Senin, 28 Februari 2011
Apa hukumnya berwudhu di dalamWC ustadz (Hendra AMBH, Banjarmasin)
Hukum berwudhu di dalam wc terkait dengan beberapa hal berikut:
1. Hukum berdzikir (menyebut nama Allah) di dalam wc
2. Hukum membaca basmalah sebelum berwudhu
Mengenai hukum berdzikir (menyebut nama Allah) di dalam wc seperti menjawab adzan dan mengucap hamdalah saat bersin, maka telah terdapat khilaf (perbedaan pendapat) dalam hal ini. Ada pendapat yang menyatakan makruh, ini merupakan pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Pendapat ini juga disandarkan Ibnu ‘abbas ra. Sementara ada yang berpendapat boleh, pendapat ini merupakan pendapat Imam Malik, madzhab Malikiyah dan dikuatkan oleh imam Qurthubi. Pendapat ini juga disandarkan pada ‘Abdullah bin ‘umar, an Nakha’I dan Ibnu siriin (Ahkamu ath-thaharah 2/77-78 oleh Abu ‘Umar dibyan bin Abi Dibyan).
Pendapat yang yang dirajihkan menurut penulis kitab ahkamu ath-thaharah adalah pendapat yang menyatakan makruhnya menyebut nama Allah di dalam wc. Diantara dalil yang menguatkan adalah bahwa nabi saw meminta perlindungan kepada ALLAH saat akan memasuki wc. Sebagaimana yang diriwayatakan dari ‘Abdul aziz bin suhaib dia berkata, aku mendengar Anas berkata bahwa Nabi saw jika akan masuk wc beliau berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari gangguan jin laki-laki dan jin perempuan (HR. Bukhari no 142)
Dalam redaksi lain disebutkan:
وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ
Said bin zaid berkata abdul aziz menceritakan kepada kami jika rasul hendak memasuki wc.
Dalil lain, hadist dari Nafi’ bin umar:
أَنَّ رَجُلاً مَرَّ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَبُولُ فَسَلَّمَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ
Bahwasanya seorang laki-laki melewati nabi saw, beliau sedang buang air kecil, kemudian laki-laki tersebut mengucapkan salam, tetapi nabi tidak menjawabnya (Hr Muslim no. 849)
Hukum asal menjawab salam adalah fardhu ‘ain. Pada peristiwa di atas beliau tidak menjawab salam karena sedang buang air kecil, tentu buang air di dalam wc, meski wc pada masa nabi tidak permanen seperti masa sekarang.
Selain itu, tidak membaca nama-nama Allah di tempat yang kotor semacam wc adalah sesuatu pemuliaan dan pengagunggan nama-nama Allah.
Mengenai persoalan kedua, yaitu hukum membaca basmalah sebelum berwudhu ulama juga khilaf dengan beberapa pendapat, yaitu: sunnah (madzhab Hanifiyah, Syafi’iyyah dan Ahmad), keutamaan wudhu (pendapat ulama malikiyah), mubah (pendapat madzhab malikiyah), makruh (ini adalah pendapat yang rajih dari madzhab imam Malik), wajib (pendapat ulama mutaakhirin dari mazdhab hanabilah) (lihat Ahkamu ath-thaharah 1/141-142 oleh Abu ‘Umar dibyan bin Abi Dibyan).
Pendapat yang rajih adalah bahwa membaca basmalah saat memulai wudhu hukumnya sunnah (jami’ li ahkami ash-shalah 1/ 301, Ahkamu ath-thaharah 1/144). Diantara dalilnya adalah, dari Abu Hurairah nabi saw bersabda:
لا صلاة لمن لا وضوء له، ولا وضوء لمن لم يذكر اسم الله عليه
Tidak sah shalat tanpa wudhu, tidak sah wudhu bagi siapa saja yang tidak menyebut nama Allah atasnya (HR. Ahmad,Abu Dawud, Ibnu Majjah dan tirmidzi).
Meskipun dalam beberapa riwayat hadist di atas dan yang semakna statusnya dhaif, akan tetapi jika hadist-hadist dikumpulkan akan saling menguatkan, sehingga dapat dijadikan dalil. Pada hadist di atas terdapat khabar akan tidak sahnya wudhu yang tidak disebut nama Allah (basmalah) didalamnya. Hanya saja terdapat pula dalil berupa hadist shahih yang menunjukan bahwa sah wudhu tanpa diawali basmalah, yaitu hadist Abdullah bin Zaid, Utsman dan Ibnu abbas (Ahkamu ath-thaharah 1/144).
Ringkasnya dalam pembahasan ini terdapat pertentangan antara mengamalkan sunnahnya membaca basmalah dengan makruhnya membaca asma Allah di dalam WC. Maka menyikapi pertentangan ini yang harus dilakukan adalah mendahulukan meninggalkan larangan yakni makruhnya membaca asma Allah di dalam wc. Karena mewujudkan perintah disesuaikan dengan kemampuan, sedangkan meninggalkan larangan tidak ada tawar menawar, sebagaimana dijelaskan dalam hadist dari abu Hurairah, Nabi saw bersabda:
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَىْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Jika aku larang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah ia, dan jika aka perinthkan kalian maka penuhilah darinya semampu kalian (HR.Bukhari dan Muslim,redaksi dari Bukhari no. 7288).
Lebih aman lagi jika membaca basmalahnya cukup di dalam hati. Karena ulama sepakat akan bolehnya menyebut nama Allah di dalam wc. (Ahkamu ath-thaharah 2/78).
Kesimpulannya boleh berwudhu di dalam wc jika tidak disertai menyebut nama Allah atau membacanya hanya di dalam hati. Demikian pula jika seseorang berwudhu di dalam wc dengan membaca basamalah, maka sah wudhunya, hanya saja dia dianggap telah melakukan kemakruhan, tentu hal ini tentu sebaiknya ditinggalkan. Wallahu ‘alam bishawab
Yogyakarta, Ahad, 27 Februari 2011
Abu Syamil Ramadhan
Sabtu, 19 Februari 2011
Tafsir Surah al anfal 65-66
Assalamu ‘alaikum
Mohon dijelaskan tafsir surah al anfal ayat 65-66. Mengapa perbandingan pada ayat 65 dengan 66 berbeda? Apa yang dimaksud dengan “kelemahan” pada ayat 66. (Hendra, Banjarmasin)
Jawab
Memang benar bahwa Allah SWT telah memberikan perbandingan antara kaum mukminin dengan orang-orang kafir dalam peperangan dengan perbandingan yang berbeda. Sebagaimana firman Allah:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ (65) الْآَنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (66)
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. alAnfal [8]: 65-66)
Pada kedua ayat di atas terdapat perbandingan yang berbeda. Pada ayat 65 Allah menyatakan perbandingan antara kaum mukminin yang sabar dengan orang-orang kafir adalah 1: 10 sedangkan pada ayat 65 perbandingannya adalah 1: 2. Dengan kata lain Allah menurunkan beban perbandingan kaum mukminin dengan orang-orang kafir. Awalnya, setiang orang yang beriman dituntut untuk menghadapi 20 orang kafir, selanjutnya Allah menurunkan tuntutan, yaitu setiap orang yang beriman menghadapi 2 orang kafir. Menurut mayoritas mufassirin menyatakan bahwa ayat 66 menasakh (menghapus) ayat 65. (tafsir al qur’anil ‘adzim I ibni katsir 4/87, ruhul ma’ani fi tafsiril qur’anil adzim 7/ 131 ).
Mengapa Allah memberikan keringanan kepada kaum mukminin? Jawabnya adalah karena kesulitan yang dialami oleh kaum muslimin saat Allah mewajibkan setiap mereka menghadapi 20 orang kafir dalam peperangan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Katsir dengan mengutip pendapat Imam Ibnu ‘Abbas (tafsir al qur’anil ‘adzim I ibni katsir 4/87). Dengan kata lain Allah mengetahui kelemahan yang dialami kaum mukminin, sebagaimana yang dinyatakan Allah “ Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan”.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang dimaksud “kelemahan” pada ayat 66 di atas? Sebagian ulama tafsir menjelaskan bahwa maksud kelemahan dalam ayat di atas adalah semakin lemahnya fisik dan semakin tuanya kaum mukmin atau kondisi yang semisal dengan keduanya, bisa juga mereka lemah karena lemahnya pandangan dan keistiqamahan mereka (Ruhul ma’ani fi tafsiril qur’anil adzim 7/ 131. Sebagian mufassirin yang lain menyatakan lemahnya mereka disebabkan semakin banyaknya jumlah kaum muslimin pada saat itu. (Ruhul ma’ani fi tafsiril qur’anil adzim 7/ 131, at tafsir al munir fil aqidah wal syari’ah wal manhaj 10/59 ).
Hal ini diperkuat dengan firman Allah dalam surah at taubah ayat: 25
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai. (QS: at Taubah [9]: 25)
Ayat ini turun pada saat kaum muslimin hampir mengalami kekalahan dalam perang Hunain. Padahal jumlah mereka saat itu mencapai 12.000 pasukan (10.000 pasukan yang baru menaklukan kota Makkah, ditambah 2000 pasukan dari suku Quraisy yang baru masuk Islam).
Demikianlah kita mesti mengambil pelajaran dari setiap kejadian. Bahwa kemenangan tidak semata ditentukan oleh banyaknya jumlah. Tetapi juga mesti menjadi perhatian kita keimanan kita, keberserahan diri kita kepada Allah dan memastikan setiap amal kita sesuai dengan yang diminta oleh Allah SWT. Demikian pula dalam perjuangan menegakkan hukum-hukum Allah dalam bingkai khilafah. Kita mesti senantiasa menjaga keimanan kita, memaksimalkan setiap usaha disertai dengan tawakkal kepada Allah. Karena tegaknya khilafah adalah nashrullah (pertolongan Allah), sementara pertolongan Allah hanya akan turun kepada hamba-hambanya yang layak mendapatkan pertolongan. Allah berfirman:
كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS: al Baqarah [2]: 249)
Wallahu ‘alam
Yogyakarta, 13 Rabi’ul awwal 1432 H/ 16 Februari 2011
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan
Rabu, 09 Februari 2011
TANGGAPAN SYAB HIZBUT TAHRIR UNTUK SEORANG IKHWAH
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على خاتم الأنبياء والمرسلين، سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Kepada akhi XY dan kaum muslimin seluruhnya
Pertama saya merasa bersyukur dapat membaca risalah dari antum. Saya berharap semoga aktivitas ini menjadi amal shalih di sisi Allah SWT baik bagi saya maupun antum, karena nasihat menasihati adalah salah satu identitas utama seorang muslim yang mendapat jaminan keselamatan dari Allah SWT bagi siapapun yang istiqamah mewujudkannya (QS al ‘Ashr [103]: 1-3). Demikian pula mohon pandang tanggapan saya ini sebagai upaya untuk menjelaskan realitas yang sesungguhnya tentang Hizbut Tahrir (HT), agar menjadi terang yang samar, menjadi jelas yang kabur dan hilang syubhat serta prasangka.
Sebelum masuk pada penjelasan secara terperinci, saya ingin sampaikan salah satu akhlak seorang muslim yaitu semestinya ia senantiasa melakukan tabayyun (cek dan ricek) dan tidak menelan mentah-mentah apapun yang berkenaan dengan aib saudaranya. Akhlak inilah yang harus senantiasa dijaga saat memberikan komentar/penilaian /tanggapan terhadap saudaranya termasuk sebuah jama’ah/harakah. Karena ketika kita salah dalam memberikan penilaian terhadap sebuah jama’ah/harakah maka tidak menutup kemungkinan akan terjatuh pada prasangka buruk bahkan fitnah. Padahal keduanya adalah aktivitas yang dimurkai Allah dan Rasul-Nya.
Berdasarkan hal ini maka sudah semestinya akh XY mengkaji terlebih dahulu pemikiran-pemikiran yang secara resmi diadopsi oleh HT.1 Terlebih pemikiran dan pandangan HT telah dibukukan dalam kitab-kitab mutabannat (yang diadopsi) dan dapat diakses dengan mudah. Sehingga akh XY tidak begitu saja menerima pandangan yang menyatakan bahwa HT menyimpang baik dalam aspek akidah maupun fikih.
Berikut saya kutip pernyataan antum:
Menurut Hushain bin Muhammad bin Ali Jabir. MA, penerj. Annur Rafiq Shaleh Tamhid Lc, dalam bukunya “Menuju Jama’atul Muslimin”, Jakarta, Robbani Press, cetakan tahun 2005 dan satu lagi buku (saya lupa judulnya), di situ disebutkan tentang akidah Hizbut Tahrir yang menyimpang dari akidah kaum muslimin. Apalagi di bidang fiqih, HT benar-benar telah mengambil fatwa yang jelas-jelas bertentangan dengan Jumhur para Ulama seperti dibolehkannya melihat aurat wanita yang bukan muhrim dan masih banyak lagi fatwa-fatwa berbahaya dari Hizbut Tahrir. Dari dua segi ini saja, bidang akidah dan fiqih, HT benar-benar telah keluar dari kesepakatan kaum muslimin. Lantas, bagaimana mungkin umat Islam akan menyerahkan kepemimpinan ini kepada Anda, yang secara akidah telah menodai akidah kaum muslimin? Maka tidaklah heran, Nahdlatul Ulama meninjau secara akidah dan fiqih HT telah keluar dari ijma’ Ahlus sunnah wal Jamaah. Lihat buku “Ahlussunnah wal Jamaah” yang diterbitkan oleh Syahamah Press.
Bagaimana mungkin akh XY mengutip satu buku yang dalam buku tersebut semua gerakan dikritik tidak terkecuali gerakan akh XY . Bagaimana mungkin antum mengutip buku tersebut untuk mengkritik HT sedang antum tutup mata dari kenyataan bahwa penulis buku tersebut juga mengkritik jama’ah antum. Yang lebih prinsip lagi adalah saya ingin akh XY menunjukan konsep akidah yang mana dari HT yang dianggap menyimpang?. Ijma ahlu sunnah mana yang diselisi oleh HT?. Dalam kitab HT yang mana yang secara jelas menyatakan bahwa HT membolehkan melihat aurat wanita yang bukan mahrom (bukan muhrim)?2 .
Tanggapan Pertama
HT adalah partai politik yang beridiologi Islam. HT hadir untuk memenuhi seruan Allah SWT:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Hendaklah ada di antara kalian sebuah jamaah yang menyerukan pada kebajikan/Islam secara keseluruhan menyuruh kepada yang Ma'ruf dan mencegah dari yang Mungkar” (Ali ‘Imran: 104)
“Wal-takun” berarti : “hendaknya ada”. Kalimat pertama (و) / wawu menunjukkan adanya perintah. Ada 3 tipe wawu dalam Ushul fiqih yang mengindikasikan ‘ilm al-qara’in. Sedang wawu di atas diketahui sebagai wawu ataf (penghubung). Sebabnya ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya “…dan berpegang teguhlah di bawah tali (agama) Allah dan jangan berpecah belah…”(Q.S 3:103). Huruf ‘wawu’ menunjukkan hukum yang sama, nilai/beban hukumnya sama dengan yang pertama. Dan karena ayat itu di alamatkan pada jama’ah, dan diikuti perintah untuk bersatu, ini menunjukkan wajibnya membentuk suatu jama’ah karena perintahnya adalah wajib.
Kata ‘min’ (diantara kamu), menekankan kedudukan anjuran itu, karena mengindikasikan agar dikerjakan kapanpun diminta dan dimanapun berada.
Shighta Amr (yang menggunakan fi’il mudhari’ dengan menggunakan lam amar) : “waltakun minkum umat’’. Ayat ini merupakan perintah kepada sesuatu yang diwajibkan, sehingga ia merupakan qorinah (indikasi) bahwa perintah tersenut adalah wajib. Sedangkan lafadz “minkum umat’’ barati jama’ah diantara kalian, sementara seluruh kaum muslimin adalah satu jama’ah (sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dengan firman-Nya) : ‘’kuntum khoiru umat’’, maka ini menujukkan bahwa jama’ah yang merupakan jama’ah umat ini adalah jama’ah tertentu.
Makna ‘umat’ dalam bahasa Arab :
“Kelompok, walidah/ibu, lelaki sholeh, kumpulan binatang sejenis, sinonim generasi, tauhid, waktu, lelaki tinggi, wajah tampan, hal/situasi (Q.S 43:22), Al-Shain/peduli (16:92), hai’ah/bentuk (16:92), Ad-Din (21:92), Al-Hin/waktu (12:45), komunitas muslim sedunia (masyarakat yang diikat bersama dalam satu keyakinan ) (Q.S 2:43), jama’ah (28:23),taat.
Kata ‘umat’ biasanya berarti seluruh kaum muslimin. Sedangkan makna umat dalam ayat ini secara lebih spesifik menurut para Ulama tafsir adalah sbb :
a- Imam Al-Qurthubi memberikan definisi ( أمة ) dalam tafsir ‘Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an’, sebagai sekumpulan orang yang terikat dalam satu aqidah. Tetapi Q.S 3:104 ini juga bermakna kelompok karena adanya lafadz “minkum” (diantara kalian). Dalam bahasa Arab kata “minkum” tak bisa dipakai kecuali semuanya dinyatakan terlebih dahulu. ”Kalian semua” disebutkan ayat sebelumnya :”Berpegang teguhlah (kalian semua) …”, maka ayat ini pengganti semua/minkum pada kelanjutan ayat berikutnya. Sehingga makna umat dalam ayat-ayat ini tidak selalu sama.
b- Imam Abu Bakar Ibnu Al-‘Arabi dalam bukunya Ahkamul Qur’an : “Sesungguhnya umat di sini berarti jama’ah/kelompok.”
c- Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim menyatakan :
“Wal takum minkum umat : muntashabatun lil qiyamu bi amrillahi fid da’wati ilal khoiri wal amri bil ma’rufi wa nahyi ‘anil mungkari……”
“Ayat ini berarti (haruslah ada dari umat satu kelompok) yang diangkat untuk melaksanakan perintah Allah untuk berdakwah untuk Islam, menyeru yang ma’ruf dan mencegah yang munkar”. Dan Al-Dahhaq berkata :” mereka adalah sekelompok para sahabat dan dari ulama lain, berarti sekelompok orang dari para mujahidin dan ulama”.
d- Dan Ibnu Hatim meriwayatkan dari seorang Tabi’in bernama Mukatil Ibnu Hayyan bahwa maksud dari ayat ‘’hendaknya ada ……’’ :
Akhraja Ibn Abi Ahtim ‘an Muqatil Ibn Hayyan fi qaulihi (Wal takum minkum umat) Liyakuna minkum qaumun ya’ni wahidan aw itsnaini aw tsalatsah nafarin
‘’Hendaknya ada diantara kalian , sekelompok kaum yaitu satu, dua dan tiga kelompok ……… ‘’.
e- Kitab Fath Al-Qadir (jilid 1, hal 370) Imam Syaukani dan Imam Al-Kiyya Al-Haras (w. 504 H) dalam Kitab Ahkam Al-Qur’an (jilid 2, hal 62) dalam komentarnya : “Hendaknya ada … al khair …”, berarti fardlu kifayah untuk membentuk kelompok itu.
f- Al-Qadhi Al-Baydhawi dalam kitabnya Al-Tanzil wa Asrar Al-Tawil, tentang arti ayat ini : ” Min, di sini ditujukan pada kelompok tertentu, karena dakwah pada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dengan kondisi dan syarat tertentu tidak mungkin dilakukanseluruh kaum muslimin, seperti kewajibanmemahami syari’at dan caranya. Ini adalah sebab mengapa Allah SWT menujukan pada setiap muslim di awal ayat dan memerintahkan dari antara mereka sebagiannya. Jadi ada batas kewajiban ini, jika ditinggalkan maka seluruh kaum muslimin berdosa, tapi jika telah ada satu jama’ah yang memenuhi seruan itu akan diringankan dosa itu”.
g- Imam Ath-Thabari, seorang faqih dalam dalam tafsir dan fiqh , berkata dalam kitabnya Jami’ Al-bayan, tentang arti ayat itu yakni : ‘’ (Wal takun minkum) Ayuhal mu’minun (ummatun) jama’atun ‘’.
Artinya : “Hendaknya ada diantaramu (wahai orang-orang beriman) umat) yaitu jama’ah yang mengajak pada hukum-hukum Islam(”.
h- Diriwayatkan dari kitab Jami’ Al-Bayan (jilid 3, bab 4, hal 26) bahwa Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jurair At-Tabari kembali (W. 310 H) berkata : “…, ini berarti seruan pada Islam dan ajarannya (sistem), yang diturunkan kepada manusia dan perintah-Nya untuk mengikuti agama yang dibawa Muhammad sebagai utusan-Nya dan perintah nahi mungkar, memerangi kekufuran dan penyimpangan atau penolakan pada agama Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW.
h- Imam Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar “arti kata umat di sini adalah sekelompok orang yang terjadi atas individu yang bersatu dalam satu ikatan bagaikan satu tubuh dalam bertindak”.
Dalam kenyataannya harus diakui bahwa setiap jama’ah/organisasi/partai meski sama-sama mengacu pada al qur’an dan sunnah (termasuk didalamnya sirah nabawiyah3), akan tetapi dalam memahami al-qur’an, al-hadist terkadang terdapat perbedaan pemahaman. Hasilnya setiap jama’ah ini memiliki fikroh dan thariqah (metode) yang berbeda. Hal ini adalah satu hal yang wajar dalam Islam, karena perbedaan (khilaf) semacam ini tidak hanya masa sekarang. Sejak jaman rasul saja para sahabat dalam beberapa kesempatan juga telah terjadi perbedaan pendapat.
Selama pemikiran dan metode gerakan tersebut digali dari dalil-dalil yang layak dijadikan hujjah (al qur’an, as sunnah, ijma’ shahabat dan qiyas syar’iyyah) dan melalui metode penggalian hukum (istinbathul ahkam) yang benar maka jadilah itu sebuah pendapat yang Islami. Rasul bersabda :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
Jika seorang hakim menetapkan hukum lalu ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya benar maka baginya dua pahala, sedangkan jika salah maka baginya satu pahala (HR. Bukhari Muslim, redaksi Bukhari no. 7352)
Tanggapan kedua
Mengenai pernyataan akh XY yang menyatakan bahwa “Iman dan Amal Sholeh inilah yang seharusnya menjadi fokus dan agenda besar Hizbut Tahrir jika benar-benar mendambakan kekhilafahan tersebut datang secara riil kepada organisasi ini”. Maka kami ingin sampaikan bahwa tujuan HT adalah melanjutkan kehidupan Islam (isti’naful hayatil Islamiyah). Melanjutkan kehidupan Islam artinya melanjutkan kehidupan seperti yang telah dibangun oleh Rasulullah saw. Dengan kata lain mewujudkan masyarakat Islam yang benar keimanannya, luhur akhlaknya dan taat pada syariat Allah dengan menerapkan hukum-hukum Allah secara total. Bahkan HT meyakini penerapan syariat Islam merupakan konsekuensi keimanan kepada Allah. Sebagaimana Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al ahzab [33]: 36)
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An Nisaa` : 65)
Maka HT tidak pernah memilah-milah syariat mana yang harus diterapkan. Karena Allah memang Allah memerintahkan kita untuk masuk ke dalam Islam secara totalitas (kaffah). Maka HT tidak hanya menyerukan penerapan peradilan Islam sebagaimana HT juga menyerukan kepada umat untuk senantiasa menjaga amalan-amalan sunnah, HT menyerukan sistem ekonomi Islam sebagaima juga menyerukan untuk sabar menghadai ujian, berbaik sangka terhadap qadha Allah, HT menyerukan sistem pemerintahan Islam sebagaimana HT juga menyerukan agar kaum muslimin berakhlak Islami. Seruan-seruan HT tersebut dapat dilihat dalam kitab-kitabnya, ceramah, khutbah dan selebaran-selebaran. Misalnya, antum dapat merujuk pada kitab resmi HT yang berjudul min miqawwimat an-nafsiyatil Islamiyah yang banyak membahas tentang akhlak-akhlak Islami seorang muslim, demikian pula dalam salah satu bab dari kitab yang pertama kali dikaji di HT yaitu kitab an-nizhamul Islam terdapat satu bab khusus mengenai akhlak yang berjudul ahlaq fil Islam.
Hanya saja satu hal yang mesti dipahami bahwa penerapan Islam secara total yang merupakan konsekuensi keimanan tersebut tidak mungkin dapat terwujud secara total tanpa adanya khilafah. Khilafahlah institusi pelaksana syariat, institusi penjaga akidah umat dan institusi yang akan menyebarkan dakwah Islam keseluruh alam. Atas dasar inilah maka ulama tidak pernah memisahkan kekuasaan (Khilafah) dengan Islam itu sendiri. Hujjatul Islam Imam Al Ghazali bahkan menyebutnya sebagai dua saudara kembar. Satu sama lain saling menjaga dan tidak dapat dipisahkan.
الدين والسلطان توأمان... الدين أس والسلطان حارس وما لا أس له فمهدوم وما لا حارس له فضائع
“Agama dan kekuasaan bagaikan saudara kembar… Agama adalah asas dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tak ada asasnya akan hancur, dan apa saja yang tak ada penjaganya akan lenyap.” (Imam Ghazali, Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad, hal. 76)
Maka tidak layak seorang muslim memandang kekuasaan (khilafah) sebagai satu hal yang terpisah dengan agama. Atas dasar ini maka khilafah adalah institusi yang secara praktis menjaga iman penduduknya yang muslim, pelaksana syariah dan penebar dakwah keseluruh alam. Sirah nabawiyah mengajarkan kepada kita bahwa sejak berdirinya daulah madinah di kota Madinah ayat-ayat hukum turun secara beragsur-angsur. Pada saat itu pula kaum muslmin menerapkannya secara langsung dan totalitas. Akidah mereka terjaga karena tidak ada yang mengintimidasi dan menakuti-nakuti mereka. Berbagai suku masuk Islam dengan berbondong-bondong. Atas keutamaan khilafah inilah maka ulama dari beragam mazhab sepakat akan wajibnya khilafah4:
اتفق جميع أهل السنة ، وجميع المرجئة ، وجميع الشيعة ، وجميع الخوارج على وجوب الإمامة
“Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah…” (Ibn Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, 4/78)
اتفق الأئمة رحمهم الله تعالى على أن الإمامة فرض و انه لا بد للمسلمين من إمام يقيم شعائر الدين و ينصف المظلومين من الظا لمين
“Para imam [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad] rahimahumullah telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu…” (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, 5/416)
Atas dasar inilah maka para shahabat lebih menyibukan diri untuk menentukan pengganti rasul sebagai kepala negara daripada mengurus jenazah manusia paling mulia yaitu Nabi Muhammad saw. Imam Ibn Hajar Haitami menyatakan:
اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب ، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله
“Ketahuilah juga bahwa para sahabat telah berijma’ bahwa mengangkat Imam setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya kewajiban paling penting karena mereka menyibukkan diri dengannya dengan menunda penguburan Rasulullah.” (Imam Ibn Hajar Haitami, Ash Shawaiqul Muhriqah, h. 7)
Atas dasar inilah maka para ulama menyatakan bahwa khilafah adalah induk segala kebaikan (ummul khairat). Bahkan mereka menyatakan bahwa memperjuangkan khilafah adalah termasuk seutama-utama pendekatan diri kepada Allah.
فالواجب اتخاذ الإمارة ديناً وقربة يتقرب بها إلى الله ؛ فإن التقرب إليه فيها بطاعته وطاعة رسوله من أفضل القربات
Wajib hukumnya menjadikan imarah (pemerintahan Islam) untuk urusan keduniaan sekaligus pendekatan yang dengannya menjadi sarana pendekatan diri kepada Allah, karena pendekatan diri kepada Allah (pada pemerintahan Islam) dengan taat kepada Allah, kepada rasul-Nya termasuk seutama-utama pendekatan. (Imam Ibnu Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar'iyyah, hal. 161)
Atas dasar inilah maka HT merumuskan tujuannya adalah isti’naful hayatil Islamiyah bi iqamatil khilafah (melanjutkan kehidupan Islam dengan menegakkan khilafah Islamiyah). Sehingga perlu kami tegaskan bahwa khilafah bukanlah tujuan perjuangan HT. Khilafah adalah metode yang akan menghantarkan pada tujuan, yaitu terwujudnya kehidupan Islam.
Kami setuju, bahkan meyakini dengan keyakinan yang pasti bahwa khilafah adalah janji Allah (wa’dullah) dan kabar gembira dari rasul-Nya (bisyarah rasulullah). Kami juga setuju bahwa janji Allah tersebut berlaku bagi orang-orang yang beriman dan melakukan amal shalih. Untuk mewujudkan iman dan amal shalih ini HT juga telah menetapkan metode geraknya (thariqah) dakwah sebagaimana yang akan kami sampaikan nanti. Bahkan kami memahami bahwa perjuangan menegakan khilafah bagian dari mewujudkan amal shalih tersebut, karena perjuangan menegakannya adalah diantara pendekatan diri kepada Allah yang utama.
Dalam konteks inilah HT tidak hanya berpangku tangan menunggu datangnya janji dan kabar gembira tersebut tetapi berdakwah siang-malam untuk menyongsongnya.5 Sebuah kesalahan pandangan jika kita hanya menunggu dan menunggu, karena khilafah adalah sesuatu yang otomatis datang. Padahal, ketika kita meyakini bahwa ar-rizqu biyadillah (rizki berada di tangan Allah), bukankah kita tetap diperintahkan bekerja sebagai bentuk ibadah, demikian pula ketika kami meyakini bahwa khilafah adalah janji Allah6 dan kabar gembira dari rasulullah7. Bukan berarti kita dibolehkan berdiam diri dari upaya untuk menyongsong datangnya janji dan kabar gembira tersebut. Para shahabat ridwanullah ‘alaihim telah memberikan ketauladan yang terbaik mengenai hal ini. Pada saat Rasulullah menyampaikan kabar gembira akan dibebaskanya wilayah timur (Persia) dan barat (Romawi) maka mereka bekerja siang dan malam untuk mewujudkan kabar gembira tersebut. Demikian pula ketika rasul mengabarkan bahwa konstantinopel akan dibebaskan dan sebaik-baik pasukan serta pemimpin adalah yang membebaskan konstantinopel, 8 atas dasar keimanan akan terwujudnya kabar gembira tersebut mereka mencurahkan seluruh daya dan upaya untuk mewujudkannya. Perlu waktu lebih 800 tahun hingga tercapainya kabar gembira tersebut. Hal ini menunjukan bahwa keyakinan akan janji Allah SWT dan bisyarah rasulullah tidak berarti menunggu saja hingga janji tersebut terwujud. Akan tetapi diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dan istiqamah untuk mewujudkannya. Usaha tersebutlah yang akan dicatat oleh Allah SWT sebagai amal shalih.
Pelajaran lain adalah bahwa rasulullah dan para sahabat senantiasa merancang aktivitas/agenda yang diduga secara rasional akan menghantarkan tercapainya tujuan tersebut. Saksikanlah betapa rasul harus menginap selama beberapa malam di gua tsur untuk memastikan tidak ada pengejaran dari Quraisy dan Beliau menempuh jalan yang tidak biasa ditempuh manusia pada saat hijrah ke kota madinah. Padahal beliau orang yang paling benar keyakinannya akan janji Allah, bahwa Allah akan menjaga nabi-Nya, orang -orang yang beriman dan orang-orang menolong agama Allah. Saksikanlah bahwa bahwa rasul menyiapkan pasukan dan persenjataan terbaik yang bisa diupuyakan oleh kaum muslimin misalnya parit yang panjang dan dalam ketika berkecamuk perang ahzab/khandaq, manjanik (pelontar; cikal bakal meriam) dan dabbabah (pendobrak/cikal bakal tank) untuk mencapai kemenanan dalam beragam pertempuran, padahal mereka adalah orang-orang yang benar dan lurus keimanannya kepada Allah. Atas dasar inilah maka merencanakan dan mengupayakan aktivitas yang diduga kuat akan menghantarkan pada target dan tujuan adalah sebuah kemestian. Aktivitas seperti ini sesungguhnya sesuai dengan sunnatullah, yaitu hukum sebab-akibat (kaidah as sababiyah).
Kesimpulannya jika kita ingin mewujudkan janji Allah SWT dan kabar gembira dari rasul-Nya mestilah kita megupayakan amal-amal (aktivitas) yang secara rasional dapat menghantarkan pada terwujudnya janji Allah SWT tersebut. Bahkan, Langkah-langkah yang rasional seperti ini merupakan bentuk mentauladani Rasulullah, sehingga semua aktivitas ini merupakan amal shalih yang akan dinilai pahala. Jika kita tidak pernah merencanakan aktivitas untuk mewujudkan janji Allah tersebut dengan tepat dan benar maka justru hal tersebut tidak disebut mentauladani Rasulullah saw. Atas dasar inilah maka membentuk jama’ah yang berupaya melanjutkan kehidupan Islam dalam bingkai khilafah, bergabung dengan jama’ah tersebut, melakukan aktivitas politik seperti menasihati penguasa (muhasabatul hukkam)9 agar mereka mengatur urusan umat hanya dengan Islam, membongkar makar jahat negara kafir penjajah, menjelaskan bobroknya sistem yang ada, menjelaskan penting dan urgennya khilafah kepada umat, menjelaskan struktur khilafah, sistem ekonomi Islam, sistem pendidikan Islam, sistem keuangan, sistem peradilan dan seterus kepada umat adalah diantara langkah rasional untuk memberikan penyadaran kepada umat. Ibarat ingin membangun rumah maka tentu kita harus menyiapkan hal-hal yang diperlukan untuk membangun rumah tersebut. Mulai dari sket, menyiapkan bahan dan seterusnya. Bagaimana mungkin rumah akan terbangun sementara sket yang kita buat adalah sket lemari, alat dan bahan yang disiapkan juga untuk membuat lemari. Dengan kata lain bagaimana mungkin umat akan mendukung tegaknya khilafah jika kata khilafah saja mereka asing, struktur khilafah mereka belum paham, sistem peradilan, pendidikan, ekonomi dan seterusnya mereka tidak mengerti. Dalam kontek inilah mestinya jama’ah Islam berperan untuk menjelaskan kepada umat tentang gambaran Islam secara utuh.
Sekali lagi aktivitas dakwah politik yang menghantarkan pada terwujudnya kehidupan Islam dalam bingkai khilafah adalah sebuah ibadah. Sebuah kekeliruan bagi siapa saja yang beranggapan bahwa Rasul pada fase dakwah mekkah hanya menyerukan dakwah tauhid dan tidak melakukan aktivitas politik. Aktivitas beliau mencari pertolongan dakwah kepada suku-suku di sekitar makkah adalah aktivitas politik. Beliau senantiasa melakukan aktivitas mencari dukungan dakwah (thalabun nushrah) meskipun ditolak, dicaci maki, dilempari dengan batu dan sebagainya. Hingga akhirnya dukungan dakwah datang dari suku Aus dan Khajraj. Dari suku Aus dan Khajraj inilah terjadi baitul aqabah I dan II.10 Sementara baitul aqabah II merupakan kontrak politik (baiat) rasul sebagai kepala negara Khilafah. Artinya sejak awal rasul telah melakukan dakwah politik sekaligus dakwah tauhid. Karena rasul paham betul bahwa Islam yang diemban beliau hanya akan tegak secara sempurna dengan institusi politik yaitu negara.
Atas dasar inilah maka kami percaya bahwa aktivitas politik yaitu mengurusi urusan kaum muslimin dengan hukum-hukum Islam11 adalah aktivitas yang mulia yang dicontohkan oleh Nabi saw. HT juga memahami juga memahami bahwa aktivitas ini bukanlah tanpa resiko. Justru mungkin resiko terberat.12 Tetapi sebagai konsekuensi keimanan, kami tetap menemuh jalan ini.
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al Baqarah [2]: 214)
Tanggapan ketiga
Mengenai pernyataan antum bahwa jama’ah tempat antum berkiprah adalah sebuah bentuk kekhilafahan Islam yang paling nyata dan sangat transparan. Maka perlu didudukan persoalan ini dengan mengkaji definisi dan realitas khilafah berdasarkan pendapat para ulama. Berikut saya kutipkan pendapat beberapa ulama mengenai definisi imamah/khilafah. Imam Nasafi menyatakan:
نيابة عن الرسول عليه السلام في إقامة الدين بحيث يجب على كافة الأمم الإتباع الإمامة
Imamah/khilafah adalah pengganti dari Rasulullah dalam menegakkan agama yang wajib atas seluruh umat untuk mentaatinya (Imam An Nasafi, Aqaid An-Nasafiyah, h. 179)
الإمامة رياسة تامة ، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا
Imamah/khilafah adalah kepemimpinan menyeluruh dan kepemimpinan yang berkaitan dg urusan khusus dan umum dalam kepentingan agama dan dunia (Imam Al Haramain Al Juwaini, Ghiyatsul Umam, h. 15)
Serupa dengan definisi di atas HT merumuskan definisi khilafah sebagai berikut:
الخلافة هي رئاسة عامة للمسلمين جميعا في الدنيا لإقامة أحكام الشرعي الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم
“Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh umat Islam di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukmi fil al-Islam, hal. 34)
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka khilafah adalah kepemimpinan bagi seluruh kaum muslimin, apapun mazhab dan gerakannya. Sedangkan aktivitas utamanya adalah penerapan hukum-hukum Islam dalam seluruh aspek (bukan hanya akhlak dan ibadah) serta mengemban dakwah keseluruh alam. Maka bagaimana mungkin sebuah gerakan sebanyak apapun anggotanya dan lintas Negara dapat disebut sebagai sebuah Negara khilafah?
Khilafah adalah kekuasaan yang riil yang terdiri dari wilayah. Penguasaan wilayah tersebut secara independen. Bagaimana mungkin kita bisa mengklaim telah berdiri sebuah Negara khilafah di wilayah-wilayah yang notabene penguasa yang riil masih eksis. Bahkan tidak jarang wilayah-wilayah tersebut keamanaannya masih dikendalikan oleh penguasa sekuler yang menjadi boneka Amerika Serikat. Jika khilafah telah berdiri maka dimanakah khalifah saat jutaan kaum muslimin di bantai di Irak dan Afghanisatan, dimana khalifah dan pasukannya saat Ghaza diblokade oleh Israel. Atas dasar inilah maka HT merumuskan bahwa kekhilafahan akan sah terwujud jika memenuhi 4 syarat13 , yaitu:
1. Kekuasaan negeri itu merupakan kekuasaan yang hakiki (bersifat independen, peny.), yang hanya bersandar kepada kaum Muslim saja, dan tidak bersandar pada suatu Negara kafir atau suatu kekuasaan kafir manapun.
2. Keamanan kaum Muslim di negeri itu adalah kemanan Islam, bukan keamanan kufur. Artinya, perlindungan negeri itu, baik keamanan dalam negeri maupun luar negerinya, merupakan perlindungan Islam, yakni berasal dari kekuatan kaum Muslim—yang dipandang sebagai kekuatan Islam—saja.
3. Negeri itu mengawali secara langsung penerapan Islam secara total, revolusioner (sekaligus), dan menyeluruh, serta langsung mengemban dakwah Islamiyah.
4. Khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat-syarat in‘iqâd kekhilafahan meskipun tidak memenuhi syarat afdhaliyah, karena yang wajib adalah syarat in‘iqâd.
Tanggapan keempat
Mengenai persangkaan bahwa HT akan memaksakan penerapan syariat Islam setelah merebut kekuasaan, maka kami akan menyampikan metode dakwah HT yang menurut pandangan kami telah mengacu pada metode dakwah Nabi saw, yaitu sbb :
1.Fase pembinaan (marhalah tastqiif)
2.Fase interaksi dengan masyarakat (marhalah tafa’ul ma’al ummah)
3.Fase penerimaan kekuasaan (marhalah istilamul hukmi)
Fase pertama, didasari pada af’al rasul yang membina kader dakwah secara intensif di rumah Arqam bin abil arqam. Target fase ini adalah terbentuknya sejumlah kader dakwah yang memiliki kepribadian Islam yang siap dan layak terjun ke medan dakwah. Untuk menwujudkan tujuan tersebut maka HT membina kadernya dengan tsaqafah Islam yang diadopsi HT.
Fase kedua, yakni interaksi dengan umat. Tujuan fase ini adalah membentuk kesadaran umum tentang wajibnya kembali kepada Islam (baik aqidah dan syariah). Sehingga kecintaan umat hanya pada Islam, mereka ridha jika hidup mereka diatur dengan Islam sekaligus menolak penerapan hukum selain Islam. Sehingga pada akhirnya umat akan menerima syariat Islam, bahkan mereka akan menjadi subjek yang menuntut penerapan syariat Islam. HT menyadari sepenuhnya bahwa HT bukan apa-apa tanpa dukungan dari umat. Untuk mewujudkan tujuan inilah HT melakukan banyak aktivitas seperti pengajian di kampung hingga kampus, seminar, diskusi publik, mengisi kajian aqiqahan, pengajianpernikahan, program peduli merapi, masirah, menyebarkan buletin dakwah, menerbitkan media dakwah dan sebagainya. Semua kegiatan ini disesuaikan dengan objek dakwah. Termasuk salah satu yang temasuk dalam kegiatan pada fase ini adalah yang telah antum hadiri yaitu Forum Intelektual Muslim. Ringkasnya khilafah yang insyaAllah akan segera tegak dengan ijin Allah adalah khilafah yang mendapat dukungan dari umat. Karena kita tidak ingin khilafah yang akan berdiri hanya berdiri seumur jagung, setelah itu dilenyapkan.
Fase ketiga, penerimaan kekuasaan adalah sebuah aktivitas yang alami pada saat fase kedua berjalan dengan mulus. Dan jangan dibayangkan bahwa pada fase ketiga ini akan terjadi pertumpahan darah, penjarahan, perusakan fasilitas publik dan aktivitas kekerasan lain sebagaimana yang diadopsi idiologi sosialisme dengan konsep revolusi dan konsep people powernya. HT sepenuhnya mengadopsi metode Rasul SAW dalam mewujudkan fase ini yaitu thalabun nushrah, yaitu dukungan dakwah dan penyerahan kekuasaan yang diberikan oleh ahlul quwwah wal mana’ah (kelompok yang memiliki kekuatan dan perlindungan). Persis seperti yang terjadi pada saat rasul meminta baiat dari 75 perwakilan suku Aus dan Khajraj pada bai’at aqabah II.
Adapun jika khilafah telah berdiri, kemudian khalifah menuntut agar penduduk/warga daulah untuk taat pada aturan Islam. Maka pertanyaannya adalah : adakah yang salah jika khalifah menuntut ketaatan warga daulah pada Islam? Bukankan Khalifah dibai’at memang untuk tujuan menerapkan al-qur’an dan sunnah ? bukankah kewajiban umat adalah taat pada ulil amri, selama ulil amri tersebut mengajak taat pada Allah dan rasul-Nya, Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa [4] : 59)
bukankah di negara manapun, negara senantiasa menuntut warganya untuk taat pada aturan negara?. Sebagai contoh, bukankah kita dipaksa untuk membayar pajak padahal pajak adalah sesuatu yang diharamkan Islam. Pernahkah negara mentoleransi kita untuk tidak membayar pajak lantaran kita adalah aktivis Islam.
Sehingga persoalan mendasar yang semestinya kita lakukan adalah mengkondisikan kesiapan umat untuk menerapkan syariah. Tidak hanya dalam hal ibadah mahdhah, tapi dalam seluruh aspek. Dengan kata lain harus ada sosialisasi dan edukasi hingga umat menerima syariat dengan penuh kesadaran. Fungsi sosialisasi dan edukasi inilah yang semestinya dilakukan oleh seluruh gerakan Islam, tentu dengan proses penyadaran yang benar, yaitu dengan menjelaskan Islam secara utuh (tidak hanya ibadah mahdah).
Alhamdulillah atas perjuangan beragam gerakan Islam, umat saat ini sudah semakin sadar akan bobroknya sistem selain Islam (Nasionalisme, demokrasi, Kapitalisme, dsb). Sekaligus umat sudah semakin paham akan pentingnya syariah dan khilafah. Ini terbukti dari beberapa hasil survey, diantaranya survey yang dilakukan PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 2003 lalu yang mendapati 74% responden menghendaki syariah. Demikian pula SEM Institute, sebuah lembaga riset nasional, telah melakukan riset pada bulan Maret–April tahun 2010 dengan 1220 responden di 31 kota di Indonesia. Hasilnya mayoritas responden (74%) setuju atas penerapan syariah, dan bahkan 80% dari mereka berpendapat bahwa syariah adalah satu-satunya solusi bagi persoalan bangsa. Mayoritas responden (83%) juga setuju atas penegakan Khilafah, dan 65% dari mereka yakin bahwa Khilafah mampu mempersatukan umat Islam seluruh dunia dan menghilangkan kezaliman.
Penelitian terbaru dilakukan oleh Setara Institute14 me-launching hasil survey opini publik seputar toleransi sosial masyarakat perkotaan. Survey dilakukan pada bulan Oktober – November tahun 2010 lalu di 5 kota: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Sampel survey diambil dari 1200 responden yang dipilih secara acak sistematik (systematic sampling) dengan kerangka sampel Kartu Keluarga.
Dari hasil survey ternyata dukungan terhadap syariah dan Khilafah cukup besar. Berkaitan dengan syariah, misalnya, memang terdapat (50,2%) responden menolak gagasan pemberlakuan syariah Islam sebagai dasar hukum di Indonesia. Namun, kelompok yang mendukung pemberlakuan syariah Islam tidak bisa dianggap remeh. Sebanyak 35,3% responden menyatakan setuju syariah Islam dijadikan dasar penyelenggaraan negara dan 14,4% sisanya menjawab tidak tahu.
Yang paling menarik, ternyata 34,6% warga Jabodetabek menyatakan setuju terhadap sistem Khilafah, 16,2% menyatakan tidak tahu, dan sisanya sebanyak 49,2% menolak. Sekalipun jumlah yang setuju dan tidak setuju dengan sistem Khilafah terpaut cukup signifikan, temuan survey ini, menurut penyelenggaranya, membuktikan bahwa gagasan khilafah telah diterima oleh sebagian masyarakat.
Berdasarkan fakta-fakta di atas maka tidak tepat kiranya anggapan yang menyatakan bahwa ide syariah dan khilafah belum membumi. Padahal kenyataannya belum semua elemen umat Islam bersinergi untuk menyuarakannya. Bayangkan seandainya elemen umat Islam khususnya gerakan Islam (NU,Muhammadiyah, PERSIS, JT, IM, HT, dsb) semuanya bersinergi untuk menyuarakan tujuan yang mulia ini maka insyaAllah janji Allah dan bisyarah rasul-Nya tentu akan segera terwujud. InsyaALLAH bi idznillah.
Khatimah
Alhamdulillah risalah singkat ini telah selesai dengan ijin dan pertolongan Allah. Semoga dapat menjadi sarana tabayyun dan terjalinnya shilah ukhuwah. Yang terpenting adalah kita semua bersinergi dengan tafahhum dan ta’awun untuk izzul Islam wal muslimin. Umat menunggu kiprah kita masing-masing, bahkan mungkin dengan segmentasi masing-masing. Semoga pada akhirnya kita semua bertemu pada satu titik pertemuan, yaitu wujudnya kehidupan Islam di bawah naungan khilafah. Percayalah akh, HT tidak memiliki tendensi keduniaan dalam perjuangan ini. Jika esok Khilafah berdiri maka itu adalah khilafah kita semua. Itu adalah kemenangan kita bersama, kemenangan kaum muslimin semuanya. Wallahu ‘alam bi shawab.
وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ (4) بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ (5)
Dan di hari (kemenangan) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, Karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendakiNya. Dan Dialah Maha Perkasa lagi Penyayang. (QS. Ar –rum [30] : 4- 5)
Tulisan ini dimodifIkasi dari naskah aslinya. Penggunaan inisial adalah satu hal yang disengaja agar tetap menjaga kerahasiaan. Semoga tulisan ini semakin mengokohkan shilah ukhuwah antar jama’ah dakwah islam. Allahumma allif baina qulubina. Amin ya rabbal ‘alamin.
Akhukum fillah, Wahyudi Abu Syamil Ramadhan
Apakah khalifah berhak mendapatkan gaji?
Seorang khalifah tidak berhak mendapatkan gaji. Akan tetapi khalifah berhak mendapatkan tunjangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Dalilnya adalah bahwa Sayyidina Abu Bakar dan ‘Umar bin Khaththab telah mengambil hak harta tersebut dari baitul mal. Ibnu Sa’ad telah meriwayatkan satu riwayat dalam at-thabaqat, dari ‘Atha bin saaib: ketika Abu Bakar telah terpilih sebagai khalifah, pada pagi hari beliau pergi ke pasar dengan membawa sejumlah pakaian untuk dijual. Umar bin Khththab dan Abu Ubaidah ibnul Jarrah bertemu dengannya (Abu Bakar). Kemudian Umar bertanya:hendak kemana anda wahai khalifah Rasulullah? Abu Bakar menjawab: ke pasar. Umar dan Abu ‘Ubaidah kemudian bertanya: mengapa anda lakukan hal tersebut padahal anda bertanggungjawab terhadap urusan kaum muslimin? Abu bakar kemudian menjawab: lantas, dengan apa aku memberi nafkah untuk keluargaku? Umar dan Abu ‘Ubaidah kemudian menjawab: pergilah hingga kami mendapatkan sesuatu untuk anda. Abu bakar kemudian bergi bersama keduanya. kemudian Kaum muslimin memberi Abu Bakar setiap hari separo kambing dan pakaian.
Menceritakan kepada saya 'Urwah bin Az Zubair bahwa 'Aisyah Radliallahu 'anha berkata:
لَمَّا اسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ قَالَ لَقَدْ عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لَمْ تَكُنْ تَعْجِزُ عَنْ مَئُونَةِ أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أَبِي بَكْرٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ
Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq diangkat menjadi khalifah ia berkata: "Kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku mencari nafkah tidak akan melemahkan urusanku terhadap keluargaku, sementara aku juga disibukkan dengan urusan kaum muslimin. Maka keluarga Abu Bakar akan makan dari harta yang aku usahakan ini sedangkan dia juga bersungguh-sungguh bekerja untuk urusan Kaum Muslimin (HR. Bukhari no.1928)
Dari Abdullah bin Zubair dari ‘Alibin Abi thalib, ia berkata:
يَا ابْنَ زُرَيْرٍ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحِلُّ لِلْخَلِيفَةِ مِنْ مَالِ اللَّهِ إِلَّا قَصْعَتَانِ قَصْعَةٌ يَأْكُلُهَا هُوَ وَأَهْلُهُ وَقَصْعَةٌ يَضَعُهَا بَيْنَ يَدَيْ النَّاسِ
"Wahai Ibnu Zubair, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak dihalalkan bagi seorang khalifah dari harta Allah kecuali hanya dua piring, satu piring untuk dia makan bersama keluarganya dan satu piring lagi diberikan kepada orang lain.(HR. Ahmad no. 545)
Berdasarkan beberapa dalil di atas jelaslah bahwa seorang khalifah boleh mengambil tunjangan tertentu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tanpa berlebihan ataupun sebaliknya terlalu sedikit. Tunjangan berbeda dengan gaji. Gaji adalah kompensasi yang didapatkan seseorang karena melakukan suatu pekerjaan, misalnya pada akad ijarah (kontrak jasa), wakalah dsb. Seorang khalifah bukanlah ajir yang bekerja dengan akad ijarah sebagaimana yang diadopsi oleh system demokrasi. Ujroh (upah) dalam akad ijarah adalah sesuatu yang telah diketahui dan disepakati pada saat terjadinya akad. Sedangkan pada dalil-dalil di atas jelas bahwa khalifah Abu Bakar tidak pernah menyepakati upah tertentu atas aktivitas pelayanannya terhadap umat.
Berapakah besaran tunjangan yang diterima Khalifah
Abdullah ad dumaiji pengarang kitab Imamatul ‘udzma ‘inda ahli sunnah wal jama’ah menyatakan: “ Hanya saja ia (khalifah) mesti takut kepada Allah dalam hal ini yaitu dia hanya boleh mengambil tunjangan sekedar mencukupi kebutuhan-kebutuhannya saja tanpa berlebihan (boros) ataupun terlalu sedikit”. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi di atas:
Dari Abdullah bin Zubair dari ‘Alibin Abi thalib, ia berkata:
يَا ابْنَ زُرَيْرٍ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحِلُّ لِلْخَلِيفَةِ مِنْ مَالِ اللَّهِ إِلَّا قَصْعَتَانِ قَصْعَةٌ يَأْكُلُهَا هُوَ وَأَهْلُهُ وَقَصْعَةٌ يَضَعُهَا بَيْنَ يَدَيْ النَّاسِ
"Wahai Ibnu Zubair, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak dihalalkan bagi seorang khalifah dari harta Allah kecuali hanya dua piring, satu piring untuk dia makan bersama keluarganya dan satu piring lagi diberikan kepada orang lain.(HR. Ahmad no. 545).
Perilaku seperti inilah yang ditempuh para khalifah kaum muslimin, Abu Bakar dan Umar bin Khaththab senantiasa hidup dalam kesederhanaan hingga akhir hayat keduanya. Jauh berbeda dengan perilaku para pemimpin produk system kapitalis. Mereka menjadikan kekuasaan untuk memperkaya diri. Sungguh ironis, di saat rakyat hidup dalam beban hidup yang sedemikian berat. Saat harga-harga barang meroket naik, pendidikan menjadi barang mahal, pekerjaan menjadi sesuatu yang langka dan sederet masalah lainnya, maka pantaskah seorang presiden mengeluh bahwa gajinya selama sekian tahun tidak pernah naik. Padahal ia telah mendapatkan gaji lebih 60-an juta/bulan, tunjangan rumah, keamanan, transportasi dengan kualitas nomor wahid yang menghabiskan uang rakyat ratusan milyar setiap tahunnya.
Sungguh hanya dengan system Islam saja akan terwujud kepala Negara dan pejabat Negara yang memiliki hati nurani, pelayan rakyat yang ikhlas bekerja siang dan malam untuk rakyatnya meski dengan pendapatan yang secukupnya, karena ia memahami kepemimpinan adalah amanah. Jika amanah tersebut ia jalankan dengan baik yakni dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah maka ia berhak menyandang predikat imamun ‘aadilun (pemimpin yang adil), padahal balasan pemimpin yang adil diantaranya adalah mendapatkan naungan dari Allah SWT di hari kiamat saat tidak ada naungan kecuali dari Allah SWT (Hadist Mutafaq ‘alaih)
Wallahu ‘alam
Yogyakarta, 28 Januari 2011
Abu Syamil Ramadhan
Langganan:
Postingan (Atom)