Ada
pasangan suami istri yang telah dikaruniai anak , karena beban ekonomi suami
merantau ke luar negeri. Sampai pada tahun ke-2 hubungan komunikasi lancar,
tapi setelah tahun ke-3 komunikasi mereka terputus, berbagai upaya dilakukan
istri untuk mencari suaminya tapi tidak berhasil , hingga seorang laki-laki
datang untuk menikahi. Sang istri kemudian konsultasi dengan Kiai yang
dipercaya dan Kiai tersebut memutuskan bahwa mereka bisa menikah setelah masa
‘iddah… setelah menikah lagi wanita tersebut hamil 5 bulan sang suami (yang
merantau) datang dan menuntut bahwa ia
adalah suami wanita tersebut. Siapa yang salah? Bagaimana penyelesaiannya?
(Ade, FH UII Yogyakarta)
Jawab
Adik
Ade di Yogya, untuk persoalan ini perlu dirinci dulu. Apakah pada tahun ke-3
suami masih memenuhi kewajiban nafkah ataukah tidak? Jika kewajiban nafkah
tidak dipenuhi oleh suami maka keputusan dari Kiai tempat perempuan tersebut
berkonsultasi adalah keputusan yang tepat. Sehingga perempuan tersebut adalah
istri yang sah dari suaminya yang kedua. Hal ini disebabkan pada kondisi
tertentu seorang istri boleh menarik/ mencabut akan nikahnya (أن تفسخ عقد النكاح ). Diantara sebab syar’I yang
menbolehkannya adalah perginya suami dan tidak menunaikan kewajiban nafkahnya,
sedangkan dari pihak istri telah berusaha untuk mencarinya. al ‘alamah asy syaikh Taqiyuddin an Nabhani
menjelaskan di dalam kitab an nizham al ijtima’I fil islam hal 77, sebagai
berikut:
إذا سافر الزوج إلى مكان، بعد أو قرب، ثم غاب وانقطعت
أخباره وتعذر عليها تحصيل النفقة، فإن لها أن تطلب التفريق منه بعد بذل الجهد في
البحث والتحري عليه وذلك لقول الرسول - صلى الله عليه وسلم - عن الزوجة تقول
لزوجها "أطعمني وإلا فارقني" أخرجه الدارقطني وأحمد، فجعل عدم
الإطعام علة للفراق
Jika
sang suami melakukan perjalanan (safar) ke suatu tempat, baik dekat maupun
jauh, lalu ia menghilang dan tidak ada kabar- beritanya, sementara isterinya
terhalang untuk mendapatkan nafkahnya, maka isteri berhak menuntut pemisahan
dari suaminya setelah berusaha keras mencari dan menemukan suaminya. Ketentuan
ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW berkenaan dengan seorang isteri yang
berkata kepada suaminya: “Berilah aku makan (nafkah). Jika tidak, ceraikan
aku.” (HR ad- Daruquthni dan Ahmad)
Maka,
Nabi SAW menjadikan tidak adanya makanan sebagai ‘illat (sebab) bagi perceraian.
Juga
dikarenakan ‘Umar RA pernah memberikan ketetapan mengenai suami-suami yang
menghilang dan meninggalkan isteri-isterinya, ‘Umar memerintahkan mereka untuk
memberi nafkah isteri-isterinya atau menceraikannya. Para sahabat mengetahui ketetapan
tersebut dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Dengan
demikian, ketetapan tersebut merupakanIjmak Sahabat.
Berdasarkan
penjelasan di atas maka mantan suaminya tidak berhak mengklaim bahwa perempuan
yang telah dinikahi suami kedua adalah istrinya. Demikian, wallahu a’lam bi
shawab.
Yogyakarta,
29 September 2010/20 Syawwal 1431 H
Wahyudi
Abu Syamil Ramadhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar