lembah tersebut yang akan mengantarkan pada bahaya adalah yang mengharamkan meminum (air) dari lembah itu saja. Adapun minum air dari selain lembah tersebut tentunya tetap mubah. Dan meminum air dari lembah itu sendiri selain kondisi yang mengantarkan pada hal yang berbahaya tersebut juga mubah. Maka keberadaan sesuatu yang mengantarkan pada yang dharar tidaklah mengharamkam sesuatu yang telah dibolehkan oleh syara', tapi keberadaan salah satu individu yang mengantarkan pada yang dharar tersebut menyebabkan haramnya individu tersebut saja sedangkan sesuatu (yang lain) tetaplah mubah baik apakah itu merupakan perbuatan atau sesuatu.
Adalah merupakan keharusan untuk mengetahui perbedaan mendasar dari dua hal tersebut. Perkara yang pertama merupakan kaedah untuk hal hal yang tidak ada nash pada hal tersebut pada seruan pembuat syara', keberadaan sesuatu tersebut sebagai suatu yang berbahaya telah menempati posisi nash. Adapun perkara yang kedua terdapat nash yang membolehkannya pada seruan pembuat syara’. (Lihat Syakhshiyah Islamiyah juz 3 hal 457-461)
Adapun hokum memjual obat kimia sintetik makan hukumnya mubah. Hal ini ditinjau karena dua hal:
1. Dalil umum tentang bolehnya jual beli. Allah berfirman:
وأحل الله البيع
Artinya: dan Allah telah menghalalkan jual beli (QS: Al Baqarah: 275)
2. Obat-obatan kimia sintetik hukumnya mubah Karena termasuk kaidah umum “hokum asal suatu benda adalah mubah sebelum ada dalil yang mengharamkannya”. Sedangkan bila dikatakan bahwa secara komulatif obat-obatan kimia sintetik akan dapat menimbulkan dharar. Maka alasan seperti ini tidak bisa diterima. Karena sesuai kaidah dharar yang kedua yang diharamkan hanyalah tehadap individu tertentu yang secara langsung bila mengkonsumsi sesuatu (obat, daging kambing atau sapi dsb) dapat menimbulkan dharar maka dharar itu hanya berlaku bagi individu tersebut dan tidak berlaku umum. Alasan lain ulama telah menghalalkan rokok meskipun terdapat dharar didalamnya. Akan tetapi rokok dalam kondisi tertentu dapat menjadi haram bila dapat mendatangkan dharar bagi individu tertentu (lihat Mafahim Islamiyah jilid 2)
Wallahu ‘alam
Yogyakarta, 3 Februari 2010
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar