Jumat, 28 Oktober 2011

‘LARINYA’ PULAU LARI-LARIAN DAN WACANA KALIMANTAN MERDEKA DALAM SOROTAN ISLAM


Pendahuluan
Hampir seluruh media lokal di Kalimantan selatan pada hari Jumat, 28 Oktober 2011 mengangkat headline yang sama yaitu wacana Kalimantan merdeka. Wacana ini mencuat sebagai gertak atas Peraturan Mendagri no. 43 tahun 2011 yang menetapkan bahwa pulau Lari-larian merupakan wilayah dari provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) ditambah sikap cuek dari Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi yang tidak menerima audiensi Gurbernur Kalsel, Ketua DPRD Kalsel, dan Bupati Kotabaru yang bermaksud menanyakan mengenai Permendagri tersebut. Wakil Ketua DPRD Kalsel HM Iqbal Yudiannor, Kamis (27/10) menyatakan: “Apabila Permendagri yang menyatakan pulau Lari-larian masuk wilayah Sulbar tidak dicabut, maka Kalsel harus berani fight dan mengusulkan judicial review terhadap Permendagri tersebut. Apabila judicial review tidak disetujui juga maka kemungkinan akan terbentuk Kalimantan Merdeka”. Meski pernyataan ini adalah pernyataan pribadi, tapi nampaknya HM Iqbal yang juga putera mantan Bupati Kotabaru Sjachrani Mataja ini tidak main-main, setidaknya hal ini dapat disimpulkan dari upayanya menjalin komunikasi dengan Kaltim. Ia menyatakan: “Seluruh Kalimantan ada wacana tersebut (baca: wacana Kalimantan merdeka). Kita sudah berkomunikasi dengan Kaltim. Kalimantan mungkin akan bergolak. Bukan hanya Kalsel, Kaltim sekarang sedang ribut pula tentang Pulau Balakan” (Media Kalimantan, 28/10/11)

Tulisan singkat ini mencoba memaparkan potensi alam pulau Lari-larian yang diperebutkan, mengkaji wacana Kalimantan merdeka menurut sudut pandang Islam, akar masalah sengketa batas wilayah, dan tidak ketinggalan solusi Islam terhadap masalah ini.

Posisi dan Potensi Alam Pulau Lari-Larian
Disebut 'Pulau lari-larian' karena pulau ini tempat pelarian masyarakat Kotabaru karena takut dikejar-kejar gerombolan. Selain tempat pelarian, pulau yang memiliki panjang sekitar 340 meter dengan lebar sekitar 146 meter total luas sekitar 3,5 hektare itu juga menjadi lokasi penyelesaian sengeketa antar nelayan dari berbagai wilayah yang menangkap ikan di perairan tersebut.

Pulau Lari-larian terletak pada koordinat 3°30'58′ LS 117°27'44′ BT Negara Indonesia Gugus kepulauan Kalimantan Provinsi Kalimantan Selatan Kabupaten Kotabaru. Pulau Lari-Larian berjarak dengan Pulau Sebuku Kabupaten Kotabaru sekitar 60 mil laut dengan Pulau Sambergelap Kotabaru sekitar 40 mil laut. Sedangkan jarak Pulau Lari-Larian dengan wilayah daratan Sulawesi Barat sekitar 80 mil laut.
Berdasarkan publikasi Adimiralty Notices to Mariners edisi mingguan ke-53 pada 31 Agustuss 2006 (diterbitkan UK-Hydrographic Office, Inggris) lari-larian termasuk dalam kelompok Pulau Laut Kalimantan. Selain itu, pulau Lari-larian juga merupakan daerah navigasi Administrasi Pelabuhan Kalimantan Selatan termasuk dalam peta Neraca Sumber Daya Alam Kabupaten Kotabaru terbitan Bakosurtanal. Oleh karena itu pada 2006, bupati Kotabaru mengeluarkan SK No.471/2006 tentang penegasan pulau Lari-larian sebagai wilayah Kotabaru.


Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotabaru potensi sumber energi di pulau ini berupa gas kering (dry gas) dengan kandungan 97-98 % metana, 0,5 -0,75 mol % CO 2 dan 0, 2 – 0, 32 % nitrogen dan gasnya tidak mengandung logam berat. Ringkasnya potensi alam pulau ini bernilai triliyunan rupiah. Wajar jika diperebutkan!


Kalimantan Merdeka=Disintegrasi; Haram!
Meski baru wacana yang bersifat pribadi. Jika ditinjau dari sudut pandang Islam gagasan ini haram untuk diwacanakan, lebih-lebih untuk direalisasikan. Setidaknya ditinjau dari 2 hal berikut. Pertama, wacana Kalimantan merdeka adalah upaya membagi-bagi wilayah Indonesia menjadi bagian-bagian kecil. Dan jelas hal ini hukumnya haram. Karena Nabi bersabda:
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ
Siapa saja yang datang kepada kalian, sementara urusan kalian berkumpul di tangan seseorang (Khalifah), kemudian dia hendak merobek kesatuan kalian dan memecah-belah jamaah kalian, maka bunuhlah. (HR Muslim no. 4904).

Harus diakui bahwa masyarakat Kalimantan umumnya dan kalsel khususnya belum bisa menikmati sepenuhnya kekayaan SDA yang ada. Kalsel sebagai provinsi penyumbang 25 % produksi batu bara secara Nasional, namun 727.840 jiwa atau 5, 21 % dari keseluruhan penduduk Kalsel yang berjumlah 3.626.119 jiwa masih hidup dalam kondisi melarat. Tetapi persoalannya tidak semata pada perimbangan pembagian pendapatan antara pusat dan daerah. Tetapi lebih pada salahurusnya SDA tersebut dengan diserahkan pada pihak swasta baik lokal maupun asing. Sehingga mewacanakan Kalimantan merdeka bukanlah solusi efektif bagi persoalan kesejahteraan masyarakat kalsel.
Kedua, pemisahan (baca: pecah belah) adalah pintu yang dapat digunakan asing untuk semakin mengokohkan cengkeramannya. Keberadaan perusahaan multinasional di wilayah Kalimantan seperi PT. ADARO, PT. PAMA, Total, Schlumberger, Palm Oil Engineers, dll menjadi bukti kokohnya cengkeraman asing. Lepasnya Timor-Timur semestinya menjadi pelajaran berharga, betapa disintegrasi adalah pintu lebar penguasaan asing. Bahkan tidak menutup kemungkinan asing bermain dalam upaya Kalimantan merdeka ini. Padahal Allah berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman (QS: An-Nisa [4]:141)
Lafazd sabiila dalam ayat di atas berupa isim nakirah. Sedang ayat ini di awali dengan huruf lan (huruf nashab yang berfungsi menafikan). Dalam kaidah penafsiran al-quran disebutkan:
إذا وقعت النكرة في سياق النفي أو النهي أو الشرط أو الاستفهام دلت على العموم
jika isim nakirah terletak pada susunan penafian, larangan, syarat, atau tanya maka isim nakirah tersebut menunjukkan konotasi umum. (Qawa’idul hisan fi tafsiril qur’an karya Syaikh Abdurrhaman as sa’di hal. 9)
Lafadz sabiila dalam ayat di atas adalah lafazd umum. Sehingga jalan apapun yang dapat menghantarkan pada penguasaan orang kafir terhadap kaum muslimin hukumnya haram.

OTDA Sumber Sengketa
Otonomi daerah (OTDA) adalah sumber sengketa horizontal (antar kabupaten dan provinsi). Menurut Jenderal Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Timbul Mujianto Sejak otonomi daerah (OTDA) telah terjadi 8.000-an titik sengketa batas wilayah yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Mayoritas sengketa batas wilayah dipicu kasus perebutan penguasaan sumber daya alam dan perkebunan. Ironisnya hanya 18 % yang dapat diselesaikan (http://www.mediaindonesia.com). Di Kalsel sendiri sengketa antar wilayah ini sudah berulang kali terjadi baik antar kabupaten seperti antara Kabupaten Banjar dengan Tanah Laut, Tanah Laut dengan Tanah Bumbu, dan yang sedang hangat saat ini antara Kab Batola dengan Tapin. Sengketa perbatasan ini juga terjadi antar provinsi seperti antara Kab Batola dengan Kapuas. Apakah dengan Kalimantan merdeka sengketa batas wilayah ini akan berakhir?

Kesenjangan satu daerah dengan daerah lain menjadi masalah permanen yang tak kunjung usai terutama pasca pemekaran daerah. Sebagai contoh pasca pemekaran Kab. HSU dengan Kab. Balangan. Jadilah HSU menjadi kabupaten miskin yang minim PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan hanya mengandalkan DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) dari Pemerintah Pusat.
Dengan minimnya pendapatan daerah ditambah tidak wajarnya tunjangan (khususnya para pejabat) membuat kesejahteraan rakyat tak kunjung membaik. Dalam catatan FITRA, sebanyak 124 daerah memiliki anggaran belanja pegawai diatas 60 persen dengan belanja modal hanya 1-15 persen. Dari jumlah tersebut, sebanyak 16 daerah bahkan memiliki anggaran belanja pegawai diatas 70 persen. Pemerintah Daerah (Pemda) yang paling besar mengalokasikan anggaran belanja pegawai adalah Kabupaten Lumajang hingga 83 persen dan belanja modal hanya 1 persen.
Melalui OTDA pula Pemerintah Daerah ‘kreatif’ menggali potensi daerah. Bukan potensi daerah berupa ekploitasi SDA yang ada, agar digunakan untuk kemakmuran masyarakatnya. Tetapi mengekploitasi rakyatnya dengan dengan beragam pungutan dan retribusi. Sekali lagi hal ini dilegalkan lewat UU OTDA.

Selain sengketa horizontal, sengketa vertikal antara pusat dengan daerah sering pula terjadi. Sengketa pulau Lari-larian merupakan contohnya. Sumber sengketa biasanya berkisar pembagian pendapatan daerah. Beradarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Daerah yang lebih popular disebut UU Otonomi Daerah/OTDA yang telah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004 pada pasal 157 (b) menetapkan mengenai dana perimbangan pusat dan daerah. Khusus dana perimbagan daerah dari sektor SDA dijelaskan pada pasal 160 (2). Mengenai prosentase bagi hasil antara pusat dan daerah diatur secara spesifik dalam UU UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada Pasal 14 huruf e UU No 33 disebutkan untuk minyak 84,5 persen merupakan bagian pemerintah dan 15,5 persen untuk daerah. Sedangkan untuk gas, pemerintah mendapat 69,5 persen dan daerah 30,5 persen.

Dengan fakta di atas dapatlah disimpulkan bahwa OTDA justru menjadi sumber sengketa yang dapat mengarah pada disintegrasi bangsa. Otonomi khusus yang diterapkan di Papua menjadi buah simalakama bagi Indonesia. Alih-alih meredam gejolak sosial disana, yang terjadi justru ancaman keamanan yang semakin membahayakan. Jangan sampai Indonesia menjadi Negara yang hancur seperti Uni Soviet, Yogoslavia, dan Sudan. Menurut Ketua Yayasan Arsari, Hashim Djojohadikusumo Indonesia sangat berpotensi menjadi seperti 3 negara di atas.

OTDA dalam Tinjauan Islam
Secara etimologi, otonomi berasal dari kata autonomos/autonomia (Yunani), yang berarti keputusan sendiri (self ruling). Otonomi mengandung pengertian: kondisi atau ciri untuk tidak dikontrol pihak lain atau kekuatan luar; atau bentuk pemerinahan sendiri. Konsep otonomi daerah biasanya dipicu karena ketidakpuasan daerah terhadap pusat. Dalam konteks Indenesia dipicu karena peran pusat yang terlalu dominan di masa orba. Pasca reformasi sebenarnya terjadi perdebatan yang cukup sengit mengenai model pembagian wewenang antara pusat dan daerah. Amin Rais saat itu menawarkan konsep Negara Federal. Sedang Riyas Rasyid menawarkan konsep OTDA. Konsep OTDA inilah yang diadopsi, bahkan menghantarkan pengagasnya menjadi menteri OTDA di era Gusdur.

Di dalam UU No. 32 tahun 2004 bidang yang menjadi wewenang pemerintah pusat hanya tersisa bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional; dan agama. Secara subtansial UU tersebut sebenarnya mirip dengan federasi, hanya ‘merek’nya yang lain, yakni memberi wewenang kepada Pemda untuk mengatur daerahnya. Fakta ini mirip dengan definisi sistem pemerintahan federasi yaitu sistem yang membagi-bagi wilayah-wiayahnya dalam otonominya sendiri dan bersatu dalam pemerintahan secara umum
Inilah fakta OTDA. Sementara dalam Islam, bentuk Negara adalah Negara kesatuan bukan negara federasi atau federasi semu semacam OTDA . Wilayah kekuasaan Negara Islam adalah wilayah yang satu. Hal ini ditegaskan dalam banyak hadist Nabi, diantaranya.
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِىٌّ خَلَفَهُ نَبِىٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ ». قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ « فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
"Dulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain.Akan tetapi, sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, yang akan ada adalah para khalifah, dan mereka banyak." Para sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang mereka urus/pelihara." (HR al-Bukhari dan Muslim)
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخَرَ مِنْهُمَا

Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.
(HR Muslim)

Demikian pula potensi kekayaan alamnya seluruhnya dianggap satu. Begitupula pemenuhan kebutuhan pemenuhan kebutuhan rakyat akan diberikan secara merata untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa melihat potensi alam atau PAD daerahnya. Jika wilayah (semacam provinsi) telah menyerahkan sumber pemasukan Negara (zakat, jizyah, kharaj, dll), sementara kebutuhannya daerahnya sedikit, maka wilayah tersebut akan mendapatkan dana dari pusat sesuai dengan kebutuhannya. Sebaliknya jika terdapat wilayah yang minim pendapatannya, maka tetap diberikan dana sesuai kebutuhannya dengan sistem subsidi silang dari daerah yang lebih mampu. Inilah konsep Islam mengenai pengaturan sistem keuangan. Dengan manajemen yang baik dan ditopang aparatur Negara yang profesional dan amanah sistem ini terbukti telah memberikan pemerataan kesejahteraan. Pada masa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, tidak ada seorang pun yang dipandang berhak menerima zakat. Beliau sampai memerintahkan para pegawainya berkali-kali untuk menyeru ketengah masyrakat ramai, kalau-kalau diantara mereka ada yang membutuhkan harta, namun tidak ada seorangpun yang memenuhi seruannya. Pada masa beliau pula tidak ada satu orangpun penduduk Afrika yang mau mengambil harta zakat. Gaji pegawai Negara hingga ada yang mencapai 300 dinar (1275 gram emas) atau setara Rp. 114. 750.000,-
Dengan Negara kesatuan (versi Islam) pula khalifah (kepala Negara) berhak mengangkat dan memberhentikan para wali (semacam gurbernur), ‘amil (semacam bupati), hakim, panglima militer, dst. Sehingga ongkos politik menjadi murah, potensi konflik sebagai dampak pilkada juga dapat dicegah, dan yang jelas syar’ie menurut tuntunan Islam. Berbeda dengan sistem OTDA yang menetapkan pemilihan gurbernur dan bupati dengan pemilihan langsung. Jika ada anggapan atau kekhawatiran akan terjadi otoriterisme. Maka anggapan tersebut dapat ditepis dari sisi, yaitu:
a. Khalifah tidak memiliki masa jabatan tertentu. Dia bisa diberhentikan kapan saja, termasuk jika dengan sengaja melanggar syariat atau terbukti mengkhianati rakyat.
b. Jabatan pemerintahan dalam Islam bukanlah kedudukan untuk memperkaya diri. Jabatan pemerintahan adalah amanah ri’ayah (melayani umat) sehingga pejabat pemerintahan (khalifah, wali, dan amil) tidak berhak mendapat gaji.
c. Pencerdasan politik yang dilakukan Negara dan parpol menjadikan rakyat cerdas dan berani mengoreksi penguasa.
d. Khalifah dan seluruh pejabat pemerintahan memiliki keududukan yang sama di depan hukum. Sehingga khalifah dan pejabat Negara dapat dituntut di pengadilan dengan sistem yang adil tentunya.
e. Khalifah dipilih dengan syarat yang ketat diantara dia harus orang yang ‘adil (tidak orang yang dhalim atau fasik apalagi kafir)
Demikianlah OTDA bertentangan dengan syariat Islam dalam beberapa hal. Apalagi jika OTDA terbukti menjadi sumber konflik baik vertikal maupun horizontal yang mengarah pada disintegrasi bangsa, maka sistem ini adalah sistem batil yang haram untuk diambil dan diterapkan di bumi Allah manapun. Demikian pula wacana Kalimantan merdeka adalah pewacanaan yang haram dan mesti dihentikan. Selanjutnya penjajahan asing dalam bentuk apapun harus dienyahkan dari bumi Indonesia dan seluruh bumi Allah. Tentunya dengan sistem syariah di bawah payung politik al khilafah. Wallahu ‘alam bi shawab

Banjarmasin, 2 Dzulhijjah 1532 H/29 Oktober 2011
Al Faqiir ila ALLAH Wahyudi Abu Syamil Ramadhan

Tidak ada komentar: