MENGISI KEMERDEKAAN DENGAN PERJUANGAN
PENEGAKAN SYARIAH DAN KHILAFAH[1]
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan[2]
Pendahuluan:
Tinjauan Historis
"Utusan
tersebut tidak untuk mengadakan diskusi tentang persoalannya. Hanya
menyampaikan satu peringatan. Titik! Tak perlu bicara lagi. Terserah apakah
pesan itu diterima atau tidak. Asal tahu apa konsekuensinya. Itu berupa
ultimatum. Ultimatum, bukan saja terhadap warga negara yang beragama Islam di
Indonesia. Tetapi pada hakikatnya terhadap Republik Indonesia sendiri yang baru
berumur 24 jam itu. Hari 17 Agustus adalah Hari Proklamasi hari raya kita. Hari
Raya 18 Agustus adalah hari ultimatum dari umat Kristen Indonesia bagian timur.
Kedua-dua peristiwa itu adalah peristiwa sejarah. Kalau yang pertama kita
rayakan, yang kedua sekurang-kurangnya jangan dilupakan. Menyambut hari
Proklamasi 17 Agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus kita
beristighfar. Insyaallah, umat Islam tidak akan lupa."
Pernyataan
di atas adalah ucapan M. Natsir, menyikapi ancaman pemisahan diri umat
kristaiani di belahan Indoensia timur. Diceritakan, datanglah seorang utusan
dari Indonesia bagian timur melalui opsir Tentara Jepang yang waktu itu masih
berwenang di Jakarta. Utusan tersebut
menyampaikan pesan kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Opsir Jepang itu mengaku
membawa pesan dari umat Kristen di Indonesia bagian timur. Isi pesan itu pendek
saja, "Ada tujuh kata yang tercantum dalam Mukaddimah UUD 1945 yang harus
dicabut. Kalau tidak, Umat Kristen di Indonesia sebelah timur tidak akan turut
serta dalam negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan. Tujuh kata
yang harus dicoret itu adalah dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
seluruh pemeluk-pemeluknya."
Padahal piagam Jakarta adalah hasil kompromi
antara pihak Islam di satu pihak dengan pihak Nasionalis-sekular dan Kristen di
pihak yang lain. Kalangan Islam yang diwakili K.H.
Abdoel Wachid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyoso, H. Agoes Salim, Abdoel Kahar
Moezakkir yang menginginkan agar Negara yang akan berdiri
berlandaskan syariat Islam bagi seluruh penduduknya. Namun cita-cita luhur ini
mendapatkan penentangan dari pihak nasionalis sekular yang diwakili Ir. Soekarno sebagai
ketua, Dr. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Yamin, Mr. Achmad Subardjo yang
berkolaborasi dengan pihak Kristen yang diwakili oleh Mr. A.A. Maramis. [3]
Gentlement
agreement yang sangat luhur dan disepakati
pada tanggal 22 Juni 1945 kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta
Charter). Kesepakatan jantan yang merupakan hasil kompromi inipun ternyata
akhirnya ditelikung hanya oleh seorang perwakilan Indonesia timur yang masih
belum jelas asal usulnya. Ane, begitu mudahnya kesepakatan yang melalui diskusi
dan perdebatan yang panjang harus berubah hanya ultimatum seorang yang belum
jelas kontribusinya untuk bangsa dan negara ini. Akhirnya tujuh kata dalam
Piagam Jakarta dihapuskan. Inilah awal pengkhianatan atas perjuangan umat
Islam, pengkianatan atas perjuangan Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Cut
Nyak Dien, Kiai Mojo, dan seluruh kaum muslimin yang paling banyak mengalirkan
darah, harta, dan air mata untuk kemerdekaan bangsa ini. Inipula awal
malapetaka dan kesengsaraan yang harus dipikul bangsa ini.
Demikianlah,
bangsa ini pernah menjadi Bangsa yang secara konstitusional menerapkan Syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya, meskipun hanya satu hari. Dan hari-hari
selanjutnya mulai 18 Agustus 1945 hingga hari ini 15 Agustus 2010 bangsa ini
tidak pernah lagi menerapkan syariat Islam. Rezim datang dan pergi silih
berganti. Tapi syariat tak kunjung diterapkan.
Di era Soekarno, melalui Dekrit 5 Juli ’59 Bung
Karno menindaklanjuti dengan langkah-langkah politik; Membubarkan Konstituante,
membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dan menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur
pembentukan kabinet. Lalu terbentuklah Kabinet Gotong Royong dan melibatkan PKI
dalam Kabinet. Kemudian membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR-GR) disusul berbagai langkah politik yang repressif. Pancasila diperas
menjadi Tri Sila, dari Tri Sila diperas menjadi Eka Sila: Gotong Royong dan
Poros Nasakom. Lalu digelorakanlah jargon: Nasakom jiwaku, hancurkan kepala
batu! Jadilah negeri ini menerapkan sistem demokrasi terpimpin ala Soekarno. Di
era Orba Soeharto meneruskan dengan jargon Demokrasi Pancasila. Akan tetapi
karena pancasila adalah visi kenegaraan yang tidak memiliki sistem yang
komprehensif, akhirnya ruang kosong ini diisi oleh sistem dari Idiologi
Kapitalime. Selanjutnya, Rezim ORBA tumbang dan berganti dengan era reformasi. Tapi ternyata yang berubah hanya rezimnya
sementara sistem kapitalisme masih kokoh bahkan semakin liberal.
Akibatnya, Negara ini semakin terpuruk. Dalam konteks
akidah kita masih menyaksikan maraknya aliran sesat dan kristenisasi, dalam
konteks ekonomi kemelaratan terjadi dimana-mana, BUMN semakin banyak yang
dilego kepada asing, dalam konteks sosial-budaya telah terjadi degradasi moral
yang sangat mengkhawatirkan, dalam bidang perundang undangan kita tidak tunduk
kepada yang berhak mengatur manusia, tapi malah menyerahkannya ada wakil-wakil
rakyat yang kerjaannya 4 D dan 4 B, tidak jarang bahkan perundangan kita adalah
pesanan dari pihak asing.
Kemerdekaan Hakiki
Jadi sudahkah kita merdeka? Secara fisik
mungkin sudah. Atas kemerdekaan fisik ini kita patut bersyukur kepada Allah
SWT. Karena hanya berkat rahmat-Nyalah kita bisa merdeka. Tapi bila menilik
pada cita-cita pendiri bangsa ini. Nyatalah perjuangan ini belum berakhir.
Penjajahan masih kita rasakan dibidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan
pendidikan. Penjajahan idiologi kapitalisme liberal yang diterapkan di negeri
ini. Idiologi transnasional yang lahir dari peradaban Barat yang menempatkan
Tuhan hanya pada ruang-ruang privat, sembari melarang agama mengatur sektor publik.
Idiologi yang membenarkan perbudakan (penghambaan) pada manusia.
Padahal kemerdekaan hakiki adalah pada saat
manusia hanya menghamba kepada pihak yang layak dan pantas manusia menghambakan
diri, pihak yang menjadi pencipta manusia sekaligus alam semesta. Dialah Allah
SWT. Berkenaan tentang hal ini terdapat kisah menarik dari sahabat Nabi pada
masa Khalifah Umar Ibnu Khattab. Pada saat akan pecah perang Qadisiyah, Rustum
Panglima Romawi meminta Sa’ad bin Abi Waqqash mengirimkan utusan yang bisa
berdialog dengannya. Kemudian Sa’ad mengirim Ruba’I bin
Amir. Ruba’i menghadap Panglima Rustum, dengan tombaknya masuk hamparan
permadani. Dan seketika itu pula hamparan itu koyak-koyak. Mereka bertanya,
“Apakah yang mendorongmu masuk daerah kami?” beliau menjawab:
الله
ابتعثنا والله جاء بنا لنخرج من شاء من عبادة العباد إلى عبادة الله ومن ضيق
الدنيا إلى سعتها ومن جور الأديان إلى عدل الإسلام
“Allah SWT
telah mengutus kami untuk membebaskan manusia dari memperhambakan diri kepada
selain Allah, dan melepaskan belenggu duniawi menuju dunia bebas, dan dari
agama yang sesat menuju keadilan Islam.” (Tarikh
ath Thabari 2/401)
Dalam redaksi lain disebutkan:
وإخراج
العباد من عبادة العباد إلى عبادة الله
Dan mengeluarkan
(membebaskan) hamba dari penghambaan pada manusia pada penghambaan hanya kepada
Allah (al Bidayah wan nihayah 7/39)
Pernyataan ini
adalah refleksi keimanan seorang hamba kepada Allah, karena makna لا إله إلا الله
adalah معبود بحق إلا الله, artinya tidak ada pihak yang pantas disembah/diibadahi kecuali
Allah. Maknanya juga adalah tidak ada yang berhak menetapkan hukum kecuali
Allah. Dalam konteks ini pula Allah berfirman:
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka (orang
Yahudi dan Nashrani) menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan
selain Allah (QS. At taubah: 31)
Pada saat ayat
ini turun, Adi bin Abi Hatim, seorang sahabat yang baru masuk Islam protes
kepada Nabi bahwa mereka orang Yahudi dan Nasrani tidak menyembah rahib dan
pendeta mereka (إنهم لم يعبدوهم). Nabi kemudian bersabda:
بلى،
إنهم حرموا عليهم الحلال، وأحلوا لهم الحرام، فاتبعوهم، فذلك عبادتهم إياهم"
Benar, tapi
mereka (para pendeta dan rahib) mengharankan yang halal bagi mereka dan
menghalalkan yang haram bagi mereka, kemudian mereka mengikutinya. Maka
demikianlah bentuk persembahan mereka (Yahudi dan Nashrani) kepada mereka
(pendeta dan Rahib). (HR. Tirmizdi)
Isi Kemerdekaan
dengan Penerapan Syariah dan Tegakkan Khilafah
Berdasarkan
paparan di atas jelaslah bahwa secara historis, normatif dan empiris bahwa
kemerdekaan hakiki hanya akan dicapai jika negeri ini menerapkan syariat Islam.
Secara historis, landasan Negara ini adalah Negara yang berkomitmen menerapkan
Syariat Islam dan merupakan cita-cita para pendiri bangsa ini. Secara normatif
penerapan Syariat Islam adalah konsekuensi keimanan kita kepada Allah yang jika
diterapkan secara totalitas (kaffah) maka keberkahan akan meliputi penduduk
negeri ini (surah al ‘araf: 96), bahkan kerahmatan yang akan didapatkan bagi
seluruh alam, termasuk muslim dan non muslim (surah al anbiya: 107). secara Empiris
negeri ini sudah menerapkan system buatan manusia, tapi terbukti gagal
melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan mewujudkan ketertiban dunia. Sedang islam sejak bangsa
ini merdeka baru diberi kesempatan satu hari untuk memimpin. Saatnyalah,
giliran islam yang memimpin dan mari kita buktikan janji Allah akan tersebarnya
kerahmatan keseluruh alam. insyaALLAH
Demikian
pula penegakan Khilafah Islam. Menegakannya adalah sebuah kemestian untuk
mengisi kemerdekaan, baik secara historis, normatif maupun empiris. Secara
historis karena Indonesia (Nusantara) pernah menjadi bagian dari Khilafah
Islam, Negara bersyariah atau khilafah ini pula yang dituntut oleh pendiri
bangsa ini, khilafah ini pula yang dipertahankan oleh Buya Hamka dalam Sidang
Konstituante. [4]
Secara normatif khilafah adalah bagian dari syariah Islam. Maka jika menerima
syariat islam maka otomatis kita juga harus menerima khilafah. Haram hukumnya
kita menerima syariat islam tapi bentuk negaranya demokrasi, kerajaan, republic
dsb. Karena hal ini termasuh memilih-milih hokum Allah dengan mengikuti hawa
nafsu (surah al Baqarah: 85). Bahkan khilafah adalah satu-satunya institusi
yang akan menerapkan syariah Islam. Khilafah adalah sunnah nabawiyah dan sunnah
Khulafa Rasyidin. Tanpa khilafah syariat Islam tidak bisa diterapkan secara
kaffah. Dalam konteks inilah hujjatul Islam imam al Ghazali menyatakan:
الدين والسلطان توأمان... الدين أس والسلطان حارس وما لا أس له فمهدوم
وما لا حارس له فضائع
“Agama
dan kekuasaan bagaikan saudara kembar… Agama adalah asas dan kekuasaan adalah
penjaganya. Apa saja yang tak ada asasnya akan hancur, dan apa saja yang tak
ada penjaganya akan lenyap.” (Imam
Ghazali, Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad, hal. 76)
Demikian pula
secara empiris menunjukan bahwa khilafah adalah keniscayaan. Tanpa khilafah
umat islam tercerai berai, terjajah, tertindas dan dianiaya musuh-musuh Islam.
Oleh karena itulah diperlukan persatuan yang kokoh dibawah naungan Khilafah.
Penutup
Bulan ramadhan
adalah bulan kemenangan. Banyak pertempuran yang dimenangkan oleh kaum muslimin
dan itu terjadi di bulan ramadhan. Diantaranya perang Badar pada 17 Ramdhan
tahun ke-2 Hijrah, Fathu Mekah tahun ke-8 Hijrah, dan Ma’rakah (perang) ‘Ain
Jalut tahun 658 H.
Rahasia
kemenangan umat islam dalam pertempuran-pertempuran tersebut adalah keimanan,
keyakinan akan pertolongan dan janji Allah, persatuan, keteladanan, kecintaan
pada jihad dan mati syahid sebagaimana orang kafir mencintai kehidupan, dan
yang tak kalah penting kebaradaan Khalifah yang mereka bai’at untuk menegakkan
hokum-hukum Allah dan meyerukan Jihad. Simaklah perkataan shabat Nabi Abdullah
bin Rawahah panglima ketiga perang Mu’tah:
وما
نقاتل الناس بعدد ولا قوة ولا كثرة، ما نقاتلهم إلا بهذا الدين الذي أكرمنا الله
به، فانطلقوا فإنما هي إحدى الحسنيين، إما ظهور، وإما شهادة
Tidaklah kita
memerangi musuh karena jumlah, bukan pula karena kekuatan, bukan juga karena
banyaknya, tidaklah kita memerangi mereka kecuali karena agama ini yang Allah muliakan
kita dengannya. Maka berangkatlah (berjihad) karena sesungguhnya padanya
terdapat dua kebaikan: kemenangan atau syahid (ad daulah al islamiyah 1 /80)
Rahasia
kemenangan ini pula yang harus kita miliki. Kita harus yakin akan janji Allah
dan pertolongan Allah bahwa Allah pasti akan menolong hambanya yang menolong
agama-Nya (surah Muhammad: 7), bahwa Allah akan menjadikan orang-orang yang
beriman dan beramal shalih sebagai pemimpin di muka bumi (surah an Nur: 55).
Demikian pula kita harus berjuang siang dan malam untuk mewujudkan kabar
gembira dari Nabi SAW mengenai akan kembalinya kemenangan Islam dengan Khilafah
‘ala minhaji an nubuwwah ats tsani (Hr. Ahmad). MAKA MARI KITA JADIKAN RAMADHAN SEBAGAI BULAN
PERJUANGAN. ALLAHU AKBAR!!!
[1]
Makalah ini disampaikan dalam Diskusi Tematik yang diselenggarakan oleh HTI
Chapter UNY pada hari Ahad, 15 Agustus 2010 dengan tema Meraih Kemerdekaan
Hakiki dengan Syariah dan Khilafah; Refleksi 65 tahun kemerdekaan Indonesia
[2]
Ketua Lajnah Tsaqafiyah HTI DIY
[3]
Lihat buku Piagam Jakarta 22 Juni 1945 karya Endang Saifuddin. GIP: Jakarta
[4]
Dalam pidatonya Hamka membantah pandangan AA Maramis (tokoh Kirsten) yang
menyatakan “bahwa khilafah berdarah-darah, bahkan tiga khalifah rasyiidin mati
terbunuh”. Buya Hamka membantah dengan menyatakan: “Jika penolakan khilafah
didasarkan pada terbunuhnya khalifah, maka mengapa ada agama yang diterima
padahal nabinya mati dengan disalib?