Rabu, 09 Februari 2011
Apakah khalifah berhak mendapatkan gaji?
Seorang khalifah tidak berhak mendapatkan gaji. Akan tetapi khalifah berhak mendapatkan tunjangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Dalilnya adalah bahwa Sayyidina Abu Bakar dan ‘Umar bin Khaththab telah mengambil hak harta tersebut dari baitul mal. Ibnu Sa’ad telah meriwayatkan satu riwayat dalam at-thabaqat, dari ‘Atha bin saaib: ketika Abu Bakar telah terpilih sebagai khalifah, pada pagi hari beliau pergi ke pasar dengan membawa sejumlah pakaian untuk dijual. Umar bin Khththab dan Abu Ubaidah ibnul Jarrah bertemu dengannya (Abu Bakar). Kemudian Umar bertanya:hendak kemana anda wahai khalifah Rasulullah? Abu Bakar menjawab: ke pasar. Umar dan Abu ‘Ubaidah kemudian bertanya: mengapa anda lakukan hal tersebut padahal anda bertanggungjawab terhadap urusan kaum muslimin? Abu bakar kemudian menjawab: lantas, dengan apa aku memberi nafkah untuk keluargaku? Umar dan Abu ‘Ubaidah kemudian menjawab: pergilah hingga kami mendapatkan sesuatu untuk anda. Abu bakar kemudian bergi bersama keduanya. kemudian Kaum muslimin memberi Abu Bakar setiap hari separo kambing dan pakaian.
Menceritakan kepada saya 'Urwah bin Az Zubair bahwa 'Aisyah Radliallahu 'anha berkata:
لَمَّا اسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ قَالَ لَقَدْ عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لَمْ تَكُنْ تَعْجِزُ عَنْ مَئُونَةِ أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أَبِي بَكْرٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ
Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq diangkat menjadi khalifah ia berkata: "Kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku mencari nafkah tidak akan melemahkan urusanku terhadap keluargaku, sementara aku juga disibukkan dengan urusan kaum muslimin. Maka keluarga Abu Bakar akan makan dari harta yang aku usahakan ini sedangkan dia juga bersungguh-sungguh bekerja untuk urusan Kaum Muslimin (HR. Bukhari no.1928)
Dari Abdullah bin Zubair dari ‘Alibin Abi thalib, ia berkata:
يَا ابْنَ زُرَيْرٍ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحِلُّ لِلْخَلِيفَةِ مِنْ مَالِ اللَّهِ إِلَّا قَصْعَتَانِ قَصْعَةٌ يَأْكُلُهَا هُوَ وَأَهْلُهُ وَقَصْعَةٌ يَضَعُهَا بَيْنَ يَدَيْ النَّاسِ
"Wahai Ibnu Zubair, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak dihalalkan bagi seorang khalifah dari harta Allah kecuali hanya dua piring, satu piring untuk dia makan bersama keluarganya dan satu piring lagi diberikan kepada orang lain.(HR. Ahmad no. 545)
Berdasarkan beberapa dalil di atas jelaslah bahwa seorang khalifah boleh mengambil tunjangan tertentu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tanpa berlebihan ataupun sebaliknya terlalu sedikit. Tunjangan berbeda dengan gaji. Gaji adalah kompensasi yang didapatkan seseorang karena melakukan suatu pekerjaan, misalnya pada akad ijarah (kontrak jasa), wakalah dsb. Seorang khalifah bukanlah ajir yang bekerja dengan akad ijarah sebagaimana yang diadopsi oleh system demokrasi. Ujroh (upah) dalam akad ijarah adalah sesuatu yang telah diketahui dan disepakati pada saat terjadinya akad. Sedangkan pada dalil-dalil di atas jelas bahwa khalifah Abu Bakar tidak pernah menyepakati upah tertentu atas aktivitas pelayanannya terhadap umat.
Berapakah besaran tunjangan yang diterima Khalifah
Abdullah ad dumaiji pengarang kitab Imamatul ‘udzma ‘inda ahli sunnah wal jama’ah menyatakan: “ Hanya saja ia (khalifah) mesti takut kepada Allah dalam hal ini yaitu dia hanya boleh mengambil tunjangan sekedar mencukupi kebutuhan-kebutuhannya saja tanpa berlebihan (boros) ataupun terlalu sedikit”. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi di atas:
Dari Abdullah bin Zubair dari ‘Alibin Abi thalib, ia berkata:
يَا ابْنَ زُرَيْرٍ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحِلُّ لِلْخَلِيفَةِ مِنْ مَالِ اللَّهِ إِلَّا قَصْعَتَانِ قَصْعَةٌ يَأْكُلُهَا هُوَ وَأَهْلُهُ وَقَصْعَةٌ يَضَعُهَا بَيْنَ يَدَيْ النَّاسِ
"Wahai Ibnu Zubair, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak dihalalkan bagi seorang khalifah dari harta Allah kecuali hanya dua piring, satu piring untuk dia makan bersama keluarganya dan satu piring lagi diberikan kepada orang lain.(HR. Ahmad no. 545).
Perilaku seperti inilah yang ditempuh para khalifah kaum muslimin, Abu Bakar dan Umar bin Khaththab senantiasa hidup dalam kesederhanaan hingga akhir hayat keduanya. Jauh berbeda dengan perilaku para pemimpin produk system kapitalis. Mereka menjadikan kekuasaan untuk memperkaya diri. Sungguh ironis, di saat rakyat hidup dalam beban hidup yang sedemikian berat. Saat harga-harga barang meroket naik, pendidikan menjadi barang mahal, pekerjaan menjadi sesuatu yang langka dan sederet masalah lainnya, maka pantaskah seorang presiden mengeluh bahwa gajinya selama sekian tahun tidak pernah naik. Padahal ia telah mendapatkan gaji lebih 60-an juta/bulan, tunjangan rumah, keamanan, transportasi dengan kualitas nomor wahid yang menghabiskan uang rakyat ratusan milyar setiap tahunnya.
Sungguh hanya dengan system Islam saja akan terwujud kepala Negara dan pejabat Negara yang memiliki hati nurani, pelayan rakyat yang ikhlas bekerja siang dan malam untuk rakyatnya meski dengan pendapatan yang secukupnya, karena ia memahami kepemimpinan adalah amanah. Jika amanah tersebut ia jalankan dengan baik yakni dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah maka ia berhak menyandang predikat imamun ‘aadilun (pemimpin yang adil), padahal balasan pemimpin yang adil diantaranya adalah mendapatkan naungan dari Allah SWT di hari kiamat saat tidak ada naungan kecuali dari Allah SWT (Hadist Mutafaq ‘alaih)
Wallahu ‘alam
Yogyakarta, 28 Januari 2011
Abu Syamil Ramadhan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar