Senin, 08 Februari 2010

Seputar Barang Bajakan dan Hak Cipta

Apa hukum memperjual belikan barang bajakan?

Pendahuluan

Istilah bajakan yang dimaksud adalah memperjual belikan barang (baik berupa buku, kaset, cd soft ware dsb) tanpa ijin pemilik hak cipta. Sehingga istilah ini sebenarnya tidak pernah muncul kecuali setelah munculnya seperangkat aturan baik nasional maupun internasional tentang pengaturan hak kekayaan intelektual (HKI).

Kenyataanya banyak kaum muslimin yang ‘terperangkap’ pada pemikiran barat-kapitalis ini. Akibatnya, mereka melakukan kesalahan dalam menetapkan status hukum. Sebagai contoh seorang ustadz saat ditanya tentang status hokum menggunakan barang bajakan maka beliau mneyatakan:

Pada akhir-akhir ini sering terjadi pelanggaran terhadap hak cipta dalam bidang ilmu, seni, dan sastra (intelectual property). Pelanggaran pada hak cipta terutama yang berupa pembajakan buku-buku, kaset-kaset yang berisi musik dan lagu, dan film-film dari dalam dan luar negeri, sudah tentu menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, tidak hanya menimpa kepada para pemegang hak cipta (pengarang penerbit, pencipta musik/lagu, perusahaan film, dan perusahaan rekaman kaset, dan lain-lain), melainkan juga negara yang dirugikan, karana tidak memperoleh pajak penghasilan atas keuntungan yang diperoleh dari pembajak tersebut.

Pembajakan terhadap intelektual property (karya ilmiah, dan lain-lain) dapat mematikan gairah kreatifitas para pencipta untuk berkarya, yang sangat diperlukan untuk kecerdasan kehidupan bangsa dan akselerasi pembangunan negara. Demikian pula pembajakan terhadap hak cipta dapat merusak tatanan sosial, ekonomi dan hukum di negara kita. Karena itu tepat sekali diundangkannya undang-undang No.6 tahun 1982 tentang hak cipta yang dimaksudkan untuk melindungi hak cipta dan membangkitkan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di bidang ilmu, seni dan sastra.

Dari ‘keterjebakan’ ini kemudian ditetapkan status hokum dengan menggunakan dalil-dalil antara lain:

1. al-Qur’an Surat Al-Baqoroh:188 “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil….”

2. Hadits Nabi riwayat Daruqutni dari Anas (hadits marfu’) : “tidak halal harta milik seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.”

3. Hadits Nabi:
“Nabi bertanya, ‘apakah kamu tahu siapakah orang yang bangkrut (muflis, Arab) itu?’ jawab mereka (sahabat): ‘orang yang bangkrut di kalangan kita ialah orang yang sudah tidak punya uang dan barang sama sekali’. Kemudian Nabi bersabda: ‘sebenarnya orang bangkrut (bangkrut amalnya) dari umatku itu ialah orang yang pada hari kiamat nanti membawa berbagai amalan yang baik, seperti shalat, puasa dan zakat. Ia juga membawa berbagai amalan yang jelek, seperti memaki-maki, menuduh-nuduh, memakan harta orang lain, membunuh dan memukul orang. Lalu amalan-amalan baiknya diberikan kepada orang-orang yang pernah dizalimi/dirugikan dan jika hal ini belum cukup memadai, maka amalan-amalan jelek dari mereka yang pernah dizalimi itu ditransfer kepada si zalim itu, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka’.”

Intinya berdasarkan dalil-dalil tadi “beliau-beliau” ingin menyatakan bahwa melanggar hak kepemilikan seseorang yang dijamin berdasarkan undang-undang kekayaan intelektual adalah haram. Pelanggaran yang dimaksud adalah memperbanyak, menggunakan dan memperjual-belikannya.

Sekilas tentang HKI

Perlindungan hak cipta adalah ide yang berasal dari ideologi kapitalisme. Negara-negara kapitalis–industri telah membuat konvensi Paris pada tahun 1883 dan konvensi Bern pada tahun 1886, tentang perlindungan hak cipta. Selain kesepakatan-kesepakatan tersebut, mereka juga membuat beberapa kesepakatan lain yang jumlahnya tidak kurang dari 20 kesepakatan. Kemudian terbentuklah Lembaga Internasional untuk Hak Cipta yang bernama WIPO (World Intellectual Property Organization), yang bertugas mengontrol dan menjaga kesepakatan tersebut. Pada tahun 1995, WTO telah mengesahkan adanya perlindungan hak cipta, dan WIPO menjadi salah satu bagiannya. WTO mensyaratkan bagi negara-negara yang ingin bergabung dengannya, harus terikat dengan perlindungan hak cipta, dan membuat undang-undang terkait guna mengatur perlindungan hak cipta.

Undang-undang Hak Cipta yang dilegalisasi oleh negara-negara tersebut, harus memberikan hak kepada individu untuk melindungi hasil ciptaannya, serta melarang orang lain untuk memanfaatkan ciptaan tersebut kecuali dengan izinnya. Negara harus menjaga hak tersebut dan memberikan sanksi bagi setiap orang yang melanggarnya dengan sanksi penjara puluhan tahun, baik ketika (penciptanya) masih hidup atau telah mati. Undang-undang yang dilegalisasi juga harus mencakup undang-undang perlindungan (bagi) perusahaan-perusahaan pemegang hak patent.

Maksud dari karya cipta adalah, pemikiran atau pengetahuan yang diciptakan oleh seseorang, dan belum ditemukan oleh orang lain sebelumnya. Bagian terpenting dari karya-karya cipta tersebut adalah pengetahuan yang bisa dimanfaatkan dalam perindustrian serta produksi barang dan jasa, dan apa yang saat ini dinamakan dengan 'teknologi'.

Dengan demikian, orang-orang kapitalis menganggap bahwa pengetahuan-pengetahuan individu sebagai 'harta' yang boleh dimiliki, dan bagi orang yang mengajarkan atau mempelajari pengetahuan tersebut tidak diperbolehkan memanfaatkannya, kecuali atas izin pemegang patent dan ahli warisnya, sesuai dengan standar-standar tertentu. Jika seseorang membeli buku, 'disket' atau 'kaset', yang mengandung pemikiran baru, maka ia berhak memanfaatkan sebatas apa yang dibelinya saja, dalam batas-batas tertentu, seperti membaca atau mendengarkan. Dia dilarang, berdasarkan Undang-undang Perlindungan Hak Cipta, untuk memanfaatkannya dalam perkara-perkara lain, seperti mencetak, dan menyalin untuk diperjualbelikan atau disewakan.

Konsep copyright ada sejalan dengan ditemukannya mesin cetak. Sebelum penemuan mesin cetak oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang sama dengan proses pembuatan karya aslinya karena sama-sama melalui penulisan tangan. Tetapi setelah adanya mesin cetak pembuatan salinan lebih mudah, lebih cepat dan relatif murah. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin. Sehingga pada awal keberadannya hak cipta diberikan hanya kepada penerbit untuk menjual karya cetaknya tanpa perantara kepada penulisnya.

Di Indonesia sendiri, banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi terhadap perundang-undangan tentang hak cipta. Perubahan undang-undang ini tidak akan terlepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara terutama dengan negara adidaya Amerika Serikat. Pada tahun 1958, menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern atau dengan nama lain Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works (Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra). Konvensi yang diadakan pada tahun 1886 ini merupakan konvensi pertama tentang masalah hak cipta di antara negara-negara yang berdaulat. Keluarnya indonesia dari konvensi bern dengan tujuan agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti. Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan mengeluarkan Undang-undang Hak Cipta (UUHC) yang pertama kali diatur dalam Undang-undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.

Bila dikatakan bahwa pengaturan hak intelektual adalah untuk menumbuhkembangkan dan menjaga kreativitas hingga lahir beragam inovasi. Tapi justru dalam beberapa kasus, hak cipta yang menghasilkan hak paten justru akan menghambat inovasi. Sejak 1875, perusahaan AT&T mengumpulkan paten untuk mengamankan monopolinya dalam bidang telepon. AT&T memperlambat pengenalan radio selama sekira 20 tahun. Di Jepang, 45% perusahaan mendaftarkan paten dalam rangka mencegah pengembangan, pembuatan, dan penjualan produk sejenis; 41% perusahaan mendaftarkan paten untuk kepentingan defensif, yaitu paten terhadap teknologi-teknologi yang perusahaan tersebut sendiri tidak punya rencana untuk menggunakannya, tapi hanya ingin mencegah perusahaan lain agar tidak menggunakannya; 10% perusahaan mendaftarkan paten dengan harapan mendapat keuntungan dari pengaturan lisensinya.

Konsep HKI sesungguhnya cara penjajahan Barat. Agar kaum muslimin tetap tertinggal dalam bidang sain dan teknologi. Dan Penjajah Barat dapat terus memperkaya diri dengan kedok HKI. Sebagai contoh, Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadhilah Supari menulis buku berjudul “Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung”. Buku tersebut mengkritisi ketidakadilan rezim sharing virus yang telah dikembangkan WHO. Indonesia yang menjadi Negara pengirim sampel virus flu burung tidak mendapatkan bagian sepeserpun dari penjulan vaksin sebaliknya harus membeli vaksin yang harganya mahal. Padahal bahan pembuatan vaksin (yaitu virus) diambil dari Indonesia.

HKI dalam Tinjauan Islam

Islam telah mengatur kepemilikan individu dengan suatu pandangan bahwa kepemilikan tersebut merupakan salah satu penampakkan dari naluri mempertahankan diri (gharizah baqa'). Atas dasar itu, Islam mensyariatkan bagi kaum Muslim 'kepemilikan' untuk memenuhi naluri ini, yang akan menjamin eksistensi dan kehidupan yang lebih baik. Islam membolehkan bagi seorang Muslim untuk memiliki harta sebanyak-banyaknya, seperti: binatang ternak, tempat tinggal, dan hasil bumi. Di sisi lain Islam mengaharamkan seorang Muslim untuk memiliki barang-barang, seperti: khamr, daging babi, dan narkoba. Islam telah mendorong seorang Muslim untuk berfikir dan menuntut ilmu, begitu juga Islam membolehkan seorang Muslim untuk mengambil upah karena mengajar orang lain. Islam juga telah mensyariatkan bagi seorang muslim sebab-sebab yang dibolehkan untuk memiliki suatu barang, seperti: jual-beli, perdagangan, dan waris; dan mengharamkan seorang Muslim sebab-sebab (kepemilikan, penerj.) lain (yang bertentangan dengan Islam, penerj.), seperti: riba, judi, dan jual beli valas (tidak secara tunai dan langsung-penerj).

Kepemilikan dalam Islam, secara umum diartikan sebagai ijin Syaari' (Allah) untuk memanfaatkan barang. Sedangkan kepemilikan individu adalah hukum syara' yang mengatur barang atau jasa yang disandarkan kepada individu; yang memungkinkannya untuk memanfaatkan barang dan mengambil kompensasi darinya. Kepemilikan individu dalam Islam tidak ditetapkan kecuali atas dasar ketetapan hukum syara' bagi kepemilikan tersebut, dan penetapan syara' bagi sebab kepemilikan tersebut. Karena itu, hak untuk memiliki sesuatu tidak muncul dari sesuatu itu sendiri, atau manfaatnya; akan tetapi muncul dari ijin Syaari' untuk memilikinya dengan salah satu sebab kepemilikan yang syar'iy, seperti jual-beli dan hadiah.

Islam telah memberikan kekuasaan kepada individu atas apa yang dimilikinya, yang memungkinkan ia dapat memanfaatkannya sesuai dengan hukum syara'. Islam juga telah mewajibkan negara agar memberikan perlindungan atas kepemilikan individu dan menjatuhkan sanksi bagi setiap orang yang melanggar kepemilikan orang lain.

Mengenai kepemilikan atas Pemikiran Baru, mencakup dua jenis dari kepemilikan individu. Pertama, sesuatu yang terindera dan teraba, seperti merk dagang dan buku. Kedua, sesuatu yang terindera tetapi tidak teraba, seperti pandangan ilmiah dan pemikiran jenius yang tersimpan dalam otak seorang pakar.

Apabila kepemilikan tersebut berupa kepemilikan jenis pertama, seperti merk dagang yang mubah, maka seorang individu boleh memilikinya, serta memanfaatkannya dengan cara mengusahakannya atau menjual-belikannya. Negara wajib menjaga hak individu tersebut, sehingga memungkinkan baginya untuk mengelola dan mencegah orang lain untuk melanggar hak-haknya. Sebab, dalam Islam, merk dagang memiliki nilai material, karena keberadaanya sebagai salah satu bentuk perniagaan yang diperbolehkan secara syar'iy. Merk dagang adalah Label Product yang dibuat oleh pedagang atau industriawan bagi produk-produknya untuk membedakan dengan produk yang lain, yang dapat membantu para pembeli dan konsumen untuk mengenal produknya. Definisi ini tidak mencakup merk-merk dagang yang sudah tidak digunakan lagi, sebagaimana oleh sebagian undang-undang didefinisikan sebagai: “Merk apapun yang digunakan atau merk yang niatnya hendak digunakan.” Sebab, nilai merk dagang dihasilkan dari keberadaanya sebagai bagian dari aktivitas perdagangan secara langsung. Seseorang boleh menjual merk dagangnya. Jika ia telah menjual kepada orang lain, manfaat dan pengelolaannya berpindah kepada pemilik baru.

Adapun mengenai kepemilikan fikriyyah, yaitu jenis kepemilikan kedua, seperti pandangan ilmiah atau pemikiran briliant, yang belum ditulis pemiliknya dalam kertas, atau belum direkamnya dalam disket, atau pita kaset, maka semua itu adalah milik individu bagi pemiliknya. Ia boleh menjual atau mengajarkannya kepada orang lain, jika hasil pemikirannya tersebut memiliki nilai menurut pandangan Islam. Bila hal ini dilakukan, maka orang yang mendapatkannya dengan sebab-sebab syar'iy boleh mengelolanya tanpa terikat dengan pemilik pertama, sesuai dengan hukum-hukum Islam. Hukum ini juga berlaku bagi semua orang yang membeli buku, disket, atau pita kaset yang mengandung materi pemikiran, baik pemikiran ilmiah ataupun sastra. Demikian pula, ia berhak untuk membaca dan memanfaatkan informasi-informasi yang ada di dalamnya. Ia juga berhak mengelolanya, baik dengan cara menyalin, menjual atau menghadiahkannya, akan tetapi ia tidak boleh mengatasnamakan (menasabkan) penemuan tersebut pada selain pemiliknya. Sebab, pengatasnamaan (penisbahan) kepada selain pemiliknya adalah kedustaan dan penipuan, di mana keduanya diharamkan secara syar'iy. Oleh karena itu, hak perlindungan atas kepemilikan fikriyyah merupakan hak yang bersifat maknawi, yang hak pengatasnamaannya dimiliki oleh pemiliknya. Orang lain boleh memanfaatkannya tanpa seijin dari pemiliknya. Jadi, hak maknawi ini hakekatnya digunakan untuk meraih nilai akhlaq.

Adapun, syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum-hukum positif, yang membolehkan pengarang buku, atau pencipta program, atau para penemu untuk menetapkan syarat-syarat tertentu atas nama perlindungan hak cipta, seperti halnya hak cetak dan proteksi penemuan (patent), merupakan syarat-syarat yang tidak syar'iy, dan tidak wajib terikat dengan syarat-syarat tersebut. Sebab, berdasarkan akad jual-beli dalam Islam, seperti halnya hak kepemilikan yang diberikan kepada pembeli, pembeli juga diberi hak untuk mengelola apa yang ia miliki (yang telah ia beli, penej.). Setiap syarat yang bertentangan dengan akad (syar'iy) hukumnya haram, walaupun pembelinya rela meski dengan seratus syarat. Dari 'Aisyah ra:

“Barirah mendatangi seorang perempuan, yaitu seorang mukatab yang akan dibebaskan oleh tuannya jika membayar 9 awaq (1 awaq=12 dirham=28 gr). Kemudian Barirah berkata kepadanya, “Jika tuanmu bersedia, aku akan membayarnya untuk mereka jumlahnya, maka loyalitas [mu] akan menjadi milikku.” Mukatab tersebut lalu mendatangi tuannya, dan menceritakan hal itu kepada mereka. Kemudian mereka menolak dan mensyaratkan agar loyalitas [budak tersebut] tetap menjadi milik mereka. Hal itu kemudian diceritakan 'Aisyah kepada Nabi saw. Rasulullah saw bersabda: “Lakukanlah.” Kemudian Barirah melaksanakan perintah tersebut dan Rasulullah saw berdiri, lalu berkhutbah di hadapan manusia. Beliau segera memuji Allah dan menyanjung namaNya. Kemudian bersabda: “Tidak akan dipedulikan, seseorang yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam Kitabullah.” Kemudian beliau bersabda lagi:

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ كِتَابُ اللَّهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللَّهِ أَوْثَقُ وَالْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ

“Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka syarat tersebut adalah bathil. Kitabullah lebih berhak, dan syaratnya (yang tercantum dalam Kitabullah) bersifat mengikat. Loyalitas dimiliki oleh orang yang membebaskan.” (HR. Ibnu Maajah)

Mantuq (teks) hadist ini menunjukkan bahwa syarat yang bertentangan dengan apa yang tecantum dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul, tidak boleh diikuti. Dan selama syarat perlindungan hak cipta menjadikan barang yang dijual (disyaratkan) sebatas pada suatu pemanfaatan tertentu saja, tidak untuk pemanfaatan yang lain, maka syarat tersebut adalah batal dan bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Sebab, keberadaannya bertentangan dengan ketetapan aqad jual-beli syar'iy yang memungkinkan pembeli untuk mengelola dan memanfaatkan barang dengan cara apapun yang sesuai syar'iy, seperti jual-beli, perdagangan, hibah, dan lain-lain. Syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal adalah syarat yang batil, berdasarkan sabda Rasulullah saw:

وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Kaum Muslim terikat atas syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal dan menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi no 1403)

Oleh karena itu, secara syar'iy tidak boleh ada syarat-syarat hak cetak, menyalin, atau proteksi atas suatu penemuan. Setiap individu berhak atas hal itu (memanfaatkan produk-produk intelektual). Pemikir, ilmuwan, atau penemu suatu program, mereka berhak memiliki pengetahuannya selama pengetahuan tersebut adalah miliknya dan tidak diajarkan kepada orang lain. Adapun setelah mereka memberikan ilmunya kepada orang lain dengan cara mengajarkan, menjualnya, atau dengan cara lain, maka ilmunya tidak lagi menjadi miliknya lagi. Dalam hal ini, kepemilikinnya telah hilang dengan dijualnya ilmu tersebut, sehingga mereka tidak berwenang melarang orang lain untuk memanfaatkannya; yaitu setelah ilmu tersebut berpindah kepada orang lain dengan sebab-sebab syar'iy, seperti dengan jual-beli atau yang lainnya.

Adapun peringatan yang tercantum pada beberapa 'disket komputer', yakni tidak diperbolehkan mengcopy program; di mana pemiliknya telah melarang orang lain untuk mengcopinya kecuali atas izinnya; berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

Kaum Muslim terikat atas syarat-syarat mereka dan sabda Beliau :

لا يحل مال أمرئ مسلم إلا بطيب نفسه

“tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dirinya”, (Hr. Daruquthni)

juga sabdanya :

“barang siapa mendapatkan paling awal sesuatu yang mubah, maka ia adalah orang yang paling berhak”.

Maka kesalahan 'peringatan' tersebut terletak pada pengumuman yang menggunakan lafazd 'syarat-syarat mereka', tanpa ada pengecualian sebagaimana yang telah dikecualikan oleh Rasul dengan sabdanya, “…kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal…”. Dua hadits terakhir tidak sesuai dengan manath kasus tersebut, sebab hadits, '…tidak halal harta seseorang …”, manath-nya adalah harta milik orang lain, sedangkan 'disket komputer' telah menjadi milik pembeli. Adapun hadits, “barang siapa mendapatkan paling awal sesuatu yang mubah, maka ia orang yang paling berhak,” manath-nya adalah harta milik umum, sebagaimana hadits, “(Kota) Mina menjadi hak bagi siapa saja yang datang lebih dahulu (untuk menempatinya)”. Sedangkan 'disket komputer' tergolong kepemilikan individu.

Kesimpulan

1. Istilah bajakan yang terkait HKI adalah sebuah istilah yang menyesatkan dan dibangun atas paradigm barat-sekuler

2. Boleh hukumnya memamfaatkan (mengcopy, memperbanyak, menjual, menyewakan dsb) barang yang telah kita beli dengan cara syar’I tanpa harus terikat dengan syarat-syarat batil yang ditetapkan oleh UU HKI.

3. Betapa penjajahan yang dilakukan Barat-Imperialis sudah begitu mengakar berurat ditubuh kaum muslimin hingga mereka tidak sadar bahwa mereka hakikatnya sedang terjajah tapi irorisnya mereka ‘menikmati’ penjajahan tersebut. Saatnya bangki dengan mabda Islam, Terapkan Syariah Tegakan Khilafah

Wallahu ‘alam

Wahyudi Abu Syamil Ramadhan (081251188553)

Yogyakarta, 8 Februari 2010

Maraji’: Nasyrah Hizbut Tahrir dan beberapa Referensi pendukung lain

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jadi menurut anda, membajak software itu adalah halal?
Saya mencari sesuap nasi dengan membuat software, apakah anda tidak berpikir bahwa hal itu tidak merugikan saya? Apakah anda pikir software itu merupakan buah pikiran? atau apakah anda tahu software itu apa? software itu produk bukan hasil pemikiran saja, butuh waktu, butuh biaya, butuh tenaga kerja untuk membuatnya.
saya sama sekali tidak mengIKHLASkan orang membajak software buatan saya.
Kalau semua orang mengikuti pikiran anda, saya mau cari uang dari mana? apakah anda menyarankan saya untuk ganti pekerjaan saja?

Meong mengatakan...

Boleh hukumnya memamfaatkan (mengcopy, memperbanyak, menjual, menyewakan, dsb), sudah ada tuh license nya, namanya Open Source. nah sekarang landasan hukumnya apa ? nah makadari itu di buatlah Undang Undang cuy...
Saat ini yang peling mendekati dengan aturan Syar'i ya Open Source. Hidup Open Source....!!! :D