Rabu, 08 Desember 2010
KRITIK TERHADAP UU PORNOGRAFI
KRITIK TERHADAP UU PORNOGRAFI : PERSPEKTIF ISLAM*
Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi**
Pendahuluan
Setelah melalui proses sidang yang panjang, pada hari Kamis 30 Oktober 2008 akhirnya RUU Pornografi disahkan oleh DPR. RUU tersebut disahkan minus dua fraksi yang sebelumnya menyatakan walk out, yakni Fraksi PDS dan Fraksi PDI-P.
Kelahiran UU tersebut didahului oleh perseteruan yang sengit antara dua kubu ideologis, yaitu : kubu Islam versus kubu sekular-liberal, baik di dalam parlemen maupun di luar parlemen. Sejak awal kubu sekular menolak UU Pornografi, bahkan ketika masih bernama RUU APP (RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi). Sementara kubu Islam sangat mendukung pengesahan RUU APP tersebut.
Tanpa mengurangi semangat untuk menolak segala bentuk budaya porno yang melatarbelakangi munsulnya UU Pornografi ini, tulisan ini bertujuan memberikan sejumlah kritik terhadap UU Pornografi tersebut, yang menyangkut 3 (tiga) aspek berikut :
(1) metodologi penemuan hukum,
(2) basis ideologi,
(3) subtansi hukum.
Metodologi Penemuan Hukum
UU Pornografi lahir melalui metodologi penemuan hukum yang khas dalam demokrasi, yaitu hukum adalah ekspresi dari kehendak rakyat. Sebab dalam demokrasi, kedaulatan adalah di tangan rakyat (sovereignty belongs to the people; as-siyadah li asy-sya'bi). Kedaulatan adalah otoritas tertinggi yang bersifat absolut untuk mengeluarkan hukum atas segala perbuatan manusia. (Al-Khalidi, Qawa'id Nizham Al-Hukm fi Al-Islam, 1987). Dalam praktiknya, prinsip ini dilaksanakan oleh parlemen sebagai perwakilan rakyat, yang bertugas menyerap aspirasi dan kehendak masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya ini, kriteria untuk mengambil pendapat oleh parlemen adalah berdasarkan suara terbanyak (mayoritas).
Dalam Islam, kedaulatan bukan di tangan rakyat, tapi di tangan syariah (sovereignty belongs to the sharia; as-siyadah li asy-syar'i). Yang berhak membuat hukum bukan manusia, tapi Allah SWT (QS Al-An'am : 57; QS Al-Maaidah : 44,45,47). Manusia hanya berhak untuk menggali hukum dari wahyu (istinbath al-hukm), bukan membuat hukum sendiri, dengan sumber selain wahyu. Selain itu, yang dimiliki oleh umat Islam adalah kekuasaan (authority, as-sulthan,), bukan kedaulatan (sovereignty, as-siyadah). Kekuasaan adalah otoritas untuk melaksanakan undang-undang. (An-Nabhani, Nizham Al-Hukm fi Al-Islam, 2003). Kekuasaan dalam Islam adalah di tangan umat. Meski kekuasaan dalam Islam dan demokrasi sama-sama dipegang oleh manusia, namun kekuasaan dalam Islam ini berbeda dengan demokrasi. Dalam Islam, kekuasaan ditujukan untuk menerapkan hukum syariah Islam, sedang dalam demokrasi kekuasaan ditujukan untuk menerapkan hukum buatan manusia, bukan hukum Syariah Islam.
Secara kelembagaan, hukum (undang-undang) untuk publik dalam demokrasi dilegislasikan oleh parlemen (wakil rakyat). Sedang dalam Islam, hukum (undang-undang) untuk publik dilegislasikan oleh Khalifah (Kepala Negara), bukan oleh wakil rakyat (Majelis Umat). Hal ini berdasarkan kaidah fikih Islam : Li al-khalifah wahdahu haqqu at-tabanni li al-ahkam al-syar'iyyah wa huwa yasunnu ad-dustur wa al qawanin (hanya Khalifah saja yang berhak melegislasi hukum syariah, dan Khalifah sajalah yang melegislasikan UUD dan UU). (Zallum, Nizham Al-Hukm fi Al-Islam, 2002). Mengenai pengambilan pendapat, jika materinya menyangkut hukum syara', kriterianya adalah kekuatan dalil (quwwatud dalil), bukan suara mayoritas.
Kesimpulannya, secara metodologi, yaitu dari segi kedaulatan, lembaga legislasi, dan kriteria pengambilan pendapat, UU Pornografi bertentangan dengan Islam.
Basis Ideologi
Kritik lain atas UU Pornografi ini adalah ketidakjelasan basis ideologi yang digunakan. UU ini mencoba mengatur masalah pornografi untuk seluruh masyarakat Indonesia yang pada faktanya memeluk ragam agama atau keyakinan. Basis ideologi UU Pornografi ini nampaknya adalah ide pluralisme (sebagai cabang ideologi sekularisme) yang mencoba mengakomodasi segala ragam agama atau keyakinan.
Padahal masalah pornografi dalam beberapa bagian atau seluruhnya, seperti menyangkut masalah pakaian, sangat terkait dengan keyakinan seseorang. Misalnya, pakaian seorang Muslim tentu berbeda dengan pakaian seorang Hindu. Dengan demikian aspek pornografitasnya pun juga mestinya berbeda. Ketelanjangan bahu bagi seorang perempuan Hindu mungkin tidak masalah karena memang demikianlah ketentuan peribadatan di dalam pura mereka, tapi tidak demikian halnya dengan seorang Muslimah.
Karena tidakjelasnya basis ideologi yang digunakan inilah, definisi tentang pornografi dalam UU ini juga menjadi kabur. Bila dikatakan pornografi adalah materi seksualitas yang melanggar nilai-nilai kesusilaan masyarakat, pertanyaannya, masyarakat yang mana? Bila sejak definisi pornografi sudah kabur, maka tentu pengaturan berikutnya juga menjadi tidak jelas. Ketidakjelasan seperti inilah yang mengundang reaksi, khususnya dari komunitas non-Muslim di Bali maupun daerah lain. Mereka khawatir UU ini akan mengeliminir sebagian keyakinan mereka.
Akan berbeda halnya bila UU semacam ini didasarkan pada basis ideologi Islam, yaitu disusun berdasarkan ketentuan syariah Islam. Maka definisi tentang pornografi dengan mudah dibuat. Dan pasti tidak akan menyinggung agama lain, karena masalah-masalah yang terkait dengan keyakinan dikembalikan kepada agama masing-masing. Baik yang berkaitan dengan tataperibadatan maupun berpakaian.
Justru di sinilah pentingnya penerapan syariah Islam di tengah masyarakat. Syariah akan memberikan pengaturan tentang berbagai hal secara jelas, tegas dan konsisten untuk seluruh masyarakat. Tapi sekaligus tetap menghargai adanya perbedaan akibat perbedaan keyakinan agama. Dengan cara itu, kerahmatan yang dijanjikan dari penerapan syariah Islam itu bisa diujudkan.
Substansi
Kritik berikutnya terhadap UU Pornogafi, adalah dari segi substansi, yaitu materi hukum yang termuat dalam pasal-pasal UU Pornografi. Banyak sekali pasal-pasal yang perlu dikritisi dari perspektif Islam. Di antaranya :
Pertama: Judul/Nama UU. UU ini telah mengalami perubahan, yakni semula RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) menjadi RUU Pornografi (RUU P), dan akhirnya disahkan sebagai UU Pornografi. Perubahan nama ini jelas kontraproduktif sekaligus kontradiktif (bertentangan) dengan semangat awal untuk memberantas dan menghapus segala bentuk kepornoan. Penghapusan kata anti pada judul RUU memberikan kesan, bahwa RUU ini hanya akan mengatur pornografi, dan bukan berniat menghapuskannya.
Adapun penghapusan kata pornoaksi mengandung pengertian, bahwa yang diatur hanyalah pornografi (media/sarana yang mengandung unsur kepornoan), sementara pornokasi (perilaku porno seperti cara berpakaian yang mengumbar aurat ataupun tindakan porno lainnya di tempat umum) tidak diatur alias dibiarkan. Karena itu, alih-alih pornografi dan pornoaksi akan lenyap, dengan disahkannya RUU Pornografi ini menjadi UU, pornografi dan pornoaksi mungkin malah akan mendapat legitimasi dan semakin berkembang.
Dalam perspektif Islam, pornografi dan pornoaksi adalah kemungkaran yang harus dilenyapkan. Bukan hanya diregulasi, apalagi dilegalisasi.
Kedua: Pasal-Pasal Yang Cacat dan Kontradiktif Dengan Islam. Banyak pasal UU Pornografi yang cacat dan sekaligus bertentangan dengan Islam. Misalnya sebagai berikut :
(1) Definisi Pornografi. Dalam Pasal 1 ayat 1 disebutkan: Pornografi diartikan sebagai: adalah materi seksualitas yang dibuat manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar kesusilaan masyarakat.
Pasal ini saja mengandung sejumlah masalah:
Yang termasuk dalam cakupan pornografi menurut UU ini hanyalah materi seksualitas yang mengandung 2 (dua) unsur, yaitu : (1) yang dapat membangkitkan hasrat seksual, dan/atau (2) melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam mayarakat. Pengertian ini masih belum konkret sehingga bisa menimbulkan macam-macam penafsiran masing-masing orang. Misal: Apa batasan ‘membangkitkan hasrat seksual’ itu dan siapa yang berhak menentukan kriterianya? Apa yang dijadikan sebagai standar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat? Masyarakat yang mana? Bukankah di Indonesia terdapat banyak suku dan budaya yang memiliki standar nilai kesusilaan yang berbeda-beda?
Dalam pasal-pasal berikutnya memang dijelaskan beberapa jenis materi pornografi yang dilarang. Namun, materi pornografi yang dilarang itu sangat sempit dan sedikit sehingga memberikan peluang bagi lolosnya banyak materi pornografi di masyarakat.
Pengertian pornografi dalam UU ini juga mencakup ’pertunjukan di muka umum’. Tampaknya pengertian tersebut berusaha mencakup wilayah ’pornoaksi’. Akan tetapi, jangkauannya amat sempit karena yang disebutkan hanya ’pertunjukan’ saja. Berbagai tindakan lain yang termasuk dalam ’pornoaksi’ (seperti cara berpakaian yang mengumbar aurat di tempat umum, berpelukan dan berciuman di tempat umum, dll) tidak dapat dijerat dalam UU ini.
Dalam perspektif Islam, Islam memang tidak secara jelas memberikan pengertian tentang pornografi. Namun demikian, Islam memiliki konsep tentang aurat yang jelas dan baku. Aurat laki-laki, baik terhadap sesama laki-laki maupun terhadap wanita adalah antara pusar dan lutut. Sementara aurat wanita terhadap laki-laki asing (bukan suami dan bukan mahramnya) adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Di samping itu, pakaian yang dikenakannya sudah ditentukan yakni : jilbab dan kerudung, yang menurupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Aurat tersebut wajib ditutup dan tidak boleh dilihat kecuali orang yang berhak, terlepas terlihatnya aurat itu dapat membangkitkan birahi atau tidak. Jadi, dalam perspektif Islam, yang menjadi kriteria adalah aurat itu tertutup atau tidak, bukan hasrat seksual bangkit atau tidak.
Islam juga melarang beberapa tindak yang berkaitan dengan tata pergaulan pria dan wanita. Di antaranya Islam melarang tabarruj (berhias berlebihan di ruang publik), berciuman, berpelukan, bercampur-baur antara pria-wanita, berkhalwat dengan wanita bukan mahram, dan segala perbuatan yang dapat mengantarkan perzinaan. Konsep ini jauh bermartabat daripada konsep mengenai pornoaksi.
(2)Masalah Larangan. Ada sejumlah larangan dalam UU ini yang juga bermasalah. Dalam Pasal 4 ayat 1, misalnya, disebutkan: Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat: (a) persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang, (b) kekerasan seksual, (c) masturbasi atau onani, (d) ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, atau (e) alat kelamin.
Menurut pasal ini, materi seksual yang dikategorikan sebagai pornografi hanya menyangkut lima perkara, yang semuanya hanya berkisar pada kelamin saja (persenggamaan, kekerasan seksual, masturbasi, ketelanjangan, dan alat kelamin). Ini berarti, materi pornografi selain yang disebutkan itu tidak termasuk dalam kategori pornografi yang dilarang. Kesimpulan ini juga sejalan pasal 13 ayat 1.
Dengan demikian, mempertontonkan beberapa anggota tubuh lainnya yang juga dapat membangkitkan hasrat seksual seperti paha, pinggul, pantat, pusar, perut dan payudara perempuan tidak termasuk dalam pornografi yang dilarang. Kategorisasi demikian tentu sangat membahayakan dan merusak kehidupan masyarakat. Akan muncul banyak produk dan perbuatan porno secara bebas tanpa takut diusik siapapun karena telah mendapatkan legalisasi dari UU ini. Perempuan yang terbiasa mempertontonkan beberapa anggota tubuhnya seperti rambut, paha, pinggul, pantat, pusar, perut, dan payudara, misalnya, menjadi semakin merasa aman. Demikian juga berbagai tindakan yang membangkitkan hasrat seksual seperti tarian erotis, berciuman, berpelukan, dan sebagainya.
Dalam perspektif Islam, rumusan pasal mengenai pornografi yang dilarang dalam UU ini pada pasal 4 ayat 1 sangat bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, jangankan alat kelamin dan ketelanjangan, aurat saja tidak boleh dipertontonkan di muka umum. Bukan hanya persenggamaan, berbagai tindakan yang terkatagori sebagai muqaddimah al-zinâ (pendahuluan zina) juga dilarang dilakukan di muka umum, apalagi dilakukan oleh bukan pasangan suami-isteri. Ketentuan itu berlaku umum. Semua perbuatan yang membuka aurat di muka publik dikatagorikan sebagai tindakan terlarang. Perkecualian hanya disandarkan terhadap ketentuan syara’, seperti dalam kesaksian dalam pengadilan dan pengobatan.
(3) Masalah Pembatasan. Dalam UU ini juga ada sejumlah pembatasan yang juga bermasalah. Dalam pasal 14, misalnya, disebutkan: Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: (a) seni dan budaya (b) adat istiadat, dan (c) ritual tradisional.
Pembatasan/perkecualian ini tentu berbahaya. Bagaimana mungkin dengan alasan atau kepentingan pada 3 aspek itu, materi seksualitas boleh dibuat, disebarluaskan dan digunakan? Apalagi tidak ada batasan yang jelas mengenai materi seksualitas yang dimaksud. Seni dan budaya yang mengantarkan pada kerusakan moral masyarakat seharusnya dilarang, bukan malah dikecualikan dari larangan pornografi. Bukankah selama ini pornografi dan pornoaksi dapat merajalela di tengah masyarakat justru sering atas nama seni, budaya, olahraga dan semacamnya? Demikian juga dalam adat-istiadat dan ritual tradisional.
Dalam perspektif Islam, semua ketentuan syariah berlaku umum kecuali ada dalil syar'i yang memperbolehkannya. Seni budaya, adat istiadat, dan ritual tradisional tidak termasuk dalam alasan yang dibenarkan syar’i untuk membolehkan pornografi dan pornoaksi yang dilakukan di tengah kehidupan masyarakat. Jadi, pembatasan/perkecualian pada 3 aspek tersebut sangat absurd dan bertentangan dengan Islam. Pornografi dan pornoaksi pada tiga aspek itu tetap haram. Mengapa? Sebab tidak dalil dari Al-Qur`an atau As-Sunnah yang mengecualikannya. Mengecualikan atas dasar akal atau kemaslahatan adalah batil menurut Islam.
Selain itu, Islam mewajibkan kaum Muslim, terutama penguasa untuk menyampaikan dakwah dan bimbingan terhadap masyarakat yang belum mengenal Islam, misalnya masyarakat yang masih mengenakan koteka. Bukan malah membiarkannya terus dalam penyimpangan. Jadi, tugas pemerintah justru adalah melakukan penyuluhan dan penyadaran pada masyarakat yang memiliki adat-istiadat dan ritual tradisional yang menyimpang. Bukan malah melestarikannya dengan dalih pluralisme yang bertentangan dengan Islam atau melegalisasinya dengan UU.
Kesimpulan
UU Pornografi bertentangan dengan Islam, karena menyalahi dan menyimpang dari Syariah Islam pada aspek metodologinya, basis ideologinya, dan substansi pasal-pasalnya. Maka dari itu, UU Pornografi tertolak menurut perspektif Islam, wajib dihapuskan, dan wajib diganti dengan UU Anti Pornografi yang berdasarkan Syariah Islam semata. Wallahu a'lam.
= = = = =
*Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema "Berani Nggak Judicial Review UU Pornografi?", diselenggarakan oleh BEM Fakultas Hukum dan Laboratorium Sosiologi FISIP Unsoed, Purwokerto, Rabu, 17 Desember 2008.
**Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar