Jika seseorang melihat hilal
syawal, namun kesaksiannya tidak diterima oleh daulah (Khalifah). Apakah orang
yang bersangkutan tetap berpuasa ataukah membatalkan puasanya (Aang, Malang
Jatim)
Jawab
Penetapan dua hari raya (termasuk
penetapan syawal) adalah perkara yang sebaiknya ditabbani (diadopsi) oleh
khalifah. Saya katakan sebaiknya karena hukum tabanni bagi khalifah adalah
perkara yang mubah. Sesuatu yang mubah maka mengikuti kaidah khilaful aula
(mana yang lebih baik/utama). Khilaful aula dalam penetapan dua hari raya
adalah untuk menjaga kesatuan kaum muslimin (lihat muqaddimah ad dustur au al
asbabu al mujibatu lahu 1/21, ad daulah islamiyah hal 143).
Apabila penetapan dua hari raya
telah diadopsi oleh khalifah. Maka sesunguhnya yang diadopsi tidak semata
metode pentapan hilal. Misalnya mengadopsi pendapat madzhab Hanabilah,
Malikiyah dan Ahmad yang menyatakan bahwa apabila telah terlihat bulan di satu
tempat maka berlaku bagi tempat yang lain tidak peduli yang jauh maupun dekat
(al fiqhu ‘ala madzahabil arba’ah 1/500). Akan tetapi khalifah mestilah juga
mengadopsi ketentuan sahnya orang yang melihat hilal. Karena kenyataannya,
ulama berbeda pendapat tentang jumlah dan syarat saksi yang melihat bulan serta
tatacara persaksian. Sebagai contoh, mengenai jumlah saksi penetapan bulan
syawal Ulama Hanifiyah mensyaratkan saksi adalah dua orang laki-laki, atau satu
orang laki-laki ditambah dua orang perempuan jika langit tertutup mendung dan
mensyaratkan jumlah yang banyak jika langit cerah. Sementara ulama Malikiyah
mensyaratkan hilal harus dilihat oleh dua orang saksi yang adil atau jumlah
yang banyak yang dapat mencapai derajat pasti (al ‘ilmu). Demikian pula mazdhab
Hanabilah mensyaratkan dua orang saksi yang adil. Sedangkan mazdhab Syafie
mencukupkan satu saksi yang adil. (lihat
al fiqhu ‘ala madzahabil arba’ah 1/502).
Mengapa khalifah harus mengadopsi
salah satu pendapat di atas? Jawabnya karena jika tidak diadopsi maka tujuan
agar terjaga kesatuan Negara dan kaum muslimin tidak akan terwujud. Maka sebenarnya
hal ini adalah satu hal yang sangat dapat difahami sebagai konsekuensi
pentingnya khalifah mengadopsi penetapan dua hari raya.
Jika perkara ini telah diadopsi
maka wajib bagi warga daulah untuk mentaati ketetapan tabanni khalifah dan
tidak boleh seoarang muslim (warga
daulah) beramal dengan pendapat yang menyelisihi tabanni khalifah (lihat muqaddimah
dustur au al asbabu al mujibatu lahu 1/16). Bahkan seandainya dia seoarang
mujtahid maka wajib baginya tunduk pada ketetapan tabanni khalifah (lihat muqaddimah
dustur au al asbabu al mujibatu lahu 1/17, Nizhamul Islam hal 82). Hal ini
merupakan pengamalan dari kaidah fikih: amrul imam nafidzun dhahiran wa
baathinan (perintah imam/khalifah harus dilaksanakan baik secara zahir dan
batin).
Maka kesimpulannya seorang yang ditolak
kesaksiannya sehingga khalifah tidak menetapkan besok harinya sebagai bulan
yang baru (syawal) sementara khalifah telah mentabanni perkara itu maka ia
harus tunduk pada ketetapan khalifah yaitu melanjutkan puasanya. Lain halnya
jika hal tersebut tidak ditabanni/adopsi oleh khalifah maka seseoarang tidak
wajib terikat pada ketetapan khalifah. Wallahu ‘alambi shawab.
Yogyakarta, 23 Rajab 1431 H pukul
21.26 WIB
Al faqiir ilaLLAH Wahyudi Abu
Syamil Ramadhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar