Rabu, 05 Mei 2010

Tanggapan atas tulisan

Diskusi tentang MLM
Tanggapan atas tulisan al mukarram al Ustadz M. ABDUL-QADIM M.M

Beberapa waktu yang lalu ana mendapat kiriman makalah yang ditulis al mukarram al Ustadz M. ABDUL-QADIM M.M dengan judul Mendudukkan Bisnis Multi Level Marketing Dalam Sudut Pandang Hukum Islam. Pengirim meminta tanggapan ana tentang tulisan tersebut.

Dalam tulisan ini ana akan mengutip beberapa pandangan beliau yang perlu ana koreksi (tentu dengan segala keterbatasan ilmu ana). Supaya terbentuk pemahaman yang gambling maka ana mengutip pandangan beliau dan ana beri garis bawah (underline). Kemudian ana hanya membatasi tanggapan ana dengan banyak merujuk pada beberapa kitab mutabannat. Selain itu sengaja ana kutipkan versi arabnya agar tidak terjadi kesalahfahaman dan pemahamannya lebih lengkap. Ana sangat berharap agar tulisan ini dapat disampaikan kepada teman-teman yang terlibat langsung dalam bisnis ini. Masukan, tanggapan, kritik dan saran sangat ana nantikan untuk memperbaiki dan mempertajam pemahaman kita tentang hokum-hukum Allah SWT. Akhirnya ana berharap kepada Allah SWT agar Dia memberikan hidayah, ketajaman mata hati dan kekuatan kepada semua agar senantiasa berada di jalan-Nya. Amin ya mujibassaailiin.

Point I
Aqad Membership MLM umumnya tercantum dengan gamblang/jelas pada lembaran formulir pendaftaran dan diulangi lagi tercantum di dalam buku panduan resmi yang telah dikeluarkan oleh perusahaan MLM tersebut. Nyaris semua perusahaan MLM telah mencantumkan akad keanggotaan dengan bunyi sebagai berikut: Anggota MLM berstatus bukan sebagai pegawai maupun wakil dari perusahaan MLM, namun statusnya sebagai partner/mitra usaha yang berhak untuk mendapatkan komisi, bonus dan penghargaan/reward dari perusahaan atas prestasi yang telah diraih. Sangat jelas di dalam aqad membership tersebut di atas kita cermati baik-baik maka akan dapat kita simpulkan bahwa seorang member MLM jelas statusnya bukan sebagai pegawai (:ajir) maupun wakil (:wakalah) dari perusahaan MLM sehingga tidak berhak mendapatkan gaji/upah (:ujrah/ajrun). Lantas sebagai apa statusnya? Kalimat berikutnya juga sangat tegas dan terang bahwa akad membership MLM seseorang ditetapkan sebagai agen atau distributor atau broker/makelar (;simsar) yang berhak mendapatkan komisi/persenan (:samsarah), juga berhak mendapatkan bonus (;hadiyyah), dan juga berhak mendapatkan reward/penghargaan (:ju'ala`) dari perusahaan MLM atas prestasi yang telah diraihnya. Demikian pula dapatlah dipahami bahwa semua member yang berlevel distributor, downline, sponsor, upline, dan crossline telah ditetapkan statusnya oleh perusahaan MLM secara langsung sebagai broker (:simsar). Sehingga mulai dari transaksi jual-beli produk, pengembangan jaringan downline, pertumbuhan omzet penjualan produk grup downline, sampai hak untuk mendapatkan berbagai komisi, bonus dan reward, setiap distributor/broker melakukan/menerima akad-akad itu semua langsung kepada perusahaan MLM.
Komisi, bonus dan reward dari perusahaan MLM yang diberikan kepada seorang distributor murni 100% akadnya diambilkan/berasal/bersumber dari keuntungan perusahaan MLM itu sendiri dan sama sekali bukan diambil sedikitpun (meski Rp.1) dari bonus/komisi/reward maupun keuntungan Downline

Tanggapan:
Memang benar bahwa salah satu akad dalam bisnis MLM adalah samsarah. Samsarah hukumnya boleh. Berdasarkan hadist Nabi dari Qais Bin Abi Ghurzat Al Kinani yang mengatakan:
كنا نبتاع الأوساق في المدينة ونسمي أنفسنا السماسرة فخرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم فسمّانا باسم هو أحسن من اسمنا قال صلى الله عليه وسلم: يا معشر التجار إن البيع يحضره اللغو والحلف فشوبوه بالصدقة

Kami, pada masa Rasulullah SAW, biasa disebut (orang) dengan sebutan samasirah. Kemudian --suatu ketika-- kami bertemu dengan Rasulullah SAW, lalu beliau menyebut kami dengan sebutan yang lebih pantas dari sebutan tadi. Kemudian beliau bersabda:"Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli itu bisa mendatangkan omongan yang bukan-bukan dan sumpah palsu, maka kalian harus memperbaikinya dengan kejujuran." (HR. abu Dawud).


Akan tetapi kita harus sepakati dulu apa definisi samsarah. Berikut ana kutipkan beberapa definisi samsarah.

Dalam kitab an-Nizham al Iqtishadi fil Islam disebutkan:
السمسرة اسم لمن يعمل للغير بالأجر بيعاً وشراء، وهو يصدق أيضاً على الدلال فإنه يعمل للغير بالأجر بيعاً وشراء
Simsar adalah sebutan bagi orang yang bekerja untuk orang lain dengan upah, baik untuk keperluan menjual maupun membelikan. Sebutan ini juga layak dipakai untuk orang yang mencarikan (menunjukkan) orang lain. Karena dalal adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan upah, baik untuk keperluan menjual maupun membelikan (an-Nizham al Iqtishadi fil Islam hal. 81 dan Syakhshiyyah Islamiyyah II/311)
Definisi senada juga disebutkan pengarang kitab al maushu’ah al fiqhiyyah, disebutkan:
والسّمسرة اصطلاحاً: هي التّوسّط بين البائع والمشتري ، والسّمسار هو: الّذي يدخل بين البائع والمشتري متوسّطاً لإمضاء البيع ، وهو المسمّى الدّلّال ، لأنّه يدلّ المشتري على السّلع ، ويدلّ البائع على الأثمان
Samsarah secara istilah (etimologi) adalah menghubungkan antara penjual dan pembeli. Sedangkan simsar/broker adalah orang yang menghubungkan antara penjual dan pembeli hingga terjadilah transaksi jual-beli. Sebutan ini juga layak dipakai untuk orang yang mencarikan (menunjukkan) orang lain. Karena dia yang menunjukan barang pada calon pembeli dan menunjukan harga (calon pembeli) kepada penjual. (Mausu’ah fiqhiyah 2/3573)

السمسرة هي بين البائع ومن يحضر له الزبائن وهذا يعني أنَّ أجرة السمسرة هي عن الذين يحضرهما الشخص للشركة وليس عن الذين

Samsarah itu berada di antara penjual dan orang-orang yang diajaknya sebagai pelanggan. Ini berarti, ujrah (upah) samsarah itu berasal dari pelanggan-pelanggan yang diajaknya, dan bukan dari orang-orang yang diajak oleh orang lain. (Syaikh atha’ Abu Rasytah dalam Ajwibah asilah dengan judul عمولة المشتري)

Dari definisi dan fakta samsarah pada masa nabi saw. Dapat kita fahami bahwa akad samsarah terjadi hanya pada level satu. Bukan bertingkat-tingkat. Inilah yang disebut sebagai samsarah ‘ala samsarah. Fakta seperti inilah yang diharamkan.

Oleh karena itu yang berhak mendapat komisi dari perusahaan/orang yang minta dijualkan barangnya atau minta dicarikan barang hanyalah makelar yang berhubungan langsung dengan orang/perusahaan yang meminta dijualkan barang atau mencari barang (perusahaan MLM).

Tapi yang terjadi pada hampir semua MLM seorang member/makelar/simsar yang telah berstatus up line berhak mendapatkan bonus/komisi dari perusahaan meskipun dia bukan orang yang merekrut orang yang ada dibawahnya secara langsung (level satu). Lantas bonus yang dia dapatkan itu apa namanya? Apa bukan mengambil hak komisi orang yang merekrut/menjual produk secara langsung? Padahal ini adalah satu hal yang baku dan mesti ada dalam bisnis MLM.

Padahal, ustadz Abdul Qadim sendiri menyatakan:
“Lain halnya jika fakta yang telah-tengah-akan terjadi demikian. Ternyata si-A kurang 2minggu hampir kena deadline dari 2bulan batas waktu yang telah ditetapkan oleh malikusy-syai`. Akhirnya si-A menyerahkan kembali akad simsarnya kepada malikusy-syai` dengan alasan tidak mampu menjual tanah senilai Rp.100M jika bekerja sendirian hanya dengan naik sepeda motor ke para calon pembeli. Namun si-A dengan mengajak si-B, si-C, si-D dan si-E secara kolektif, kembali mengajukan penawaran kembali menjadi simsar kolektif kepada malikusy-syai` dengan tetap bersedia menerima samsarah 5% dan sisa batas waktu 2minggu. Kemudian malikusy-syai` bersedia dan mengakadi mereka 5 orang secara langsung sebagai simsar kolektif. Demikian fakta empiric samsarah yang haq, dan fakta yang terakhir ini sama sekali tidak termasuk samsarah 'ala samsarah.”

Apabila demikian faktanya MLM yang syar’ie. Mengapa kemudian member/distributor/simsar tidak memiliki hak yang sama dalam arti hak bonus?.

Sebagai ilustrasi misalkan. Si A merekrut B dan C sebagai member. Maka komisi yang didapatkan si A karena merekrut B dan C atau komisi yang didapatkan si A karena B dan C melakukan pembelian. Maka ini adalah komisi yang halal karena merupakan samsarah. Dan faktanya yang terjadi adalah komisi yang diberikan perusahaan karena kerja si A. Kemudian si B merekrut D dan E. seharusnya hanya si B yang dapat bonus. Tetapi dalam system MLM si A juga mendapat bonus. Padahal dia bukan orang yang merekrut D dan E. lantas dimana kesetaraan (samsarah yang terjadi langsung antara makelar dengan perusahaan) seperti yang dicontohkan ustadz Abdul Qadim di atas? Kenyataannya justru ada hak istimewa bagi up line yaitu mendapat bonus dari perusahaan karena orang yang berada dibawahnya (tingkat 2 dst) membeli produk atau merekrut member baru.

Atau apabila menggunakan contoh yang dikemukakan ustadz Abdul Qadim. Seandainya si C yang berhasil menjual tanah. Tentu yang mendapat 5 % hanya si C. adapun selain C tidak mendapat komisi apa. Kalaupun si C member kepada yang lain tentu hanya hadiah yang sifatnya tidak mengikat.

Kalau dikatakan bahwa apa yang didapatkan adalah hadiyah/bonus yang diberikan oleh perusahaan karena pembinaan yang dia lakukan. Pertanyaan adalah, mengapa hadiahnya mengikat dan fixed? Hadiah macam apa ini? Apakah ini bukan komisi yang berlindung dibalik kata hadiah?

Dalam konteks inilah syaikh ‘Atha Abu Rusythah menyatakan:
لكن يجوز للشركة أن تعطي هبةً للمشتري الأول عن الزبائن الذين يحضرهم غيره، ولكن ليس على سبيل الإلزام
Boleh saja bagi pelanggan memberikan hibah (pemberian) kepada pembeli pertama dari para pelanggan yang diajak oleh orang lain. Hanya saja, itu tidak boleh dalam bentuk yang mengikat . (Syaikh atha’ Abu Rasytah dalam Ajwibah asilah dengan judul عمولة المشتري)
Kalau yang dicontohkan ustadz Abdul Qadim adalah secara kolektif A, B, C, D dan E bekerjasama untuk menjual tanah. Kemudian mereka sepakat membagi komisi yang 5% dengan ketentuan yang disepakati maka itu tidak masalah. Tapi masalahya adalah akad makelar/member/simsar dalam system MLM bukanlah akad kolektif tapi akad individual. Sebagaimana yang ditulis oleh penulis makalah, seperti yang telah saya cantumkan diatas. Kalaupun dianggap bahwa member melakukan akad kolektif . diantara member tidak pernah melakukan kesepakatan tentang pembagian komisi dari perusahaan.
Point II
Bersedia membayar uang pendaftaran keanggotaan sebesar Rp.350.000,- maka sah menjadi distributor dengan mendapatkan fasilitas 1 set Member Kit Pack berisi produk senilai Rp.315.000,- dan tools kit lengkap senilai Rp.35.000,- (1member card ekslusif, 1keping VCD panduan product knowledge, 1keping VCD panduan marketing plan, 1lembar masing-masing produk yang dipasarkan, 1buah shaker, goody bag, map plastic, dll). Syarat pertama ini secara syar’iy hukumnya mubah-mubah saja, karena memang tahqiqul-manathnya adalah transaksi jual-beli produk & tools/perangkat yang secara langsung berkaitan dengan akad/statusnya sebagai makelar/distributor/agen ImPro.

Tanggapan: dari tulisan ini dapat saya fahami bahwa dalam MLM IMPRO pembelian produk (Rp.315.000,-) menjadi syarat diterimanya seseorang menjadi makelar/distributor/agen ImPro. Sesungguhnya inilah yang disebut shafqatain fi shafqah (2 transaksi dalam satu transaksi). Akad/transaksi pertama adalah akad samsarah, hanya saja akad samsarah ini ini berlangsung apabila calon simsar/makelar memenuhi syarat. Yaitu pembelian sejumlah produk. Padahal pembelian produk adalah akad yang lain. Dengan kata lain hal ini mirip dengan “Anda kami terima sebagai makelar/simsar dengan syarat anda membeli produk kami”.

Perhatikanlah pandangan syaikh Taqiyuddin dalam kasus seperti ini:

وأمّا ما رواه أحمد (نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن صفقتين في صفقة) فالمراد منه وجود عقدين في عقد واحد، كأن يقول: بعتك داري هذه على أن أبيعك داري الأخرى بكذا، أو على أن تبيعني دارك أو على أن تزوجني بنتك. فهذا لا يصح لأن قوله: "بعتك داري" عقد، وقوله: "على أن تبيعني دارك" عقدٌ ثان واجتمعا في عقد واحد، فهذا لا يجوز
Artinya: Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad “Nabi saw. melarang melakukan dua transaksi dalam satu transaksi”, maksudnya adalah adanya dua akad dalam satu akad, seperti seseorang yang mengatakan; saya jual rumah ini kepada anda segini, dengan catatan saya jual kepada anda rumah yang satunya dengan harga segini, atau dengan catatan kamu menjual rumah anda pada saya, atau dengan syarat anda mau mengawinkan aku dengan putrimu. Model seperti ini tidak diperbolehkan, karena ucapan “saya menjual rumahku kepada anda” adalah satu transaksi, dan catatan “dengan syarat saya juga menjual rumah yang satunya kepada anda” adalah transaksi yang berbeda. Dan keduanya dikumpulkan dalam satu transaksi. Maka transaksi seperti ini tidak dibolehkan (Syakhshiyyah Islamiyyah II/307)

Dalam konteks ini pulalah Syaikh ‘Atha Abu Rasytah menyatakan:
أن لا يكون الشراء مشروطاً بالسمسرة أي لا يكون العقدان مشروطين ببعضهما، فيكون عقد الشراء وعقد إحضار الزبونين مقابل عمولة، مشروطين ببعضهما كعقد واحد ففي هذه الحالة لا يصح لأنهما صفقتين في صفقة وقد نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صفقتين في صفقة. أي كأن أقول لك: إذا بعتني أستأجر منك أو أسمسر لك، أو أشتري منك...الخ. ويبدو أن هذا موجود هنا (حسب السؤال) فالبيع والسمسرة في عقد واحد أي تشتري من الشركة وتحضر لها.
Pembelian tidak boleh dijadikan sebagai syarat bagi samsarah, yakni tidak boleh ada dua akad yang satu sama lain menjadi syarat. Akad pembelian dan akad mengajak dua orang pelanggan untuk mendapatkan komisi itu telah menjadi persyaratan bagi satu sama lain sehingga seperti satu akad. Ini tidak sah karena termasuk dalam shafqatayn fî shafqah wâhidah (dua akad dalam satu akad). Rasulullah saw. telah melarang shafqatayn fî shafqah wâhidah. Seperti saya berkata kepada Anda, “Jika kamu menjual kepadaku maka aku akan menyewa darimu, “atau, “aku mengangkatmu menjadi makelar,” atau, “aku membeli darimu,” dst. Hal itu telah tampak terjadi dalam muamalah ini (sesuai dengan pertanyaan). Jual-beli dan samsarah itu dalam satu akad, yakni Anda membeli dari perusahaan dan mengajak orang kepadanya. (Ajwibah asilah dengan judul عمولة المشتري)
Apabila dikatakan “Syarat pertama ini (pembelian produk) secara syar’iy hukumnya mubah-mubah saja, karena memang tahqiqul-manathnya adalah transaksi jual-beli produk & tools/perangkat yang secara langsung berkaitan dengan akad/statusnya sebagai makelar/distributor/agen ImPro.” Maka perhatikanlah!!! Pernyataan ini semakin menegaskan bahwa dua akad ini benar-benar telah terjadi dalam satu akad. Dan hal ini semakin menegaskan bahwa transaksi ini adalah transaksi yang batil.


Point III
Bersedia melakukan pembelanjaan rutin pribadi dan omzet grup downline masing-masing distributor setiap bulan produk-produk ImPro sebesar Rp.50.000,- s.d Rp.400.000,- yang sesuai peringkat kedistributorannya, dengan kompensasi atau jaminan dari ImPro yang akan diberikan kepada para distributor yang qualify/memenuhi syarat kelima ini berupa bonus/hadiah dan reward/ju’ala` yang besar nilainya ditentukan tinggi-rendahnya peringkat kedistributoran masing-masing. Bila belum/tidak qualify, maka tetap dapat bonus tetapi tidak sebesar bonus yang qualify. Namun demikian, setiap distributor dijamin akan mendapatkan reward tertentu bila qualify dan bila tidak/belum qualify dijamin reward tidak akan pernah hangus, tetapi hanya tertunda waktunya sampai distributor tersebut qualify.

Adapun “kewajiban” belanja bulanan sejumlah/senilai tertentu sesuai peringkat prestasinya atau paling mudah dikenal dalam istilah MLM sebagai Tutup Poin (:TuPo), jika ditelaah secara detail maka kita akan mendapatkan pemahaman bahwa tutup poin ini sebenarnya tetap masih dalam akad agen/distributor yang bersifat SYARAT.

Tanggapan: syarat tutup point adalah syarat yang batil. Karena di dalamnya terdapat unsur kedzaliman. Dimana letak kezalimannya? Tupo (tutup point) adalah syarat dicairkan bonus (baik bonus perekrutan maupun pembinaan). Bayangkan bagaimana mungkin makelar/broker diperlakukan seperti itu. Padahal dia sudah bekerja, peras keringat, bersusah payah merekrut member/downline baru. Apakah hanya karena dia tidak dapat melunasi tupo maka hak bonus yang seharusnya dia dapatkan malah ditahan.

Kalau dikatakan bahwa bonusnya akan diakumulasikan bulan depan kalau makelar/simsar dapat melakukan tupo. Pertanyaannya adalah seandainya bulan selanjutnya simsar kembali tidak dapat melakukan tupo apakah lantas selama itu pula hak bonusnya ditahan. Bukankah ini bentuk kedzaliman?


Padahal salah satu kewajiban syariat adalah segera membayarkan hak seseorang (dalam hal ini makelar/simsar) apabila dia telah menunaikan kewajibannya. Misalnya merekrut down line. Dalam hal ini Nabi bersabda dalam sebuah hadist qudsi:
قَالَ اللَّهُ: ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى بِى، ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا، ثُمَّ أَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا، فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ
"Allah SWT berfirman: 'Tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti, adalah orang yang telah memberikan karena Aku, lalu berkhianat; dan orang yang membeli barang pilihan, lalu ia makan kelebihan harganya; serta orang yang mengontrak pekerja kemudian pekerja tersebut menunaikan transaksinya sedangkan upahnya tidak diberikan." (HR. Bukhari)

Memang benar, akad samsarah bukanlah akad ijarah. Akan tetapi dalam samsarah juga ada upah/komisi (sebagaimana ana jelaskan dalam definisi samsarah) yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh perusahaan MLM ketika seorang makelar/simsar telah menunaikan kewajibannya. Apakah hanya karena tidak bisa tutup point lantas hak simsar tidak ditunaikan. Bukankah ini satu bentuk kezaliman. Padahal Nabi bersabda:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ : لَا يَظْلِمُهُ ، وَلَا يَخْذُلُهُ ، وَلَا يَحْقِرُهُ …كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ : دَمُهُ ، وَمَالُهُ ، وَعِرْضُه
Seorang muslin adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak boleh mendzaliminya, tidak menelantarkannya dan tidak menghinanya… setiap muslim atas muslim yang lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatanny (Hr muslim no. 2564)

Kesimpulannya, tutup point adalah syarat yang batil. Karena ada unsur kezaliman didalamnya. Maka syarat yang seperti ini adalah syarat yang bertentangan dengan syariat.

Padahal Nabi bersabda:
مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِى كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَ اِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
Artinya: apa yang disyaratkan yang tidak ada dalam Kitab Allah adalah batil meskipun terdapat seratus syarat, (Shahih Bukhari No.2023).


Point IV
Contoh lain, tidak sah jika anda menyatakan: aku jual sesuatu ini dengan harga seribu tunai atau dengan dua ribu jika tidak tunai (:kredit/diangsur). Ini adalah satu jual beli yang mengandung dua syarat, yang tujuannya berbeda dengan berbedanya dua syarat tersebut dan ini merupakan syarat yang batil, maka jual-beli yang disebabkan oleh syarat tadi batil pula;

Tanggapan; apa yang beliau paparkan adalah mengacu pada kitab syakhshiyyah Islamiyyah juz III hal 47 (versi maktabah syamilah). Beliau (Syaikh Taqyuddin) menyatakan:
ومثلاً، لا يصح أن تقول: بعتك هذا الشيء بألفٍ نقداً أو بألفين نسيئة، فهذا بيع واحد تضمن شرطين يختلف المقصود فيه باختلافهما، وهذا شرط باطل والبيع بسببه باطل لقوله عليه الصلاة والسلام: (لا يَحِل سلف وبيع ولا شرطان في بيع)
Contoh (lain) tidak sah jika anda menyatakan: aku jual sesuatu ini dengan harga seribu tunai atau dengan dua ribu jika tidak tunai. Ini adalah satu jual beli yang mengandung dua syarat, yang tujuannya berbeda dengan berbedanya dua syarat tersebut dan ini merupakan syarat yang batil, maka jual-beli yang disebabkan oleh syarat tadi batil pula; didasarkan pada sabda beliau As-Shalatu was-Salam:

“ tidak halal salaf dan jual-beli dan tidak ada dua syarat pada satu jual-beli” Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud.

Fakta yang diharamkan dalam point ini adalah pada saat telah terjadinya akad/transaksi . Adapun apabila masih dalam masa penawaran maka hukumnya boleh. Dan penawaran hukumnya boleh dalam bentuk seperti yang disebutkan diatas karena penawaran terjadi sebelum akad jual beli, bukan akad jual beli itu sendiri. Perhatikanlah pandangan syaikh Taqiyuddin dalam masalah ini:

وكذلك يجوز للبائع أن يبيع سلعته بثمنين أحدهما نقداً والآخر نسيئة، فلو قال شخص لآخر: بعتك هذه السلعة نقداً بخمسين ونسيئة بستين. فقال له: اشتريتُها بستين نسيئة، أو قال: اشتريتها نقداً بخمسين، صحّ البيع. وكذلك لو قال له: بعتك هذه السلعة نسيئة بستين بزيادة عشرة على ثمنها الأصلي نقداً لأجل تأخير دفع الثمن، فقالك المشتري: قَبِلت، صحّ البيع أيضاً. ومن باب أوْلى لو قال له: هذه السلعة ثمنها ثلاثون نقداً وثمنها أربعون نسيئة فقال: اشتريتها بثلاثين نقداً، أو قال: اشتريتها بأربعين نسيئة فقال البائع: بعتك أو خذها أو هي لك، صحّ البيع. لأنه في هذا المثال الأخير حصلت المساومة على ثمنين والبيع على ثمن واحد. أمّا بالأمثلة الأولى فقد حصل البيع على ثمنين. وإنّما جاز في عقد البيع جعل ثمنين للسلعة الواحدة، ثمن حال وثمن مؤجل، أي ثمن نقداً وثمن نسيئة ديْناً، لعموم الأدلة الواردة في جواز البيع، قال تعالى: (وأحلّ الله البيع)، وهذا عام. فما لم يَرِد نص شرعي على تحريم نوع معين من البيع كبيع الغرر مثلاً، الذي ورد نص في تحريمه، فإنه يكون البيع حلالاً. فعموم قوله تعالى: (وأحلّ الله البيع) يشمل جميع أنواع البيع أنها حلال إلاّ الأنواع التي ورد نص في تحريمها، فإنها تصبح حراماً بالنص مستثناة من العموم. ولم يَرِد نص في تحريم جعل ثمنين للسلعة، ثمن معجّل وثمن مؤجّل، فيكون حلالاً أخذاً من عموم الآية. وأيضاً فقد قال صلى الله عليه وسلم: (إنّما البيع عن تراض)، والمتبايعان هنا كانا بالخيار وتم البيع برضاهما
Artinya: Dan juga diperbolehkan bagi penjual menjual barangnya dengan dua harga yang berbeda; kontan atau kredit. Jika seseorang berkata pada temannya; saya menjual barang ini 50 secara kontan 60 secara kredit, lalu temannya itu berkata; saya beli secara kredit 60, atau dengan kontan 50, maka sahlah jual-beli itu. Begitu pula kalau dia berkata; saya jual barang ini 60 secara kredit, selisih 10 dari harga aslinya secara kontan, dan pembeli setuju. Maka sahlah jual-beli itu. Dan masuk dalam kategori lebih utama (bab aula) adalah ketika penjual mengatakan; harga barang ini adalah 30 secara kontan, dan 40 secara kredit. Dan pembeli berkata; “saya beli barang itu dengan harga 30 kontan”, atau “saya beli barang itu dengan harga 40 kredit, lalu penjual berkata; “saya jual kepada anda, atau ambillah barang itu, atau barang itu menjadi milik kamu”. Transaksi di atas hukumnya adalah sah. Karena dalam contoh terakhir ini, ada dua penawaran sistem pembayaran dan melangsungkan transaksi dengan satu sistem pembayaran. Sementara dalam kasus sebelumnya terjadi transaksi dengan dua sistem pembayaran. Dalam transaksi jual-beli boleh menetapkan dua sistem pembayaran untuk satu barang; sistem kontan atau kredit, karena dalil yang membolehkan jual-beli, yaitu firman Allah“Allah menghalalkan jual-beli” (Q.S Al-Baqoroh; 275), sifatnya umum. Jadi transaksi jual-beli dalam bentuk apapun adalah halal selama tidak ada teks atau dalil yang mengharamkannya, seperti bai’ul ghoror. Dan untuk kasus di atas, menjadikan dua sistem pembayaran pada satu barang, tidak ada nash yang mengharamkannya. Dengan begitu, masuk dalam keumuman ayat, yaitu halal. Di samping itu, Nabi saw. bersabda; “jual-beli itu didasarkan pada keridloan dua belah pihak”. (Syakhshiyyah Islamiyah II/305-306)

Pemhaman seperti ini ada dapatkan dalam nasyrah saat seorang syabab bertanya tentang dua hal yang seakan-akan berbeda antara yang termaktub dalam kitab syakhshiyyah II dan III. Jadi kesimpulannya boleh menawarkan dengan dua model harga (kredit atau cash) tapi saat akad/transaksi harus ditetapkan satu model harga atau model jual belinya.

Wallahu ‘alam bishawab
Yogyakarta, 5 Mei 2010
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan

Tidak ada komentar: