Jumat, 04 Maret 2011

APAKAH WAHYU MASIH TURUN?

Di antara ocehan ngawur Ghulam Ahmad yang didukung kalangan liberal adalah bahwa wahyu masih turun. Bedanya Nabi palsu Ahmadiyah mengaku menerima wahyu dalam bentuk verbal,1 sedangkan kalangan liberal mengakui bahwa wahyu dalam bentuk verbal telah berhenti turun tetapi wahyu dalam bentuk ilham aqli masih terus turun hingga hari kiamat. Benarkah anggapan tersebut?. Risalah singkat ini memcoba menjawab pemikiran sesat dan ngawur tersebut. Diantara penyebab kesesatan pikir kalangan liberal adalah menurut mereka penerima wahyu tidak hanya menjadi monopoli para nabi dan rasul. Alasannya al qur’an telah menggunakan kata “auha” untuk objek yang beragam, seperti ibu nabi Musa as, lebah dsb. Benarkan klaim ini?. Inilah bukti kebodohan kalangan liberal atau mungkin pura-pura bodoh sehingga akhirnya Allah benar-benar menjadikan mereka diselimuti kebodohan. Siapapun yang mempelajari ilmu bahasa, tidak terkecuali bahasa Indonesia tentu dengan mudah dia akan mengerti bahwa ada kata-kata tertentu yang memiliki banyak makna dan makna tersebut digunakan sesuai dengan konteksnya dalam kalimat. Sebagai contoh kata “bunga”. Kata bunga dalam kalimat “Bunga-bunga di taman ini begitu indah” tentu berbeda dengan kalimat “ karena lulus ujian maka hatinya berbunga-bunga” demikian pula kalimat ”ia meminjam uang dengan bunga 10 %” dan seterusnya. Demikian pula dalam bahasa arab juga mengenal perbedaan makna pada satu kata tertentu yang disebut makna musytarak. Kata “auha” atau “mewahyukan” termasuk makna musytarak atau satu kata banyak arti yang tentu harus dimaknai sesuai dengan kontek kalimatnya. Al wahyu merupakan mashdar, yang berarti isyarat yang cepat dan rahasia. Dikatakan “auhaitu ila fulan” artinya aku telah mewahyukan kepada si fulan” adalah jika aku berbicara secara secara cepat dan rahasia. Dan kata “auha” berarti memberi isyarat, dan “auha Allahu ilaihi” berarti “alhamahu (mengilhamkan kepadanya). Kata “auha” banyak digunakan dalam al-qur’an dengan makna yang beragam tersebut, yaitu: 1. Bermakna ilham yang bersifat fitri pada manusia, diantaranya firman Allah: وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari para rasul. (QS. Al-Qashosh [28]: 7) 2. Bermakna ilham yang bersifat gharizi dari hewan. Sebagaimana firman Allah: وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia", (QS. An Nahl [16]: 68) 3. Bermakna bisikan jahat yang berasal dari manusia kepada manusia lain, atau dari jin kepada setan kemudian kepada manusia. Sebgaimana firman Allah: وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan (QS. Al an’am [6]: 112) 4. Bermakna mengisyaratkan, makna ini terdapat dalam surah Maryam yang menceritakan tentang nabi Zakaria as: فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang (QS. Maryam [19]: 11). Makna “auha” pada ayat di atas diartikan dengan “isyarat” sebagaimana penjelasan ar-Razi karena Nabi Zakaria tidak bisa bercakap-cakap dalam tiga hari sebagai tanda bahwa istrinya sedang mengandung, sebagaimana Allah jelaskan: قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِي آَيَةً قَالَ آَيَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا رَمْزًا وَاذْكُرْ رَبَّكَ كَثِيرًا وَسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ Berkata Zakariya: "Berilah aku suatu tanda (bahwa isteriku telah mengandung)". Allah berfirman: "Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari". (QS. Ali ‘Imron [3]: 41) 5. Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa suatu perintah untuk dikerjakan. Allah berfirman: إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آَمَنُوا (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman". (QS. Al anfal[8]: 12) Demikianlah bahwa kata “auha” memiliki banyak makna sesuai dengan konteks kalimatnya. Hanya saja kata “wahyu” memiliki makna syar’ie (etimologi) yang bersifat spesifik. Ulama sepakat bahwa wahyu adalah kalamullah yang diturunkan kepada para nabi. Di antara sekian definisi wahyu yang terbaik menurut Syaikh Dr. Muhammad Ali Hasan dalam Al-manar fi ulumil qur’an hal 23 adalah definisi yang diriwayatkan oleh az-Zuhri ketika dia ditanya tentang wahyu, maka ia berkata: الوحي ما يوحى إلى نبي من الأنبياء فيثبته فيقلبه فيتكلم به ويكتبه وهوكلام الله Wahyu adalah apa yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada para Nabi, dan menetapkannya dalam kalbunya sehingga beliau mengucapkannya dan menuliskannya sebagai kalamullah (al itqan fi ulumil qur’an li imam as-suyuthi 1/49) Wahyu berbeda dengan ilham. Ilham adalah intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal ini serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih, dan senang (al Wahyu al-Muhammadiy oleh Syaikh Rasyid Ridha hal 44). Demikian pula akal bukanlah wahyu. Karena akal adalah proses interpretasi objek yang terindra berdasarkan informasi sebelumnya yang ada pada otak melalui proses pengindraan oleh panca indra (Nizhom al Islam karya Syaikh Taqiyuddin an Nabahani hal. 42) Berdasarkan definisi wahyu ini jelaslah bahwa wahyu hanya diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul. Wahyu tidak turun pada sahabat nabi sebagaimana anggapan Zafrullah Ahmad Pontoh, Jubir Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), atau kepada akal-akal sesat kalangan liberal, lebih-lebih turun kepada Nabi palsu Ahmadiyah, Ghulam Ahmad. Berdasarkan definisi ini pula dapat disimpulkan bahwa wahyu telah berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa kenabian setelah wafatnya Nabi saw. Karena telah qath’I (pasti) bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para Nabi. Sebagaimana Firman Allah dalam surah al ahzab [33] ayat 40 dan hadist mutawatir yang menegaskannya. Adapun argumen jubir JAI, Pontoh saat diskusi di TV one beberapa waktu lalu bahwa para sahabat telah mendapatkan wahyu saat mereka berbeda pendapat tentang cara memandikan rasul saw. Apakah dengan pakaiannya ataukah tanpa pakaian. Hingga datanglah seseorang yang tidak dikenal menyampaikan tata cara memandikan Nabi saw, secara lengkap hadist tersebut adalah sbb: فَلَمَّا اخْتَلَفُوا أَلْقَى اللَّهُ عَلَيْهِمْ النَّوْمَ حَتَّى مَا مِنْهُمْ مِنْ أَحَدٍ إلَّا وَذَقَنُهُ فِي صَدْرِهِ ثُمَّ كَلَّمَهُمْ مُكَلِّمٌ مِنْ نَاحِيَةِ الْبَيْتِ لَا يَدْرُونَ مَنْ هُوَ اغْسِلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ ثِيَابُهُ فَغَسَّلُوهُ وَعَلَيْهِ قَمِيصُهُ يَصُبُّونَ الْمَاءَ فَوْقَ الْقَمِيصِ وَيُدَلِّكُونَهُ بِالْقَمِيصِ دُونَ أَيْدِيهِمْ " Ketika mereka (para shahabat) berbeda pendapat tentang cara memandikan Rasulullah, tiba-tiba Allah membuat mereka tertidur hingga dagu mereka berada di dada mereka. Setelah itu, seseorang dari pojok rumah, mereka tidak mengenal siapa dia, dia berkata: mandikanlah rasulullah saw tanpa melepas pakaian beliau. Kemudian para shahabat memandikan beliau dengan pakaiannya, menyiramkan air di atas gamisnya dan mengosok beliau dengan mengosok pakaiannya (HR. Ahmad dan Abu Dawud dihasankan oleh Syaikh al Al bani, lihat pula di Sirah Ibnu Hisyam 2/662). Tanggapan kami: 1. Hadist ini adalah hadist ahad yang kualitasnya hasan menurut al Albani. Padahal menurut jumhur ulama hadist ahad tidak dapat dijadikan dalil dalam aqidah, lebih-lebihn pendapat ngawur dari Pontoh ini bertentangan 180 derajat dengan dalil-dali yang qath’I yang menegasakan bahwa wahyu telah berakhir dengan wafatnya Nabi saw. 2. Hadist ini tidak menunjukan sama sekali bahwa sahabat menerima wahyu. Ulama tidak pernah menggunakan hadist ini dalam kitab-kitab mereka dalam pembahasan akidah, yaitu bahwa wahyu telah turun pada sahabat. Mereka hanya menjadikan dalil ini dalam bab-bab fikih tentang tata cara memandikan nabi saw sekaligus menunjukan kemuliaan beliau. Jadi sebuah kelancangan menjadikan dalil ini bahwa wahyu masih turun. Wallahu ‘alambi shawab. Wahyudi Abu Syamil Ramadhan (Ketua Lajnah Tsaqafiyah HTI Yogyakarta)

Tidak ada komentar: