Selasa, 26 April 2011

APAKAH SOMBONG MENJADI ‘ILLAT PELARANGAN ISBAL?

Hukum seputar ibadah, makanan, akhlaq, dan pakaian tidak boleh dicari-cari ‘illatnya. Apakah sombong menjadi ‘illat larangan isbal? (Aris, Malang) Secara bahasa, isbal artinya menurunkan. Ibnu Manzhur mengatakan dalam Kitab Lisanul ‘Arab juz 6 hal. 163 : isbal artinya menurunkannya. Dan jika dikatakan : adalah apabila ia memanjangkannya dan melabuhkan pakaiannya sampai menyentuh tanah. Secara syar’i, isbal artinya memanjangkan sarung hingga di bawah mata kaki. Imam Nawawi mengatakan :” Adapun sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam maknanya adalah memanjangkan ujungnya.” (Syarah Shahih Muslim juz 2 hal. 116, bab Ghalthu Tahrimil Isbalil Izari). Pengarang ‘Anunul Ma’bud mengatakan arti hadits “ hati-hati engkau terhadap Isbal kain ” yaitu hati-hatilah engkau, jangan menurunkan dan memanjangkannya di bawah mata kaki” (‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud juz 11 hal. 136 \ Kitabul Libas \ Bab Maa Ja’a Fii Isbalil Izar). Di antara hadist yang melarang isbal karena sombong adalah: عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة ,فقال أبو بكر إن أحد شقي ثوبي يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه ,فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم إنك لست تصنع ذلك خيلاء ,قال موسى فقلت لسالم أذكر عبد الله من جر إزاره قال لم أسمعه ذكر إلا ثوبه (صحيح البخاري \ ج 3 \ ص 1340) Artinya : Dari Abdullah Ibn Umar ra., ia berkata : Telah bersabda Rasul SAW : “Barang siapa melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah SWT tidak akan memandangnya pada hari kiamat”. Kemudian Abu Bakar berkata : “Sesungguhnya seseorang mencela pakaianku karena ia (sarungnya) melorot, kecuali aku memeganginya. Lalu Rasul SAW bersabda: Engkau bukanlah orang yang melakukannya karena sombong”. Musa berkata : Saya berkata kepada Salim, bahwa Abdullah (Ayahnya –pent) pernah mengatakan : “Barang siapa melabuhkan sarungnya …. . Salim menjawab : Saya tidak mendengarnya mengatakan hal itu kecuali …… pakaiannya” (HR. Imam Bukhori jilid 5\No. 5447\hal. 2183). Ulama telah mengomentari hadist di atas dan hadist yang semakna. Di antaranya adalah: 1. Al-Hafidz Ibn Hajar menyatakan: ويستفاد من هذا الفهم التعقب على من قال أن الأحاديث المطلقة في الزجر عن الإسبال مقيدة بالأحاديث الأخرى المصرحة بمن فعله خيلاء Artinya :faedah yang diperoleh dari pemahaman ini mengikuti pendapat dari kelompok yang mengatakan bahwa hadis-hadis itu (yang menunjukkan) kemutlakan tentang dosa pada isbal terikat (muqayyadah) dengan dengan hadis-hadis lain yang jelas bagi mereka yang melakukannya karena sombong (Lihat Kitab Fath Al-bari jilid 10\hal. 259) . 2. Imam Nawawi menyatakan: ظواهر الأحاديث في تقييدها بالجرخيلاء يقتضي أن التحريم مختص بالخيلاء Hadis-hadis itu secara dhohir memberi batasannya (taqyiid) dengan melabuhkan pakaian karena sombong adalah menunjukkan bahwa pengharaman dikhususkan karena sombong (Fath Al-bari jilid 10\hal. 259). 3. Al-Hafidz Ibn Abdil Al-Barr menyatakan: قال أبو عمر الخيلاء التكبر و هي الخيلاء و المخيلة يقال منه رجل خال و مختال أ شديد الخيلاء وكل ذلك من البطر والكبر والله لا يحب المتكبرين ب ولا يحب كل مختال فخور وهذا الحديث يدل على أن من جر إزاره خيلاء و لا بطر أنه لا يلحقه الوعيد ,أن جر الازار والقميص وسائر الثياب مذموم على كل حال Artinya : Ibn Umar berkata Al-Khuyala’ adalah Kesombongan (Takkabur), yaitu Al-Khuyala’ dan Al-Makhilah. Dikatakan Rijal Khol wa Mukhtal , artinya orang yang sangat sombong. Semua itu mencakup orang yang sombong dan takabur (Al-Bathor wa Al-Kibr). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri dan Allah SWT tidak menyukai semua orang yang menyombongkan diri dan bermegah-megahan. Hadis ini menunjukkan bahwa barang siapa melabuhkan sarungnya karena sombong dan apabila tidak karena sombong, maka ia tidak dikenai ancaman itu. Hanya saja melabuhkan sarung, gamis dan seluruh jenis pakaian adalah tercela dalam semua keadaan (At-Tamhid li Abdil Al-Barr jilid 4\hal. 288-289). 4. Ibnu Ruslan menyatakan: وَظَاهِرُ التَّقْيِيدِ بِقَوْلِهِ : خُيَلَاءَ ، يَدُلُّ بِمَفْهُومِهِ أَنَّ جَرَّ الثَّوْبِ لِغَيْرِ الْخُيَلَاءِ لَا يَكُونُ دَاخِلًا فِي هَذَا الْوَعِيدِ Hadis-hadis ini secara dhohir memberi batasannya (taqyiid) dengan redaksi khuyala’ (karena sombong). Hal ini menunjukkan pemahaman bahwa melabuhkan sarung tanpa kesombongan tidaklah termasuk dan ancaman ini (Nailul author li syaukani jilid 3 /hal 103) Berdasarkan beberapa pendapat ulama di atas dapat disimpulkan bahwa redaksi khuyala’ (sebagai hal) merupakan taqyiid/muqayyad yang berfungsi untuk membatasi kemutlakan hadist yang melarang isbal. Taqyid/muqayyad adalah lafadz muthlak yang keumuman pada jenis kemutlakkannya telah dihilangkan, baik secara keseluruhan maupun sebagian (al lafdzu al muthlaqu al muzaalu syuyu’uhu fi jinsihi kulliyan au juz’iyyan (Taisiru alwushuli ilal ushul hal. 232) Di antara bentuk muqayyad adalah sifat. Sifat yang dimaksud dalam pembahasan ini bukanlah sifat dalam pembahasan ilmu nahwu yaitu na’at. Akan tetapi sifat dalam pembahasan ini adalah setiap sifat yang dapat menghilangkan setiap bagian dari keumuman lafadz mutlak pada jenisnya. Sehingga sifat dapat berupa keterangan waktu (dhorof zaman), jar-majrur, atau sifat/na’at dalam istilah ilmu nahwu. (Taisiru alwushuli ilal ushul hal. 233). Pengarang kitab Taisiru al wushuli ilal ushul Syaikh Atha’ Ibnu Khalil memang tidak menyebutkan hal sebagai salah satu bentuk sifat yang dapat menjadi muqayyad, akan tetapi beliau juga tidak menyatakan secara tegas bahwa hal tidak dapat menjadi muqayyad. Oleh karena itulah kami berkesimpulan bahwa hal dapat menjadi muqayyad sebagaimana pendapat ulama yang pendapatnya kami kutip di atas. Demikian pula dalam kitab ushul fikih hal dikategorikan sebagai sifat yang dapat menjadi taqyid. Secara spesifik Syaikh Walid bin Rasyid bin Walidan berkenaan hadist isbal menyatakan bahwa ini merupakan pembahasan mutlaq-muqayyad, dimana kemutlakan hadist harus dipahami dengan muqayyadnya, yaitu isbal hanya diharamkan jika disertai dengan kesombongan (Risalatu fi syarhi al-muthlaq wal muqayyad hal. 11) Sebagai tambahan, jika ada dalil yang mutlaq dan muqayyad pada hukum dan sebab yang sama seperti pada kasus isbal ini maka dalil mutlak harus dipahami dan diamalkan dengan dalil yang muqayyad (Taisiru alwushuli ilal ushul hal. 235, Syarah al waroqot di ushulil fiqhi hal. 108, al wadhih fi ushulil fiqhi hal. 332). Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan: 1. Khuyala’ (sombong) bukanlah ‘illat larangan isbal, tetapi taqyiid/muqayyid. Sehingga hadist-hadist ini tidak mengubah kaidah bahwa hukum yang berkaitan dengan ibadah, makanan, pakaian, dan akhlak tidak ada ‘illatnya dan tidak boleh mencari-cari ‘illat hukumnya. 2. Isbal tidaklah haram secara mutlak. Isbal hukumnya haram jika disertai kesombongan, jika tidak disertai kesombongan tidaklah haram karena mengamalkan dalil yang muqayyad atas dalil mutlak. Yogyakarta, 26 April 2011 Wahyudi Abu Syamil Ramadhan

1 komentar:

Syahidah mengatakan...

assalamualaikum .. afwan ustd. lalu apa hukum isbal bagi wanita?? mohon pencerahannya. Jazakallah