Kamis, 17 Mei 2012

BEBERAPA CATATAN BUKU MEMBONGKAR PROYEK KHILAFAH ALA HT DI INDONESIA (BAGIAN PERTAMA) Wahyudi Abu Syamil Ramadhan Pada bagian pengantar penulis hlm. xviii penulis menyatakan: “pada akhir-akhir menjelang kembali “pulang”, penulis mulai merasakan adanya dimensi “ketidakmenerimaan” atas apa yang dilakukan para ikhwan dan pengurus HTI dalam memperjuangkan cita-cita puncak mereka: Negara Islam…”. Tanggapan: Penulis yang mengaku pernah menjadi hizbiyyin tentu tahu persis bahwa tujuan HT adalah melanjutkan kehidupan Islam (isti’naful hayati al islamiyyah), sedang khilafah (Negara Islam) adalah metodenya (bi thariqati iqaamatil khilafah). Maka jelas tujuan puncak HT adalah melanjutkan kehidupan Islam yang terputus sejak runtuhnya khilafah Ustmaniyyah pada tahun 1924. Selanjutnya penulis mengutip tulisan di majalah al wa’ie tentang apakah HT Wahabi? “…Penegakkan khilafah untuk mengembalikan ke daulatan di tangan Allah lebih penting dan lebih utama untuk direalisasikan daripada masalah akidah” (hlm. 40) Tanggapan: Kalimat di atas jika tidak ditulis secara utuh berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. Berikut kami kutipkan redaksi lengkap dari tulisan yang dikutip penulis: Pandangan ini, menurut Hizb, sebagaimana disebutkan dalam kitab Nidâ’ al-Hâr, tidak proporsional. Betul, bahwa ada masalah dalam akidah umat Islam, tetapi tidak berarti mereka belum berakidah Islam. Bagi Hizb, umat Islam sudah berakidah Islam. Hanya saja, akidahnya harus dibersihkan dari kotoran dan debu, yang disebabkan oleh pengaruh kalam dan filsafat. Karena itu, Hizb tidak pernah menganggap umat Islam ini sesat. Hizb juga menganggap, bahwa persoalan akidah ini, meski penting, bukanlah masalah utama. Bagi Hizb, masalah utama umat Islam adalah tidak berdaulatnya hukum Allah dalam kehidupan mereka. Karena itu, fokus perjuangan Hizb adalah mengembalikan kedaulatan hukum Allah, dengan menegakkan kembali Khilafah. Bagi Hizb, akidah umat harus dibersihkan agar bisa menjadi landasan yang kokoh dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara. Setelah itu, akidah yang hidup di dalam diri umat ini akan mampu membangkitkan mereka dari keterpurukan, dan akhirnya mendorong mereka untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah dan hukum Allah di muka bumi. Pada halaman 59 penulis mengutip Zeyno Baran dalam hal menyamakan HT dengan Bolshevik: “ HT sangat mirip dengan Bolshevik. Yang sama-sama mempunyai utopian ultimate goal (Communism vs. Chaliphate) dan sama-sama tidak menyukai liberal democracy dan sama-sama berupaya menegakkan mythical just society…”. Tanggapan: Apa maksud dari kutipan di atas? Padahal penulis sedang menjelaskan bahwa diantara metode HT untuk meraih tujuannya adalah nirkekerasan. Apakah kalimat di atas sengaja dikutip untuk menggambarkan HT sebagai monster yang membahayakan atau setidaknya melabelkan bahaya laten. Padahal di halaman 172-173 penulis mengakui kemungkinan tegakkan khilafah, sekecil apapun kemungkinan itu. Jadi, menafikan kemungkinan terwujudnya khilafah adalah sikap gegabah dan terburu-buru, seperti kesimpulan yang disampaikan oleh Abd. Moqsith Ghazali dan Farish A. Noor, pengamat politik dan HAM Malaysia (hlm. 172). Potensi kea rah tegaknya khilafah memang kecil, tetapi bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan (hlm. 173) Lebih dari itu eksistensi khilafah bukanlah suatu hal yang utopia. Khilafah adalah realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Berbeda dengan masyarakat komunisme yang belum pernah ada realitasnya. Di halaman 60, ditulis: “Kekerasan apa pun bentuknya jelas dilarang-kecuali dalam kondisi tertentu- sebagaimana dijelaskan dalam satu hadist Nabi: Kami tidak akan merebut perkara (kepemimpinan) dari ahlinya. Nabi bersabda, kecuali kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian bisa membuktikan di hadapan Allah (HR. Bukhari) Namun demikian, terdapat paradox dalam salah satu karya an-Nabhani yang menjelaskan kewajiban memerangi penguasa yang menampakkan kekufuran secara nyata dengan menerapkan hukum kufur” Tanggapan Saya heran dan binggung dengan apa yang dimaksud paradoks. Bukankah tidak terdapat paradoks antara hadist yang dikutip dalam kitab afkaru siyasiyah dengan kesimpulan yang dikutip penulis dalam kitab Mitsaq al-Ummah dan kitab asy syakhshiyyah al islamiyyah juz II. Jelas bahwa kondisi tertentu yang dibolehkan memerangi penguasa yang Nampak darinya kekufuran yang nyata. Diantara kekufuran yang nyata adalah mengubah sistem Islam yang diterapkan suatu Negara dengan sistem selain Islam. Di halaman 63 penulis menulis: “ Demikian pula anggota HTI diharamkan mendirikan organisasi sosial/yayasan sosial, pesantren, sekolah, koperasi, kantor tenaga kerja, balai latihan kerja. Namun, bukankah sebagian anggota HTI tahun 2000-an mendirikan lembaga pendidikan di Surabaya (SBI dan STIES) dan lembaga kursus computer”. Tanggapan: Mengapa pernyataan di atas (kalimat pertama) tidak didasarkan referensi atau catatan kaki sedikit pun?. Padahal penulis mengklaim bahwa penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Bagaimana membangun kontradiksi sementara kontradiksi tersebut dibangun berdasarkan asumsi. Fatalnya lagi asumsi tersebut tidak benar. Di kitab mutabannat atau nasyrah HT mana yang melarang syabab HT (sebagai individu) membangun sekolah, pesantren, dan lembaga usaha? Pada halamana 69 penulis menyatakan: Setelah mengutip hadist di atas (HR. Ahmad tentang fase umat Islam dan kembalinya khilafah rasyidah), mereka menambahkan dengan surah an-nur ayat 55 yang berisi janji Allah kepada orang-orang yang beriman. Lalu mereka menjelaskan bahwa إننا في حزب التحرير نؤمن بوعد الله و نصدق بشري رسول الله (kami di hizbut tahrir mengimani janji Allah dan membenarkan kabar gembira Rasulullah). Menariknya, hadist di atas yang bukan hadist mutawatir, dijadikan sebagai “iming-iming” yang diyakini dan dibenarkan.” Tanggapan: Penulis saya kira terbalik saat menyatakan “Setelah mengutip hadist di atas, mereka menambahkan dengan surah an-nur ayat 55…”. Yang benar adalah ayat 55 dari surah an-Nur dikutip lebih awal, baru hadist di atas. Jika penulis jeli dari kitab di atas, pilihan kata yang digunakan juga sangat jelas. Bahwa untuk janji Allah mengunakan redaksi kami mengimani (نؤمن) sedang terhadap hadist digunakan redaksi kami membenarkan (نصدق). نؤمن adalah redaksi untuk menunjukkan pemenaran yang bersifat pasti (at tashdiq al jazm), sedang redaksi نصدق tanpa tambahan jazm menunjukkan tashdiq atau pembenaran secara umum. Sehingga clear sikap HT terhadap hadist di atas membenarkan hanya saja tidak dengan pembenaran yang bersifat pasti. Dimana tidak konsistennya? Adapun jika ucapan khilafah pasti akan berdiri, karena khilafah merupakan janji Allah. Padahal Allah SWT pasti terwujud karena Allah tidak pernah menyelisihi janji-Nya. Mengomentari ayat 55 dari surah an-Nur Imam Ibnu Katsir menyatakan: هذا وعد من الله لرسوله صلى الله عليه وسلم . بأنه سيجعل أمته خلفاء الأرض، أي: أئمةَ الناس والولاةَ عليهم، وبهم تصلح البلاد، وتخضع لهم العباد Ini adalah janji dari Allah SWT bagi Rasul-Nya saw. Bahwa Allah akan menjadikan umat Nabi saw pemimpin-pemimpin di bumi, yaitu: pemimpin manusia dan wali-wali mereka, dan negeri-negeri menjadi baik, dan tunduklah hamba-hamba. Di halaman 80 penulis menyatakan: “adapun yang berkewajiban meengangkat atau membai’at khalifah adalah seluruh kaum muslimin. …hal yang sama berlaku pada tokoh-tokoh kaum muslimin, yang dalam bahasa Zallum disebut ahl al hall wa al ‘aqd” Tanggapan: Redaksi “…yang dalam bahasa Zallum disebut ahl al hall wa al ‘aqd”. Menyiratkan seolah-olah istilah ahl al hall wa al ‘aqd adalah istilah baru yang dimunculkan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum. Padahal istilah ini bukanlah istilah yang baru. Imam al Mawardi dalam kitab al ahkam as sulthaniyah berulang kali menggunakan istilah ini, diantaranya: فَأَمَّا انْعِقَادُهَا بِاخْتِيَارِ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ Adapun sahnya (terwujudnya) Akad imamah adalah dengan pilihan (tanpa paksaan) dari ahlu al hall wa al ‘aqd . Pada halaman 83. Penulis menyatakan: “Hizb al-Tahrir memaknai wazir dalam hadist di atas sebagai pembantu dalam sengala urusan pemerintahan. Tampaknya pemaksaan tersebut sengaja diformulasikan agar memiliki legalitas eksistensi dan fungsi seorang wazir.” Tanggapan: memang benar pada masa Nabi mengangkat dua wazir (pembantu). Umar untuk urusan zakat dan Abu Bakar untuk urusan haji. Abu Bakar mengangkat Umar sebagai pembantu di bidang peradilan (qadha). Demikian juga Ali dan Utsman pada masa Umar. Kenyataan ini berlanjut hingga pada masa Abu Bakar ketika peran Umar sebagai mu‘âwin Abu Bakar sangat menonjol dalam wewenang yang bersifat umum dan perwakilan sampai pada tingkat di mana sebagian Sahabat pernah berkata kepada Abu Bakar, “Kami tidak tahu, apakah Umar yang menjadi khalifah ataukah engkau.” Meskipun demikian, Abu Bakar telah menugasi Umar untuk menangani masalah qadhâ’ (peradilan) dalam beberapa waktu tertentu, sebagaimana riwayat yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang dikuatkan oleh al-Hafizh. Atas dasar ini, faedah yang bisa diambil dari sirah Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin yang datang sesudah Beliau adalah bahwa Mu‘âwin diberi wewenang dan otoritas yang Mu’âwin at-Tafwîdh bersifat umum sebagai wakil. Akan tetapi, mu‘âwin boleh dikhususkan untuk posisi atau tugas tertentu. Hal itu seperti yang dilakukan Nabi saw. terhadap Abu Bakar dan Umar, juga seperti yang dilakukan Abu Bakar terhadap Umar. Hal senada diungkapkan oleh Imam al Mawardi saat menjelaskan tentang wewenag wuzara tafwidl, beliau menyatakan: وَالْوَزَارَةُ عَلَى ضَرْبَيْنِ : وَزَارَةُ تَفْوِيضٍ وَوَزَارَةُ تَنْفِيذٍ . فَأَمَّا وَزَارَةُ التَّفْوِيضِ فَهُوَ أَنْ يَسْتَوْزِرَ الْإِمَامُ مَنْ يُفَوِّضُ إلَيْهِ تَدْبِيرَ الْأُمُورِ بِرَأْيِهِ وَإِمْضَاءَهَا عَلَى اجْتِهَادِهِ ، وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ جَوَازُ هَذِهِ الْوَزَارَةِ ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حِكَايَةً عَنْ نَبِيِّهِ مُوسَى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ : { وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي هَارُونَ أَخِي اُشْدُدْ بِهِ أَزْرِي وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي } . ( الأحكام السلطانية للماوردي ص. 36) Pembantu khalifah itu ada 2, yaitu: wuzara tafwidl dan wuzara tanfidz. Adapun wuzara tafwidl ialah yang membantu khalifah untuk membantu tugas-tugas pemerintahan berdasarkan pendapatnya dan ijtihadnya. Pengangkatan wuzara semacam ini boleh (absah). Allah berfirman mengenai kisah Nabi Musa as. “Dan jadikanlah untuk seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudarku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku. Dan Jadikanlah dia sekutu dalam urusanku (QS. Thaha: 29-32) Pada halaman 106 penulis menyatakan: “Bagi HT, kewajiban menegakkan khilafah merupakan mahkota dari segala kewajiban yang dibebankan Allah kepada umat Islam. Menurut mantan Ketua Umum DPP HTI, menegakkan khilafah merupakan kewajiban paling agung dalam agama. Sementara pihak-pihak yang tidak berniat menegakkannya maka mereka berdosa, bahkan sebagai perbuatan maksiat yang paling besar”. Untuk mendukung pernyataannya penulis kemudian mengutip buku khilafah adalah solusi, terbitan Pustaka Thariqul Izzah,hlm. 28-29. Tanggapan: tentang wajibnya menegakkan khilafah, bahkan kewajiban yang paling agung, sesungguhnya pendapat ini bukan hanya pendapat HT. Ulama terdahulu telah lebih dahulu mengungkapkannya. Diantaranya adalah: اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب ، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله “Ketahuilah juga bahwa para sahabat telah berijma’ bahwa mengangkat Imam setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya kewajiban paling penting karena mereka menyibukkan diri dengannya dengan menunda penguburan Rasulullah.” Sedang dosa bagi orang yang tidak mau berjuang menegakkan khilafah juga telah diutarakan oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani saat mengomentari hadist : ومن مات وليس في عنقه بيعة فقد مات ميتة جاهلية Barang siapa meninggal sedang tidak ada bai’at (imam) di pundaknya maka dia mati dalam kondisi seperti mati jahiliyah (menanggung dosa) (HR.Muslim no. 1851) Beliau menyatakan: والمراد بالميتة الجاهلية وهي بكسر الميم حالة الموت كموت أهل الجاهلية على ضلال وليس له امامٌ مطاعٌ لأنهم كانوا لا يعرفون ذلك وليس المراد أنه يموت كافرا بل يموت عاصيا “Yang dimaksud dengan kematian jahiliyah [dengan mim dibaca kasroh] adalah keadaan kematiannya seperti kematian masyarakat jahiliyyah di atas kesesatan dan tidak memiliki seorang pemimpin yang ditaati, karena mereka belum mengenal hal tersebut. Bukan dimaksudkan mati dalam keadaan kafir, melainkan mati dalam keadaan bermaksiat.” [Ibn Hajar, Fathu-l-baariy, 13/7] Penulis mengakui bahwa konstruksi filosofis HT memiliki kesamaan dengan konsep para pemikir politik Muslim klasik dan abad pertengahan seperti al Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Khaldun (hlm. 117) Tanggapan: apa yang salah dari pemikiran (ijtihad) mereka? Jika HT memiliki kesamaan pandangan dengan ulama-ulama terdahulu karena memang berangkat dari landasan yang sama, yaitu dalil-dalil syariat. Jika penulis mengakui kesamaan pandangan HT dengan ulama klasik semisal Imam al Mawardi lantas mengapa penulis sedemikain sembrono mengambil kesimpulan bahwa ide khilafah tidak memiliki landasan normatif atau landasan normatifnya tidak relevan?. Lebih lancang lagi penulis menyatakan khilafah adalah proyek politik dengan tameng agama. Apakah penulis juga sedang menuduh semua ulama yang menyatakan wajibnya khilafah/imamah sedang mengada-ada dan memiliki motif politik dengan tameng agama? Pada halaman 122, setelah mengekplorasi dalil wajibnya khilafah berdasarkan al quran dalam kitab ajhizah daulah khilafah fil hukmi wal idarah, penulis berkomentar bahwa penafsiran yang dibangun dalam kitab ini menggunakan model berpikir jumping to conclusion. Jumping atau loncat pada penafsiran kata hakim pada khalifah. Seakan ingin menguatkan pendapatnya penulis kemudian kesimpulan Qamaruddin Khan, seperti yang dikutip Khalid Ibrahim JIndan, bahwa Imam Ibnu Taimiyah meragukan validitas pendapat tentang ke-khilafah-an yang berasal dari al quran dan hadist, atau bahkan latar belakang sejarah khulafa rasyidin…”. (hlm. 123) Tanggapan: perhatikan bagaimana penulis mengutip sebuah pendapat. Pengutipan tingkat tiga seperti ini sangat memungkinkan terjadinya bias pemahaman atau bahkan kesalahan. apakah karya Imam Ibnu Taimiyah sedemikian sulit untuk didapatkan?. Sehingga harus mengutip kesimpulan Qamaruddin Khan dalam Khalid Ibrahim Jindan. Lebih dari itu kesimpulan Khalid Ibrahim Jindan nampaknya terlalu gegabah. Ibnu Taimiyah telah menegaskan akan wajibnya imarah islamiyah bedasarkan al-hadist, diantaranya saat beliau mengambil kesimpulan tentang wajibnya imarah (kepemimpinan) beliau menyatakan يجب أن يعرف أن ولاية الناس من أعظم واجبات الدين بل لا قيام للدين إلا بها، فإن بني آدم لا تتم مصلحتهم إلا بالاجتماع لحاجة بعضهم إلى بعض، ولا بد لهم عند الاجتماع من رأس، حتى قال النبي صلى الله عليه وسلم {إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم} ، رواه أبو داود، وروى الإمام أحمد في المسند عن عبد الله بن عمرو، أن النبي قال: {لا يحل لثلاثة يكونون بفلاة من الأرض إلا أمروا عليهم أحدهم} فأوجب صلى الله عليه وسلم تأمير الواحد في الاجتماع القليل العارض في السفر، تنبيها على سائر أنواع الاجتماع، ولأن الله - تعالى - أوجب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ولا يتم ذلك إلا بقوة وإمارة Pada halaman 123-124 penulis mengutip pendapat Husayn Haikal yang menyatakan Al Quran dan al Hadist tidak mempunyai hubungan langsung dengan sistem pemerintahan. Lebih berani lagi pendapat Qamaruddin Khan yang menyatakan bahwa konsep Negara sama sekali tidak ada dalam al quran. Ditambah pendapat ‘Ali ‘Abd al-Raziq yang menyakan bahwa Islam tidak tidak memiliki konsep sistem pemerintahan, semuanya diserahkan pada akal manusia menurut eksperimentasi umat terdahulu dan berdasarkan ilmu politik. Tanggapan: Penulis mengetahui persis bahwa pendapat yang dikutip tidaklah popular dan keluar dari mainstrim pemikiran Islam. Penulis pada catatan kaki mengetahui persis bahwa buku-buku yang dia jadikan rujukan telah mendapat kritik dari banyak ulama. Tapi anehnya penulis tidak mempertimbangkan sama sekali padangan ulama yang mengkritik buku yang ia kutip, khususnya buku al islam wa ushul al hukm karya ‘Ali ‘Abd al-Raziq. Inikah sikap ilmiah seorang peneliti?. Semestinya penulis memaparkan pendapat mereka juga. Baru kemudian mengambil kesimpulan. Meski kesimpulan tidak penulis sampaikan pada halaman-halaman ini. Namun pemaksaan ide penggiringan opini ini jelas nampak pada bagian penutup, bahwa khilafah tidak memiliki landasan normatif baik al quran, as sunnah, dan ijma shahabat. Saya tambahkan bahwa ‘Ali ‘Abd ar-Raziq karena buku yang ditulisnya telah dikeluarkan dari Univ. al Azhar Kairo Mesir, semua gelar akademiknya dicabut. keputusan ini diputuskan oleh semua panitia yang terdiri dari 24 ulama Besar al Azhar pada hari Rabu, 15 Muharram 1344 H bertepatan Agustus 5 Agustus 1925. Mengenai hubungan Islam dan Negara. Prof. Dhiyau ad diin ar raiis mengutip pendapat beberapa ahli sejarah barat yang secara jujur mengatakan bahwa islam adalah agama yang memiliki konsep politik termasuk Negara . Berikut saya kutipkan sebagiannya: Prof. C. A. Nallino menyatakan: Sungguh Muhammad telah meletakkan dasar agama dan Negara secara bersamaan (Encyclopaedia of Social Sciences. Vol. VIII p. 333) Dr. Schacht menyatakan: …sejumlah pendapat menyatakan bahwa Islam adalah sistem yang sempurna yang mencakup agama sekaligus Negara (The Encyclopaedia of Islam, IV, p. 350) Prof. R. Strothmann: Islam jelas ssebuah agama dan politik… (Development of Muslim Theology, Jurisprudence, and Constitutional Theory. (New York 1903) p. 67) Prof. D. B. Macdonal: di Madinah terbentuklah Negara Islam pertama, disana diletakkan prinsif-prinsif dasar bagi perundangan yang Islami. (The Caliphate. Oxford 1924, p. 30) Sir. Thomas Arnold: Nabi saw. Pada waktu yang bersamaan adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin Negara (Muhammedanism. 1924, p. 3) Jika ilmuwan dan peneliti Barat dengan jujur mengakui bahwa Islam memiliki konsep politik kenegaraan, mengapa justru penulis justru memilih pendapat yang aneh dan nyeleneh ala ‘Ali ‘Abd al Raziq? Yang aneh lagi adalah, kaum liberal sering mengkritik kalangan yang mereka istilahkan sebagai kelompok fundamentalis sebagai penganut mazdhab literalis-tektualis. Tetapi saat mereka menafsirkan ayat-ayat al quran tentang wajibnya imamah mereka lebih-lebih sangat literalis-tekstual. Memang benar tidak ada ayat yang secara tekstual menyebutkan “aqimuu al khilafah” atau ayat “kutiba ‘alaikum al khilafah” akan tetapi banyak ayat yang memerintahkan untuk menerapkan hukum-hukum hudud, jihad, dsb. Hukum-hukum ini tidak akan terlaksana tanpa institusi pelaksananya. Hadist-nabi kemudian menjelaskan bahwa nama sistem pelaksana (sistem pemerintahan) yang digariskan Islam adalah khilafah. Jadi clear, bahwa al quran mewajibkan adanya sistem pemerintahan yang menerapkan hukum-hukum Allah kemudian hadist menjelaskan bahwa sistem itu adalah khilafah. Pandangan literalis-teklualis dan cenderung parsial dalam memahami nash juga Nampak pada saat penulis mengomentari dalil wajibnya khilafah berdasarkan hadist Nabi saw (hlm 126). Jelas untuk mengambil kesimpulan tidak cukup hanya mendasarkan pada satu hadist. Pada saat HT menjelaskan tentang wajibnya membai’at imam berdasarkan hadist: ومن مات وليس في عنقه بيعة فقد مات ميتة جاهلية Barang siapa meninggal sedang tidak ada bai’at (imam) di pundaknya maka dia mati dalam kondisi seperti mati jahiliyah (menanggung dosa) (HR. Muslim no. 1851) Lalu HT mengambil kesimpulan bahwa imam yang dimaksud adalah khalifah, karena Nabi juga menjelaskan bahwa imam yang dimaksud adalah khalifah. Diantara dalilnya adalah: إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخَرَ مِنْهُمَ Jika dibait dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya (HR. Muslim dari Abu Sa’id al Khudri). Ibnu Hajar saat mengomentari hadist ini (HR. Muslim no. 1851) juga menegaskan bahwa yang dimaksud dalam hadist ini adalah bai’at terhadap imam/khalifah sebagaimana yang saya kutip di atas. Selanjutnya mengenai bai’at kepada khalifah. Penulis sependapat dengan pendapat Murtadha al ‘Askari yang menyatakan bahwa bai’at ada beberapa bentuk dan tidak hanya terbatas pada bai’at pengangkatan khalifah (hlm 127). Tanggapan: nampaknya penulis menyelisihi pendapat ahlu sunnah dalam hal hukum bai’at. Mengapa? karena para fuqaha ahlu sunnah telah berijma bahwa bai’at adalah akad antara umat dengan khalifah (hakim). Syaikh Dr. Ahmad Fuad ‘Abdul Jawad dengan mengutip pendapat Ibnu Khaldun menyatakan: و من هنا جاء إجماع فقهاء أهل السنة علئ أن البيعة عقد بين الأمه و بين الخليفة (الحاكم), و سمي عقد الخلافة (الحكم) Dari sini terdapat ijma fuqaha ahlu sunnah bahwa bai’at adalah akad antara ummat dengan khalifah (al haakim) dan dinamakan akad khilafah (alhukm) Bai’at terhadap nabi jelas untuk pegangkatan beliau sebagai kepala negara bukan sebagai Nabi. Buktinya Nabi tidak melalukan bai’at pada masa-masa awal Islam kepada shahabat yang masuk Islam. Jika ada yang berhujjah saat itu syariat bai’at belum diturunkan. Jika asumsi ini benar. Mengapa tidak dilakukan bai’at terhadap sahabat yang telah beriman lebih awal?. Pendapat yang benar adalah keimanan terhadap risalah yang beliau bawa dan atas kenabian beliau cukup dengan dengan syahadatain, sebagaimana dijelaskan dalam banyak riwayat. Adapun adanya bai’at aqabah I dan II yang penulis nyatakan bukan bai’at untuk pengangkatan Nabi sebagai kapala negara dengan alasan Rasul belum hijrah dan negara Islam belum berdiri (hlm. 127). Tanggapan: justru karena negara islam belum berdiri itulah ahlu nushrah (suku Aus dan Khazraj) membai’at Nabi saw sebagai pemimpin mereka. Atas jaminan mereka pada bai’at aqabah II itulah maka Rasul hijrah ke Madinah. Penulis sendiri mengakui dengan mengutip pendapat Murtadha al ‘Askari bahwa peristiwa ini (bai’at Aqabah II) adalah wujud bai’at untuk menegakkan Daulah islamiyyah (hlm 127-128). Jadi, bagaimana bias seorang peneliti mengambil kesimpulan yang berbeda dengan referensi yang dikutipnya? Adapun bai’at aqabah I sejatinya adalah bai’at persiapan menuju bai’at Aqabah II. Mengapa? karena 12 orang yang berbai’at pada bai’at ini adalah yang juga berbai’at pada bai’at Aqabah II. Dengan kata lain bai’at Aqabah I disempurnakan dengan bai’at Aqabah II, karena belum ada jaminan keamanan untuk melindungi Nabi sebagai kepala Negara. Dalam bai’at II ini juga jelas bahwa Nabi akan hijrah ke Madinah setelah ada jaminan dari ahlu nushroh (suku Aus dan Khazraj). Selanjutnya penulis mempersoakan ijma sahabat dalam peristiwa Saqifah Bani Sa’idah. Perbedaan pendapat di kalangan sahabat mengenai siapa penganti Nabi dieksplorasi sedemikian rupa oleh penulis untuk membantah bahwa shahabat telah berijma (hlm. 131-135). Tanggapan: kekeliruan penulis nampak fatal disini. HT mentabanni bahwa sahabat telah berijma tentang wajibnya mengangkat pengganti Nabi dalam perkara kepemimpinan politik. Sebagaimana yang diungkapkan Imam Ibnu Hajar al Haitsami: اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب ، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله “Ketahuilah juga bahwa para sahabat telah berijma’ bahwa mengangkat Imam setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya kewajiban paling penting karena mereka menyibukkan diri dengannya dengan menunda penguburan Rasulullah.” Perbedaan pendapat yang terjadi diantara shahabat adalah siapa yang akan menjadi imamnya. Imam/khalifah yang akan menggantikan Rasulullah. Karena dalam pandangan sunni tidak ada dalil yang menjelaskan penetapan orang tertentu sebagai khalifah. Pada saat mengomentari hadist desakan sebagian shahabat kepada Umar agar menunjuk penggantinya, Umar lalu menolaknya, Imam an Nawawi menyatakan: وَفِي هَذَا الْحَدِيث : دَلِيل أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَنُصّ عَلَى خَلِيفَة ، وَهُوَ إِجْمَاع أَهْل السُّنَّة وَغَيْرهَا Pada hadist ini terdapat petunjuk bahwa Nabi saw tidak menetapkan khalifah (personnya). Ini adalah kesepakatan ahlu sunnah dan yang lainnya. Pendapat ini juga merupakan pendapat HT. Syaikh Taqiyuddin dalam bab yang paling panjang dalam kitab asy syakhshiyyah Islamiyyah juz II menuliskan judul: لم يعين الشرع شخصاً معيناً للخلافة Syariat tidak menetapkan person tertentu bagi khilafah Tentang terjadinya perpecahan di kalangan shahabat menjadi tiga faksi yaitu faksi Ansharpimpinan Sa’ad bin ‘Ubadah, Faksi pimpinan Abu Bakar dan Umar, dan faksi pimpinan ‘Ali bin Abi Thalib (hlm. 133). Tanggapan: kalangan Anshar dalam peristiwa Saqifah setelah mendapat penjelasan dari Umar akhirnya menbai’at Abu Bakar hanya Sa’ad bin ‘Ubadah yang tidak mau membai’atnya. Imam as Sututhi mengutip riwayat Imam an Nasaai, Abu Ya’la dan al Hakim –ia menyataka keshahihahnnya- meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dia berkata: قبض رسول الله صلى الله عليه وسلم قالت الأنصار منا أمير ومنكم أمير فأتاهم عمر بن الخطاب رضي الله عنه فقال يا معشر الأنصار ألستم تعلمون أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد أمر أبا بكر أن يؤم الناس فأيكم تطيب نفسه أن يتقدم أبا بكر فقالت الأنصار نعوذ بالله أن نتقدم أبا بكر. ”Tatkala Rasulullah telah dipanggil Allah ke hadirat-NYa, orang-orang Anshar berkata: ‘Dari kami ada seorang pemimpin dan dari kalian ada seorang pemimpin. Kemudian Umar mendatangi mereka dan berkata,’Wahai kaum Anshar tidakkah kalian tahu bahwa Rasulullah telah memerintahkan Abu Bakar menjadi Imam shalat pada saat hidupnya. Lalu siapa di antara kalian yang merasa dirinya berhak untuk maju mendahului Abu Bakar?’ Orang-orang Anshar berkata,’kami merlindung kepada Allah untuk maju mendahului Abu Bakar’ Mengenai Ali yang tidak terlibat dalam perdebatan di Saqifah. Bukan berarti Ali berada pada faksi yang berbeda. Justru Ali marah karena tidak dilibatkan dalam perdebatan tersebut. Ali juga menegaskan seandainya ia dilibatkan tentu ia akan membai’at Abu Bakar. Ali dan Zubair berkata,” Dan kemarahan kami tidak lain karena kami tidak dilibatkan dalam musyawarah. Sesungguhnya kami memandang bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berhak untuk memangku jabatan khalifah. Karena sesungguhnya ia adalah teman Rasulullah di dalam gua dan kami mengetahui kemualiaannya. Rasulullah telah memerintahkannya menjadi Imam shalat saat beliau masih hidup Selanjutnya penulis mempersoalkan gelar khalifatu rasulillah bagi Abu Bakar. Menurutnya gelar tersebut tidak ada hubungannya dengan persoalan politik atau kepemimpinan. Tetapi hanya terkait tentang keutamnaan Abu Bakar sebagai khalifah Rasul ‘ala shalat (hlm. 137) Tanggapan: Istilah khalifah rasulillah juga dipakai dalam kontek kepemimpinan. Setelah terbai’atnya Abu Bakar, dia kemudian naik ke atas mimbar untuk berkhutbah, namun ia tidak melihat Zubair. Maka beliau memerintahkan untuk memanggilnya. Setelah Zubair datang Abu Bakar berkata: ”Engkau adalah anak bibi Rasulullah dan seorang hawari Rasulullah apakah engkau ingin mengoyak-ngoyak kesatuan kaum muslimin?”. Zubair menjawab: لا تثريب يا خليفة رسول الله فقام فبايعه Tidak wahai khalifah rasulillah, ia lalu berdiri dan membai’at Abu Bakar Saat Abu Bakar tidak melihat Ali maka ia mengutus orang untuk memanggilnya dan menanyakan hal sama seperti pada Zubair. Ali lalu menjawab: لا تثريب يا خليفة رسول الله فبايعه. Tidak wahai khalifah rasulillah, ia lalu berdiri dan membai’at Abu Bakar Kesimpulan KEWAJIBAN MENEGAKKAN KHILAFAH MEMILIKI LANDASAN NORMATIF BAIK AL QUR’AN, AS SUNNAH, DAN IJMA’ SHAHABAT Bersambung ke bagian kedua Banjarmasin, 26 Jumadil Akhir 1433 H Al Faqir ila ALLAH Wahyudi Abu Syamil Ramadhan [1] http://hizbut-tahrir.or.id/2009/07/29/hizbut-tahrir-wahabi/ [2] Dikutip penulis dari kitab afkaru siyasiyah hlm. 132 [3] Dikutip penulis dari kitab Mitsaq al-Ummah, pembahasan serupa bisa didapatkan dalam kitab asy syakhshiyyah al islamiyyah juz II [4] Hizbut Tahrir, Ajhizah daulah khilafah (fi al hukmi wa al idarah), hlm. 7 [5]Tafsir Ibnu Katsir, 2/416 [6] al ahkam as sulthaniyah, hlm. 6 [7] Imam Ibn Hajar Haitami, Ash Shawaiqul Muhriqah, h. 7 [8] As-Siyasah asy-Syar’iyyah hlm. 33 [9] Diantara yang mengkritik buku ini adalah naqdhu ‘ilmiy li kitab al islam wa ushul al-hukmi karya al ‘allamah asy syaikh Muhammad ath thahir ibn ‘aasyur dan kitab an nazhriyyat as siyasiyah al islamiyah karya syaikh dhiyau ad diin ar raiis beliau adalah Profesor dan ketua Jurusan Sejarah Islam di Fakultas Darul ‘Uluum Univ. Kairo [10] Buku yang berjudul al Islam wa ushul al hukmi. Buku ini pertama kali terbit pada bulan April 1925. Saya sebut buku ini tidak popular dan keluar dari mainstrim pemikiran Islam karena pada tahun yang sama umat sedunia akan berkumpul di Kairo Mesir untuk mengembalikan Khilafah yang baru saja diruntuhkan oleh Penjajah khususnya Inggris melalui anteknya Mustafa Kamal. Di tengah suasana gegap gempita untuk mengembalikan khilafah itulah justru ‘Ali ‘Abdur al-Raziq menerbitkan buku itu. [11] Lihat raddu haiah kibar al ulama ‘ala kitab al islam wa ushul al hukmihlm. 7 [12] an nazhriyyat as siyasiyah al islamiyah hlm. 29 [13] Al Bai’at ‘inda mufakkiri ahli sunnah wal ’aqdu al ijtima’I fil fikri as siyasiy al hadiist hlm. 17 [14] Bai’at Aqabah I disebut juga bai’at an nisa karena belum disyariatkannya perang [15] Tsaqifah adalah tempat diputuskan persoalan-persoalan penting bagi penduduk Madinah, persis seperti daar an Nadwah di Makkah [16] Imam Ibn Hajar Haitami, Ash Shawaiqul Muhriqah, h. 7 [17] Bebeda dengan pandangan Syiah yang menyatakan bahwa Syariat telah menetapkan orang tertentu sebagai khalifah [18] An-Nawawi, Syarhu al Muslim , 6/291 [19] Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz II hlm. 54 [20] An Nazdriayat as Siyasah al Islamiyah hlm. 42 [21] Tarikh Khulafa’, hlm. 26 (maktabah syamilah) [22] Ibid, hlm. 27 [23] Ibid , hlm 26

Tidak ada komentar: