Selasa, 03 Januari 2012

NATAL BERSAMA DAN TAHUN BARU Sejarah, Hukum, dan Solusinya



Pendahuluan
Dari Abu Hurairah r.a , Rasulullah saw bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ القُرُونِ قَبْلَهَا، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ»، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَفَارِسَ وَالرُّومِ؟ فَقَالَ: وَمَنِ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ
“Hari kiamat tak bakalan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, seperti Persi dan Romawi?” Nabi menjawab: “Manusia mana lagi selain mereka itu?” (HR. Bukhory no. 7319)
Dalam riwayat dari Abu Sa’id al Khudri Rasulullah bersabda:
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ» ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اليَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: «فَمَنْ
“Sungguh, engkau akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, hingga kalaulah mereka masuk liang biawak, niscaya kalian mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, Yahudi dan nasranikah?” Nabi menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Bukhory no. 7320)
Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Fathul Bariy, menerangkan bahwa hadist no 7319 berkaitan dengan tergelincirnya umat Islam mengikuti mereka dalam masalah tata negara dan pengaturan urusan rakyat, sedangkan hadist no 7320 berkaitan dengan tergelincirnya umat Islam mengikuti mereka dalam masalah aqidah dan ibadah.
Apa yang telah Nabi saw sampaikan pada dua hadist di atas benar-benar telah terjadi. Di bidang tata Negara dan pengaturan urusan rakyat umat Islam saat ini tidak lagi mengambil sistem pemerintahan yang dicontohkan Nabi, sebaliknya mereka mengadosi demokrasi sistem kufur yang merampas kedaulatan Allah SWT dalam menetapkan hukum. Di bidang akidah dan ibadah umat Islam juga telah terjerumus dalam perangkap Yahudi. Diantaranya adalah perayaan Natal dan tahun Baru. Dengan dalih toleransi dan pluralisme serta kerukunan antar umat Bergama umat Islam menghadiri perayaan natal, mengucapkan selamat, menanti pergantian tahun di jalan-jalan dengan ikhtilath (campur baur) antara laki-laki dan perempuan dsb. Ironisnya lagi pendangkalan akidah ini dipertontokan dan dituntunkan oleh tokoh-tokoh umat dan pejabat-pejabat Negara. Kondisi ini persis seperti apa yang dikabarkan Nabi.
دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا
(di masa keburukan) akan ada para penyeru yang mengajak pada pintu-pintu neraka jahannam. Siapa saja yang membenarkan mereka, maka mereka akan menjerumuskan pada neraka jahannam tersebut (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Sejarah Natal dan Tahun Baru
Tradisi natal sejatinya bukan asli kepunyaan umat nasrani—bukan ajaran Bibel. Perayaan ini berasal dari kebiasaan masyarakat penyembah berhala yang kemudian dikembangkan oleh gereja Roma. Menurut Catholic Encyclopedia tahun 1911 dibawah judul “Christmas” diterangkan: “natal bukanlah salah satu upacara gereja, upacara ini berasal dari Mesir yang dilakukan pada zaman penyembah berhala. Dari sumber yang sama, Origen, yang merupakan pelopor pendirian lembaga kepasturan mengakui bahwa : “… didalam kitab suci tidak ada seorangpun yang mengadakan perayaan besar-besaran untuk memperingati hari kelahirannya, hanya para penguasa kafir saja—yakni Fir’aun dan Herod—yang berpesta pora merayakan hari kelahiran mereka. Keterangan ini semakna dengan Encyclopedia Brittanica terbitan 1944. Begitu pula menurut analisa geografis dan geofisika, dikota Bethlehem pada tanggal 25 Desember sedang terjadi musim salju. Namun dalam Lukas 2:8 (lebih lengkap dalam Injil Lukas pasal 2 ayat 1 – 20, dan Injil Matius ayat 1-23) dikatakan bahwa pada saat Yesus lahir, para gembala sedang menggembalakan binatangnya. Jadi menurut Al Kitab sendiri Yesus jelas tidak lahir pada musim salju, karena tidak akan ada rumput-rumputan tumbuh pada musim salju.
Mengenai tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.
Januari dijadikan sebagai awal tahun karena diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua ini, satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru.
Tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.
Dalam perayaan tahun baru juga sarat dengan kemaksiatan. Laki-laki dan perempuan bercampur baur hingga pesta seks. Na’udzubillah.
Hukum Mengikuti Perayaan Natal Bersama (PNB) dan Tahun Baru
Haram hukumnya umat Islam mengikuti PNB dan tahun baru. Tidak peduli apakah dia pejabat atau rakyat jelata. Keharaman menghadiri PNB dan tahun baru menurut syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kembali kepada dua dalil. Yaitu dalil umum dan dalil khusus. Dalil umum adalah larangan menyerupai tradisi/kebiasaan dan ibadah orang kafir. Diantara dalilnya adalah:
من تشبه بقوم فهو منهم
”Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud)
Menurut Syaikhul Islam, Hadîts ini berkonsekuensi akan haramnya menyerupai kaum kuffâr secara mutlak [Iqtidhâ` ash-Shirâthal Mustaqîm].
Selain itu dalam banyak kesempatan Nabi senantiasa memerintahkan umat Islam untuk menyelisi kebiasaan orang kafir. Diantaranya Nabi bersabda:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
”Selisihilah orang musyrikin, potonglah kumis dan biarkan jenggot kalian.” [HR Muslim].
Ibnu Hajar al atsqalani menyebutkan bahwa terdapat 30 perintah Nabi untuk menyelisihi kebiasaan orang kafir (Fathur Baari)
Sedang dalil khususnya diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, firman Allah dalam QS. Al Furqan ayat 72 yang menyatakan salah satu sifat hamba Allah (‘Ibâdur Rahmân)
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ …
“dan (hamba-hamba Allah itu) tidak menyaksikan kepalsuan…”
Jumhur mufassirin menafsirkan az zur dengan perayaan kaum musyrikin. Berikut kami kutipkan beberapa penafsiran mengenai ayat ini.
{ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ } وقال أبو العالية، وطاوس، ومحمد بن سيرين، والضحاك، والربيع بن أنس، وغيرهم: هي أعياد المشركين
Abūl ’Âliyah, Thôwus, Muhammad bin Sîrîn, adh-Dhohhâk, Rabî’ bin Anas dan selain mereka, mengatakan bahwa maksud Lâ yasyhadūna biz Zūr adalah (tidak menghadiri) perayaan kaum musyrikîn. [Lihat : Tafsîr Ibnu Katsîr VI/130; lihat pula Iqtidhâ` I/80]
Ketika menafsirkan ayat ini Imam Al Qurthubi (w. 671 H) menyatakan:
لَا يَحْضُرُونَ الْكَذِبَ وَالْبَاطِلَ وَلَا يُشَاهِدُونَهُ. وَالزُّورُ كُلُّ بَاطِلٍ زُوِّرَ وَزُخْرِفَ، وَأَعْظَمُهُ الشِّرْكُ وَتَعْظِيمُ الْأَنْدَادِ.
tidak menghadiri dan menyaksikan setiap kebohongan dan kebathilan. Dan az zûr adalah setiap kebathilan yang dihiasi dan dipalsukan, dan zûr yang paling besar adalah syirik dan pengagungan kepada berhala.
Menghadiri perayaan natal jelas menghadiri kebatilan. Karena menghadiri perayaan pengakuan bahwa Nabi Isa as adalah anak Tuhan. Padahal keyakinan seperti ini adalah keyakinan batil. Sebagaimana firman Allah Allah:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Maidah [5]: 73-74).
Kedua, Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَهَذَا عِيْدُنَا
“Sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan ini (Idul Adha dan Idul Fitri) adalah hari raya kita” (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.).
Dalam hadist lain, Dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ’anhu beliau berkata : Rasūlullâh Shallâllâhu ’alahi wa Sallam tiba di Madînah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, ”dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.” Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam mengatakan :
قَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
”Sesungguhnya Allôh telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhhâ dan idul fithri.” [Shahîh riwayat Imâm Ahmad, Abū Dâwud, an-Nasâ`î dan al-Hâkim.]
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu berkata :
فوجه الدلالة أن اليومين الجاهليين لم يقرهما رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ولا تركهم يلعبون فيهما على العادة، بل قال إن الله قد أبدلكم بهما يومين آخرين، والإبدال من الشيء يقتضي ترك المبدل منه، إذ لا يجمع بين البدل والمبدل منه.
”Sisi pendalilan hadîts di atas adalah, bahwa dua hari raya jahiliyah tersebut tidak disetujui oleh Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam dan Rasūlullâh tidak meninggalkan (memperbolehkan) mereka bermain-main di dalamnya sebagaimana biasanya. Namun beliau menyatakan bahwa sesungguhnya Allôh telah mengganti kedua hari itu dengan dua hari raya lainnya. Penggantian suatu hal mengharuskan untuk meninggalkan sesuatu yang diganti, karena suatu yang mengganti dan yang diganti tidak akan bisa bersatu.”
Ketiga, Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab, beliau juga telah melarang kaum muslim merayakan hari raya orang-orang kafir. Imam Baihaqiy telah menuturkan sebuah riwayat dengan sanad shahih dari ‘Atha’ bin Dinar, bahwa Umar ra pernah berkata,
لَا تَعَلَّمُوا رَطَانَةَ الْأَعَاجِمِ وَلَا تَدْخُلُوا عَلَى الْمُشْرِكِينَ فِي كَنَائِسِهِمْ يَوْمَ عِيدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ
“Janganlah kalian menmempelajari bahasa-bahasa orang-orang Ajam. Janganlah kalian memasuki kaum Musyrik di gereja-gereja pada hari raya mereka. Sesungguhnya murka Allah swt akan turun kepada mereka pada hari itu.” (HR. Baihaqiy).
Umar bin al-Khaththtab ra juga mengatakan:
اجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ اللَّهِ فِي عِيدِهِمْ
“Jauhilah musuh-musuh Allah pada di hari raya mereka.”
Hukum Mengucapkan Natal dan Tahun Baru
Mengucapkan natal dan tahun baru berarti mengakui esensi dari dua kegiatan tersebut yaitu kebatilan dan kemusyrikan. Oleh karena itulah syaikh Abdullah bin baz dengan mengutip pendapat Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa mengucapkan selamat natal hukumnya haram dan telah menjadi kesepakatan ulama. Hanya saja ada sebagian ulama diantaranya syaikh Yusuf al Qardhawi yang menyatakan boleh. Beliau menyatakan:
Aku (Yusuf Al-Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti: kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk di dalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah SWT namun dicintai-Nya sebagaimana Dia SWT mencintai berbuat adil. Firman Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“…Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (Qs Al-Mumtahanah 8 )
Terlebih lagi jika mereka mengucapkan selamat Hari Raya kepada kaum muslimin. Firman Allah SWT:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (Qs An Nisa’ 86)
Pendapat yang rajih (kuat) menurut kami adalah pendapat yang mengharamkan karena dua alasan:
Pertama, syaikh Yusuf al Qardhawi menggunakan dalil umum (Qs Al-Mumtahanah 8 ) untuk membangun argumentasi atas pendapatanya. Padahal terdapat dalil-dalil khusus yang melarang kaum muslim melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup aktivitas: mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. sementara dalam kaidah ushul disebutkan al khashshah muqaddamatun ‘ala al ‘amm (dalil yang khusus dimenangkan atas dalil yang umum).
Kedua, mengenai QS An Nisa’ 86 maka ayat ini berkenaan tentang mengucapkan salam. Imam Nawawi dalam al-adzkar telah mengutip ayat ini dalam pembahasan tata cara membalas salam. Padahala terdapat riwayat dari Abu Hurairah r.a:
لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ
Janganlah kalian mendahului mengucapkan salam kepada orang-orang yahudi dan nashrani … (HR. Muslim)
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ
Jika ahlul kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah “wa’alaikum” (demikian juga dengan anda) (HR. Muslim dari Anas bin Malik)
Jika mengucapkan salam pada orang kafir yang berisi doa tidak dibenar oleh syariat. Tentu ucapan yang berisi pengakuan atas perayaan mereka juga tidak dibenarkan. Wallahu ‘alam.
Adapun hukum menerima hadiah. Dalam hal ini dibedakan antara non muslim yang hidup dan tunduk dalam sistem hukum Islam (ahludz dzimmah) dengan kafir harbi.
Untuk kafir dzimmiy/ahludz dzimmah dibolehkan memenuhi undangan mereka pada hari raya mereka dan menerima hadiah (yang tidak diharamkan Islam) dari mereka, selama acara yang dihadiri bukan acara ritual dan makanan yang disajikan bukanlah sembelihan untuk persembahan kepada Al Masih atau disajikan di gereja. Begitu pula kegiatan jual beli dengan kafir dzimmi adalah halal. Yang diharamkan adalah menjual atau juga membelikan benda-benda yang terkait dengan syi’ar agama Nasrani, termasuk disini menjual bahan-bahan untuk ritual agama mereka semisal salib dst. Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits tentang kebolehan bermuamalah dengan mereka. Bahkan kegiatan ritual mereka sama sekali tidak boleh diganggu oleh umat Islam, dalam sebuah hadist dikatakan bahwa mengganggu mereka sama dengan mengganggu Rasulullah SAW.
Diriwayatkan dari Ibnu Syaibah dalam kitab Al Mushannaf bahwa seorang wanita telah bertanya kepada Aisyah r.a. . Wanita itu berkata : “Sesungguhnya orang-orang Majusi (penyembah api) berlaku baik kepada kami dan pada hari raya mereka, mereka memberi hadiah kepada kami”. Maka ‘Aisyah menjawab : “Adapun yang disembelih untuk hari raya mereka, maka janganlah kalian makan, tetapi makanlah apa yang berasal dari pohon-pohon mereka (buah-buahan)”.
Dengan demikian tidaklah apa-apa menerima hadiah dari kafir dzimmi pada hari raya mereka. Dan hukumnya sama saja dengan selain hari raya karena bukan termasuk kedalam syi’ar agama
Solusi Tuntas Pendangkalan Akidah Umat Lewat Natal dan Tahun Baru
Perayaan natal bersama adalah persoalan klasik. Beragam himbauan, ceramah bahkan fatwa telah dikeluarkan untuk menjelaskan kepada umat akan keharaman menghadiri PNB ini. MUI pada 7 Maret 1981 telah mengkaji secara seksama dan mengeluarkan fatwa haramnya PNB ini. Buya Hamka bahkan sampai memilih keluar dari MUI saat diancam untuk mencabut fatwa tersebut. Akan tetapi ajang pendangkalan akidah ini terus berlangsung bahkan dipertontonkan dan dituntunkan oleh para pejabat Negara tidak terkecuali presiden dan wakilnya.
Sejatinya masalah PNB adalah satu dari sekian banyak pelecehan terhadap hukum-hukum Allah. Akar masalahnya adalah karena negeri ini menerapkan sistem sekular dengan pluralisme, sinkritisme, demokrasi, HAM, dsb sebagai turunannya. Sistem inilah yang menerapkan sistem pendidikan materialistik yang melahirkan peserta didik yang tidak paham agamanya dan liar perilakunya, sistem inilah yang melahirkan sistem penyiaran yang mendewakan kebebasan sehingga lahirlah beragam program yang mendangkalkan akidah umat, sistem ini pula yang melahirkan pemimpin pemimpin yang tidak taat pada Allah dan Rasul-Nya dan mencampakkan syariat-Nya.
Solusi total persoalan ini dalah mengganti sistem rusak ini dengan sistem Islam secara tolal dengan mengangkat pemimpin yang senantiasa mengajak dirinya dan rakyatnya untuk taat kepada Allah. Sebagaimana Umar yang melarang rakyatnya yang muslim untuk mengikuti perayaan umat agama lain. Ringkasnya dengan sulthon-lah Islam akan tegak sempurna. Sebagaimana pernyataan Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah:
يجب أن يُعرف أن ولاية أمر الناس من أعظم واجبات الدين، بل لا قيام للدين إلا بها
Wajib diketahui bahwa wilayatu amri an-nas (kekuasaan) adalah a’dzomu wajibati ad-din (kewajiban agama yang paling agung), karena agama tidak akan tegak tanpa kekuasaan (al-Siyasah al-Syar'iyyah)

Banjarmasin, 5 Shafar 1433 H
Wahyudi Ibnu Yusuf (081351661981/08565362242)

2 komentar:

insidewinme mengatakan...

Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

Anonim mengatakan...

http://www.facebook.com/note.php?note_id=101640649972526