Jumat, 04 Maret 2011
TANGGAPAN UNTUK SULTAN HAMENGUKUBUWONO X TENTANG AHMADIYAH DI YOGYAKARTA
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan (Ketua Lajnah Tsaqafiyah HTI DIY)
Penyataan Sultan yang dilansir di beberapa media baik lokal maupun nasional yang menyatakan tidak akan mengeluarkan Peraturan Gurbernur (pergub) tentang pelarangan Ahmadiyah di DIY dengan alasan warga Ahmadiyah yang ada di DIY masih menunjukan toleransi yang tinggi dan belum ada potensi konflik sebagaimana yang terjadi di daerah lain. Melalui risalah ini kami ingin menyampaikan beberapa argumentasi syar’ie dengan harapan agar sultan mengkaji ulang keputusannya tersebut.
Pernyataan bahwa warga ahamdiyah masih toleran terhadap warga lain, khususnya kaum muslimin di Yogyakarta adalah penyataan yang terlalu simplikatif. Alasannya karena sejak awal kemunculan Ahmadiyah adalah ‘virus’ yang ditanamkan oleh kafir penjajah khususnya Inggris di tubuh dunia Islam, tujuannya adalah untuk melanggengkan penjajahan di dunia Islam. Kenyataan ini diakui sendiri oleh pendiri ahmadiyah, yakni kafir laknatullah Ghulam Ahmad. Sebagai satu dari sekian banyak bukti, Ghulam Ahmad dalam buku Dhoruuratul Iman hal.23 dan risalah Tuhfah Qaishoriyah hal. 23, ia mengatakan, “aku bersyukur pada Allah yang telah menempatkanku di bawah naungan kasih sayang Inggris, yang berkat di bawah kekuasaannya aku sanggup berbuat dan memberi nasihat. Sudah seharusnya rakyat pemerintahan yang baik ini berterimakasih padanya. Khususnya diriku, saya menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pemerintahan Inggris...”. Ketika mengemis bantuan di depan raja India, Ghulam Ahmad juga mengatakan: “ Jumlah buku yang saya sebarkan mencapai 50.000 eksemplar. Saya sebarkan di setiap tempat: Mekah, Madinah, Konstantinopel, Syam, Mesir dan Afghanistan. Saya mempublikasikannya sebisa mungkin. Penyebaran buku-buku inipun menunjukan hasilnya. Terbukti ratusan ribu kaum muslimin yang dulunya meyakini jihad telah meninggalkan akidah najis ini yang dulunya tertanam kuat dalam hati mereka dan di ajarkan oleh ulama-ulama bodoh mereka. …”1
Selain itu Ahmadiyah mengklaim bahwa orang-orang di luar Ahmdiyah adalah kafir, tidak sah menjadi makmum dalam shalat dengan mereka, haram menikahkan wanita dari Ahmadiyah dengan laki-laki muslim, haram mensholatkan jenazahnya, dan seterusnya. Pada bagian ini kami hanya mengutip satu perkataan dari sekian banyak perkataan Ghulam Ahmad dan para khalifah gadungan Ahmadiyah yang menegaskan hal di atas. Ghulam Ahmad mengatakan: “Siapa yang tidak beriman kepadaku, berarti ia tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya.”2 Atas dasar ini pula Ahmadiyah menyatakan haram shalat dibelakang imam yang muslim, karena hakikatnya mereka adalah orang kafir. Nabi palsu Ghulam Ahmad menyatakan: “Inilah pendapatku yang sudah dikenal bahwa kalian tidak boleh shalat dibelakang non Qodiyaniyah, bagaimanapun, siapapun, meskipun orang menyanjung-nyanjungnya. Ini hukum Allah dan ini yang Allah kehendaki. Orang yang meragukan dan gamang (terhadap kenabian Ghulam Ahmad) termasuk kalangan orang-orang yang diadzab . Sedang Allah ingin memisahkan kalian dari mereka”. 3
Jika terkadang mereka shalat di masjid kaum muslimin dan bermakmum pada imam muslimin. Maka hakikatnya itu adalah tipu daya dan kebohongan yang mereka lakukan. Seorang anggota Ahmadiyah bertanya pada Khalifah I Ahmadiyah, yakni Nuruddin, apa yang harus dilakukan penganut Qadiyaniyah tentang shalat di belakang non-Qodiyaniyah? Khalifah gadungan ini menjawab: “Bila ia melihat ada maslahat dengan shalat di belakang non Qodiyaniyah, maka ia boleh melakukannya, kemudian mengulangi shalatnya”. 4 Kebohongan seperti ini adalah satu hal yang biasa mereka lakukan, jika Allah dan rasul-Nya saja mereka dengan begitu mudah mereka lecehkan, para sahabat yang mulia mereka bodoh-bodohkan, lebih-lebih kaum muslimin.
Melalui mulutnya yang busuk Ghulam Ahmad juga mengatakan: ”Jangan kalian merayakan pesta pernikahan bersama kaum muslimin, tidak pula pesta yang lainnya. Jangan mensholatkan jenazah mereka sebab kita tak memiliki hubungan apapun dengan mereka. Setelah semua hubungan terputus, kita tidak ambil peduli terhadap apa yang mereka alami. Lalu masihkah kita pantas mensholatkan orang-orang mati mereka?”.5 Bahkan nabi Qadiyaniyah ini tidak mensholatkan anak kandungnya lantaran ia tidak beriman pada dirinya, serta meninggal dalam keadaan Islam dan tidak murtad seperti saudara-saudaranya yang lain.6
Ahmadiyah juga dengan lancang telah membajak kitab suci kaum muslimin, al qur’an. Sebagai contoh dalam dalam tadzkirah disebutkan: “DialahTuhan yang mengutus rasul-Nya, Mirza Ghulam Ahmad, dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya atas semua agama (Tadzkirah,hal 621). Padahal dalam al qur’an termaktub:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dialah Tuhan yang mengutus rasul-Nya, dengan membawa petunjuk (al-qur’an) dan agama yang benar untuk diungulkan atas segala agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai (QS at Taubah: 33)
Demikianlah fakta Ahmadiyah. Bukankah ini bentuk sikap arogan dari seorang Ghulam Ahmad yang sudah barang tentu diikuti pula oleh pengikut-pengikutnya. Mereka menuduh kaum muslimin kafir, najis, kotor padahal sejatinya merekalah yang kafir, najis dan kotor. Persis seperti orang gila yang berteriak-teriak dan memaki dokter yang berupaya mengobatinya dengan makian bahwa dokter tersebut gila.
Sikap arogan dan lancang seperti ini jelas merupakan penodaan/penistaan terhadap agama Islam dan kaum muslimin. Wajar kiranya kaum muslimin yang benar akidahnya menuntut pembubaran Ahmadiyah bahkan hukuman mati adalah balasan yang pantas jika mereka tidak mau bertaubat dengan kembali kepada Islam. Terlebih pelarangan dan pembubaran Ahmdiyah telah memiliki payung hukum yang jelas, yakni Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama. Namun sayang di negeri ini pemerintahnya begitu lembek menyikapi Ahmadiyah, padahal desakan umat Islam sedemikian kuat untuk pelarangan hingga pembubaran Ahmadiyah.
Jika sultan memutuskan tidak melarang Ahmadiyah di Yogyakarta, maka Yogyakarta mungkin akan menjadi satu-satunya daerah di pulau jawa yang melakukan pembiaran aliran sesat seperti Ahmadiyah. Pasalnya, Jawa Barat dan Jawa Timur telah resmi melarang aktivitas Ahmadiyah, Jawa Tengah akan segera menyusul mengeluarkan Peraturan Gurbernur (Pergub) yang melarang Ahmadiyah, DKI Jakarta akan mengkaji untuk melarang Ahmadiyah. Sungguh ini adalah keputusan yang ironis. Di wilayah yang dipimpin oleh seorang sultan (Sulthon, penguasa kaum muslimin yang menerapkan syariat Islam, bahkan sultan pertama kesultanan Mataran bergelar Susuhunan Paku Buwono Senopati Ingalogo Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo), bahkan sultan HB X sendiri menyatakan saat dipanggil DPR RI bahwa ia adalah penguasa yang bertanggung jawab menjaga hablun minallah masyarakat Yogya yang disimbolkan dengan tugu Jogja di utara keraton dan menjaga hablun minannas yang disimbolkan dengan beteng Krapyak di sisi selatan (Kedaulatan Rakyat, Rabu 2 Maret 2011). Artinya sultan memiliki tanggung jawab untuk menjaga akidah umat Islam di Yogyakarta.
Perkara akidah adalah perkara terpenting dalam Islam. Meninggalnya seseorang karena terserang penyakit sementara ia masih mengemban akidah Islam jauh lebih ringan dibanding murtadnya seseorang dari kebenaran (Islam). Maka penguasa (terlebih sultan) memilki tanggung jawab yang besar untuk menjaga akidah rakyatnya. Karena seorang penguasa ibarat seoarang pengembala yang tidak akan membiarkan gembalaannya dimangsa srigala. Sebagaimana hadist dari Abdullah bin ‘Umar, Nabi saw bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Setiap kalian adalah pengembala (pemimpin), dan tiap-tiap dari kalian adalah penanggung jawab dari gembalaannya, pemimpin ibarat pengembala dan akan dimintai pertanggungjawabannya tentang gembalaannya (HR Bukhari no.893).
Ketauladanan seperti inilah yang dicontohkan oleh Nabi saw. Beliau tidak pernah membiarkan celah masuknya kesyikiran dan kekufuran merasuki tubuh kaum muslimin. Bahkan, saat dua orang utusan nabi palsu Musailamah al-kadzdzab membenarkan kenabian musailamah, Rasul saw menyatakan: “Kalau tidak karena utusan-utusan tidak boleh dibunuh, niscaya telah kupenggal leher kalian” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Meski rasul tidak sempat memerangi musailamah, tetapi penerus kekhilafahan beliau yakni Sayyidina Abu Bakar telah memerangi dan berhasil membunuh nabi paslu ini dalam perang Yamamah (Taariukh al-Khulafaa’ al-Hafidz al-Suyuthiy hal. 55-59). Demikianlah akidah umat Islam senantiasa dijaga oleh junnah (perisai;pelindung) mereka, hingga kafir penjajah berhasil merobohkan pelindung tersebut, yakni Khilafah Islamiyah pada 24 Maret 1924. Innalillahi wainna ilahiraaji’un. Wallahu ‘alam
Catatan: Sebagian kutipan dari risalah ini dikutip dari buku al-Qadiyaniyah: dirosat wa tahlil karya Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir
APAKAH WAHYU MASIH TURUN?
Di antara ocehan ngawur Ghulam Ahmad yang didukung kalangan liberal adalah bahwa wahyu masih turun. Bedanya Nabi palsu Ahmadiyah mengaku menerima wahyu dalam bentuk verbal,1 sedangkan kalangan liberal mengakui bahwa wahyu dalam bentuk verbal telah berhenti turun tetapi wahyu dalam bentuk ilham aqli masih terus turun hingga hari kiamat. Benarkah anggapan tersebut?. Risalah singkat ini memcoba menjawab pemikiran sesat dan ngawur tersebut.
Diantara penyebab kesesatan pikir kalangan liberal adalah menurut mereka penerima wahyu tidak hanya menjadi monopoli para nabi dan rasul. Alasannya al qur’an telah menggunakan kata “auha” untuk objek yang beragam, seperti ibu nabi Musa as, lebah dsb. Benarkan klaim ini?.
Inilah bukti kebodohan kalangan liberal atau mungkin pura-pura bodoh sehingga akhirnya Allah benar-benar menjadikan mereka diselimuti kebodohan. Siapapun yang mempelajari ilmu bahasa, tidak terkecuali bahasa Indonesia tentu dengan mudah dia akan mengerti bahwa ada kata-kata tertentu yang memiliki banyak makna dan makna tersebut digunakan sesuai dengan konteksnya dalam kalimat. Sebagai contoh kata “bunga”. Kata bunga dalam kalimat “Bunga-bunga di taman ini begitu indah” tentu berbeda dengan kalimat “ karena lulus ujian maka hatinya berbunga-bunga” demikian pula kalimat ”ia meminjam uang dengan bunga 10 %” dan seterusnya. Demikian pula dalam bahasa arab juga mengenal perbedaan makna pada satu kata tertentu yang disebut makna musytarak. Kata “auha” atau “mewahyukan” termasuk makna musytarak atau satu kata banyak arti yang tentu harus dimaknai sesuai dengan kontek kalimatnya.
Al wahyu merupakan mashdar, yang berarti isyarat yang cepat dan rahasia. Dikatakan “auhaitu ila fulan” artinya aku telah mewahyukan kepada si fulan” adalah jika aku berbicara secara secara cepat dan rahasia. Dan kata “auha” berarti memberi isyarat, dan “auha Allahu ilaihi” berarti “alhamahu (mengilhamkan kepadanya).
Kata “auha” banyak digunakan dalam al-qur’an dengan makna yang beragam tersebut, yaitu:
1. Bermakna ilham yang bersifat fitri pada manusia, diantaranya firman Allah:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari para rasul. (QS. Al-Qashosh [28]: 7)
2. Bermakna ilham yang bersifat gharizi dari hewan. Sebagaimana firman Allah:
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia", (QS. An Nahl [16]: 68)
3. Bermakna bisikan jahat yang berasal dari manusia kepada manusia lain, atau dari jin kepada setan kemudian kepada manusia. Sebgaimana firman Allah:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan (QS. Al an’am [6]: 112)
4. Bermakna mengisyaratkan, makna ini terdapat dalam surah Maryam yang menceritakan tentang nabi Zakaria as:
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا
Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang (QS. Maryam [19]: 11).
Makna “auha” pada ayat di atas diartikan dengan “isyarat” sebagaimana penjelasan ar-Razi karena Nabi Zakaria tidak bisa bercakap-cakap dalam tiga hari sebagai tanda bahwa istrinya sedang mengandung, sebagaimana Allah jelaskan:
قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِي آَيَةً قَالَ آَيَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا رَمْزًا وَاذْكُرْ رَبَّكَ كَثِيرًا وَسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ
Berkata Zakariya: "Berilah aku suatu tanda (bahwa isteriku telah mengandung)". Allah berfirman: "Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari". (QS. Ali ‘Imron [3]: 41)
5. Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa suatu perintah untuk dikerjakan. Allah berfirman:
إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آَمَنُوا
(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman". (QS. Al anfal[8]: 12)
Demikianlah bahwa kata “auha” memiliki banyak makna sesuai dengan konteks kalimatnya. Hanya saja kata “wahyu” memiliki makna syar’ie (etimologi) yang bersifat spesifik. Ulama sepakat bahwa wahyu adalah kalamullah yang diturunkan kepada para nabi. Di antara sekian definisi wahyu yang terbaik menurut Syaikh Dr. Muhammad Ali Hasan dalam Al-manar fi ulumil qur’an hal 23 adalah definisi yang diriwayatkan oleh az-Zuhri ketika dia ditanya tentang wahyu, maka ia berkata:
الوحي ما يوحى إلى نبي من الأنبياء فيثبته فيقلبه فيتكلم به ويكتبه وهوكلام الله
Wahyu adalah apa yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada para Nabi, dan menetapkannya dalam kalbunya sehingga beliau mengucapkannya dan menuliskannya sebagai kalamullah (al itqan fi ulumil qur’an li imam as-suyuthi 1/49)
Wahyu berbeda dengan ilham. Ilham adalah intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal ini serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih, dan senang (al Wahyu al-Muhammadiy oleh Syaikh Rasyid Ridha hal 44). Demikian pula akal bukanlah wahyu. Karena akal adalah proses interpretasi objek yang terindra berdasarkan informasi sebelumnya yang ada pada otak melalui proses pengindraan oleh panca indra (Nizhom al Islam karya Syaikh Taqiyuddin an Nabahani hal. 42)
Berdasarkan definisi wahyu ini jelaslah bahwa wahyu hanya diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul. Wahyu tidak turun pada sahabat nabi sebagaimana anggapan Zafrullah Ahmad Pontoh, Jubir Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), atau kepada akal-akal sesat kalangan liberal, lebih-lebih turun kepada Nabi palsu Ahmadiyah, Ghulam Ahmad. Berdasarkan definisi ini pula dapat disimpulkan bahwa wahyu telah berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa kenabian setelah wafatnya Nabi saw. Karena telah qath’I (pasti) bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para Nabi. Sebagaimana Firman Allah dalam surah al ahzab [33] ayat 40 dan hadist mutawatir yang menegaskannya.
Adapun argumen jubir JAI, Pontoh saat diskusi di TV one beberapa waktu lalu bahwa para sahabat telah mendapatkan wahyu saat mereka berbeda pendapat tentang cara memandikan rasul saw. Apakah dengan pakaiannya ataukah tanpa pakaian. Hingga datanglah seseorang yang tidak dikenal menyampaikan tata cara memandikan Nabi saw, secara lengkap hadist tersebut adalah sbb:
فَلَمَّا اخْتَلَفُوا أَلْقَى اللَّهُ عَلَيْهِمْ النَّوْمَ حَتَّى مَا مِنْهُمْ مِنْ أَحَدٍ إلَّا وَذَقَنُهُ فِي صَدْرِهِ ثُمَّ كَلَّمَهُمْ مُكَلِّمٌ مِنْ نَاحِيَةِ الْبَيْتِ لَا يَدْرُونَ مَنْ هُوَ اغْسِلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ ثِيَابُهُ فَغَسَّلُوهُ وَعَلَيْهِ قَمِيصُهُ يَصُبُّونَ الْمَاءَ فَوْقَ الْقَمِيصِ وَيُدَلِّكُونَهُ بِالْقَمِيصِ دُونَ أَيْدِيهِمْ "
Ketika mereka (para shahabat) berbeda pendapat tentang cara memandikan Rasulullah, tiba-tiba Allah membuat mereka tertidur hingga dagu mereka berada di dada mereka. Setelah itu, seseorang dari pojok rumah, mereka tidak mengenal siapa dia, dia berkata: mandikanlah rasulullah saw tanpa melepas pakaian beliau. Kemudian para shahabat memandikan beliau dengan pakaiannya, menyiramkan air di atas gamisnya dan mengosok beliau dengan mengosok pakaiannya (HR. Ahmad dan Abu Dawud dihasankan oleh Syaikh al Al bani, lihat pula di Sirah Ibnu Hisyam 2/662).
Tanggapan kami:
1. Hadist ini adalah hadist ahad yang kualitasnya hasan menurut al Albani. Padahal menurut jumhur ulama hadist ahad tidak dapat dijadikan dalil dalam aqidah, lebih-lebihn pendapat ngawur dari Pontoh ini bertentangan 180 derajat dengan dalil-dali yang qath’I yang menegasakan bahwa wahyu telah berakhir dengan wafatnya Nabi saw.
2. Hadist ini tidak menunjukan sama sekali bahwa sahabat menerima wahyu. Ulama tidak pernah menggunakan hadist ini dalam kitab-kitab mereka dalam pembahasan akidah, yaitu bahwa wahyu telah turun pada sahabat. Mereka hanya menjadikan dalil ini dalam bab-bab fikih tentang tata cara memandikan nabi saw sekaligus menunjukan kemuliaan beliau. Jadi sebuah kelancangan menjadikan dalil ini bahwa wahyu masih turun.
Wallahu ‘alambi shawab.
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan (Ketua Lajnah Tsaqafiyah HTI Yogyakarta)
Langganan:
Postingan (Atom)