Hukum Menikahi wanita ahlul kitab
Dalam
kitab an nizham al ijtima’I fil islam terdapat penjelasan sebagai berikut:
وبيانه أن الله سبحانه وتعالى أجاز
للمسلم أن يتزوج المرأة الكتابية: يهودية، أو نصرانية، لأن الله تعالى يقول:
{الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ
حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا
آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي
أَخْدَانٍ } فالآية صريحة في أن المحصنات من الذين أوتوا الكتاب حلال للمسلمين،
وأجورهن مهورهن، ويجوز للرجل المسلم أن يتزوج المرأة الكتابية، عملاً بهذه الآية.
إذ ذكرت أن المحصنات من الذين أوتوا الكتاب حل للمسلمين، أي زواجهن حل لكم.
Penjelasannya
adalah bahwa Allah SWT telah
memperbolehkan pria Muslim untuk mengawini wanita Ahlul Kitab, yaitu wanita
Yahudi atau Nasrani, karena Allah SWT berfirman:
“Pada
hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik.” (TQS al-Mâ’idah [5]: 5)
Ayat
ini gamblang menyatakan bahwa wanita-wanita Ahlul Kitab yang senantiasa menjaga
kehormatannya adalah halal untuk dikawini oleh pria Muslim. Makna ujûrahunna
adalah muhûrahunna (mahar-mahar mereka). Maka seorang pria muslim boleh
mengawini wanita Ahlul Kitab baik Yahudi maupun Nashrani, sebagai pelaksanaan
ayat tersebut. Sebab, ayat tersebut telah menyebutkan bahwa wanita-wanita Ahlul
Kitab yang senantiasa menjaga kehormatan adalah halal bagi pria Muslim. Artinya
menikahi wanita-wanita Ahlul Kitab yang menjaga kehormatannya itu adalah halal
bagi kalian.
Mengenai
penafsiran surah al maidah di atas,
khususnya pada redaksi وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
berikut kami kutipkan pendapat beberapa mufassir.
Para
ahli tafsir dan ulama berbeda pndapat pada firman Allah (وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ ) apakah bermakna umum untuk seluruh kitabiyah (wanita ahlul
kitab) yang menjaga kehormatan baik yang merdeka maupun budak? (Tafsir al
quranil adhim Imam Ibnu Katsir juz 3 hal 42). Sebagian besar ulama hanya
membolehkan menikahi ahlul kitab yang merdeka dan mengharamkan menikahi
budaknya (tafsir ath thabari 9/58, Fathul qadhir 2/274, tafsir al Baghawi 3/19)
. Alasanya karena Allah mensyaratkan menikahi budak beriman, Allah berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ فَمِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ
الْمُؤْمِنَاتِ
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini
wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.( QS. An Nisa: 25)
وحكى ابن جرير عن طائفة من السلف أن هذه الآية تعمّ كل كتابية حرةّ أو
أمة
Sedangkan sebagian yang lain menyataan bolehnya menikahi wanita
ahlul kitab yang menjaga kehormatan, baik merdeka maupun budak, berdasarkan
keumuman ayat 5 surah al maidah (tafsir ath
thabari 9/584). Ibnu jarir menceritakan dari sekelompok ulama salaf yang
menafsiri muhshanah dengan al’afifah (menjaga kehormatan). (Tafsir al quranil
adhim Imam Ibnu Katsir juz 3 hal 42). Dalam fathul qadhir bahkan terdapat
penegasan bahwa keumuman ayat ini berlaku terhadap seluruh wanita ahlul kitab
baik merdeka maupun budak (fathul qadhir, 2/274)
Ada
yang berpendapat bahwa yang dimaksud ahlul kitab adalah al israiliyat
(orang-orang israil). Ini adalah pendapat mazhab syafi’ie (Tafsir al quranil
adhim Imam Ibnu Katsir juz 3 hal 42). Abdullah bin ‘Umar tidak membolehkan
menikahi wanita nasrani dengan alasan aku tidak mengetahui kesyirikan terbesar
dari mengatakan bahwa tuhannya adalah ‘Isa (لا أعلم
شركا أعظم من أن تقول: إن ربها عيسى
) , padahal Allah berfirman:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
dan
janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang musyrik hingga mereka beriman.(QS.
Al Baqarah: 221)
Pendapat Ibnu ‘Umar ini adalah pendapat yang lemah karena beberapa
alas an:
1.
Mengapa larangan hanya dikhususkan pada wanita nashrani. Padahal
jika mengunakan alasan yang sama wanita Yahudi juga melakukan kesyirikan yang
besar karena menganggap ‘Uzair anak Allah. Allah berfirman:
وَقَالَتِ
الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ
اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
Orang-orang
Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani
berkata: "Al Masih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka
dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.
Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? (at Taubah:31)
2.
Surat al
baqarah 221 telah ditakhshish oleh surah al maidah ayat 5 ini. Ibnu
Abi Hatim berkata, ayahku telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Hatim bin Sulaiman al Muaddib, telah menceritakan
kepada kami al qaashim bin Malik, telah menceritakan Ismail bin Sami’ dari abi
malik al ghifari dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: ketika turun ayat { وَلا تَنْكِحُوا
الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ “dan
janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman” . Ibnu
‘abbas menjelaskan: maka manusia (sahabat) menjauhi (dari menikahi)
wanita-wanita musyrik hingga turun ayat sesudahnya وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ “dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum
kamu” maka manusia (sahabat) menikahi
sebagian wanita ahlul kitab
Sungguh
sekelompok sahabat telah menikahi wanita nasrani dan mereka tidak memandang ada
masalah dalam hal tersebut. Mereka berargumen dengan ayat ke 5 dari surah al
maidah ini. Mereka menjadikan ayat ini sebagai pengkhusus (takhshis) dari surah
al baqarah ayat 221. (Tafsir al quranil adhim Imam Ibnu Katsir juz 3 hal 42).
3.
Allah terkadang membedakan antara ahli kitab dengan orang-orang
musyrik. Berkenaan tentang hal ini Ibnu Katsir menyatakan:
Jika
dikatakan masuknya wanita ahlul kitab pada keumuman, maka tidak ada
pertentangan antara kedua ayat ini karena pada konteks yang lain ahlul kitab
terkadang dibedakan dalam penyebutanya dari orang-orang musyrik. Sebagaimana
firman Allah:
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang
kepada mereka bukti yang nyata. (QS. surah al
bayyinah ayat 1)
dan
firman Allah:
وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالأمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ
فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا
Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan
kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". Jika
mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk (
QS. ali ‘Imran: 20)
Dikatakan
juga bahwa maksud ahlul kitab adalah ahlu dzimmah bukan yang al harbiyat
(diperangi). Berdasarkan firman Allah:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ
الآخِرِوَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ
الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ
يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan
oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS. At
Taubah: 29).
Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, beliau menyatakan:
فمن أعطى الجزية حل لنا نساؤه ومن لم يعطها فلا يحل لنا نساؤه
Maka siapa saja yang membayar jizyah maka wanita-wanita halal bagi
kita dan yang tidak membayar jizyah maka perempuannya tidak halal bagi kita (tafsir
al Baghawi 3/19).
sedangkan sebagian ahli tafsir membolehkan menikahi wanita ahlul
kitab secara umum, meskipun bukan ahlu dzimmah (tafsir
al Baghawi 3/19). Alasannya karena zhahir ayat pada surah al
maidah yang bersifat umum, yaitu berlaku bagi ahlul dzimmah maupum ahlul harbi
(tafsir al alusi, 4/383)
lebih
jauh tentang pengertian al muhshanat, dijelaskan Imam ath thabari mengutip
pendapat Abu Ja’far yang menyatakan:
وهم اليهود والنصارى الذين دانوا بما في التوراة والإنجيل من قبلكم
Mereka
adalah wanita yahudi dan nashrani yang dekat dengan apa yang ada dalam taurat
dan injil sebelum kalian.(tafsir ath thabari, 9/581)
Sedangkan
asy sya’bi menyatakan:
إحصان الكتابية
أن تستعف من الزنا وتغتسل من الجنابة.
Wanita
ahlul kitab yang menjaga kehormatan adalah yang menjaga diri dari berzina dan
mandi dari janabah (Al baghawi, 3/19)
Wallahu
‘alam bi shawab
Kalua,
Tanjung, Kalsel 5 Syawwal 1431 H
Abu
Syamil Ramadhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar