Selasa, 26 April 2011
APAKAH SOMBONG MENJADI ‘ILLAT PELARANGAN ISBAL?
Hukum seputar ibadah, makanan, akhlaq, dan pakaian tidak boleh dicari-cari ‘illatnya. Apakah sombong menjadi ‘illat larangan isbal? (Aris, Malang)
Secara bahasa, isbal artinya menurunkan. Ibnu Manzhur mengatakan dalam Kitab Lisanul ‘Arab juz 6 hal. 163 : isbal artinya menurunkannya. Dan jika dikatakan : adalah apabila ia memanjangkannya dan melabuhkan pakaiannya sampai menyentuh tanah.
Secara syar’i, isbal artinya memanjangkan sarung hingga di bawah mata kaki. Imam Nawawi mengatakan :” Adapun sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam maknanya adalah memanjangkan ujungnya.” (Syarah Shahih Muslim juz 2 hal. 116, bab Ghalthu Tahrimil Isbalil Izari). Pengarang ‘Anunul Ma’bud mengatakan arti hadits “ hati-hati engkau terhadap Isbal kain ” yaitu hati-hatilah engkau, jangan menurunkan dan memanjangkannya di bawah mata kaki” (‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud juz 11 hal. 136 \ Kitabul Libas \ Bab Maa Ja’a Fii Isbalil Izar).
Di antara hadist yang melarang isbal karena sombong adalah:
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة ,فقال أبو بكر إن أحد شقي ثوبي يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه ,فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم إنك لست تصنع ذلك خيلاء ,قال موسى فقلت لسالم أذكر عبد الله من جر إزاره قال لم أسمعه ذكر إلا ثوبه (صحيح البخاري \ ج 3 \ ص 1340)
Artinya : Dari Abdullah Ibn Umar ra., ia berkata : Telah bersabda Rasul SAW : “Barang siapa melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah SWT tidak akan memandangnya pada hari kiamat”. Kemudian Abu Bakar berkata : “Sesungguhnya seseorang mencela pakaianku karena ia (sarungnya) melorot, kecuali aku memeganginya. Lalu Rasul SAW bersabda: Engkau bukanlah orang yang melakukannya karena sombong”. Musa berkata : Saya berkata kepada Salim, bahwa Abdullah (Ayahnya –pent) pernah mengatakan : “Barang siapa melabuhkan sarungnya …. . Salim menjawab : Saya tidak mendengarnya mengatakan hal itu kecuali …… pakaiannya” (HR. Imam Bukhori jilid 5\No. 5447\hal. 2183).
Ulama telah mengomentari hadist di atas dan hadist yang semakna. Di antaranya adalah:
1. Al-Hafidz Ibn Hajar menyatakan:
ويستفاد من هذا الفهم التعقب على من قال أن الأحاديث المطلقة في الزجر عن الإسبال مقيدة بالأحاديث الأخرى المصرحة بمن فعله خيلاء
Artinya :faedah yang diperoleh dari pemahaman ini mengikuti pendapat dari kelompok yang mengatakan bahwa hadis-hadis itu (yang menunjukkan) kemutlakan tentang dosa pada isbal terikat (muqayyadah) dengan dengan hadis-hadis lain yang jelas bagi mereka yang melakukannya karena sombong (Lihat Kitab Fath Al-bari jilid 10\hal. 259) .
2. Imam Nawawi menyatakan:
ظواهر الأحاديث في تقييدها بالجرخيلاء يقتضي أن التحريم مختص بالخيلاء
Hadis-hadis itu secara dhohir memberi batasannya (taqyiid) dengan melabuhkan pakaian karena sombong adalah menunjukkan bahwa pengharaman dikhususkan karena sombong (Fath Al-bari jilid 10\hal. 259).
3. Al-Hafidz Ibn Abdil Al-Barr menyatakan:
قال أبو عمر الخيلاء التكبر و هي الخيلاء و المخيلة يقال منه رجل خال و مختال أ شديد الخيلاء وكل ذلك من البطر والكبر والله لا يحب المتكبرين ب ولا يحب كل مختال فخور وهذا الحديث يدل على أن من جر إزاره خيلاء و لا بطر أنه لا يلحقه الوعيد ,أن جر الازار والقميص وسائر الثياب مذموم على كل حال
Artinya : Ibn Umar berkata Al-Khuyala’ adalah Kesombongan (Takkabur), yaitu Al-Khuyala’ dan Al-Makhilah. Dikatakan Rijal Khol wa Mukhtal , artinya orang yang sangat sombong. Semua itu mencakup orang yang sombong dan takabur (Al-Bathor wa Al-Kibr). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri dan Allah SWT tidak menyukai semua orang yang menyombongkan diri dan bermegah-megahan. Hadis ini menunjukkan bahwa barang siapa melabuhkan sarungnya karena sombong dan apabila tidak karena sombong, maka ia tidak dikenai ancaman itu. Hanya saja melabuhkan sarung, gamis dan seluruh jenis pakaian adalah tercela dalam semua keadaan (At-Tamhid li Abdil Al-Barr jilid 4\hal. 288-289).
4. Ibnu Ruslan menyatakan:
وَظَاهِرُ التَّقْيِيدِ بِقَوْلِهِ : خُيَلَاءَ ، يَدُلُّ بِمَفْهُومِهِ أَنَّ جَرَّ الثَّوْبِ لِغَيْرِ الْخُيَلَاءِ لَا يَكُونُ دَاخِلًا فِي هَذَا الْوَعِيدِ
Hadis-hadis ini secara dhohir memberi batasannya (taqyiid) dengan redaksi khuyala’ (karena sombong). Hal ini menunjukkan pemahaman bahwa melabuhkan sarung tanpa kesombongan tidaklah termasuk dan ancaman ini (Nailul author li syaukani jilid 3 /hal 103)
Berdasarkan beberapa pendapat ulama di atas dapat disimpulkan bahwa redaksi khuyala’ (sebagai hal) merupakan taqyiid/muqayyad yang berfungsi untuk membatasi kemutlakan hadist yang melarang isbal. Taqyid/muqayyad adalah lafadz muthlak yang keumuman pada jenis kemutlakkannya telah dihilangkan, baik secara keseluruhan maupun sebagian (al lafdzu al muthlaqu al muzaalu syuyu’uhu fi jinsihi kulliyan au juz’iyyan (Taisiru alwushuli ilal ushul hal. 232)
Di antara bentuk muqayyad adalah sifat. Sifat yang dimaksud dalam pembahasan ini bukanlah sifat dalam pembahasan ilmu nahwu yaitu na’at. Akan tetapi sifat dalam pembahasan ini adalah setiap sifat yang dapat menghilangkan setiap bagian dari keumuman lafadz mutlak pada jenisnya. Sehingga sifat dapat berupa keterangan waktu (dhorof zaman), jar-majrur, atau sifat/na’at dalam istilah ilmu nahwu. (Taisiru alwushuli ilal ushul hal. 233). Pengarang kitab Taisiru al wushuli ilal ushul Syaikh Atha’ Ibnu Khalil memang tidak menyebutkan hal sebagai salah satu bentuk sifat yang dapat menjadi muqayyad, akan tetapi beliau juga tidak menyatakan secara tegas bahwa hal tidak dapat menjadi muqayyad. Oleh karena itulah kami berkesimpulan bahwa hal dapat menjadi muqayyad sebagaimana pendapat ulama yang pendapatnya kami kutip di atas. Demikian pula dalam kitab ushul fikih hal dikategorikan sebagai sifat yang dapat menjadi taqyid. Secara spesifik Syaikh Walid bin Rasyid bin Walidan berkenaan hadist isbal menyatakan bahwa ini merupakan pembahasan mutlaq-muqayyad, dimana kemutlakan hadist harus dipahami dengan muqayyadnya, yaitu isbal hanya diharamkan jika disertai dengan kesombongan (Risalatu fi syarhi al-muthlaq wal muqayyad hal. 11)
Sebagai tambahan, jika ada dalil yang mutlaq dan muqayyad pada hukum dan sebab yang sama seperti pada kasus isbal ini maka dalil mutlak harus dipahami dan diamalkan dengan dalil yang muqayyad (Taisiru alwushuli ilal ushul hal. 235, Syarah al waroqot di ushulil fiqhi hal. 108, al wadhih fi ushulil fiqhi hal. 332).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1. Khuyala’ (sombong) bukanlah ‘illat larangan isbal, tetapi taqyiid/muqayyid. Sehingga hadist-hadist ini tidak mengubah kaidah bahwa hukum yang berkaitan dengan ibadah, makanan, pakaian, dan akhlak tidak ada ‘illatnya dan tidak boleh mencari-cari ‘illat hukumnya.
2. Isbal tidaklah haram secara mutlak. Isbal hukumnya haram jika disertai kesombongan, jika tidak disertai kesombongan tidaklah haram karena mengamalkan dalil yang muqayyad atas dalil mutlak.
Yogyakarta, 26 April 2011
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan
Bagaimana hukumnya guru perempuan menjadi iman sholat anak-anak TK yang di dalamnya ada anak laki-laki? (Anto, Yogyakarta)
Telah terjadi perbedaan pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama menyatakan terlarang (haram) seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki, baik laki-laki tersebut telah baligh maupun belum baligh (anak-anak). Imam Nawawi asy Syafi’i menyatakan:
واتفق أصحابنا –أي الشافعية- على أنه لا يجوز صلاة رجل بالغ ولا صبي خلف امرأة ، وسواء في منع إمامة المرأة للرجال صلاة الفرض والتراويح وسائر النوافل ، هذا مذهبنا ومذهب جماهير العلماء من السلف والخلف رحمهم الله ، وحكاه البيهقي عن الفقهاء السبعة فقهاء المدينة والتابعين وهومذهب مالك وأبي حنيفة وسفيان وأحمد وداود.
Sahabat-sahabat kami (Ulama Mazdhab Syafi’i) telah sepakat bahwa tidak boleh laki yang baligh dan anak-anak sholat dibelakang (bermakmum) pada perempuan. Larangan perempuan memjadi imam bagi laki-laki berlaku baik untuk sholat wajib, tarawih, dan seluruh sholat sunat. Ini adalah mazdhab (pendapat) kami dan pendapat mayoritas ulama baik salaf maupun khalaf -semoga Allah mengasihi mereka-. Imam Baihaqi menceritakan dari ahli fikih yang tujuh yakni ahli fikih Madinah, tabi’in, demikian pula ini merupakan pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, Imam Ahmad, dan Dawud. (Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab li an-Nawawi 4/136)
Imam asy Syafi’I rahimahullahu menyatakan:
وإذا صلت المرأة برجال ونساء وصبيان ذكور فصلاة النساء مجزأة وصلاة الرجال والصبيان الذكور غير مجزأة لأن الله عز وجل جعل الرجال قوامين على النساء ، وقصرهن عن أن يكن أولياء، ولا يجوز أن تكون امرأة إمام رجل في صلاة بحال أبدا
Jika seorang perempuan mengimami laki-laki, wanita, dan anak-anak laki-laki, maka sholat perempuan (makmumah) sah, sedangkan sholat laki-laki, dan anak laki-laki (belum baligh) tidak sah. Alasannya karena Allah ‘azza wa jalla menjadikan laki-laki sebagai pemimpin para wanita meskipun mereka lebih mulia, tidak boleh (haram) hukumnya menjadikan perempuan sebagai imam bagi laki-laki dalam sholat dalam kondisi apapun (Al Umm li asy-Syafi’i 1/145)
Syaikh Mahmud abdul latif uwaidhah juga menyatakan:
ولم يَرِدْ أن امرأة قد أمَّت الرجال، فتُقتصر إمامة المرأة على النساء فحسب
Tidak ada dalil yang menceritakan bahwa perempuan (diperbolehkan) mengimami kaum lelaki. Oleh karena itu seorang perempuan diangkat sebagai imam, terbatas untuk kaum wanita saja (Jami’li ahkamis ash-shalah 2/489)
Sebagian ulama yang lain menyatakan bolehnya perempuan menjadi imam bagi anak laki-laki. Di antara Imam al Muzaniy, Abu Tsaur, dan ath Thabari. Hanya saja mereka hanya membolehkannya untuk shalat tarawih itupun dengan syarat tidak ada yang lebih baik hafalan al qurannya (Nailul authar li asy-Syaukani 3/173, Subulus salam li ash-shan’ani 2/357). Sedangkan Iman Syaukani dan Imam Shan’ani menyatakan bolehnya wanita menjadi imamah bagi anak laki-laki tanpa membatasi hanya untuk shalat tarawih saja. Landasan dalilnya adalah hadist dari Ummu Waraqah, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا
Sesungguhnya Nabi saw, memerintahkan ummu waraqah untuk menjadi imam bagi pnghuni rumahnya (HR Abu Dawud, ad-Daruquthni, al hakim, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
Menurut Imam Syaukani, Latar belakang hadist ini adalah ketika Nabi saw berangkat menuju perang Badar. Ummu Waraqah bertanya: apakah engkau mengizinkan aku untuk turut bersamamu? Kemudian Nabi memerintahkannya untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya dan menjadikannya seorang mu’adzin yang mengumandangkan adzan untuknya, termasuk yang bermakmum padanya (ummu waraqat) adalah anak laki-laki dan perempuannya (Nailul authar li asy-Syaukani 3/173, Subulus salam li ash-shan’ani 2/357).
Menurut kami pendapat yang lebih kuat –wallahu ‘alam- adalah pendapat yang membolehkan dengan alasan dalil yang digunakan jumhur adalah dalil umum sedangkan pendapat yang membolehkan dibangun berdasarkan dalil khusus, yaitu kebolehan wanita menjadi imamah bagi penghuni rumahnya temasuk anak laki-laki. Padahal kaidah menyatakan: أن الخاص مقدم على العام artinya: al khas didahulukan/diutamakan atas al ‘aam
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa boleh hukumnya guru perempuan menjadi imamah bagi siswa TK laki-laki. Wallahu ‘alam bishowab.
Yogyakarta, 23 April 2011
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan
TELAAH KRITIS PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA
TELAAH KRITIS PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA1
Wahyudi Ibnu Yusuf2
Pendahuluan
Lickona (1991: 13-18) mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai, karena jika tanda-tanda itu sudah ada, maka itu berarti sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatkan perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alcohol, dan seks bebas, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Kesepuluh tanda yang dikemukakan oleh Lickona di atas nampaknya telah terjadi di negeri kita. Sebagai contoh, menurut Badan Narkoba Nasional (BNN) pada Februari 2009 terdapat 123.810 pelajar di Indonesia menggunakan narkotika, obat psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Ironisnya 12.848 di antaranya siswa sekolah dasar. Demikian pula perilaku seks bebas juga sudah sedemikian mengkhawatirkan. Mengutip keterangan kepala BKKBN Pusat Sugiri Syarief Sumarsana menyebutkan, sekitar 30 % remaja kita pernah melakukan hubungan seks pranikah dan 22,6 % remaja adalah penganut seks bebas (BKKBN: 2010).
Sebagai upaya untuk menjawab tantangan zaman di atas maka pada peringatan hari pendidikan Nasional tepatnya tanggal 2 Mei 2010 Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan pentingnya pendidikan karakter. Apa dan bagaimana pendidikan karakter? Seberapa efektif pendidikan karakter mampu menjawab tantangan jaman di atas? Risalah singkat ini hadir mencoba menjawab beberapa pertanyaan di atas?
Karakter dan Pendidikan Karakter
Menurut Doni Koesoema (2007: 90), istilah karakter secara etimologis berasal dari bahasa Yunani “karasso”, berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, ‘sidik’ seperti dalam sidik jari. Brown, Chamberland & Morris (2007: 2) menyatakan: “Character is made up of core ethical values that incorporate ones thought process, emotions, and actions”. artinya karakter terbentuk dari nilai-nilai etika inti yang menyertakan kesatuan proses berpikir, emosi, dan tindakan. Lebih lanjut Brown, Chamberland & Morris menyatakan terdapat delapan karakter dasar yang dapat dikembangkan yaitu: jujur (honesty), keberanian/keteguhan hati (courage), hormat (respect) tanggung jawab (responsibility), tekun (perseverance), kerja sama (cooperation), mampu mengendalikan diri (self-control), dan bela Negara (citizenship).
Mengenai pengertian karakter yang baik Lickona (1991: 50) dengan menyadur pendapat Aristoteles menyatakan karakter yang baik (good character) adalah menjalani kehidupan dengan kebenaran. Kebenaran itu baik berhubungan dengan orang lain dan juga diri sendiri. Pendapat senada dinyatakan oleh Nucci (2001: 124), “ person of good character is someone who attends to the moral implications of actions and acts in accordance with what is moral in most circumstances”, artinya seorang yang berkarakter baik adalah seseorang yang bertindak mengikuti implikasi-implikasi moral dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral dalam banyak keadaan. Lickona (1991: 53) menyatakan bahwa komponen karakter positif terdiri dari moral knowing, moral feeling, dan moral action. Hubungan dari ketiga komponen ini dapat disajikan dalam gambar berikut:
Gambar 1
Komponen Karakter Positif (Lickona, 1992: 53)
Mengenai pengertian pendidikan karakter, menurut Departemen pendidikan Amerika Serikat sebagaimana dikutip Schwartz (2008: 2), pendidikan karakter didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang memungkinkan siswa dan orang dewasa pada komunitas sekolah untuk saling memahami, peduli, dan berbuat sesuai dengan nilai-nilai etik inti seperti hormat, adil, menjadi warga negara yang baik dan bela negara, serta bertanggungjawab pada diri sendiri dan orang lain
Fink dan McKay (2003:3) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah “the intentional process in our school and communities to enable children to understand, care about and act upon core ethical and citizenship values”. Maknanya adalah proses yang terencana pada sekolah dan komunitas kita untuk memungkinkan bagi anak untuk memahami, peduli dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai etika inti dan bela negara.
Darmiyati Zuchdi, dkk (2009: 10) menyatakan bahwa pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan baik, lebih dari itu pendidikan karakter harus menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik, sehingga siswa menjadi paham (ranah kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (ranah afektif) nilai yang baik, dan mau melakukannya (ranah psikomotor).
Lima dari Sembilan potensi peserta didik yang ingin dicapai dalam tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana tercantum dalam UU nomor 20 tahun 2003 adalah aspek karakter. Aspek karakter tersebut adalah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia pada tahun 2010 juga telah mengeluarkan Rencana Induk Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa, mengenai strategi pelaksaanaan pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan mengintegrasikan pendidikan karakter dalam kegiatan belajar mengajar pada setiap mata pelajaran. Selain itu juga perlu diciptakan budaya sekolah yang sehat, integrasi pendidikan karakter dalam kegiatan ekstra kurikuler dan pembiasaan dalam kegiatan keseharian di rumah
Efektifkah Pendidikan Karakter?
Banyak kalangan yang menyanksikan keefektifan pendidikan karakter sebagai solusi persoalan bangsa. Kesanksian ini sangat beralasan karena beberapa alasan berikut:
1. Pendidikan di Indonesia adalah pendidikan yang sekuler. Pemisahasan lembaga pendidikan agama (di bawah Depag) dengan pendidikan umum (di bawah Diknas) adalah fakta yang sedemikian gamblang bahwa pendidikan di Indonesia adalah menganut paham sekuler di bidang pendidikan. Pasalnya, pemisahan ini bukan tanpa konsekuensi. Pemisahan ini berimplikasi pada perbedaan kurikulum, dimana pada lembaga pendidikan di bawah Depag ‘lebih kental’ nuansa agamanya3 sedangkan sekolah umum lebih dominan materi umum dan minim materi keagamaan. Polarisasi sistem pendidikan seperti ini jelas akan mencetak output yang terpolarisasi pula. Lulusan IAIN diproyeksikan untuk menjadi ulama atau tokoh spiritual yang dikonotasi minim ilmu-ilmu keduniaan secara praktis, sedangkan lulusan sekolah/kampus umum diproyeksikan untuk menjadi teknokrat, politikus, ekonom, politikus dst namun minim pemahaman agama.
2. Biasnya standar baik dan buruk dalam pengertian definisi karakter. Nilai-nilai kebaikan yang dikemukakan oleh beberapa pakar karakter seperti demokratis, nasionalis dsb adalah di antara nilai-nilai yang perlu dipertanyakan kebenarannya. Demokrasi misalkan adalah sistem politik Barat yang sejatinya bertentangan dengan Islam, karena menempatkan kedaulatan di tangan manusia. Belum lagi yang diajarkan dalam pendidikan karakter terkadang hanya nilai-nilai, dimana nilai ini sangat bergantung pada sistem apa yang diterapkan saat itu. Sebagai contoh nilai etos kerja, disiplin, kerjasama dsb. Apakah bisa dikatakan memiliki karakter yang baik bagi seseorang yang bekerja pada bank yang mempratikan sistem ribawi meskipun dengan etos kerja yang tinggi, disiplin yang luar biasa dan kerjasama yang solid?
3. Budaya masyarakat yang mengarah pada gaya hidup materialistik dimana ukuran kesuksesan diukur dari title yang berderet-deret, pangkat yang tinggi, kekayaan yang melimpah, popularitas, dsb. Budaya ini jelas sangat memengaruhi orientasi sekolah, siswa dan orang tua. Sehingga tidak sedikit kampus yang menjual iklan “langsung kerja” bahkan tidak sedikit pula yang melakukan pelacuran akademik dengan jual beli ijazah palsu.
4. Materi ajar yang tidak menghantar terbentuknya output pendidikan yang memiliki kepribadian yang seimbang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa materi ajar di sekolah-sekolah kita sangat dominan pengembangan aspek kognitif dan minus afektif. Kelulusan sangat ditentukan dengan angka-angka yang sifatnya kualitatif sedang kepribadian tidak terlalu menjadi perhatian. Hal ini semakin diperparah dengan materi ajar yang kontradiktif dengan materi lain khususnya materi agama Islam, misalnya teori evolusi, prinsip ekonomi, demokrasi, pluralisme, dsb. Ironisnya matari-materi ini (demoraksi, pluralisme, nasionalisme) justru dianggap sebagai materi-materi yang akan membentuk moral dan karakter siswa.
5. Pengajaran yang cenderung transfer of knowledge dan bukan transfer of personality
6. Budaya sekolah, termasuk guru sebagai ujung tombak pendidikan yang belum dapat menjadi teladan bagaimana seharusnya mengembangkan karakter positif.
7. Belum serasinya pendidikan di sekolah, keluarga, dan masyarakat.
8. Dari aspek teknis, guru masih belum terbiasa mengembangkan model pembelajaran yang terintegrasi dengan pengembangan karakter positif.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Kependudukan Keluarga Berancana Nasional (BKKBN). 16,35% remaja indonesia lakukan hubungan seks bebas. Diakses pada tanggal 8 Juli 2010 dari http://www.bkkbn.go.id/Webs/DetailBerita.php?MyID=119
Badan Narkotika Nasional (BNN). 123 ribu lebih pelajar pengguna narkoba. Diakses pada tanggal 8 Juli 2010 dari http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=Berita&op=detailberita&id=1451&mn=6&smn=a
Darmiyati Zuchdi, dkk. (2009). Pendidikan karakter grand design dan nilai-nilai target.Yogyakarta: UNY Press
Fink, K & McKay, L. (2003). Making character education a standart part of education.Washington: The Character Education Partnership
Lickona, T. (1992). Education for character: How our schools can teach respect and responbility. New York: Bantam Books.
Nucci, L. P. (2001). Education in the moral domain. New York: Cambridge University Press
Schwartz. M. J. (2008). Effective character education guidebook for future educators. New York: McGraw-Hill Companies
Rabu, 13 April 2011
KOREKSI JAWABAN HUKUM MEMBUJANG UNTUK DAKWAH
Pada tanggal 20 April 2010 saya pernah menjawab pertanyaan seputar hokum membujang untuk berdakwah, selengkapnya tulisan saya tersebut adalah sebagai berikut:
Assalamu ‘alaikum. Bolehkah membujang dengan alasan untuk membaktikan sepenuhnya hidup untuk dakwah (085753124xxx)
Membujang (tabattul) hukumnya makruh. Berdasarkan hadist dari Qatâdah yang menuturkan riwayat dari al-Hasan, yang bersumber dari Samurah:
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ التَّبَتُّلِ
“Bahwa Nabi SAW telah melarang hidup membujang.” (HR Ahmad no. 19329)
Tabattul maknanya adalah memutuskan untuk tidak menikah (memutuskan untuk terus membujang) dan menjauhkan diri dari kenikmatan pernikahan, semata-mata untuk focus beribadah saja.(Sistem Pergaulan dalam Islam hal. 176, Faidhul qadhir 6/393)
Selain itu terdapat hadist dari Abu Yahya, Nabi bersada:
من كان موسرا لان ينكح فلم ينكح فليس منا
Artinya: siapa saja yang diberikan kemudahan (muusir) untuk menikah tapi dia tidak menikah maka di tidak termasuk golongan kami (HR. Baihaqi 7/78, al mu’jam al kabiir 22/366, al mua’jam al aushath 1/538)
Dalam hadist di atas memang terdapat kecaman “tidak termasuk golongan kami” dan bagi orang yang mampu namun tidak menikah. Namun kecaman ini tidak bersifat tegas (ghairu jazm) karena terdapat indikasi (qarinah) bahwa Nabi saw mendiamkan sebagain sahabat yang mampu namun tidak menikah. Maka dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa hokum membujang bagi orang yang mampu adalah makruh, tidak haram.(Taisirul wushuli ilal ushul hal. 18)
Ukuran mampu adalah kelonggaran ekonomi. Imam al baihaqi pada saat mensyarah hadist diatas menyatakan bahwa yang dimaksuh muusir adalah kaya dan memiliki kelonggaran harta (Syu’abul iman lil baihaqi 11/461, Ma’rifatu ash shahabah li Abi Nai’im 21/120).
Dari hadist ini juga dapat ditarik pemahaman sebaliknya (mafhum mukhalafah) bahwa bagi orang yang tidak memiliki kesiapan ekonomi (harta) maka baginya tidaklah makruh untuk membujang/tidak menikah. Karena pada hadist ini terdapat mafhun syarat berupa huruf syarat “man” barang siapa. Padahal mafhum syarat adalah salah satu bentuk mafhum mukhalafah (al wadhih fi ushulil fiqh hal. 303)
Dalam kontek inilah Nabi mensyaratkan mampu untuk dapat menikah sekaligus memberikan solusi praktis apabila tidak mampu menikah yaitu dengan berpuasa. Nabi saw bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: Wahai para pemuda siapasaja yang mampu dari kalian maka menikahlah dan jika tidak mampu (hendaklah) baginya berpuasa, karena puasa baginya adalah perisai (Hr. Bukhari no. 4677 dan Muslim no. 2486)
Atas dasar ini maka dakwah tidaklah dapat menjadi alasan mubahnya untuk membujang. Maka apabila seseorang pengemban dakwah yang mampu secara ekonomi namun tidak menikah maka dia telah melakukan kemakruhan. Sedangkan apabila memang dia tidak mampu untuk menikah maka mubah baginya untuk membujang.
Namun yang perlu diingat bahwa seseorang harus yakin bahwa Allah SWTlah yang Maha mengatur rizki. Bahkan Allah SWT berfirman:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS. An Nur [24]: 32)
Dan dari Abû Hurayrah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda:
ثلاثة حق على الله أن يعينهم : المكاتب الذي يريد الأداء ، والمجاهد في سبيل الله ، والناكح يريد أن يستعف
“Ada tiga golongan orang yang wajib bagi Allah untuk menolong mereka: mukâtab (budak yang mempunyai perjanjian dengan tuannya untuk menebus dirinya sehingga merdeka) yang ingin membayar tebusan dirinya, seorang mujahid (yang sedang berperang) di jalan Allah; orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan; dan (HR al-Hâkim dan Ibn Hibbân)
Yogyakarta, 20 April 2010
Abu Syamil Ramadhan (081251188553)
Pada kesempatan ini kami ingin mengoreksi jawaban tersebut.
Sebagaimana telah kami sampaikan bahwa definisi tabattul atau membujang adalah:
معنى التبتل الانقطاع عن النكاح وما يتبعه من الملاذ إلى العبادة
Tabattul maknanya adalah memutuskan untuk tidak menikah (memutuskan untuk terus membujang) dan menjauhkan diri dari kenikmatan pernikahan, semata-mata untuk focus beribadah saja.(Sistem Pergaulan dalam Islam hal. 176, Faidhul qadhir 6/393, Nailul Authar 6/488)
Berdasarkan definisi ini yang diharamkan dalam tabattul sebagaimana banyak ditegaskan dalam hadist Nabi adalah membujang untuk alasan menjalani dan mendapatkan kenikmatan ibadah. Tabattul seperti ini adalah tabattul yang dijalani para rahib yahudi dan pendeta Nasrani serta diikuti oleh para sufi yang mengklaim bahwa dengan tabattul mereka akan lebih dekat kepada Allah SWT. Menurut mereka mengekang kenikmatan-kemikmatan jasadiyah adalah cara untuk makrifat dan dapat bertemu dengan ruhul ‘ala (ruh yang tertinggi) (Lihat terjemahan kitab nasyul hadratil Islam karya Ustadz Ahmad al Qashash hal. 296) . Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang keliru karena Islam tidak pernah melarang umatnya untuk merasakan kenikmatan dunia asalnya tetap terikat dengan perintah dan larangan Islam. Bahkan nabi menyatakan: “dan dalam kemaluan salah seorang di antara kalian terdapat sedekah. Para sahabat kemudian bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana seorang diantara kami memuaskan syahwatnya sementara malah ia mendapat pahala?” Rasul saw menjawab:
أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
Bagiamana pendapat kalian, jika ia memuaskannya dalam perkara yang haram; apakah ia akan terkena dosa? Demikian pula, ketika ia memuaskannya dalam perkara yang halal, maka ia akan mendapat pahala (HR Muslim j. 2/697, kitab zakat, no hadist 1.006)
Atas dasar inilah maka membujang dengan alasan semata untuk mendapatkan kenikmatan ibadah hukumnya haram. Sedangkan dakwah adalah salah satu bentuk ibadah, maka haram hokumnya membujang dengan alasan untuk membaktikan hidup untuk dakwah.
Adapun mengenai pendapat Syaikh Atho’ Ibnu Khalil yang menyatakan membujang hukumnya makruh (Lihat Taisirul wushuli ilal ushul hal. 18) harus diartikan makruh jika membujang dengan alasan selain alasan untuk mendapatkan kenikmatan ibadah.
Wallahu ‘alam bi showab
Yogyakarta, 13 April 2011
Abu Syamil Ramadhan (081251188553)
Tafsir al-Anbiya [21]: 92-93
إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ (92) وَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ كُلٌّ إِلَيْنَا رَاجِعُونَ (93(
Artinya: Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku. Dan mereka telah memotong-motong urusan (agama) mereka di antara mereka. Kepada Kamilah masing-masing golongan itu akan kembali
Imam Ibnu Katsir mengutip pendapat Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menyatakan bahwa makna redaksi إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً adalah “agama kalian adalah agama yang satu”. Imam Hasan al Bashri menafsiri redaksi ini dengan menyatakan “sesungguhnya sunnah kalian adalah sunnah yang satu”. Ibnu Katsir menyatakan dhamir hadzihi merupakan isim inna, frase ummatukum sebagai khabar inna,dan frase ummatan waahidatan manshub sebagai haal (keadaan), beliau kemudian menyatakan “syariat kalian ini adalah syariat yang diterangkan dan dijelaskan”. Dalam tafsir Jalalain ditegaskan bahwa makna frase hazdihi adalah agama (milah) Islam. Berdasarkan beberapa penafsiran di atas dapat disimpulkan bahwa agama Islam dengan agama-agama samawi lain yang Allah turunkan adalah satu, Imam Abu Bakar al Jazairi menegaskan: “Islam adalah millah (agama) yang satu sejak masa Nabi Adam as. Hingga masa Nabi Muhammad saw. Alasannya karena agama (ajaran) para nabi adalah satu yakni beribadah kepada Allah saja (tauhid) berdasarkan apa-apa yang disyariatkan pada mereka”. Berdasarkan pernyataan pernyataan Imam al Jazairi di atas juga dapat disimpulkan bahwa syariat dari setiap Rasul bisa saja berbeda tetapi dalam hal tauhid semua nabi dan rasul sama, yakni mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun juga. Kesimpulan ini diperkuat dengan pendapat Imam Ibnu Katsir saat menafsiri redaksi وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ , beliau menyatakan “maksudnya adalah beribadah kepada Allah saja tanpa menyekutukan-Nya, (beribadah) dengan syariat-syariat yang berbeda-beda bagi Rasul-rasul-Nya, kemudian beliau mengutip fiman Allah:
{ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا } [المائدة :48]
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang (QS. al Maidah [5]: 48)
Kesimpulannya, bahwa agama Islam adalah agama yang satu karena persamaannya dalam tauhid (pengesaan Allah SWT) akan tetapi setiap Rasul membawa syariatnya sendiri-sendiri.
Sedangkan redaksi وَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ maknanya adalah umat-umat tersebut telah menyelisihi rasul-rasul yang di utus pada mereka, mereka mendustakan orang yang menjelaskan kebenaran. Padahal mereka semua akan kembali kepada Allah yakni hari kiamat, hari pembalasan atas atas setiap amal pebuatan. Sungguh balasan kebaikan adalah kebaikan dan balasan keburukan adalah keburukan, karena itulah Allah berfirman:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلا كُفْرَانَ لِسَعْيِهِ وَإِنَّا لَهُ كَاتِبُونَ
Maka barang siapa yang mengerjakan amal saleh, sedang ia beriman, maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya itu dan sesungguhnya Kami menuliskan amalannya itu untuknya. (QS. Al- Anbiya [21]:94)
Wallahu ‘alam bi showab
Yogyakarta, 13 April 2011
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan
Langganan:
Postingan (Atom)