Selasa, 26 April 2011
TELAAH KRITIS PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA
TELAAH KRITIS PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA1
Wahyudi Ibnu Yusuf2
Pendahuluan
Lickona (1991: 13-18) mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai, karena jika tanda-tanda itu sudah ada, maka itu berarti sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatkan perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alcohol, dan seks bebas, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Kesepuluh tanda yang dikemukakan oleh Lickona di atas nampaknya telah terjadi di negeri kita. Sebagai contoh, menurut Badan Narkoba Nasional (BNN) pada Februari 2009 terdapat 123.810 pelajar di Indonesia menggunakan narkotika, obat psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Ironisnya 12.848 di antaranya siswa sekolah dasar. Demikian pula perilaku seks bebas juga sudah sedemikian mengkhawatirkan. Mengutip keterangan kepala BKKBN Pusat Sugiri Syarief Sumarsana menyebutkan, sekitar 30 % remaja kita pernah melakukan hubungan seks pranikah dan 22,6 % remaja adalah penganut seks bebas (BKKBN: 2010).
Sebagai upaya untuk menjawab tantangan zaman di atas maka pada peringatan hari pendidikan Nasional tepatnya tanggal 2 Mei 2010 Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan pentingnya pendidikan karakter. Apa dan bagaimana pendidikan karakter? Seberapa efektif pendidikan karakter mampu menjawab tantangan jaman di atas? Risalah singkat ini hadir mencoba menjawab beberapa pertanyaan di atas?
Karakter dan Pendidikan Karakter
Menurut Doni Koesoema (2007: 90), istilah karakter secara etimologis berasal dari bahasa Yunani “karasso”, berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, ‘sidik’ seperti dalam sidik jari. Brown, Chamberland & Morris (2007: 2) menyatakan: “Character is made up of core ethical values that incorporate ones thought process, emotions, and actions”. artinya karakter terbentuk dari nilai-nilai etika inti yang menyertakan kesatuan proses berpikir, emosi, dan tindakan. Lebih lanjut Brown, Chamberland & Morris menyatakan terdapat delapan karakter dasar yang dapat dikembangkan yaitu: jujur (honesty), keberanian/keteguhan hati (courage), hormat (respect) tanggung jawab (responsibility), tekun (perseverance), kerja sama (cooperation), mampu mengendalikan diri (self-control), dan bela Negara (citizenship).
Mengenai pengertian karakter yang baik Lickona (1991: 50) dengan menyadur pendapat Aristoteles menyatakan karakter yang baik (good character) adalah menjalani kehidupan dengan kebenaran. Kebenaran itu baik berhubungan dengan orang lain dan juga diri sendiri. Pendapat senada dinyatakan oleh Nucci (2001: 124), “ person of good character is someone who attends to the moral implications of actions and acts in accordance with what is moral in most circumstances”, artinya seorang yang berkarakter baik adalah seseorang yang bertindak mengikuti implikasi-implikasi moral dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral dalam banyak keadaan. Lickona (1991: 53) menyatakan bahwa komponen karakter positif terdiri dari moral knowing, moral feeling, dan moral action. Hubungan dari ketiga komponen ini dapat disajikan dalam gambar berikut:
Gambar 1
Komponen Karakter Positif (Lickona, 1992: 53)
Mengenai pengertian pendidikan karakter, menurut Departemen pendidikan Amerika Serikat sebagaimana dikutip Schwartz (2008: 2), pendidikan karakter didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang memungkinkan siswa dan orang dewasa pada komunitas sekolah untuk saling memahami, peduli, dan berbuat sesuai dengan nilai-nilai etik inti seperti hormat, adil, menjadi warga negara yang baik dan bela negara, serta bertanggungjawab pada diri sendiri dan orang lain
Fink dan McKay (2003:3) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah “the intentional process in our school and communities to enable children to understand, care about and act upon core ethical and citizenship values”. Maknanya adalah proses yang terencana pada sekolah dan komunitas kita untuk memungkinkan bagi anak untuk memahami, peduli dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai etika inti dan bela negara.
Darmiyati Zuchdi, dkk (2009: 10) menyatakan bahwa pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan baik, lebih dari itu pendidikan karakter harus menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik, sehingga siswa menjadi paham (ranah kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (ranah afektif) nilai yang baik, dan mau melakukannya (ranah psikomotor).
Lima dari Sembilan potensi peserta didik yang ingin dicapai dalam tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana tercantum dalam UU nomor 20 tahun 2003 adalah aspek karakter. Aspek karakter tersebut adalah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia pada tahun 2010 juga telah mengeluarkan Rencana Induk Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa, mengenai strategi pelaksaanaan pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan mengintegrasikan pendidikan karakter dalam kegiatan belajar mengajar pada setiap mata pelajaran. Selain itu juga perlu diciptakan budaya sekolah yang sehat, integrasi pendidikan karakter dalam kegiatan ekstra kurikuler dan pembiasaan dalam kegiatan keseharian di rumah
Efektifkah Pendidikan Karakter?
Banyak kalangan yang menyanksikan keefektifan pendidikan karakter sebagai solusi persoalan bangsa. Kesanksian ini sangat beralasan karena beberapa alasan berikut:
1. Pendidikan di Indonesia adalah pendidikan yang sekuler. Pemisahasan lembaga pendidikan agama (di bawah Depag) dengan pendidikan umum (di bawah Diknas) adalah fakta yang sedemikian gamblang bahwa pendidikan di Indonesia adalah menganut paham sekuler di bidang pendidikan. Pasalnya, pemisahan ini bukan tanpa konsekuensi. Pemisahan ini berimplikasi pada perbedaan kurikulum, dimana pada lembaga pendidikan di bawah Depag ‘lebih kental’ nuansa agamanya3 sedangkan sekolah umum lebih dominan materi umum dan minim materi keagamaan. Polarisasi sistem pendidikan seperti ini jelas akan mencetak output yang terpolarisasi pula. Lulusan IAIN diproyeksikan untuk menjadi ulama atau tokoh spiritual yang dikonotasi minim ilmu-ilmu keduniaan secara praktis, sedangkan lulusan sekolah/kampus umum diproyeksikan untuk menjadi teknokrat, politikus, ekonom, politikus dst namun minim pemahaman agama.
2. Biasnya standar baik dan buruk dalam pengertian definisi karakter. Nilai-nilai kebaikan yang dikemukakan oleh beberapa pakar karakter seperti demokratis, nasionalis dsb adalah di antara nilai-nilai yang perlu dipertanyakan kebenarannya. Demokrasi misalkan adalah sistem politik Barat yang sejatinya bertentangan dengan Islam, karena menempatkan kedaulatan di tangan manusia. Belum lagi yang diajarkan dalam pendidikan karakter terkadang hanya nilai-nilai, dimana nilai ini sangat bergantung pada sistem apa yang diterapkan saat itu. Sebagai contoh nilai etos kerja, disiplin, kerjasama dsb. Apakah bisa dikatakan memiliki karakter yang baik bagi seseorang yang bekerja pada bank yang mempratikan sistem ribawi meskipun dengan etos kerja yang tinggi, disiplin yang luar biasa dan kerjasama yang solid?
3. Budaya masyarakat yang mengarah pada gaya hidup materialistik dimana ukuran kesuksesan diukur dari title yang berderet-deret, pangkat yang tinggi, kekayaan yang melimpah, popularitas, dsb. Budaya ini jelas sangat memengaruhi orientasi sekolah, siswa dan orang tua. Sehingga tidak sedikit kampus yang menjual iklan “langsung kerja” bahkan tidak sedikit pula yang melakukan pelacuran akademik dengan jual beli ijazah palsu.
4. Materi ajar yang tidak menghantar terbentuknya output pendidikan yang memiliki kepribadian yang seimbang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa materi ajar di sekolah-sekolah kita sangat dominan pengembangan aspek kognitif dan minus afektif. Kelulusan sangat ditentukan dengan angka-angka yang sifatnya kualitatif sedang kepribadian tidak terlalu menjadi perhatian. Hal ini semakin diperparah dengan materi ajar yang kontradiktif dengan materi lain khususnya materi agama Islam, misalnya teori evolusi, prinsip ekonomi, demokrasi, pluralisme, dsb. Ironisnya matari-materi ini (demoraksi, pluralisme, nasionalisme) justru dianggap sebagai materi-materi yang akan membentuk moral dan karakter siswa.
5. Pengajaran yang cenderung transfer of knowledge dan bukan transfer of personality
6. Budaya sekolah, termasuk guru sebagai ujung tombak pendidikan yang belum dapat menjadi teladan bagaimana seharusnya mengembangkan karakter positif.
7. Belum serasinya pendidikan di sekolah, keluarga, dan masyarakat.
8. Dari aspek teknis, guru masih belum terbiasa mengembangkan model pembelajaran yang terintegrasi dengan pengembangan karakter positif.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Kependudukan Keluarga Berancana Nasional (BKKBN). 16,35% remaja indonesia lakukan hubungan seks bebas. Diakses pada tanggal 8 Juli 2010 dari http://www.bkkbn.go.id/Webs/DetailBerita.php?MyID=119
Badan Narkotika Nasional (BNN). 123 ribu lebih pelajar pengguna narkoba. Diakses pada tanggal 8 Juli 2010 dari http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=Berita&op=detailberita&id=1451&mn=6&smn=a
Darmiyati Zuchdi, dkk. (2009). Pendidikan karakter grand design dan nilai-nilai target.Yogyakarta: UNY Press
Fink, K & McKay, L. (2003). Making character education a standart part of education.Washington: The Character Education Partnership
Lickona, T. (1992). Education for character: How our schools can teach respect and responbility. New York: Bantam Books.
Nucci, L. P. (2001). Education in the moral domain. New York: Cambridge University Press
Schwartz. M. J. (2008). Effective character education guidebook for future educators. New York: McGraw-Hill Companies
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar