Selasa, 07 Desember 2010
MENGUPAYAKAN HIDAYAH DAN MENINGGALKAN KESESATAN
”saya sering ingin berhenti dari ’pekerjaan’ saya tapi saya belum dapat hidayah…”. Demikian jawaban seorang perempuan yang rela menjual diri (baca menjadi WTS) saat diajak untuk bertaubat dan berhenti dari maksiat yang dia lakukan. Jawaban atau anggapan serupa juga banyak diyakini oleh umat Islam. Mereka mencoba membenarkan pendapatnya dengan mengatakan Nabi SAW saja tidak dapat memberi hidayah kepada pamannya Abu Thalib, Nabi Nuh tidak berhasil mengajak istrinya menjadi pengikut agama tauhid yang beliau bawa, dan seterusnya.
Benarkah bahwa manusia tidak memiliki peran atau andil sama sekali untuk mengapai hidayah? Benarkah bahwa manusia ’dipaksa’ oleh Allah SWT untuk meniti jalan hidayah maupun jalan kesesatan? Bagaimana mengkompromikan ayat-ayat al quran yang seakan bertentangan tentang persoalan hidayah dan kesesatan? Risalah ringkas ini memberi jawaban atas sejumlah pertanyaan di atas. Semoga Allah memberi kita kemudahan untuk memahami dan mengamalkan yang kita pahami. Amiin ya mujibassailiin.
Pengertian Hidayah dan Kesesatan
Hidâyah berasal dari kata hadâ–yahdî–hud[an] wa hady[an] wa hidy[an] wa hidâyat[an]. Hudâ dan hidâyah secara bahasa artinya ar-rasyâd (bimbingan/tuntunan) wa ad-dalâlah (petunjuk). Juga dikatakan, hadaytuhu ath-tharîqa wa al-bayta hidâyat[an], artinya ‘arraftuhu (aku memberitahunya). Manurut al-Azhari di dalam Tahdzîb al-Lughah menukil Abu al-‘Abbas dari Ibn al-A’rabi dan menurut Ahmad bin Muhammad al-Fayumi di dalam Mishbâh Al-Munîr, hidâyah juga berarti al-bayân (penjelasan). Dengan demikian, hidâyah secara bahasa artinya bimbingan, penerangan, petunjuk dan penjelasan.
Al-Hudâ atau al-hidâyah juga adalah lawan dari adh-dhalâl (kesesatan). Secara ‘urf, adh-dhalâl adalah penyimpangan dari jalan yang bisa mengantarkan pada tujuan yang diinginkan, atau penyimpangan dari jalan yang seharusnya. Karena itu, al-hudâ atau al-hidâyah secara ‘urf bisa diartikan sebagai jalan yang bisa mengantarkan pada tujuan yang diinginkan, atau jalan yang seharusnya.
Secara syar’i jalan yang dimaksud adalah jalan yang benar (tharîq al-haqq) dan jalan yang lurus (tharîq al-mustaqim), yaitu Islam dan keimanan terhadapnya. Dengan demikian, secara syar’i, al-huda atau al-hidâyah adalah mendapat petunjuk atau terbimbing pada Islam dan beriman terhadapnya. Sedangkan adh-dhalâl (kesesatan) menurut syara’ adalah melenceng dari Islam (Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam Syakhshiyyah Islamiyah 1/98). Sebagaimana hadist dari Abu Bashrah Al Ghifari Nabi saw bersabda:
سَأَلْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ أَرْبَعًا فَأَعْطَانِي ثَلَاثًا وَمَنَعَنِي وَاحِدَةً سَأَلْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يَجْمَعَ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ فَأَعْطَانِيهَا
"Aku meminta kepada Rabbku Azza wa Jalla empat perkara, lalu Dia memberiku tiga perkara dan menolak satu perkara; aku meminta kepada Rabbku agar umatku tidak bersepakat atas kesesatan lalu Dia mengabulkannya (HR. Ahmad no. 25966)
Mengupayakan Hidayah dan menghindarkan Kesesatan
Terdapat banyak ayat dalam al qur’an yang menegaskan bahwa hanya Allah SWT sajalah yang memiliki ororitas (wewenang) untuk memberi hidayah. Diantaranya adalah firman Allah berikut:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. Al qashash [28]: 56)
Sebab turunnya ayat di atas adalah pada saat Abu Thalib menjelang sakaratul maut, maka Nabi saw memintanya agar beriman dan masuk Islam dengan mengucap kalimat la ilaha illallah. Abu Thalib kemudian menjawab: “ Seandainya aku tidak takut wanita-wanita Quraisy akan mencelaku dan mengatakan bahwa aku telah beriman karena terpaksa, tentu aku akan mengucapkanya. (Imam as Suyuthi dalam Lubabun nuqul fi asbabin nuzul hal. 150). Dalam riwayat az Zuhri sebagaimana yang dikutip Imam Ibnu Katsir pada saat itu petinggi-petingi Quraisy seperti Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah menghalangi abu Thalib untuk menerima kesaksian Nabi saw tersebut (Tafsirul quranil adhim 6/246)
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa hanya Allah sajalah yang member hidayah. Ini berarti bahwa seseorang tidak memperoleh hidayah dari dirinya, melainkan (jika) Allah memberinya hidayah maka ia mendapatkan hidayah. Dan jika Allah menyesatkannya maka ia (pasti) sesat. Namun demikian bukan berarti bahwa manusia tidak memiliki andil dan usaha untuk mengapai hidayah tersebut. Setidaknya terdapat dua alasan yang menunjukan bahwa manusia juga memiliki peran dalam meraih petunjuk sekaligus menghindari dhalal (kesesatan).
Alasan pertama, adalah terdapat sejumlah ayat yang menisbatkan hidayah, kesesatan dan penyesatan kepada hamba. Diantaranya adalah firman Allah:
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ
Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ? (QS. Al an’am [6]: 144)
Alasan kedua, banyak ayat menyatakan bahwa Allah memberikan pahala kepada orang yang mendapat petunjuk dan menjatuhkan siksa kepada orang yang tersesat serta menghisab perbuatan manusia. Apabila pelangsungan hidayah dan kesesatan dinisbatkan kepada Allah, artinya Allah yang memaksa manusia untuk mendapat hidayah atau tersesat, lalu Allah menimpakan siksa kepada orang yang tersesat dan menyiksa orang kafir, fasik, munafik dan pelaku maksiyat. Ini jelas merupakan kezaliman. Mahasuci Allah dari yang demikian, sekali-kali Dia tidaklah menzalimi hamba-Nya. Allah berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya. (QS. Al Fushilat [41]: 46).
Kesimpulannya dengan menghimpun ayat-ayat tentang hidayah dan kesesatan, dan memahaminya secara tasyrî’i, akan tampak jelas bahwa makna ayat-ayat itu bukanlah penisbatan hidayah dan kesesatan dari sisi melangsungkan hidayah dan kesesatan, tetapi maksudnya adalah penisbatan dalam hal penciptaan. Artinya, Allah sajalah yang menciptakan hidayah dan kesesatan itu. Namun, penciptaan itu bukan berarti paksaaan dari Allah kepada hamba untuk mendapat petunjuk atau tersesat. Pemahaman ini akan semakin jelas jika kita memahami macam-macam petunjuk (hidayah).
Jenis-jenis Hidayah
Di dalam al-Quran, kata hadâ dan turunannya dinyatakan sebanyak 316 kali di 96 surat. Dari semua ayat itu bisa disarikan, hidayah yang diberikan oleh Allah kepada manusia di dunia ada tiga macam. Pertama: Hidâyah al-Khalq (hidayah penciptaan). Intinya, Allah telah menciptakan dalam diri manusia secara built in adanya fitrah berupa gharîzah at-tadayyun (naluri beragama), kebutuhan dan pengakuan kepada al-Khâliq; dan qâbiliyah (kesediaan) untuk cenderung pada kebaikan maupun keburukan (QS al-Balad: 10; asy-Syams: 7-8). Allah juga menciptakan akal atau kemampuan berpikir untuk memahami dan membedakan yang baik dari yang buruk. Orang yang tidak memperoleh hidayah jenis ini, yaitu orang yang tidak sempurna atau tidak waras akalnya, tidak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.
Kedua: Hidâyah al-Irsyâd wa al-Bayân (hidayah petunjuk/bimbingan dan penjelasan), yaitu berupa penjelasan, petunjuk dan bimbingan yang diberikan Allah dengan risalah yang dibawa oleh Rasul. Di dalamnya terdapat penjelasan tentang keimanan dan kekufuran, kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk akan jalan hidup yang diridhai Allah dan yang tidak, serta akibat dari masing-masingnya baik di dunia maupun diakhirat. Di sinilah al-Quran disebut petunjuk dan Rasul adalah orang yang memberi petunjuk (QS asy-Syura: 52; ar-Ra’d: 7); yaitu yang menyampaikan risalah, menjelaskannya dan menuntun serta membimbing ke jalan Allah.
Ketiga: Hidâyah at-Tawfîq (Hidayah Taufik). Tawfîq (taufik) kepada hidayah hanya berasal dari Allah (QS Hud: 88). Hidayah taufik inilah yang dinafikan dari Rasul saw. (QS al-Qashash: 56). Taufik itu bukanlah penciptaan hidayah dari tidak ada menjadi ada dalam diri manusia. Taufik kepada hidayah itu adalah penyiapan sebab-sebab hidayah untuk manusia. Taufik berkaitan dengan sebab-sebab hidayah, atau sifat-sifat hidayah, yang jika seseorang menyifati diri dengannya maka ia akan mendapat petunjuk (hidayah). Allah tidak memberikan taufiknya secara paksa kepada manusia; melainkan ketika manusia sudah menerima hidâyah al-khalq, menggunakan gharîzah tadayun-nya dan menggunakan akalnya; lalu sampai padanya hidâyah al-irsyâd wa al-bayân melalui Rasul, pewaris Rasul, kaum Muslim atau sarana lainnya; kemudian ia memahaminya dan menerima hujah risalah itu, maka Allah akan memberinya taufik dan memudahkannya memahami hidayah dan mengambilnya dan hidup dengannya. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ
Orang-orang yang mencari petunjuk, Allah menambah mereka petunjuk dan memberi mereka (balasan) ketakwaannya (QS Muhammad [47]: 17).
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami (QS al-‘Ankabut [29]: 69).
Ketika seseorang berusaha mencari dan menjemput hidayah, Allah memberinya taufik sehingga ia mendapat hidayah. Dalam hal ini, Allah SWT tidak memaksa seseorang untuk mendapat hidayah. Allah juga tidak memaksa seseorang untuk sesat. Tidak ada orang yang dari sono-nya ditakdirkan mendapat hidayah atau sebaliknya, tersesat. Dalam kaitan inilah kita diperintahkan untuk berdoa agar diberikan hidayah berupa taufik sebagaimana ayat yang senantiasa kita baca dalam surah al fatihah:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (QS. Al Fatihah [1]: 6)
Maksudnya, mudahkanlah kami untuk memperoleh petunjuk, yakni lapangkanlah bagi kami sebab-sebab meraih hidayah.
Diantara sebab-sebab yang menghantarkan datangnya hidayah (taufik) adalah sebagai berikut: bertauhid kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, menjalankan yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan dan menjauhi larangan, bertaubat kepada Allah, berikat pada tali agama Allah (al qur’an), beramal ikhlas semata karena Allah, berdoa dengan sungguh-sungguh, bersungguh-sungguh menjalankan ketaatan, menjauhi kemaksiatan, sabar dalam ketaatan dan menjauhi kemungkaran, serta memperbanyak mengingat Allah (dzikrullah) baik dalam perkataan dan perbuatan (Syaikh Abdurrahman bin Abdullah as-sahiim dalam muhadharah thariqil hidayah hal. 7-11). Mencermati sebab-sebab datangnya taufik di atas maka penerapan syariat Islam secara total di bawah naungan institusi politik penegaknya yakni khilafah jelas juga menjadi sebab datangnya taufik dari Allah. Karena dengan khilafah orang akan terjaga akidahnya, terjaga ketaatannya dan seterusnya. Maka benarlah pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa imamah (khilafah) adalah seutama-utama sarana pendekatan diri kepada Allah.
Wallahu ‘alam bi shawab. Allâhumma ihdinâ ash-shirâth al-mustaqîm, wa mâ tawfîqî illâ biLlâh. (Abu Syamil.Tulisan ini merupakan bahan untuk buletin al iman yang yang didistribusikan khusus bagi pengungsi letusan gunung merapi. semoga bermanfaat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar