Rabu, 26 Oktober 2011

THALABUN-NUSHRAH: METODE MENEGAKKAN KHILAFAH Refleksi Thalabun-Nushroh di Masa Nabi dan Kini


Pengantar
Dukungan terhadap penegakkan syariah dan khilafah kian hari semakin mendapat dukungan dari umat, lebih-lebih para ulama. Indikasinya, kegiatan-kegiatan penyadaran untuk membentuk kesadaran umum senantiasa dihadiri para alim-ulama yang ikhlas untuk mengembalikan kejayaan Islam. Hanya saja ada satu pertanyaan penting yang senantiasa mengemuka dalam beragam kegiatan tersebut. Bagaimana upaya atau metode efektif untuk menegakkan khilafah?.

Disisi lain, setidaknya ada dua pelajaran terpenting adalah: Pertama, pembentukan opini umum berlandaskan kesadaran umum ternyata kurang optimal. Kedua: proses peralihan kekuasaan tidak menghasilkan kekuasaan baru sesuai tuntutan Islam.

Dalam konteks inilah penting untuk mengkaji kembali metode praktis dan efektif yang dicontohkan Nabi saw dalam menegakkan khilafah yaitu metode thalabun-nushrah. Tulisan yang merupakan intisari dari tulisan KH. Muhammad Siddiq al Jawi dan Syaikh Abu al Mu’tashim dalam majalah al wa’ie (edisi arab) ed. 282-283 dengan judul Tahayya`u al-Ajwâ` li Thalab an-Nushrah, diterjemahkan oleh Ustadz Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy mencoba menjawab pertanyaan krusial di atas. Apa pengertian thalabu an nushroh? Apakah benar thalabu an nushroh metode menegakkan khilafah? Siapa sesungguhnya ahlu an nushroh? Bagaimana thalabu an nushroh yang dilakukan Nabi saw? Bagaimana mengimplementasikan thalabu an nushroh di masa kini?

Pengertian dan Tujuan
An-Nushrah dan al-munâsharah memiliki makna i’ânah ‘alâ al-amr (menolong atas suatu perkara). Orang Arab menyatakan, “nasharahu ‘alâ ‘adwihi wa yanshuruhu nashran (menolong seseorang atas musuhnya, dan ia sedang memberikan sebuah pertolongan). Ibnu Mandzur ketika mengutip hadist Nabi saw
انصُر أَخاك ظالِماً أَو مظلوماً وتفسيره أَن يمنَعه من الظلم إِن وجده ظالِماً وإِن كان مظلوماً أَعانه على ظالمه والاسم النُّصْرة (لسان العرب ابن منظور ج. 5 ص. 210)

Sedangkan menurut istilah, thalabun nushrah adalah aktivitas meminta pertolongan (nushrah) yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kewenangan (amîr) kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk tujuan penyerahan kekuasaan dan penegakkan Daulah Islamiyyah, atau untuk tujuan-tujuan lain yang berhubungan dengan dukungan terhadap dakwah, misalnya: (1) untuk melindungi para pengemban dakwah di negeri-negeri Islam, agar mereka mampu menyampaikan maksud dan tujuan dakwah mereka di tengah-tengah masyarakat, (2) untuk menyingkirkan berbagai macam keburukan, baik yang akan menimpa maupun yang telah menimpa pengemban dakwah.

Thalabun-nushrah bukanlah suatu tahapan (marhalah) dakwah, melainkan suatu amal (aktivitas) dakwah dalam suatu tahapan dakwah. Thalabun-nushrah dilakukan pada saat masyarakat, khususnya para pemimpinnya, menolak penerapan Islam dalam kehidupan bernegara dan terjadi tindakan represif seperti penganiayaan terhadap para aktivis partai politik yang berjuang menegakkan Khilafah (M. Husain Abdullah, Ath-Thariqah asy-Syar’iyah li Isti’naf al-Hayah al-Islamiyah, hlm. 90).

Thalabun-nushrah mempunyai dua tujuan:
1. Mendapatkan perlindungan (himayah) bagi para individu pengemban dakwah dan kegiatan dakwahnya. Misal, Rasulullah saw. mendapat perlindungan dari pamannya (Abu Thalib), atau Rasulullah saw. mendapat jaminan keamanan dari Muth’im bin Adi sepulangnya dari Thaif.
2. Mendapatkan kekuasaan (al-hukm) guna menegakkan hukum Allah dalam negara Khilafah. Misal, dulu Rasulullah saw. menerima kekuasaan dari kaum Anshar sehingga beliau kemudian dapat menegakkan Daulah Islamiyah di Madinah (Manhaj Hizbut Tahrir, 2009, hal. 49; M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital, I/409).

Metode Mendirikan Khilafah
Thalabun-nushrah adalah thariqah (metode) yang tetap dan wajib dilaksanakan untuk menegakkan Khilafah. Jadi, thalabun-nushrah bukan uslub (cara) yang hukumnya mubah yang dapat berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi. (Ahmad Al-Mahmud, Ad-Da’wah ila al-Islam, hlm. 34).

Kewajiban thalabun-nushrah didasarkan pada teladan Rasulullah saw. dalam perjuangan beliau mencari perlindungan dan kekuasaan dari para kepala kabilah (suku) saat itu. Rasulullah saw. mulai melakukannya pada tahun ke-8 kenabian, khususnya setelah wafatnya paman beliau Abu Thalib dan istri beliau Khadijah, dan semakin meningkatnya gangguan fisik dari kaum Quraisy kepada beliau. Rasulullah saw.
melakukan thalabun-nushrah kepada banyak kabilah, baik di kampung mereka maupun di tempat-tempat mereka saat musim haji di Makkah. Ibnu Saad dalam kitabnya At-Thabaqat menyebutkan 15 kabilah yang didatangi Rasulullah saw. dalam rangka thalabun-nushrah, di antaranya kabilah Kindah, Hanifah, Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Kalb, Bakar bin Wail, Hamdan, dan lain-lain. Kepada setiap kabilah Rasulullah saw. mengajak mereka untuk beriman dan memberi nushrah kepada beliau untuk memberikan kekuasaan demi tegaknya agama Allah. (M. Abdullah Al-Mas’ari, Al-Mana’ah wa Thalab an-Nushrah, hlm. 3-8).

Sungguh, upaya ini memang tidak mudah. Penolakan demi penolakan datang beruntun silih berganti. Namun, Rasulullah saw. tidak mengubah cara ini dengan cara lain dan terus memegang teguh cara ini dengan gigih walaupun sering menghadapi kegagalan dan penolakan. Ini merupakan qarinah (indikasi) yang jazim (tegas) bahwa thalabun-nushrah yang dilakukan Rasulullah saw. adalah suatu kewajiban dan perintah syar’i, yakni perintah dari Allah SWT, bukan inisiatif Rasulullah saw. sendiri atau sekadar tuntutan keadaan. Alhamdulillah, akhirnya Rasulullah saw. berhasil mendapatkan nushrah dari kaum Anshar pada tahun ke-12 kenabian yang menyerahkan kekuasaan mereka di Madinah kepada beliau (‘Atha bin Khalil, Taysir al-Wushul ila al-Ushul, hlm. 21; Ahmad al-Mahmud, Ad-Da’wah ila al-Islam, hlm. 35; M. Muhsin Radhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu, hlm. 311).

Jelaslah, satu-satunya metode yang sahih untuk mendapatkan kekuasaan dan mendirikan Khilafah adalah thalabun-nushrah; bukan dengan cara-cara lain semisal mendirikan masjid, rumah sakit, sekolah; atau menolong kaum fakir-miskin dan mengajak pada akhlaqul karimah. Ini semua amal salih, tetapi bukan metode menegakkan Khilafah. Metodenya bukan pula dengan mengangkat senjata memerangi penguasa, atau dengan terjun ke politik praktis dengan masuk parlemen atau pemerintahan sekular, atau dengan pengerahan massa (people power) untuk menggulingkan kekuasaan. Semua cara ini adalah penyimpangan (mukhalafah) dari teladan thalabun-nushrah yang dicontohkan Rasulullah saw. untuk menegakkan Daulah Islamiyah (Ahmad al-Mahmud, Ad-Da’wah ila al-Islam, hlm. 37).

Thalabun nushrah-tidaklah identik dengan kudeta militer (al-inqilab al-‘askari). Thalabun-nushrah adalah aktivitas politik, bukan aktivitas militer. Jadi keliru kalau ada yang berpendapat thalabun-nushrah sama saja dengan kudeta militer. Yang benar, kudeta militer hanyalah salah satu cara (uslub)—bukan satu-satunya cara—yang dapat dilaksanakan oleh Ahlun Nushrah. Sebagai metode, thalabun-nushrah adalah langkah prinsipil yang tunggal dan tetap yang dilakukan oleh jamaah/harakah dakwah kepada Ahlun Nushrah demi peralihan kekuasaan. Adapun teknis peralihan kekuasaannya bergantung sepenuhnya kepada Ahlun Nushrah; boleh jadi dengan kudeta militer atau dengan cara lain yang damai, tergantung situasi yang ada. Bahkan dulu kaum Anshar memberikan kekuasaan kepada Rasulullah saw. dengan cara damai, karena memang saat itu kaum Anshar sendirilah yang sedang memegang kekuasaan (Hazim ‘Ied Badar, Thariqah Hizb at-Tahrir fi at-Taghyir, hlm.18).

Thalabun-nushroh pada masa Nabi SAW
Dengan mengkaji sirah Nabi saw akan menyaksikan bahwa Nabi saw melakukan beberapa aktivitas penting dan berkesinambungan sebelum mempersiapkan suasana nushrah dan penyerahan kekuasaan di Madinah adalah sbb:
1. Mengontak delegasi suku Khazraj yang berkunjung ke Mekah dan meminta mereka masuk ke dalam Islam. Setelah masuk Islam, Nabi saw memerintahkan mereka kembali ke Madinah untuk mendakwahkan Islam kepada kaumnya. Setibanya di kota Madinah, mereka menampakkan keislaman mereka dan mengajak kaumnya masuk ke dalam Islam. Jumlah kaum Muslim terus bertambah.
2. Pada tahun berikutnya, mereka kembali menemui Rasulullah saw. Jumlah mereka pada saat itu adalah 12 orang. Nabi saw menerima mereka dan mengutus Mush’ab bin ‘Umair ra. untuk menjadi pengajar mereka di Madinah.
3. Akhirnya, melalui tangan Mush’ab bin ‘Umair ra, pembesar-pembesar Auz dan Khazraj masuk ke dalam agama Islam dan menunjukkan dukungan dan loyalitas yang amat kuat terhadap Islam.
4. Setelah melihat kesiapan masyarakat Madinah, yang tampak pada masuk Islamnya pembesar-pembesar Auz dan Khazraj serta terbentuknya opini umum tentang Islam yang lahir dari kesadaran umum pada penduduk Madinah, Nabi saw meminta mereka untuk menemui Beliau saw pada musim haji.
5. Melakukan Baiat aqabah II
Bai’at ‘Aqabah II –bai’at yang menandai terjadinya penyerahan kekuasaan di Madinah– adalah realitas yang dipersiapkan untuk pembentukan opini umum membela Islam dengan kekuatan. Artinya, Madinah dipersiapkan sedemikian rupa hingga Islam diterima oleh mayoritas penduduk Madinah dan menjadi opini umum yang mampu mendominasi penganut-penganut agama lain di Madinah. Tidak hanya itu saja, opini umum tersebut juga ditujukan agar masyarakat Madinah siap membela kepemimpinan baru –yakni kepemimpinan Rasulullah saw. Artinya, opini umum di sana dipersiapkan begitu rupa hingga masyarakat Madinah siap menerima kepemimpinan gerakan Nabi saw. Opini umum untuk membela Islam tersebut lahir dari kesadaran umum mayoritas masyarakat Madinah dan pembesar-pembesarnya atas hakekat Islam dan atas Rasulullah saw dalam kapasitasnya sebagai Nabi dan pemimpin takattul shahabat.
6. Hijrah Ke Madinah dan menerapkan hukum-hukum Islam

Siapa Ahlun-Nushroh?
Ahlun Nushrah atau disebut juga Ahlul Quwwah artinya adalah al-qadirun ‘ala i’tha’ al-hukm, yaitu orang-orang yang berkemampuan untuk memberikan kekuasaan. Mereka bisa jadi adalah orang-orang yang sedang memegang kekuasaan, misalnya presiden atau panglima militer, atau bisa jadi tidak sedang memegang kekuasaan, namun memiliki pengaruh yang kuat kepada masyarakat, misalnya kepala kabilah, pimpinan partai politik, dsb (Abu Al-Harits, Thalab an-Nushrah, hlm. 1; M. Muhsin Radhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu, hlm. 312).

Berdasarkan Sirah Nabi saw., dapat disimpulkan beberapa poin penting terkait Ahlun Nushrah.
1. Ahlun Nushrah haruslah sebuah kelompok (jama’ah), bukan individu.
2. Ahlun Nushrah haruslah kelompok yang kuat, yakni berkemampuan menyerahkan kekuasaan, termasuk mampu mempertahan-kan Khilafah kalau sudah berdiri.
3. Ahlun Nushrah wajib orang-orang Muslim, tak boleh non-Muslim.
4. Ahlun Nushrah haruslah orang-orang yang mendukung syariah dan Khilafah, bukan orang yang memusuhi Islam seperti kaum sekular, liberal, dsb.
5. Ahlun Nushrah harus berada sepenuhnya di bawah kendali partai politik yang mereka dukung, bukan menjadi kekuatan terpisah di luar control.
6. Ahlun Nushrah tidak dibenarkan meminta kompensasi atau konsesi tertentu sebagai imbalan melakukan thalabun-nushrah, misalnya meminta jabatan tertentu setelah Khilafah berdiri.
7. Ahlun Nushrah disyaratkan tidak terikat dengan perjanjian internasional yang bertentangan dengan dakwah, sementara mereka pun tak mampu melepaskan diri dari perjanjian internasional itu.

Thalabun-nushroh di Masa Kini
Thalabun-nushroh sebagaimana yang dicontohkan Nabi saw juga senantiasa relevan di masa kini. Karena thalabun-nushroh adalah satu-satunya metode yang beliau contohkan dalam upaya menegakkan khilafah. Mentauladani metode beliau dalam berdakwah merupakan implementasi kecintaan kita kepada Allah SWT. Saat menafsiri surah ali ‘Imron ayat ke-31, al hafidz Imam Ibnu Katsir menyatakan:
هذه الآية الكريمة حاكمة على كل من ادعى محبة الله، وليس هو على الطريقة المحمدية فإنه كاذب في دعواه في نفس الأمر، حتى يتبع الشرع المحمدي والدين النبوي في جميع أقواله وأحواله، كما ثبت في الصحيح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: "مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عليه أمْرُنَا فَهُوَ رَدُّ" (تفسير القرآن العظيم لإبن كثير ج.2 ص. 32)
Hanya saja aktivitas thalabun-nushrah adalah aktivitas yang khusus dan rahasia. Sebab, tabiat thalabun-nushrah memang hanya menghendaki keterlibatan sejumlah kecil orang saja, bukan banyak orang (M. Muhsin Radhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu, hlm. 312).

Tugas kita adalah mempersiapkan suasana nushroh, yaitu mewujudkan kesadaran umum sehingga terbentuk opini umum. Yang dimaksud dengan opini umum pada konteks sekarang adalah, adanya keinginan untuk diatur dan diperintah oleh kekuasaan Islam pada mayoritas kaum Muslim yang ada di sebuah negeri yang layak dilakukan thalabun nushrah. Keinginan tersebut juga harus muncul pada diri ahlu al-quwwah –panglima perang, pemimpin kabilah, dan lain sebagainya–, dan tidak cukup hanya muncul pada mayoritas kaum Muslim belaka.

Adapun yang dimaksud dengan kesadaran umum (wa’y al-’âm) adalah kesadaran umum terhadap beberapa hal; (1) tentang Islam, terutama pemikiran tentang Khilafah dan kekuasaan; (2) permusuhan dan upaya-upaya penyesatan yang dilakukan kaum kafir untuk menghalang-halangi tegaknya Khilafah, (3) umat tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari problematikanya, kecuali jika mereka mampu membebaskan dirinya dari pemerintahan yang menerapkan hukum-hukum kufur, dan (4) kesadaran terhadap tipu daya dan permainan politik kaum kafir untuk memalingkan umat dari jalan yang benar. Dalam konteks inilah maka upaya edukasi kepada umat akan urgensinya syariah dan khilafah sebagai solusi persoalan umat mesti disampaikan secara terang-terangan dan terbuka.

Disinilah peran dan tanggung jawab besar yang dipikul oleh para ulama, yaitu memberikan penyadaran kepada umat sehingga terbentuk kesadaran umum yang mengarahkan terwujudnya opini umum hingga umat siap bahu membahu, bekerja siang dan malam, mengorbankan apa yang bisa mereka korbankan untuk perjuangan yang mulia ini. Hingga datangnya pertolongan Allah dengan tegaknya Khilafah.
وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ (4) بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ

Wallahu ‘alam bi shawab
Al Faqiir ila Allah: Wahyudi Abu Syamil Ramadhan
Banjarmasin, 27 Dzul Qa’dah 1432 H/26 Oktober 2011
Disampaikan pada diskusi tokoh terbatas


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Jazakumullah khairan