Selasa, 06 Juli 2010

Konsultasi


Jika seseorang melihat hilal syawal, namun kesaksiannya tidak diterima oleh daulah (Khalifah). Apakah orang yang bersangkutan tetap berpuasa ataukah membatalkan puasanya (Aang, Malang Jatim)
Jawab
Penetapan dua hari raya (termasuk penetapan syawal) adalah perkara yang sebaiknya ditabbani (diadopsi) oleh khalifah. Saya katakan sebaiknya karena hukum tabanni bagi khalifah adalah perkara yang mubah. Sesuatu yang mubah maka mengikuti kaidah khilaful aula (mana yang lebih baik/utama). Khilaful aula dalam penetapan dua hari raya adalah untuk menjaga kesatuan kaum muslimin (lihat muqaddimah ad dustur au al asbabu al mujibatu lahu 1/21, ad daulah islamiyah hal 143).
Apabila penetapan dua hari raya telah diadopsi oleh khalifah. Maka sesunguhnya yang diadopsi tidak semata metode pentapan hilal. Misalnya mengadopsi pendapat madzhab Hanabilah, Malikiyah dan Ahmad yang menyatakan bahwa apabila telah terlihat bulan di satu tempat maka berlaku bagi tempat yang lain tidak peduli yang jauh maupun dekat (al fiqhu ‘ala madzahabil arba’ah 1/500). Akan tetapi khalifah mestilah juga mengadopsi ketentuan sahnya orang yang melihat hilal. Karena kenyataannya, ulama berbeda pendapat tentang jumlah dan syarat saksi yang melihat bulan serta tatacara persaksian. Sebagai contoh, mengenai jumlah saksi penetapan bulan syawal Ulama Hanifiyah mensyaratkan saksi adalah dua orang laki-laki, atau satu orang laki-laki ditambah dua orang perempuan jika langit tertutup mendung dan mensyaratkan jumlah yang banyak jika langit cerah. Sementara ulama Malikiyah mensyaratkan hilal harus dilihat oleh dua orang saksi yang adil atau jumlah yang banyak yang dapat mencapai derajat pasti (al ‘ilmu). Demikian pula mazdhab Hanabilah mensyaratkan dua orang saksi yang adil. Sedangkan mazdhab Syafie mencukupkan satu saksi yang adil.  (lihat al fiqhu ‘ala madzahabil arba’ah 1/502).
Mengapa khalifah harus mengadopsi salah satu pendapat di atas? Jawabnya karena jika tidak diadopsi maka tujuan agar terjaga kesatuan Negara dan kaum muslimin tidak akan terwujud. Maka sebenarnya hal ini adalah satu hal yang sangat dapat difahami sebagai konsekuensi pentingnya khalifah mengadopsi penetapan dua hari raya.
Jika perkara ini telah diadopsi maka wajib bagi warga daulah untuk mentaati ketetapan tabanni khalifah dan tidak boleh  seoarang muslim (warga daulah) beramal dengan pendapat yang menyelisihi tabanni khalifah (lihat muqaddimah dustur au al asbabu al mujibatu lahu 1/16). Bahkan seandainya dia seoarang mujtahid maka wajib baginya tunduk pada ketetapan tabanni khalifah (lihat muqaddimah dustur au al asbabu al mujibatu lahu 1/17, Nizhamul Islam hal 82). Hal ini merupakan pengamalan dari kaidah fikih: amrul imam nafidzun dhahiran wa baathinan (perintah imam/khalifah harus dilaksanakan baik secara zahir dan batin).
Maka kesimpulannya seorang yang ditolak kesaksiannya sehingga khalifah tidak menetapkan besok harinya sebagai bulan yang baru (syawal) sementara khalifah telah mentabanni perkara itu maka ia harus tunduk pada ketetapan khalifah yaitu melanjutkan puasanya. Lain halnya jika hal tersebut tidak ditabanni/adopsi oleh khalifah maka seseoarang tidak wajib terikat pada ketetapan khalifah. Wallahu ‘alambi shawab.
Yogyakarta, 23 Rajab 1431 H pukul 21.26 WIB
Al faqiir ilaLLAH Wahyudi Abu Syamil Ramadhan

Tidak ada komentar: