Jawaban
atas pertanyaan akh Faisal di BJM
1.
Apa hukum
berdiri sendiri di belakang shaf yang sudah penuh…apa benar tidak sah?
2.
Apakah
wawancara kerja yang dilakukan cuma berdua dengan antara manajer dengan lawan jenis (calon
karyawan/wati) terkategori khalwat?
3.
Apa hukum
akhwat naik taksi argo yang sopirnya laki-laki?
4.
Tentang
ijab qabul apakah sah dengan redaksi “tukar-jual”?
5.
Apa hukum
kebiasaan di daerah kita dimana kita makan dulu, setelah makan baru kemudian
berakad bayar?
6.
Apa hukum
jual pulsa, pulsanya belum masuk tapi uangnya sudah dibayarkan?
7.
Apa hukum
jual beli barang yang dibayar diawal sedang barangnya kemudian? Bagaimana
redaksi akadnya?
jawaban
Sebelumnya
kami sampaikan bahwa jawaban ini baru sekedar kitab yang pernah saya baca tanpa
sempat membandingkan dengan kitab-kitab lain. Bahkan pada sebagian jawaban saya
taklid terhadap penulis kitab tersebut dan belum sempat mencarikan landasan
dalilnya secara langsung.
1.
Jika
shaf telah penuh maka boleh seseorang shalat sendirian tanpa harus menarik makmum
yang ada didepannya. Alasannya adalah bahwa hadist-hadist yang memerintahkan
mushalli yang sendirin untuk menarik seseorang dari shaf di depannya adalah
dhaif atau kacau, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Sehingga ringkasnya,
seorang mushalli yang shalat sendirin dan tidak mendapatkan celah dari shaf
didepannya maka dimaafkan dan tidak berdosa serta shalatnya sah (Syaikh Mahmud
‘Abdul Lathif Uwaidhah dalam al jami’ li ahkami ash shalah 2/497).
Diantaranya adalah hadist berikut
عَنْ وَابِصَةَ قَالَ :
رَأَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً صَلَّى خَلْفَ الصُّفُوفِ
وَحْدَهُ. فَقَالَ :« أَيُّهَا الْمُصَلِّى وَحْدَهُ أَلاَ وَصَلْتَ إِلَى
الصَّفِّ أَوْ جَرَرْتَ إِلَيْكَ رَجُلاً فَقَامَ مَعَكَ أَعِدِ الصَّلاَةَ
Dari
Wabishah, beliau berkata. Rasulullah saw. meyaksikan seorang laki-laki shalat
sendirian di belakang shaf-shaf. Kemudian beliau bersabda: wahai orang yang
shalat sendirian, hendaklah engkau shalat dalam shaf atau engkau tarik seseorang padamu (menemani) dan shalat
bersamamu, maka ulangilah shalatmu. (HR. al Baihaqi no. 5416 dan Ath Thabrani)
Berkenaan dengan hadist ini Imam al Baihaqi berkomentar:
تَفَرَّدَ
بِهِ السَّرِىُّ بْنُ إِسْمَاعِيلَ وَهُوَ ضَعِيف
As sarriyu bin Ismail menyendiri (dalam meriwayatkan
hadist ini) dan hadist ini dhaif (sunan al Baihaqi 2/452)
Demikian pula riwayat dari Ibnu Abbas ra bahwa nabi
bersabda:
إذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إلَى الصَّفِّ وَقَدْ
تَمَّ فَلْيَجْذِبْ إلَيْهِ رَجُلًا يُقِيمُهُ إلَى جَنْبِهِ
Jika
telah telah salah seorang diantara kalian tercegah untuk memasuki shaf karena
shaf tersebut telah penuh maka hendaklah dia menarik seorang jama’ah untuk
menemaninya shalat bersamanya (HR Thabrani).
Mengenai
hadist ini Imam ash shan’ani mengutip pendapat pengarang kitab majma’ alzawaaid
yang menyatakan dalam hadist ini terdapat as sariyu bin Ibrahim dan dia dhaif
jiddan. (Imam ash shan’ani dalam Subulus salam 2/350)
Selain itu Ulama berbeda pendapat tentang hukum menarik
jama’ah pada shaf yang telah penuh. Imam Syafi’ie, ‘atha dan Ibrahim an Nakha’I
membolehkannya. Sedangkan mazhab Malik bin anas, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin
rahuyah dan al auza’I mengharamkannya. (Syaikh Mahmud ‘Abdul Lathif Uwaidhah
dalam al jami’ li ahkami ash shalah 2/497).
Kami lebih cenderung pada pendapat yang mengharamkannya
berdasarkan dalil-dalil berikut. Dari
Ibnu ‘Umar bahwa nabi saw bersabda:
وَمَنْ
وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ
Barang siapa yang menyambung shaf maka Allah akan
menyambungnya dan siapa yang memotong/memutuskannya shaf maka Allah akan memotong/memutusnya
(HR Abu Dawud no. 666, an nasai, Ibnu Khuzaimah, dan al Hakim)
Sedangkan jika shaf belum penuh, sedangkan seseorang
menyendiri di belakang shaf maka shalatnya tidak sah dan harus mengulang
shalatnya, berdasarkan banyak hadist, diantaranya:
Dari wabishah bin Ma’bad:
أَنَّ
رَجُلاً صَلَّى خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه
وسلم- أَنْ يُعِيدَ الصَّلاَةَ
Bahwa seorang laki-laki shalat di belakang shaf
sendirian, lalu rasul saw memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya (HR
Tirmidzi no. 666, Ibnu Majah dan Ahmad)
2.
Seorang
laki-laki tidak boleh berduaan dengan wanita yang bukan mahromnya di tempat
khusus, meskipun hanya berkumpul (tanpa interaksi dan komunikasi), kecuali
wanita tersebut disertai dengan mahromnya. Hal ini berdasarkan Hadist:
لا
يخلونَّ رجل بامرأة إلا مع ذي محرم" أخرجه البخاري
Artinya: janganlah seoranga laki-laki berkhalwat dengan
perempuan kecuali perempuan tersebut disertai mahramnya (Hr Bukhari)
Sedangkan jika terjadi interaksi antara laki-laki dan
wanita di tempat umum maka perlu ditinjau jenis interaksi dan kondisinya. Jika
jenis interaksinya adalah yang haram maka interaksi tersebut adalah interaksi
yang haram. Jika interaksinya termasuk yang boleh seperti jual beli, maka
hukumnya boleh. Sedangkan kondisi yang dimaksud adalah jika terlihat
interaksinya sedemikian “intim” sehingga menyebabkan orang lain tidak dapat
“nimbrum” di dalamnya maka hal ini termasuk khalwat yang diharamkan. Hal ini
sesuai dengan definisi khalwat tersebut, yaitu:
الخلوة
هي أن يجتمع الرجل والمرأة في مكان لا يمكِّن أحداً من الدخول عليهما إلا بإذنهما،
كاجتماعهما في بيت، أو في خلاء بعيد عن الطريق والناس
khalwat adalah berkumpulnya seorang laki-laki dan seorang
wanita disuatu tempat yang tidak memberikan kemungkinan seorangpun untuk masuk
tempat itu kecuali dengan idzin kedua orang tadi, seperti misalnya berkumpul di
rumah, atau tempat yang sunyi yang jauh dari jalan dan orang-orang.
Berkenaan dengan pertanyaan antum maka perlu
didefinisikan dulu kategori tempatnya, jenis interaksinya, dan kondisinya.
3.
Hukum
naik taksi argo, hukumnya boleh karena
taksi termasuk tempat umum (karena siapapun boleh masuk tanpa ijin khusus) dan
jenis interaksinya boleh yaitu ijarah atas jasa transportasi.
4.
Redaksi
akad adalah ungkapan timbal balik yang menunjukan kesepakatan dua pihak. Dengan
kata lain, redaksi akad adalah redaksi
tekstual yang mengungkapkan keinginan kedua pihak yang berakad dalam
melangsungkan akad. Redaksi akad inilah yang disebut ijab-qabul. (Bisnis Islami
dan Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalis oleh Syaikh Yusuf as Sabatin hal.
38 ).
Secara lebih spesifik Syaikh Taqiyuddin an Nabhani
menyatakan:
ويُشترط
في البيع وجود الإيجاب والقبول بلفظ يدل على كل واحد منهما أو ما يقوم مقام اللفظ
كإشارة الأخرس. والكتابة تعتبر من اللفظ
Disyaratkan dalam jual beli terwujudnya ijab dan qabul
dengan redaksi yang menunjukan kesepakatan keduanya atau apapun yang setara
dengan redaksi tersebut seperti isyarat bagi orang bisu dan tulisan yang
dianggap (diakui) sebagai redaksi (lafadz).
Inilah definisi redaksi akad (shighah aqad).
Definisi syar’ir termasuk dalam hukum syar’ie yang kulli (hukum syar’I yang
dapat dijadikan landasan untuk menghukumi persoalan-persoalan cabang) (syaikh
Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Ma’lumat li asy-syabab hal. 1).
Maka jika kita memcermati redaksi “tukar-jual”. Dapat
kita simpulkan bahwa ini terkategori redaksi akad yang dapat difahami oleh
kedua pihak dan bentuknya lampau (madhi). Kesimpulannya sah jual beli
yang diakadkan dengan redaksi “tukar-jual”.
5.
Makan
dulu lalu bayar hukum jual belinya sah. Jika hal tersebut dilakukan dengan
saling ridha. Sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّمَا
الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
Jual beli itu tidak lain hanya dengan sama-sama ridha (HR
Ibnu Majah no. 2269 dari Abu Said al Khudri)
Selain itu kebiasaan ini adalah urf (adat) yang
tidak bertentang dengan syariat. Dimana pada akad tetap terjadi, meski setelah
mendapatkan manfaat dari barang yang dijual. Bahkan pada perkara yang kecil
boleh tidak ditentukan redaksi akad tertentu. Syaikh Yusuf as sabatin menyatakan:
ففي
الاشياء الصغيرة لا يشترط صيغة معينة والعرف هو الذي يحددها
Maka pada Sesuatu yang kecil maka tidak disyaratkan
redaksi tertentu dan ‘urflah yang menentukannya (al buyu’ a; qadimah al
mu’ashirah walburshat al mahaiyah wa ad duwaliyah hal. 42).
6.
Untuk
pertanyaan 6 dan 7. Jual beli yang demikian termasuk dalam jual beli inden (bai’u
as salam). Jual beli salam hukumnya boleh berdasarkan hadist Nabi:
من
أسلم فليسلم في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم أخرجه الستة
Siapa saja yang melakukan salam (pesanan) hendaklah dalam
takaran dan timbangan yang jelas hingga tempo yang jelas (HR Jama’ah/6 Imam)
Dan Hadist nabi:
من
اسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم الى اجل معلوم
Siapa saja yang melakukan salam (pesanan) hendaklah dalam
takaran dan timbangan yang jelas hingga tempo yang jelas (Hr. Bukhari dan
muslim).
Berdasarkan dua hadist diatas barang yang dibolehkan
disalam adalah barang yang dapat ditakar dan ditimbang dengan jelas serta dalam
batas tempo waktu yang jelas. Apakah pulsa termasuk barang yang dapat ditakar
dan ditimbang? Jawabnya jelas tidak. Namun menurut kami pulsa termasuk barang
yang dapat dihitung. Sedangkan salam pada barang yang dapat dihitung hukumnya
boleh berdasarkan ijma’shahabat. Ibnu Aufa ra berkata:
إِنَّا كُنَّا نُسْلِفُ عَلَى عَهْدِ
رَسُولِ اللَّهِ عَلَيْهِ السَّلاَم وَأَبِى بَكْرٍ، وَعُمَرَ فِى الْحِنْطَةِ، وَالشَّعِيرِ،
وَالزَّبِيبِ، وَالتَّمْرِ
Sesungguhnya kami melakukan salaf pada masa Rasulullah
saw, Abu Bakar dan Umar pada komoditi gandum, jewawut, kismis dan kurma. (HR.
Bukhari dalam Syarah Ibnu Bathal 11/382).
Syaikh Yusuf Sabatin menyatakan:
فهذا
يدل على ان السلم في الطعام جائز ، والطعام لا يخلو من كونه مكيلا او موزونا او
معدودا
Hadist ini menunjukan bahwa salam pada komoditi makanan
hukumnya boleh. Padahal makanan termasuk komoditi yang ditakar, ditimbang atau
dihitung. (al buyu’ al qadimah al
mu’ashirah wal burshat al mahaiyah wa ad duwaliyah hal. 53).
Perlu kami tambahkan tentang syarat salam
a.
Pada
barang yang dipesan disyaratkan 1) harus terdeskripsi dengan spesifik, 2) dapat
ditakar, ditimbang atau dihitung, 3) batas waktu penyerahan barang harus jelas
misalnya satu hari, satu minggu dst
b.
Pada
harga yang dibayar, disyaratkan: 1) harga harus jelas, 2) pembayaran harus
kontan dimajelis akad, 3) tidak ada ghadbun fahsyi (mark up harga
secara tidak wajar).
Maka agar akad pembelian pulsa tersebut termasuk salam,
maka harus ditetapkan misalnya “maksimal 24 jam pulsa akan masuk, jika tidak
maka uang bisa ditarik kembali”.
Wallahu
‘alam bi shawab
Yogyakarta,
13 Oktober 2010
Wahyudi
Abu Syamil Ramadhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar